"Makasi ya Bi" ujar Binar dan Irishena bersamaan.
Bi Imba terkesima matanya hampir berkaca-kaca.
"Ini sudah kewajiban Bibi toh," balasnya merendah.
Binar dan Irishena tersenyum lama ke arah Bi Imba.
"Oh ya Bi, bapak kemana?" Tanya Irishena di tengah kebisuan mereka.Binar tampak tersedak. Ia buru-buru merebut gelas air yang sedang di tuang Bi Imba.
Irishena berinisiatif membantu Binar minum air."Belum juga mulai makan." Ujar Irishena.
Binar tidak akan bisa mengelak di depan Irishena jika menyangkut biologis.
"Enggak tahu mah, tiba-tiba saja kek gini." Balas Binar setelah merasa lega.
Binar dan Bi Imba saling menatap untuk waktu yang cukup
Hari sudah semakin siang. Amaz berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar. Itu adalah rumahnya. Azerus yang kebetulan sedang berada di luar menyambut dengan riang putra sulungnya itu.“Hei, anak ayah pulang kok enggak bilang-bilang” sapa Azerus ramah.Amaz meraih ayahnya kepelukannya.“Biar surprize yah,” balas Amaz setelah melepaskan pelukannya.“Oh ya, Ibu dimana?” tanya kemudian.“ Oh itu lagi di dalam, buruan masuk gih, dia udah kangen banget tuh sama kamu,” ujar Azerus.Amaz segera menghampiri ibunya di dapur. Mereka saling berpeluk melepas rindu, maklum karena di sini agak susah sinyal. Jadi agak susah untuk berkomunikasi menggunakan telepon seluler di daerah ini. Azerus masuk dan terlibat obrolan seru dengan ibu dan anak itu. Mereka tampak sangat bahagia. Hidup penuh dengan canda tawa.“Kapan makannya nih? mengobrol terus,” desak Az
Bi Imba dan Binar berbincang-bincang sepanjang perjalanan pulang. Sudah banyak yang berubah, ya Bi." Ucap Binar."Dulu enggak begitu banyak tanaman di sini, sekarang di sini sudah seperti hutan mini saja," lanjut Binar lagi."Iya Non, semenjak adanya pembaharuan sistem kerja masyarakat, pemerintah desa menyepakati untuk melakukan penghijauan di tanah kering ini. Yah jadilah sekarang. Awalnya di mulai dari hal kecil. Setiap rumah di wajibkan untuk menanam minimal lima pohon, dan harus bertanggung jawab atas kehidupan pohon itu. Yang di minta itu harus pohon yang besar, jadi mulai dari tanggung jawab kecil itu warga menjadi terbiasa, dan alhasil lihatlah sekarang desa kita. Bukan hanya ada pohon kelapa beberapa tanaman lain juga ada di sini." Cerita Bi Imba."Bagus yah Bi. Kalau kayak gini terlihat lebih asri." Tambah Binar.Mereka singgah di bawah pohon sukun yang rimbun."Oh ya Bi, kalau papa sudah pulang, Bibi ikut Binar ke kota ya?" Ajak Bi
Awan jingga kembali berkibar di langit barat. Para nelayan sudah mulai kembali dengan ritual andalannya di setiap penghujung senja. Ada yang mengurus jala ada pula yang memeriksa mesin perahu. Di sisi lain ada banyak anak kecil yang diomeli ibunya. Mungkin karena terlalu sore bermainnya. Irishena dan Binar terkekeh menyaksikan anak kecil itu yang dijewer ibu mereka.“Nak, nanti kalau cari jodoh jangan yang nelayan ya?” ujar Irishena setelah sekian lama menatap para nelayan yang masih terlihat sibuk.“Kenapa Mah?” Tanya Binar.“Susah punya waktu buat kumpul bareng keluarga. Kayak mama sama papa,” Irishena menunduk.Binar tak menggubris. Ia terus diam menatap laut, meskipun perkataan Irishena sampai ke telinganya.“Mama dan papa itu sangat egois. Tapi mau bagaimana lagi nak. Dunia itu keras. Meskipun banyak yang menyorakkan hidup sederhana, tetapi tetap saja realitanya,&n
"Mas bagaimana kabar?" Ujar Irishena setelah melepaskan pelukan mereka."Seperti biasalah," balas Azerus bangga."Wah banyak banget yah ikannya," gumam Binar ketika menengok ikan yang di bawa Bi Imba."Ada gurita juga Non." Tambah Bi Imba."Wah asyik nih," sambung Irishena."Jadi papa enggak di tawarin duduk nih," canda Azerus.Irishena, Binar dan juga Bi Imba terkekeh menyadari tingkah konyol mereka."Eh silakan duduk pah" ujar Binar sembari menyiapkan kursi untuk ayahnya."Tidak perlu begini kok. Papa mau mandi dulu." Ujar Azerus terkekeh.Irishena berlalu bersama suaminya entahlah apa yang mereka lakukan.Binar mengamati setumpuk ikan itu dengan saksama.Bi Imba memperhatikannya dari jauh. Ia lantas mendekati Binar."Kenapa Non?" Tanya Bi Imba penasaran."Menurut Bibi sih ikannya masih sangat segar. Kayak baru ketangkap, Non." Ujar Bi
