Bab 4. Sepasang Durjana Berbuat Mesum di Areal Parkir
*****
Notifikasi di ponselku memberitahu kalau ada pesan masuk. Kuraih benda itu dari dalam tas sandang dengan tangan kiri. Rani rupanya. Sahabatku yang telah kukontak dari semalam agar bersiap-siap pagi ini. Sepertinya dia sudah mulai bosan menunggu.
Kutambah kecepatan mobil menuju rumahnya.
“Yuk!” kataku setelah menepi di depan rumahnya. Gadis itu sudah berdiri di teras.
“Mala! Cepat! Melur sudah datang!” teriaknya.
Bah, dia ngajak Mala segala. Bakal rame, nih dunia persilatan.
Kedua sohib kentalku sejak SMA itu berjalan menuju mobil. Keduanya lalu masuk di jok belakang.
“Hoy, enak lu berdua, nyuruh perempuan baru melahirkan yang nyetir!” teriakku.
“Kamu belum pede, ya. Tadi kemari bisa.” Keduanya tertawa renyah.
“Maju satu orang, sini! Setirin!”
Mala keluar, lalu masuk ke jok depan. Mobil mulai berjalan.
“Jadi, di mana kamu lihat suamiku kemarin sore?” tanyaku menoleh ke belakang.
Rani mengeluarkan ponsel dari saku celana panjangnya. “Nih! Lihat sendiri!” katanya menyodorkan benda pipih itu ke padaku.
“Ck! Lelaki durjana! Ngapain dia jualan pupuk di hotel, coba?” tanyaku dengan dada berdebar.
“Jangan berprasangka buruk dulu! Kali aja dia memang nemui pelanggan di situ?” sahut Mala.
“Pelanggan apaan? Di hotel lho, ini!” ketusku semakin tegang.
“Tenang, Mel. Kita belum tahu yang sebenarnya, kan? Kamu sabar, dong! Jadi nyesel gue ngasih tahu elu,” kata Rani menarik kembali ponselnya dari tanganku.
“Ya, baik! Aku tenang, aku sabar,” ketusku.
“Kamu udah janji dari kemarin, kalau kamu akan kuat. Makanya aku mau membantumu mencari dia sekarang. Tapi, kalau kamu emosi kek gini, kita batalin aja, deh! Nanti kamu pendarahan lagi,” gerutu Rani.
“Ok, aku sabar, aku kuat, aku enggak akan emosi,” sahutku lebih tegas.
“Lagian, ya. Kita juga belum tahu pasti dia ngapain di hotel itu. Toh, dia juga sendiri. Kamu langsung curiga aja!” kata Mala melirikku.
“Baik, sekarang kita ke mana, ni? Andaipun dia kemarin tidur di hotel itu, pasti sekarang dia sudah cabut, dong?” tanyaku ragu.
“Gampang, enggak usah khawatir. Kamu ikut aja, pokoknya. Ok?” Rani menepuk pundakku.
Setengah jam kemudian mobil sudah memasuki halaman Hotel yang kami tuju. Seorang satpam memandu menuju tempat parkir.
“Ngapain masuk parkir? Entar dikira kita masuk ke dalam hotel lagi?” protesku.
“Tenang! Kenapa sejak kamu menjadi emak-emak, kamu menjadi cerewet gitu, sih!” sungut Mala mulai mengatur posisi mobil.
“Sudah, sekarang ayo kelilingi parkiran ini, periksa mobil suamimu? Kamu hapal platnya, kan?”
“Hapallah, ada-ada aja! Tapi untuk apa? Kita ke sini nyari orangnya, bukan nyari mobilnya, sungutku sedikit geram.
“Nih emak-emak, ya! Otaknya udah gak jalan kayaknya pasca melahirkan! Kalau mobilnya ada berarti orangnya juga ada, begitu Mak!” teriak Rani di telingaku.
“Ok, baik!” sahutku mengikuti saran jitunya.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling, lama aku mencari mobil milik Mas Gilang. Banyak yang sama, tapi platnya tidak ada yang seperti plat mobil suamiku. Mala dan Rani juga ikut mencari. Kami bertiga akhirnya berpencar. Pelataran parkir hotel itu sangat luas, juga padat kendaraan yang terparkir. Mungkin karena hari libur, banyak orang yang menghabiskan waktu di hotel. Tapi, ngapain mereka liburan di hotel, ya? Cari hiburan di hotel? Ah, sudahlah! Ngapain aku memikirkan mereka.
