"Hai kamu!" Aku yang tengah sibuk mengiris wortel mendongak menatap si cowok angkuh.
Seminggu semenjak kejadian salah ndusel praktis kami saling menghindar. Malu iya, marah iya tapi seneng juga iya. Aku sih yang seneng. Halah ...."Apa!" jawabku jutek."Kamu itu niat kesini mau ngapain sih?""Mbabu (jadi pembantu)," jawabku ngasal."Ckckck ... Katanya mau ngaji.""Gus. Ini kan masih jam 7 pagi, gak ada jadwal ngaji. Kalau ada jadwal ngaji aku ya ngaji."Dia bersidekap. "Memangnya kamu mau fokus ngaji kitab apa?""Kitab apa saja yang penting ngaji. Kenapa Gus Azzam repot sih?" Aku mengeluarkan sisi jutekku."Aku gak repot cuma jengah sama tingkah kamu, santri lain itu gak kayak kamu tahu." Dia menjawab tak kalah dingin.Aku memandangnya tajam. Kami bertatapan dengan waktu yang lama hingga saling membuang pandangan. Astaga. Ada yang tidak beres ini dengan jantungku. Jangan sampai kalah Ca. Akhirnya aku bertanya lebih dahulu sekaligus upaya untuk mengatasi kecanggungan."Memangnya aku kenapa Gus?""Caper.""Sama siapa?""Umi.""Oh ... Gus cemburu?""Siapa yang cemburu? Jangan ngarang kamu?""Alah ... Bilang saja njenengan cemburu sama saya karena Umi lebih perhatian sama saya, ya kan?"Aku tahu Gus Azzam beberapa kali nampak cemberut ketika aku sedang bersama Umi. Apalagi sekarang kemana-mana Umi lebih sering denganku bahkan aku tak segan-segan bermanja dengan beliau. Hubungan kami sudah seperti Ibu dengan putrinya. Mau belanja, naik motor, masak atau yang lainnya Umi selalu denganku. Aku ini multi talent tau, jadi anak bisa, jadi tukang sapu bisa, ngepel bisa, ngupas kelapa bisa, ngangkat galon juga bisa. Pokoknya udah dijamin kehebatanku berkat sepuluh tahun mbabu di tempat Lik Mirna."Kalau niat kamu mondok, mau ngaji ya fokus. Baca qur'an aja masih belum fasih ya dilancarin.""Njenengan mau bantu saya? Ayuk sekarang kita ngaji bareng?" tantangku."Sama Syarifah atau Nurul sana. Yang muhrim kamu. Gak boleh berkhalwat (berduaan dengan lawan jenis) tahu." Paparnya mencari alasan."Mereka lagi sibuk nemeni Umi sowan (berkunjung) ke rumah Bu Nyai Marfuah." Aku pun tak kalah beralasan."Ck."Dia melengos pergi. Dih dasar Gus aneh, heran aku. Sudah dewasa padahal, tapi manjanya gak ketulungan. Dari pada rebutan Umi sama aku bukannya lebih baik dia cari pacar ... eh istri. Lupa aku, santri itu gak ada istilah pacaran adanya ta’arufan, lamaran terus nikahan. *****Semua masakan yang aku siapkan sudah terhidang semua. Perintah Umi jam sembilan sudah harus siap. Katanya anak bungsunya mau pulang. Habis liburan di rumah simbahnya di Bumiayu. Iya, Umi Aisyah asli Bumiayu. Umi Aisyah bukan Ning, orang tuanya hanya petani biasa."Asalamu’alaikum," teriakan dari luar."Wa’alaikumsalam," jawabku.Kulihat seorang anak lelaki berusia dua belas tahunan berjalan masuk bareng cowok. Usia si cowok kayaknya sepantaran Gus Azzam. Orangnya tinggi sedang, kulitnya hitam manis, rambut ikal, wajah kelihatan sangar mirip preman tapi satu kata buat dia jantan. Yiha ... Hahaha.Aku tersenyum kepada mereka. Si Gus muda tersenyum padaku, manis."Mbak siapa?""Saya Caca, Gus. Njenengan Gus Azmi kan?""Betul sekali, salam kenal Mbak Caca." Dia memamerkan deretan giginya yang putih. Ckckck Gus kecil beda banget sama masnya. Kalau masnya angkuh dan sombong plus nyebelin kalau yang