Risti terbelalak kaget saat melihat ballroom hotel yang menjadi venue acara ulang tahun PT. Peruka cosmetics malam itu. Ia datang bersama Vira dan Jessica dengan undangan yang diberikan Nindi tiga hari sebelumnya.
“Eh, si artis itu kan???” bisik Risti saat melihat seorang artis cantik dengan gaun berwarna hitam dengan belahan dada yang rendah melenggang di hadapan mereka.
“Iya, dia kan brand ambasadornya.” Vira yang menjawab sambil mengedarkan mata ke sekeliling ballroom, mencari meja dengan nama mereka.
Seorang pelayan berseragam menghampiri, Vira memberikan undangannya agar pelayan itu bisa menemukan meja dengan nama mereka.
“Hai! Akhirnya kalian datang!” sapa Nindi
“Wow.” Risti berdesis kikuk saat Nindi sudah berdiri di depan meja mereka. Bustier dress berwarna merah muda menyala milik Nindi jelas mengundang banyak mata untuk mendelik. Gaun off shoulder i
“Anggap ini kebaikan terakhir darinya.” Suara itu terdengar begitu dingin. “Pergi sejauh mungkin, jangan pernah kembali, dan anggap kakakmu sudah mati.”Dinda menelan ludah susah payah.“APA-APAAN ITU?! KENAPA IBU HARUS ANGGAP DANDY MATI?! DIA MASIH HIDUP DAN SEKARANG SEDANG MERAUP KESUKSESANNYA!” Laksmi berteriak kesal saat mendengar suara di ponsel putrinya. Siapa juga yang berani memintanya untuk pergi meninggalkan gunungan emas yang ada di pelupuk mata?“Bu!” Dinda membentak Ibunya yang sudah menggunakan gaun pesta yang begitu indah, siap menghadiri acara ulang tahun perusahaan putranya. Sejak mendapatkan undangan dari Dandy, Laksmi selalu memamerkannya kepada semua orang. Ia sudah tidak sabar untuk menghadiri acara itu sebagai salah satu tamu kehormatan sebagai ibu dari pembisnis yang handal.Akhirnya, semua kepayahan setelah mengurus dua anak yang tidak benar-benar ia harapkan kini me
Tak tok.Suara hak sepatu Bianca menghentikan gema tepuk tangan itu. Ia berjalan tertatih dengan tongkat siku di tangannya, sambil menyeret samurai milik Damian. Melihatnya saja sudah membuat semua mata di tempat itu terbelalak dan mengkerut ketakutan.Bianca dan Damian saling bersitatap, sepasang ayah dan anak itu membuat suasana ballroom terasa sangat pekat oleh intimidasi keberadaan mereka berdua.Jeremy menatap waspada, begitu pun dengan orang-orangnya yang sudah tersebar di sekeliling ballroom hotel. Di pintu masuk, Indra berdiri tegap. Matanya menatap punggung Bianca dengan awas, lalu mengintai gerakan Dandy dan orang-orang Damian sambil menggenggam erat pistol yang tersembunyi di balik saku jasnya. Melihat kedatangan Bianca, Leslie langsung melompat menuruni panggung, membawakan mikrofon untuk wanita itu.Bianca menghentikan langkah di tengah ballroom, tempat yang membuat semua orang bisa melihatnya dengan sempurna. Ia melepaskan tong
“Tante.” “Ya? Ada apa, Bi?” tanya Clara saat gadis itu hanya terdiam. Bianca tersenyum dan menggeleng. “Aku Cuma lagi khawatir, gimana kalau hasil akhirnya nggak sesuai dengan apa yang kita rencanain.” “Jangan terlalu khawatir. Kita bisa pikirkan itu nanti. Yang penting sekarang adalah keselamatan kamu dan Sheila. Itu yang terpenting.” Di bawah sinar rembulan, Bianca menatap lekat mata wanita di hadapannya. “Tapi, gimana kalau ternyata, aku memang nggak mampu mempimpin?” “Bi, tadi kamu lihat sendiri gimana antusiasnya direksi yang lain dengan rencana kerjamu. Kamu pasti bisa.” Itu kata-kata yang sangat positif, tapi tetap tidak bisa mengenyahkan rasa risau yang selama ini terpendam di dalam dada Bianca. “Tapi skenario terburuknya….” Kata-kata Bianca terpotong sengatan nyeri di dadanya. Bagaimana jika keangkuhannya untuk merebut perus