Kaki sudah mulai letih berjalan kesana-kemari. Sebaiknya aku kembali saja ke mobil. Sepertinya karena selama sebulan ini sudah jarang bergerak, membuat kakiku gampang letih dan pegal.
Aku hendak berbalik, ketika tiba-tiba mataku menangkap sepasang kekasih berjalan sambil berpelukan keluar dari pintu hotel menuju parkiran. Sepertinya aku mengenal postur tubuh keduanya.
Segera aku merunduk, bersembunyi di belakang salah satu mobil yang terparkir. Mereka berjalan kian mendekat. Aku terpaksa mundur ke belakang. Aku belum berani menampakkan diri, karena belum jelas wajah mereka berdua.
Aku merunduk di belakang bagasi mobil. Astaga! Bukankah ini mobil Mas Gilang? Kubaca nomor plat yang terpasang di bagian belakang. Ya Allah, berarti dia betul-betul nginap di hotel ini. Ngapain, coba? Bukankah kalau pulang ke rumah juga cuma berjarak setengah jam perjalanan? Kan lebih enak tidur dan istirahat di rumah? Dari pada harus membayar mahal sewa hotel seperti ini?
Dua orang tadi semakin dekat, kini mereka berada persis di depan mobil tempatku bersembunyi.
“Mas, jadi kapan dong?”
Kudengar suara si perempuan bertanya dengan suara manja dan mendesah-desah. Aku seperti ingat suara itu. Itu mirip suara Harum. Kalau itu benar Harum, berarti yang laki-laki itu siapa? Mas Gilang? Mereka masih bertemu? Katanya Harum pulang kampung karena mulai dipingit, sebab akan dilamar. Mereka rupanya telah membohongiku. Hebat!
“Sabar, Sayang! Belum lagi selapan. Kasihan Melur, masa Mas harus menjatuhkan talak kepada perempuan yang masih berdarah.”
Kudengar suara si laki-laki. Itu suara mas Gilang. Dia bilang mau menjatuhkan talak? Belum selapan? Oh, jadi mereka sedang membicarakan aku rupanya? Mas Gilang mau mentalak aku, tapi menunggu selapan. Laki-laki berengsek! Bukankah aku yang meminta ditalak tepat setelah aku melahirkan? Kenapa sekarang beralasan kasihan padaku.
“Jadi kapan, dong? Aku sudah bosan main belakang terus kek gini. Dulu sih enak. Tiap malam bisa ketemu. Mas Gilang selalu ke kamarku dengan alasan masih sibuk di toko. Kita bisa kelonan sampai tengah malam. Tapi, sekarang cuma seminggu sekali, itupun sembunyi-sembunyi,” kata Harum semakin merengek.
Oh, jadi dulu di rumahku, mereka setiap malam kelonan? Alasan Mas Gilang di toko atau di ruang kerja, padahal di kamar pembantu?
“Iya, mas ngerti. Sebentar lagi, ya, Sayang! Akan mas pikirkan cara untuk menyingkirkan Melur secara cantik. Udah, ya, mas antar kamu ke terminal! Kamu langsung pulang naik bus! Yuk, masuk mobil!” kata Mas Gilang membelai kepala Harum.
“Gendong ….” Perempuan itu merebahkan tubuhnya di dada suamiku.
“Ok, belum puas rupanya, ya? Padahal sudah berapa kali ronde dari kemarin siang sampai ini sudah mau siang lagi,” Mas Gilang memegang dagu perempun itu dengan dua tangan. Harum mendongah, di depan mataku, apa yang mau mereka lakukan?
“Mas Gilang! Aaah …!” desah Harum mulai menggila.
Astaga! Kuatlah Mel! Jangan pingsan lagi! Melur, tolong jangan pingsan!
Kuhipnotis diriku sendiri, agar tetap kuat. Meski sakit luar biasa di sini, di dada ini. Mas Gilang begitu menikmati bibir harum. Suamiku berciuman di depanku. Tanga kanan memeluk pinggang gadis itu. Tangan kirinya menahan kepala Harum agar mulut wanita itu tetap melekat di mulutnya.
Perlahan tangan kanan Mas Gilang turun ke bawah, berhenti di bokong Harum. Tangan kekar yang selama ini kukira hanya menyentuhku, kini meremas bokong besar Harum.