ini duh ngangenin. Bikin aku jatuh hati deh. Ups ... bercanda. Masih kecil juga."Kang Bim kenalin nih Mbak khadamah baru kayaknya."Orang yang dipanggil Kang Bim menoleh kearahku. Sejenak kami saling memandang dan tersenyum. Hingga ... tunggu, kok kayaknya aku kenal. Dan diapun sepertinya kaget."Cahaya.""Mas Bimantara.""Ya Allah, Ca. Kamu Caca. Cahaya Mustika. Cewek tomboy hobby panjat pohon," pekiknya."Dan kamu Bimantara Adi Nugraha si preman kampung tukang bikin huru hara." Aku tak kalah memekik."Caca.""Mas Bima.""Aaaaaa," teriak kami berdua heboh.Kami saling mendekat hendak saling memeluk hingga ...."Ekhem," suara deheman menghentikan aktivitas kami.Baik aku dan Bimantara kikuk, kemudian saling menjauhkan diri. Bimantara memasang wajah polos lalu berbicara dengan Gus Azzam."Eh Guse. Maaf Gus. Kang Bim hampir khilaf. Peace and love deh Gus," ucap Bimantara."Udah dibilangin kalau bukan mahramnya jangan pegang-pegang Kang Bimo. Masih juga gak ngerti," ucapnya sambil menarik kursi.Aku mencibir dalam hati. Halah. Alasan. Seminggu yang lalu aja dia ndusel-ndusel manjah ke aku. Dih... jarkoni... Ngajar tapi ora bisa nglakoni.Lamunanku terganggu karena suara Gus Azmi."Mas Azzam, Azmi kangen deh sama Mas Azzam." Gus Azmi mendekat kearah kakaknya dan bermanja-manja kepadanya. Dan dibalas Gus Azzam dengan mengelus kepala adiknya. Aku terpesona. Ternyata Singa Garang bisa bersikap lembut juga. Wah sama adiknya penyayang apalagi besok sama istrinya ini. Astaga Ca, ngomong apa kamu. Haish. Daripada pikiran absurdku kemana-mana, aku memutuskan meladeni mereka makan."Gimana? Betah ditempatnya Simbah.""Betah Mas, Simbah panen singkong sama ubi banyak. Tuh kita bawa masing-masing sekarung.""Simbah kangen sama Mas Azzam, kata Simbah sudah terlalu lama Mas Azzam gak nengok. Simbah kangen," lanjut Gus Azmi."Nanti pas ke Bandung, Mas Azzam mampir dulu ke tempat Simbah," jawab Gus Azzam.Kedua kakak beradik itu makan sambil sesekali mengobrol. Bimantara atau disini dikenal sebagai Kang Bimo ikut makan bersama mereka. Aku meladeni mereka makan dengan senang hati soalnya Gus Azmi menyenangkan. Kalau dengan Kang Bimo kami dulu sangat akrab semenjak kecil. Jadi, saat ikut makan bareng, kami bertiga begitu antusias bercerita. Masa bodo sama raut muka Gus Azzam yang menyebalkan. EGP lah Gus ....*Azzam Dafa Al Kaivan*Gadis itu benar-benar berisik sekali, suka cari muka dan menggangu. Aku tahu dia anak sahabat Umi yang bernama Fatimah. Dan saat ini dia yatim piatu. Tapi sungguh kehadirannya membuatku terganggu.Aku dikenal sebagai sosok Gus yang dingin, cuek, galak dan mungkin angkuh. Tapi jangan salah, sikapku akan berbeda jika bersama Umi, aku justru sangat manja padanya. Maklum saja 12 tahun aku baru dikasih adik. Jadi, jangan salahkan kalau aku menjadi anak manja hanya ketika bersama Umi.Aku pertama jumpa dengannya di pintu gerbang pesantren, kuakui dia sangat cantik. Tapi bagiku biasa saja, karena aku sudah terbiasa lihat cewek cantik. Bahkan mantan calon Ning yang gagal ta'aruf denganku juga cantik. Tapi cantikan Caca sih. Astaghfirullah.Walau begitu bukan berarti aku suka sama Caca ya. Aku nyari istri itu harus seperti Umi. Kalem, lembut, perhatian dan penurut. Dan semua itu tidak ada di Caca.Aku sulung dari dua bersaudara. Jarak kelahiran