Damian menatap putrinya dengan penuh amarah, seakan ia adalah musuh yang harus segera dibinasakan. “Jahat, bukan?” tanya Bianca. “Tapi harus kuakui cukup cerdas.” Bianca mendengus. “Dia pasti benar-benar ketakutan kalau Ayah akan punya anak dari perempuan lain lagi.” “Diam, Bianca.” ancam Damian marah. Namun itu sama sekali tidak menghentikan Bianca. “Jangan-jangan Ayah sama sekali nggak sadar, kalau anak terakhir Ayah adalah anak dari dokter Dewi? Sisanya, anak jadi-jadian dari sembarang laki-laki,” jelas Bianca dengan senyuman sinis. Kedua tangan Damian terkepal erat, napasnya memburu dalam amarah. Andai petugas KPK itu tidak ada dihadapannya, ia pasti sudah mencekik leher putrinya sendiri dan memaksanya berhenti bicara omong kosong saat itu juga. “Ayo kita lanjutkan di kantor polisi.” Damian menoleh kepada Haris yang langsung menyadari kode itu dan segera berlari mendekat. “Urus semuanya selama saya tidak ada. Pastikan kamu
“Harus saya akui betapa beraninya kamu malam ini.” Sahara sudah berdiri di samping Bianca dengan senyum terkulum simpul. Sebagai seorang pebisnis, mungkin malam ini ia akan sedikit merugi, tapi sebagai seorang wanita, entah mengapa ia menemukan sedikit kepuasan dari apa yang sudah Bianca lakukan. “Kalau saya jadi kamu, mungkin saya akan bertindak lebih impulsif, saya pasti sudah menggantung dua mayat di depan rumah saya sejak awal.”Bibir Bianca melengkung tipis. Itu juga yang selama ini ingin ia lakukan, tapi mati-matian ditahannya.“Tapi ini belum selesai,” gumam Bianca, sambil terus menatap malam dari balik jendela hotel yang megah.Sahara mengangguk setuju. Penjara bagi seorang Damian hanyalah sebuah hukuman kecil untuk anak nakal yang takkan membuatnya jera sama sekali. Itu pula alasan yang membuat Sahara bungkam selama ini.“But, you really did a great job tonight,” puji Sahara sungguh-sungguh
“Aku baik-baik aja, Kak.”“BERHENTI BILANG BAIK-BAIK AJA, BIANCA!” bentak Indra kesal. Ia menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi kemudi, lalu menyisir kasar legam rambutnya dengan jemari. “F*CK!” makinya kepada dirinya sendiri.Indra begitu marah. Harusnya ia tidak pernah meninggalkan Bianca sendirian. Berani-beraninya perempuan gila itu melukai Bianca di depan matanya sendiri.Tadi, setelah polisi menggiring Nindi yang masih memberontak histeris ke dalam mobil polisi, Bianca harus berusaha keras untuk menahan Indra agar tidak mengoyak Nindi dengan tangannya sendiri.Dan sekarang, setelah ia bersikeras untuk membawa Bianca kembali ke rumah sakit hanya karena luka yang kembali terbuka, Bianca kembali menghentikannya, dan bersikeras hanya memerlukan beberapa plester luka yang baru.Indra menepikan mobilnya di jalanan yang sepi, lalu mengambil kotak P3K yang selalu ada di mobilnya, dan mulai mengoba
We all feel pain beneath the surfaceIf we're not the same, then why are we all hurting?I don't know what it's like to be fighting for my lifeBut if you do, I'll be fighting tooWhen you're feeling weak I'll be the words if you can't speakAnd if you lose, I'll be losing tooAnd I can't lose youI Can’t Lose You – Isac Danielson***“Siapkan jalur evakuasi, ledakan dari lantai 19.”Suara alarm kebakaran berbunyi nyaring, diikuti oleh derap langkah kaki panik orang-orang yang mendengar suara ledakan itu. Beberapa petugas keamanan apartment langsung bersiaga membuka jalur evakuasi melalui tangga darurat saat lift dimatikan secara otomatis.Bianca berdiri di depan jalur evakuasi di lantai 3. Ia melirik jam yang melingkari tangannya, lalu memeriksa pistol yang diam-diam ia ambil dari dalam mobil pria itu, dan kini tersimpan
Malam itu, rintik gerimis turun perlahan. Tidak deras, tapi tetap membuat udara malam yang dingin semakin menggigit. Dua orang wanita duduk berhadapan di sebuah meja restoran yang cukup ramai. Ketika orang-orang memilih area dalam restoran yang hangat, keduanya justru duduk di bagian luar restoran, membuat tangin yang membawa tetesan air hujan sesekali menyentuh wajah mereka. Beberapa orang yang melihat keduanya berdecak kagum. Bagaimana tidak jika malam ini mereka sangat beruntung karena bisa melihat model yang tengah naik daun dan seorang pebisnis yang juga tengah berada di puncak kejayaannya. Claire dan Clara, dua putri dengan wajah serupa yang cantik. “Aku minta maaf,” bisik Clara, memecah keheningan malam itu. Claire tidak menjawab. Matanya menatap cangkir kopi yang kehilangan kepulan uapnya sejak beberapa saat yang lalu. Lagi-lagi hembusan dingin angin malam menerpa