*****
Bab 150. Ekstra Part 5 (Pernikahan Mala Dan Diky)"Ayo, dong, dandan! Pak Penghulunya bentar lagi datang, lho!" Mas Diky mengalungkan tangannya di leherku."Mas Diky, ngapain masuk kamar, coba! Gimana aku mau dandan kalau dipeluk terus begini? Juru riasnya malah diusir keluar," protesku melonggarkan pelukannya."Aku takut, Sayang. Makanya, aku mau menjagamu dua puluh empat jam.""Takut apa?""Takut, kalau kau berubah pikiran. Karena, aku sangat paham, kau belum juga bisa menerima aku di hatimu.""Ya, enggak mungkinlah aku berubah pikiran. Secara, para tamu undangan udah pada datang, Pak Penghulu udah dalam perjalanan, masa iya, aku berubah pikiran."Wajahnya terlihat mendung, sorot mata itu kini sayu.
Bab 149. Balasan Kejam Buat sang Durjana ( Ekstra Part Akhir) VOP Fika Aku memang sudah berumur. Sudah hampir kepala empat. Hingga detik ini tak juga menikah, karena memang tak mau menikah Keputusanku tak mau menikah bukan karena apa-apa. Rasa kecewa karena pernah bertepuk sebelah tangan, membuatku tak mau membuka pintu hati pada siapa pun lagi. lebih baik hidup sendiri dari pada kecewa lagi. Fajar, pemuda yang telah mencuri hatiku. Sayang, dia tidak ada rasa sedikitpun untuk menerima kehadiranku. Cintaku tak berbalas. Cinta bertepuk sebelah tangan. Tetapi, aku tidak pernah membencinya. Saat dia memilih wanita lain sebagai pendamping hidupnya, aku turut berbahagia. Meski sakit, aku harus tetap waras. Fajar tidak bersalah. Wanita pilihannya juga tidak salah. Yang bersalah itu adalah aku.&nbs
Bab 148. Ekstra Part 4 VOP Gilang "Selamat menghirup udara bebas! Selamat datang kembali di dunia yang penuh sandiwara ini!" Aku terperangah. Seorang wanita tinggi semampai berkacamata hitam, menegurku. Aku tidak dapat mengenalinya. Lama kupindai wajah dan penampilannya. Rambut sebahu hitam legam, badan padat berisi, dan suara yang tegas penuh wibawa. "Selamat menjalani babak kedua dalam hidupmu?" ucapnya lagi. Jemari dengan berkutek merah terang itu memegang bingkai kacamata, lalu menanggalkannya perlahan. "Fika ...!" gumamku terkejut. Pengacara wanita yang telah membuat sang Hakim mengetuk palu, memutuskan hukuman penjara buatku. "Enggak ada yang jemput, ya? Kasihan banget kamu. Mana keluargamu?" Aku hanya m
Bab 147. Ekstra Part 3 “Oh, iya, sabar, ya, Bu. Sebentar saja, kok! Enggak lama. Mereka pelanggan tetap saya. Harus ekstra pelayanannya. Memang Ibu yang duduk duluan di sini, tapi, mereka yang memesan duluan.” Penjual es itu, tak menghiraukanku. “Saya duluan! Saya dari tadi di sini! Mentang-mentang mereka orang kaya, saya orang miskin, saya enggak dilayani, begitu? Saya bisa obrak abrik warung jelekmu ini tau?” teriakku mulai emosi. “Lho dari tadi ibu enggak minta, mereka pesan, baru ibu minta, sabar, dong!” Penjual es tak juga memenuhi permintaanku. “Pokoknya layani saya dulu! Saya sudah tidak sabar! Biar jadi pelajaran buatmu! Jangan pilih kasih sama pembeli, ya!” “Ya, sudah, ibu ambil yang sudah dibungkus itu, dulu, enggak apa-apa, saya akan ganti nanti buat mereka, tanggung ini, dua bungkus lagi!” “Saya e
Bab 146. Ekstra Part 2 Secara rutin aku memeriksakan diri ke dokter. Namun penyakitku tak juga kunjung sembuh. Awalnya tak menunjukkan gejala apa-apa. Tetapi setelah beberapa tahun kemudia, infeksi itu sudar menyerang bagian dalam tubuh. Mulai dari uterus, bahkan alat kelamin itu sendiri. Melihat kondisiku, tak ada lagi lelaki hidung belang yang mau menggunakan jasaku. Mereka merasa jijik dan takut tertular. Padahal aku tak pernah mengatakan tentang penyakitku. Aku hanya deman biasa, begitu alasanku. Tapi, melihat kodisi tubuhku yang kian kurus tinggal tulang, juga lemah tak bertenaga, mereka semakin curiga. Bokong dan dada besarku yang sangat terkenal di kalangan lelaki durjana itu, mulai menipis. Hilang sudah andalanku dalam menjerat mangsa. Aku menganggur. Makan tidur menjadi tanggunagn Bang Jordan. Dia mulai marah karena mengaggap aku tak lagi meguntungka