*Cahaya Mustika*Tak terasa sudah dua bulan aku mondok plus jadi khadamah disini. Awalnya, aku kesusahan beradaptasi. Terutama masalah ngajinya, tapi alhamdulillah akhirnya terbiasa. Berhubung dulu aku dan Hasan hanya punya satu HP milik bersama dan jadul pula, praktis komunikasi kami lewat sosmed. Dan itupun hanya bisa kulakukan saat hari Minggu saja dimana kami boleh keluar itupun hanya di area dekat pondok.Syukurlah Hasan nampak bahagia dan menikmati kuliahnya. Aku lost kontak dengan keluarga Jepara. Paling Hasan yang rajin menghubungi Husna untuk menanyakan keadaan bapaknya."Kamu betah Ca?" tanya Kang Bimo kepadaku saat membantuku mengupas kelapa sedangkan aku bertugas memarutnya."Betah Kang." Aku memanggilnya sesuai panggilannya disini."Syukurlah, Hasan kayaknya juga betah disana. Senangnya dengar dia lagi kuliah." Kang Bimo menghembuskan nafasnya."Kenapa Kang?""Gak papa. Aku cuma nyesel dulu jadi anak badung. Sekolah gak tamat hid
Kali ini aku menemani Abah, Umi, dan Gus Azmi ke Bandung dengan disopiri oleh Kang Bimo. Gus Azzam sendiri satu minggu yang lalu sudah ada di Bandung. Besok adalah hari wisuda Gus Azzam untuk program magisternya. Kami menginap di hotel yang cukup dekat dengan kampus."Kampusnya keren ya Umi, besok Azmi mau disini juga," celoteh Gus Azmi saat mobil kami memasuki pelataran parkir hotel."Memangnya Azmi mau jadi apa?""Gamer Umi, pokoknya bisa pegang komputer sama HP. Hehehe.""Dasar kamu itu ya?"Semua tertawa termasuk aku. Selanjutnya aku lebih banyak diam, karena menikmati perjalanan. Wow, aku jadi rindu kampus. Aku rindu belajar. Aku menghembuskan nafasku pelan. Semoga suatu hari nanti aku bisa kuliah lagi dan semoga aku segera punya uang. Syukur dibiayai suami. Dan pertanyaan yang muncul emangnya suamiku siapa?*****Mataku terpana menatap objek di depanku. Perawakannya yang tinggi menjulang, kulit putih dengan seraut wajah nan rupawan tengah ber
"Mbak Caca dipanggil Umi ke ndalem," seru Fauziah salah satu khadamah yang masih kelas 12 SMA."Oh ... makasih Dek." Aku menemui umi di ruang keluarga."Umi manggil Caca? Wonten nopo nggih Umi.""Gini, kata Azzam kamu itu lulusan pendidikan Biologi benar kan?""Nggih Umi, pripun?""Guru Biologi kita mau ikut suaminya ke Malang, jadi kita butuh gantinya. Daripada kita bikin loker kan mending memberdayakan SDM yang sudah ada. Bener kan?""Nggih Umi.""Mau ya bantuin ngajar di SMA.""Tapi, Caca sudah lama gak ngajar Umi. Takutnya nanti pas dihadapan siswa malah kayak patung Umi.""Ya dicoba dulu makanya.""Nanti kalau nervous gimana Umi.""Ya makanya latihan.""Nanti kalau ....""Kalau gak sanggup ya nolak. Gak usah banyak alasan. Percuma katanya sarjana terbaik tapi disuruh ngajar aja banyak alasan," sinis Gus Azzam.Aku melotot kearahnya, dia malah memiringkan senyumnya. Dasar kurang garam ini orang. Awas ya! Aku b