Amaz kesal, keputusan sepihak kembali diterimanya. Ia kehabisan kata untuk mengatai tukang tidur itu."Dasar aneh," celetuk Amaz setelah memeriksa tampilan layar ponselnya.Amaz menggeleng kepala setelah mendapat perlakuan yang sama itu lagi. Mungkin dari semua cewek yang pernah ditemui nya, Binar adalah orang pertama yang memperlakukan nya seperti itu. Setiap hari hampir semua cewek di kampusnya selalu datang menggodanya, tidak ada satupun di matanya yang benar, perlakuan Binar terhadapnya benar-benar berbanding terbalik dengan keseluruhan sikap cewek di kampus itu.Gerimis beberapa hari yang lalu membuatnya terpaksa harus melepas rasa egonya. Saat itu ia benar-benar tidak punya pilihan terpaksa ia mempertaruhkan harga dirinya dan ikut nebeng di mobil Binar.Amaz kembali dengan aktivitasnya setelah ingatan tentang tukang tidur itu singgah di kepalanya.Binar kembali melanjutkan perjalanannya. S
Hari kembali gelap, Binar menuliskan jurnalnya selama berada di sana. Ini hanya kemungkinan kecil yang bisa diprediksinya. Rencananya paling lama dua hari mereka habiskan di sana.Binar mulai mengemas beberapa pakaian yang akan ia kenakan sampai di sana. Barang lain yang ia bawa diantaranya, perlengkapan mandi, obat, kamera, power bank, selimut untuk berjaga-jaga kalau saja ia tidak menginap di hotel, laptop dan lainnya. Earphonenya tidak lupa ia kemas. Koper mininya cukup padat."Tapi kalau aku pergi Jenbow dan kucing gimana," gumamnya dalam hati.Binar mencoba memutar akal."Kalau aku tuang aja semuanya apa enggak basi ya, atau apa mungkin akan mereka makan semuanya satu kali makan, atau apa aku bawa saja mereka turut bersama ku," gumam Binar pusing."Tapi, susah kalau mereka harus ikut. Bagus kalau di sana baik-baik saja. Kalau repot? Ah susah sekali. Atau aku minta bantuan tetangga saja. Tap
"Bukan urusan loh" omel Binar."Bagaimana tidur loh, nyenyak?" Tanya Amaz mencoba mencairkan suasana."Badan gue udah kayak mau patah. Tidur harus berlipat. Biar badan gue muat. Lebar ranjang ini sangat pendek sekali," Binar mengomeli dirinya sendiri."Sama gue juga" ujar Amaz tanpa di tanya balik tentang dirinya."Enggak mungkin kan kalau semalaman kita harus tidur begitu," keluh Amaz.Amaz mencoba mengangkat spring bad itu. Ternyata bisa di pindahkan."Woi..." ia sedikit berteriak."Kenapa?" Binar menyahut."Bantuin, tolong angkat ini." Ujar Amaz memberi perintah.Binar masih tidak tahu apa maksudnya."Mau ngapain?" Tanya Binar."Udah ikut aja." Sergah Amaz."Enggak. Gue enggak bakalan ngelakuin yang gue enggak tahu apa tujuan dan artinya. Itu namanya konyol," omel Binar.Amaz menyerah."Jadi begini, Bu. K
"Bagaimana dengan peraturannya?" Goda Amas."Ngapain ikut dosen tolol itu." Celah Binar."Bukannya lu untung pada saat itu." Sindir Amas.Sudahlah gue malas mengingat itu, takut ntar ada yang patah hati lagi karena kecewa, terus frustasi terus jadi orang gila di sini." Sindir Binar panjang lebar."Ah payah lo lagian dulu juga gue cuma cari muka ke dosen," jawab Amas kesal."Masa sih yang ngemis-ngemis ke dosen itu juga cari muka?" Tambah Binar tidak mau kalah."Rupanya lo terlalu berambisi hingga lupa sesuatu yang dinamakan dengan seni drama," tutur Amas."Oh sori gue nggak tahu kalau ada aktor hebat di kampus kita. Padahal semua orang juga pada saat itu tahu kalau nggak ada pentas seni di kelas psikologi." Ujar binar sekak mat.Amaz kehabisan kata untuk berkelit lagi. Dia tidak akan mampu berhadapan dengan Binar apalagi berperang kata. Iya selalu kalah dalam beberapa perdebatan