Bab 145.Ekstra Part 1 VOP Harum Kehancuran Kak Melur adalah target utamaku. Dia yang telah membawaku ke kota ini, semua masalah ini timbul karena dia, Aku dan keluargaku terusir dari kampung, juga karena dia telah menghasut orang kampung. Sekarang, Mas Yanto meninggal, Ibu di penjara, dan aku terlunta-lunta dengan penyakit di tubuhku. Ke mana aku akan bernaung sekarang? Setelah kucoba mengemis kepadanya, dia malah mengusirku dengan kasar. Harusnya dia bertanggung jawab dan menampungku. Sekarang, ke mana aku akan melangkah? Uang yang di berinya waktu itu hanya cukup biaya makan seminggu. Untung tempat tinggal aku enggak perlu bayar. Bekas toko ini bisa kugunakan untuk tempat bernaung. Tapi untuk makan besok, aku uang dari mana? Sebuah Mobil berhenti di depan toko. Gegas aku keluar melihatnya. Itu Bang Jordan, teman Mas Gilang sekaligus tempat
Bab 144. Cinta Pertama Dan Selamanya (Tamat) Itu Kak Bulan. Dia merekam video ini untukku? Kak Bulan tengah duduk di samping sebuah ranjang pasien. Sepertinya seseorang sedang berbaring di ranjang itu. Entah siapa, wajahnya tidak muncul di rekaman. “Maaf, ya, Mel. Sepertinya kamu sudah duluan lihat fhoto-fhoto itu baru buka plasdisc ini. Iya, kan? Pasti kamu sedang marah, emosi, kecewa dan mungkin kamu juga udah ngusir Reno. Aku enggak tahu persis apa yang terjadi di situ. Aku hanya berusaha memberi yang terbaik buatmu, adikku. Selama ini kami sekeluarga telah membuat hidupmu hancur. Untuk terakhir kalinya aku berusah setidaknya bisa menyelamatkan pernikahan yang baru saja kau mulai. Isi Plasdisc ini aslinya bukan ini, Mel. Sengaja kuhapus, dan kuganti dengan yang ini. Tapi, foto-foto itu enggak bisa kuganti, karena dia yang memesan karangan bunga itu. Kau tahu siapa? Ha
Bab 143. Kejutan Di Malam Pertama Pertama“Terima kasih sudah menjadi istriku, Mel! Aku sangat mencintaimu! I Love you, Sayang!” bisiknya lembut di telinga.“Kau juga tampan sekali, Mas, aku bangga dan sangat bersyukur bisa memilikimu. I love you, too,” balasku mengerjapkan mata.“Terima kasih.” Mas Reno tersenyum lagi. “Sekarang, ya?” tanyanya memohon izin.Aku tak menjawab, karena memang dia pun tak menunggu jawaban dariku. Mulutku tak lagi bisa berucap. Bibir kenyal mas Reno telah melumatnya. Awalnya begitu lembut, namun sesaat kemudian berubah kasar. Mas Reno melumatnya dengan begitu rakus.Aku membalas setiap lumatannya. Makin terhanyut saat lidahnya menerobos masuk ke dalam mulutku. Mas Reno menjelejah setiap inci rongga mulutku. Memeprmainakn lidahku de
Bab 142. Pernikahan Kedua Dan TerakhirkuKupaksa otakku berfikir keras. Mencoba membongkar memori ingatan, namun, tetap tak kutemukan. Tunggu, suaranya? Suaranya, sepertinya juga tidak asing. Sepertinya aku sering mendengarnya, tapi siapa? Apakah karena tertutup masker, sehingga suaranya agak susak kukenali. Rasa penasaram mengaduk hati, ok, aku akan cari tahu dari si pengirim karangan bunga itu.Aku bangkit perlahan, menuju sudut ranjang. Baru saja tanganku hendak meraih kertas kecil yang terselip di karang bunga yang lumayan cantik itu, seseorang memanggilku untuk segera keluar.“Mel! Ayo, rombongan mempelai pria akan segera tiba. Akad nikah akan segera dimulai.”Mala dan Rani berdiri di ambang pintu kamar. Keduanya berkebaya dengan warna dan model yang sama, rambut mereka berdua digelung rapi, wajah di make up cantik.