Dexlicas tidak menggubris pertanyaan Rindi, ia berhasil meloloskan diri ditengah kebingungan ketiga orang itu.
“Sialan!” umpat Aras kecewa.“Tunggu, tadi dia bilang, gak ada yang bisa masukin dia ke penjara?” Binar sekali lagi memastikan bahwa yang ia dengar itu tidak salah. Aras dan Rindi mengangguk, mengiyakan apa yang ucakan Binar. “Tunggu, itu terjadi jika ada yang menyogok atau gak mereka punya hubungan keluarga,” gumam Rindi menebak.Mereka bertiga terdiam, “Ah apa mungkin jika mereka bersaudara? Saya ingat waktu itu Afra bilang, itu saudaraku.” ucap Aras setelah berhasil mengingat. “Aku gak tahu kalau soal itu. Cuman dulu Afra pernah bilang kalau ia punya saudara tiri, apa mungkin Dexlicas, yang ia maksud?” tambah Binar.“Kita harus cari tahu ini, dan juga perihal Amaz yang mencurigakan itu. Aku yakin ia terlibat,” gumam Rindi.“AAras menghentikan laju motornya, sementara Binar masih melaju. Sesaat kemudian Binar menyadari jika Aras tidak ada di belakangnya. “Oi, thanks ya,” ujar Binar sedikit menoleh dengan wajah datar. Kemudian melambaikan tangan dan kembali melaju. Pagar gerbang rumahnya terbuka secara otomatis ketika ia menekan sebuah remot. Amaz mengurungkan niatnya untuk menahan Binar. Panggilannya tidak mendapat respon apa-apa dari Binar. Dalam hati Amaz menduga jika Binar sudah tahu soal penyerangan itu. Amaz tak bergeming dari tempatnya bahkan saat jelas-jelas ia tahu kalau kekasihnya baru saja berjalan dengan lelaki lain. Aras memutar balik kendaraannya, dan melesat, meninggalkan tempat itu.Binar masuk ke dalam rumahnya, ia langsung ke kamarnya, mengabaikan sapaan hangat dari Bi Imba dan juga sang kakek. Mereka bertiga tampak panik dan bingung, “Tadi waktu pergi mukanya ceria, sekarang kok malah gitu,” ujar sang Nenek sekaligus mewakili pertan
Azerus sedikit lebih pulih setelah ditangani. Dokter yang menanganinya tampak sedikit ragu untuk mendiagnosis Azerus, pasalnya tidak ada bagian tubuh yang mengalami masalah. Dokter itu berterus terang bahwa, mungkin Azerus sedang mengalami tekanan batin. Itu berdampak pada konsentrasinya. Dokter menyarankan agar Azerus perlu terbuka pada seseorang yang paling dipercayainya yang dianggap bisa membantu dia menyelesaikan persoalannya. Amaz sangat khawatir dengan keadaan ayahnya, padahal saat ia datang tadi beliau baik-baik saja, dan setelah ketemu Aras, ayahnya menjadi tidak terkendali. Konsentrasi Amaz menjadi kacau, urusannya dengan Binar belum selesai, sekarang kesehatan ayahnya menambah beban di pikirannya. Amaz tidak henti bertanya perihal masalah kesehatan ayahnya."Mungkin benar apa kata dokter tadi, ayah cuman kecapean atau nggak karena banyak pikiran. Tapi kenapa bisa ya? Ayah pikir apa? Bukankah selama ini
Burung kecil terbang rendah di atas deru ombak yang memecah bibir pantai. Angin bertiup pelan, namun berhasil menerbangkan helaian rambut panjang milik Binar. Matahari sore ini begitu indah. Sekelompok anak kecil berlarian di tepi pantai. Ada yang bermain air, dan juga ada yang membangun istana pasir. Binar memperhatikan mereka satu per satu. Sebahagia itu dia dulu. Ayah Binar seorang nelayan yang sukses sedangkan ibunya seorang dokter. Keluarga mereka cukup berada. Keluarga mereka menjadi panutan bagi penduduk pesisir.Kini kehidupan Binar sangat jauh dari anggapan orang-orang. Banyak orang berpikir kalau Binar mempunyai kehidupan yang sempurna. Kuliah di kampus ternama, dan juga terlahir dari keluarga yang kaya raya. Nyatanya itu berbanding terbalik baginya. Ayahnya sibuk melaut walaupun kini ia menjadi pemilik perahu, sampan dan media penangkap ikan lainnya yang disewakan kepada para nelayan. Begitu pula ibunya, yang jarang kumpul dengan keluarga karena tugasnya. Dalam s