Satu bulan lamanya aku menjadi pengajar di SMA Al-Hikam. Awalnya grogi, gugup dan takut menjadi satu. Tapi lama-kelamaan akhirnya bisa beradaptasi."Us Caca," sapa ustazah Shafa, guru kimia."Ustazah Shafa. Hati-hati Us. Ckckck. Njenengan ini lagi hamil juga tetep gak bisa diem.""Hehehe. Mau gimana lagi Us, udah bawaan dari orok hehehe." Ustazah Shafa adalah ustazah yang umurnya sebaya denganku sedangkan yang lain rata-rata sudah berusia di atas 30 tahun."Ustaz Ahmad gak jemput apa?""Nanti Us, katanya masih ada rapat dengan para Ustaz.""Owh."Suasana sepi, karena ini sudah pukul empat sore. Aku baru saja mendampingi ekskul Pramuka. Saat tengah melewati koridor kelas dua belas kulihat sekelebat anak yang tengah mengendap-ngendap seperti maling."Sebentar Us. Tunggu disini!"Aku langsung melesat menuju si penyusup yang menggunakan helm dan berjaket tebal."Hei, siapa kamu!" teriakku.Dia kaget dan akan berlari tapi kutarik jaketnya. Ter
"Ustazah, ini kita bikin patoknya ukuran 1m x 1m?""Iya, nanti kamu amati didalamnya individunya apa saja terus jumlah dan kemungkinan interaksi yang terjadi. Apa mutualisme, parasitisme, komensalisme atau netral," jawabku.Hari ini kelas 10 IPA 1 sedang praktek materi ekosistem. Aku sengaja membawa mereka menuju ke sawah penduduk yang jaraknya 10 menit dari sekolahan. Dalam praktek ini, kami belajar sambil bermain. Sesekali menyapa para petani yang sedang memanen padinya. Bahkan ternyata sebagian besar sawah disini milik abah Ilyas yang tengah dipanen dengan mempekerjakan penduduk sekitar. Saat sedang mengawasi kegiatan anak-anak. Segerombolan ibu-ibu menyapaku dan mengajakku ngobrol."Eh Ustazah cantik, njenengan Ustazah baru ya?" tanya salah seorang ibu sambil menggepyok padinya." Gepyok padi artinya merontokkan padi secara manual dengan memukulkannya pada sebuah alat khusus."Nggih Bu, nama saya Caca.""Asli mana Us?" tanya yang lain."K
*Azzam Daffa Al Kaivan*Aku memarkirkan mobilku di garasi. Aku baru menyelesaikan segala urusanku mengenai beasiswa S3-ku di RMIT University yang terletak di kota Melbourne. Insya Allah seminggu lagi aku berangkat ke sana. Alhamdulillah ya Allah, cita-citaku akan terlaksana sebentar lagi.Aku tertegun melihat sebuah mobil Avanza yang terparkir dihalaman berdampingan dengan mobil Xenia abah. Aku segera masuk ke rumah."Assalamu’alaikum""Wa’alaikumsalam."Kulihat Abah dan Umi sedang menerima tamu yang ternyata orang tua Ning Salima. Bahkan Ning Salima ikut. Aku pun menyalami Abah, Umi, Kyai Miftah dan menangkupkan kedua tangan kepada istri dan anak Kyai Miftah."Baru pulang Zam?" tanya Abah."Nggih Bah.""Lancar semua.""Lancar Bah."Abah tersenyum meneduhkan. Aku menoleh ke arah Kyai Miftah."Sampun dangu Pak Kyai?" tanyaku basa basi."Belum Gus, selamat atas wisudanya nggih Gus.""Matur nuwun P
*Cahaya Mustika*"Ini Gus Kecil. Nasi goreng pedas manis dengan tambahan telor ceplok ala chef Caca. Monggo.""Hore ... makasih Mbak Caca."Gus Azmi mulai memasukkan nasi goreng buatanku."Hem ... enak Mbak. Maknyos mamamia lezatos ...," ucapnya sambil menautkan jempol dan telunjuk lalu menaruh pada mulutnya dan berdecak. Setdah ... sok pokoknya.Abah dan Umi sedang ke acara pengajian di daerah Karanglewas sama Kang Bimo. Khadamah yang lain sibuk dengan urusan masing-masing. Jadi hanya aku yang menemani Gus Kecil."Mas Azzam sini Mas." Gus Azmi memanggil kakaknya.Gus Azzam datang ke meja makan dengan muka bantalnya, aku dengar memang beliau sedang menyiapkan keberangkatannya ke Melbourne tiga hari lagi bertepatan dengan pernikahan kedua Gus Fadil."Maem apa Mi?""Nasi goreng Mas, bikinan Mbak Caca," sahut Gus Azmi."Ca ... bikinin yang spesial jangan kepedesan tapi. Telurnya jangan ceplok tapi dadar terus digulung ke nasi gorengnya!