Share

6. EGP, Gus!

"Hai kamu!" Aku yang tengah sibuk mengiris wortel mendongak menatap si cowok angkuh.

Seminggu semenjak kejadian salah ndusel praktis kami saling menghindar. Malu iya, marah iya tapi seneng juga iya. Aku sih yang seneng. Halah ....

"Apa!" jawabku jutek.

"Kamu itu niat kesini mau ngapain sih?"

"Mbabu (jadi pembantu)," jawabku ngasal.

"Ckckck ... Katanya mau ngaji."

"Gus. Ini kan masih jam 7 pagi, gak ada jadwal ngaji. Kalau ada jadwal ngaji aku ya ngaji."

Dia bersidekap. "Memangnya kamu mau fokus ngaji kitab apa?"

"Kitab apa saja yang penting ngaji. Kenapa Gus Azzam repot sih?" Aku mengeluarkan sisi jutekku.

"Aku gak repot cuma jengah sama tingkah kamu, santri lain itu gak kayak kamu tahu." Dia menjawab tak kalah dingin.

Aku memandangnya tajam. Kami bertatapan dengan waktu yang lama hingga saling membuang pandangan. Astaga. Ada yang tidak beres ini dengan jantungku. Jangan sampai kalah Ca. Akhirnya aku bertanya lebih dahulu sekaligus upaya untuk mengatasi kecanggungan.

"Memangnya aku kenapa Gus?"

"Caper."

"Sama siapa?"

"Umi."

"Oh ... Gus cemburu?"

"Siapa yang cemburu? Jangan ngarang kamu?"

"Alah ... Bilang saja njenengan cemburu sama saya karena Umi lebih perhatian  sama saya, ya kan?"

Aku tahu Gus Azzam beberapa kali nampak cemberut ketika aku sedang bersama Umi. Apalagi sekarang kemana-mana Umi lebih sering denganku bahkan aku tak segan-segan bermanja dengan beliau. Hubungan kami sudah seperti Ibu dengan putrinya. Mau belanja, naik motor, masak atau yang lainnya Umi selalu denganku. Aku ini multi talent tau, jadi anak bisa, jadi tukang sapu bisa, ngepel bisa, ngupas kelapa bisa, ngangkat galon juga bisa. Pokoknya udah dijamin kehebatanku berkat sepuluh tahun mbabu di tempat Lik Mirna.

"Kalau niat kamu mondok, mau ngaji ya fokus. Baca qur'an aja masih belum fasih ya dilancarin."

"Njenengan mau bantu saya? Ayuk sekarang kita ngaji bareng?" tantangku.

"Sama Syarifah atau Nurul sana. Yang muhrim kamu. Gak boleh berkhalwat (berduaan dengan lawan jenis) tahu." Paparnya mencari alasan.

"Mereka lagi sibuk nemeni Umi sowan (berkunjung) ke rumah Bu Nyai Marfuah." Aku pun tak kalah beralasan.

"Ck."

Dia melengos pergi. Dih dasar Gus aneh, heran aku. Sudah dewasa padahal, tapi manjanya gak ketulungan. Dari pada rebutan Umi sama aku bukannya lebih baik dia cari pacar ... eh istri. Lupa aku, santri itu gak ada istilah pacaran adanya ta’arufan, lamaran terus nikahan. 

*****

Semua masakan yang aku siapkan sudah terhidang semua. Perintah Umi jam sembilan sudah harus siap. Katanya anak bungsunya mau pulang. Habis liburan di rumah simbahnya di Bumiayu. Iya, Umi Aisyah asli Bumiayu. Umi Aisyah bukan Ning, orang tuanya hanya petani biasa.

"Asalamu’alaikum," teriakan dari luar.

"Wa’alaikumsalam," jawabku.

Kulihat seorang anak lelaki berusia dua belas tahunan berjalan masuk bareng cowok. Usia si cowok kayaknya sepantaran Gus Azzam. Orangnya tinggi sedang, kulitnya hitam manis, rambut ikal, wajah kelihatan sangar mirip preman tapi satu kata buat dia jantan. Yiha ... Hahaha.

Aku tersenyum kepada mereka. Si Gus muda tersenyum padaku, manis.

"Mbak siapa?"

"Saya Caca, Gus. Njenengan Gus Azmi kan?"

"Betul sekali, salam kenal Mbak Caca." Dia memamerkan deretan giginya yang putih. Ckckck Gus kecil beda banget sama masnya. Kalau masnya angkuh dan sombong plus nyebelin kalau yang ini duh ngangenin. Bikin aku jatuh hati deh. Ups ... bercanda. Masih kecil juga.

"Kang Bim kenalin nih Mbak khadamah baru kayaknya."

Orang yang dipanggil Kang Bim menoleh kearahku. Sejenak kami saling memandang dan tersenyum. Hingga ... tunggu, kok kayaknya aku kenal. Dan diapun sepertinya kaget.

"Cahaya."

"Mas Bimantara."

"Ya Allah, Ca. Kamu Caca. Cahaya Mustika. Cewek tomboy hobby panjat pohon," pekiknya.

"Dan kamu Bimantara Adi Nugraha si preman kampung tukang bikin huru hara." Aku tak kalah memekik.

"Caca."

"Mas Bima."

"Aaaaaa," teriak kami berdua heboh.

Kami saling mendekat hendak saling memeluk hingga ....

"Ekhem," suara deheman menghentikan aktivitas kami.

Baik aku dan Bimantara kikuk, kemudian saling menjauhkan diri. Bimantara memasang wajah polos lalu berbicara dengan Gus Azzam.

"Eh Guse. Maaf Gus. Kang Bim hampir khilaf. Peace and love deh Gus," ucap Bimantara.

"Udah dibilangin kalau bukan mahramnya jangan pegang-pegang Kang Bimo. Masih juga gak ngerti," ucapnya sambil menarik kursi.

Aku mencibir dalam hati. Halah. Alasan. Seminggu yang lalu aja dia ndusel-ndusel manjah ke aku. Dih... jarkoni... Ngajar tapi ora bisa nglakoni.

Lamunanku terganggu karena suara Gus Azmi.

"Mas Azzam, Azmi kangen deh sama Mas Azzam." Gus Azmi mendekat kearah kakaknya dan bermanja-manja kepadanya. Dan dibalas Gus Azzam dengan mengelus kepala adiknya. Aku terpesona. Ternyata Singa Garang bisa bersikap lembut juga. Wah sama adiknya penyayang apalagi besok sama istrinya ini. Astaga Ca, ngomong apa kamu. Haish. Daripada pikiran absurdku kemana-mana, aku memutuskan meladeni mereka makan.

"Gimana? Betah ditempatnya Simbah."

"Betah Mas, Simbah panen singkong sama ubi banyak. Tuh kita bawa masing-masing sekarung."

"Simbah kangen sama Mas Azzam, kata Simbah sudah terlalu lama Mas Azzam gak nengok. Simbah kangen," lanjut Gus Azmi.

"Nanti pas ke Bandung, Mas Azzam mampir dulu ke tempat Simbah," jawab Gus Azzam.

Kedua kakak beradik itu makan sambil sesekali mengobrol. Bimantara atau disini dikenal sebagai Kang Bimo ikut makan bersama mereka. Aku meladeni mereka makan dengan senang hati soalnya Gus Azmi menyenangkan. Kalau dengan Kang Bimo kami dulu sangat akrab semenjak kecil. Jadi, saat ikut makan bareng, kami bertiga begitu antusias bercerita. Masa bodo sama raut muka Gus Azzam yang menyebalkan. EGP lah Gus ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
anne annisa
wkqkwk jarkoni
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status