Pertanyaan Binar bagaikan petir yang menyambar disiang bolong. Azerus terlihat tegang. Tatapan matanya seperti orang yang terpergok sedang melakukan kejahatan.Di dapur Bi Imba sedang membuatkan es kelapa kesukaan Binar. Minuman yang berbahan dasar air kelapa asli yang baru saja ia belah. Daging kelapa yang masih sangat muda itu ia kerok lalu dimasukan kedalam gelas yang berisi air kelapa dan beberapa keping es batu. Bi Imba menambahkan sedikit susu bubuk pada sentuhan terakhirnya. Jadilah segelas es kelapa asli minunan favorit Binar sejak dahulu kala. Setelah semua telah disiapkan Bi Imba membawanya ke ruangan tempat majikannya duduk. Bi Imba kebingungan mendapatkan ekspresi majikannya yang sangat tegang. Yah kondisi mereka saat ini seperti sedang menunggu keputusan hakim agung di persidangan.“Ini Non minumannya,” ujar Bi Imba sembari menyodorkan gelas di depan Binar.Binar tersenyum menyambutnya. Bi Imba pun melakukan h
Suasana kedai kembali lenggang. Aras pun pamit pulang kepada penjaga kedai.“Jangan lupa besok mampir lagi,” tawar penjaga kedai.“heem, kapan-kapan,” ucap Aras sembari memasang tas ranselnya.Kedai kembali ramai, banyak mahasiswa yang menghabiskan waktu mereka untuk bersantai di kedai ini. Kedai yang sangat sederhana, bangunannya terbuat dari bahan dasar kayu, baik dinding maupun kursi dan mejanya. Di setiap sudut ruangan dan setiap meja selalu ada bunga, bunga yang berbeda-beda sehingga kesannya sangat natural dan hidup. Pemilik kedai ini sudah sangat tua, sekarang yang menggantikan mereka adalah anaknya. Binar adalah pelanggan setia kedai ini. Biasanya yang dominan nongkrong di kedai ini adalah anak jurnalis. Tidak tahu apa alasannya.Binar berlari kecil untuk mengikuti kelas psikologi. Mata pelajaran ini tidak diwajibkan bagi materi mereka, Binar mengikutinya karena ia rasa itu perlu.Dosen yang m
“Oke, pelajaran hari ini cukup sampai di sini, jangan lupa kirim tugasnya melalui email, saya terima lima menit setelah azan magrib.” Tegas sang dosen tanpa peduli dengan Amaz yang masih kesal.Beberapa saat setelah itu dosen keluar kelas yang disusul mahasiswa lainnya, kecuali Binar dan Amaz. Binar kembali ke mejanya dan mengambil tasnya. Begitu pula dengan Amaz. Ia menggendong tasnya dengan kesal. Mungkin tidak boleh ada kata kalah di hidupnya.Binar melangkah keluar kelas. Langkahnya terhenti ketika Amaz menarik rambutnya. Binar mendesis marah.“Udahlah kalau kalah tinggal ngaku aja,” ejek Binar.“Eh loh harus tahu, gue enggak kalah, cuma tuh dosennya aja aneh,” balas Amaz membela diri.“Oh maksud loh beliau psikopat?” celah Binar.“Loh yang bilang, bukan gue!” serunya.Binar terlihat malas menanggapinya. Tidak ada waktu untuk berdebat dengan pria ane
Hari sudah mulai gelap. Lampu jalan mulai menyilaukan mata, Binar kembali fokus setelah meninggalkan Aras yang tidak tahu lagi bagaimana keadaanya sekarang.Jalanan masih ramai. Di pertigaan jalan tepat menyala lampu merah Binar berhenti dan mengecek ponselnya.“ Wah udah lewat, tugas gue.” Desisnya sambil menepuk jidat.Binar mulai panik, ia tidak fokus lagi dengan kendaraannya.“Ah sial, enggak mungkin gue diberi toleransi setelah berulah di kelasnya tadi.” Desis Binar dalam hati.Waktunya tinggal tujuh menit, tugas yang di berikan cukup mudah, tetapi di situasi yang seperti sekarang rasanya untuk menjawab soal, satu tambah satu sama seperti memecahkan rumus logaritma.Binar masih mengendarai mobilnya, sambil sesekali matanya menatap layar ponsel dan juga memperhatikan sekitar jalan raya. Akhirnya ia sampai di tempat yang cukup sepih. Ia menepi dan menghentikan mobilnya. Beberapa
Chiara tertegun di ranjangnya. Nalurinya menyadari bahwa ucapannya telah menyinggung perasaan sang dokter, meskipun dokter tidak menceritakan secara langsung kepadanya. Ia menatap sendu kepada Irishena. Irishena masih dengan lamunannya, sehingga tanpa ia sadari setumpuk air mata hampir membanjiri pipinya.Waktu seakan berjalan sangat lambat dari pada biasanya. Dua orang perawat yang membantu Irishena tampak kebingungan dengan keadaan yang terjadi sekarang. Mereka saling menatap satu sama lain, memainkan alis, mempertanyakan arti semua ini. Yah jelas ini bukan drama.Akhirnya Chiara memberanikan diri untuk bertanya.“Dok,” ucap Chiara dengan suara yang masih serak, mungkin karena ia sehabis menangis dan teriak.Irishena tidak menggubris. Mungkin ia tidak mendengar karena konsentrasinya buyar.Sekali lagi Chiara mengulanginya untuk memanggil dokter.“Dok, dokter enggak apa-apa kan?” lanjut Chiara santun.