Bab 3. Awal Penyelidikan
*****
Kenapa Mas Gilang terlihat semakin gugup. Siapa lelaki kaya dari kota yang ingin melamar Harum? Sandiwara apa ini? Apakah memang selama dua bulan ini Harum telah menjalin asmara dengan seseorangn tanpa sepengetahuanku? Kalau iya, kenapa dia masih mau tidur dengan suamiku?
“Kalian sudah punya momongan, ibu harap kalian semakin bahagia. Memang ibu tidak pernah mendengar kalian itu ribut, apalagi sampai berantam atau ngancam mau pisah. Ibu berharap agar kalian mempertahankan keadaan ini. Sudah ada anak. Anak itu adalah prioritas nomor satu. Kesampingkan ego! Kalian mengerti?” Ibu menasehati. Andai dia tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.
“Mengerti Bu, Saya akan tetap mencintai Melur dengan segenap hati saya. Dia sudah menghadiahi saya anak yang sangat cantik. Papa dan Mama pasti sangat bangga dikasih cucu perempuan. Anak Kak Bulan dua-duanya laki-laki. Tadi saat saya telpon, Mama sampai nangis karena terharu.”
“Syukurlah kalau mertuamu juga sangat bahagia, Mel. Kau pasti tambah disayang.”
Ibu memeluk dan mengelus kepalaku dengan lembut. Dia tidak tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya. Bagaimana hancurnya hatiku karena suami yang aku banggakan ini ternyata seorang durjana. Dia bisa tidur dengan perempuan lain, di rumahku. Mereka berzina di sampingku. Desahan dan rintihan kenikmatan yang mereka rasakan bahkan terdengar oleh telingaku.
Entah berapa lama sudah mereka menjalin hubungan terlarang itu. Entah berapa kali sudah mereka melakukannya. Mungkin tiap malam. Apa lagi bila kuingat Harum yang masih sangat muda. Suamiku pasti sangat menikmatinya. Pasti dia sanggup setiap malam melakukannya. Harum juga sepertinya sangat menginginkannya. Buktinya tidak sekalipun dia mengisyaratkan kalau dia tidak betah bekerja di rumahku. Dia terlihat semakin bergairah melaksanakan tugas-tugasnya sebagai pembantu.
Benarkah yang dikatakan Mas Gilang, kalau sebenarnya Harumlah yang selalu memancing dan menggodanya? Artinya dia yang menginginkannya. Benarkah tidak ada maksud tersembunyi perempuan yang telah kuaggap seperti adikku itu? Murni hanya karena napsu belakakah? Apakah benar dia mau pergi begitu saja dari rumahku setelah suamiku berkali-kali menyetubuhinya? Benarkah dia pergi karena bakal ada yang datang melamarnya? Orang kaya dari kota? Siapa? Kenapa perasaanku semakin tidak enak.
Apa yang harus aku lakukan? Semula aku ingin segera minta ditalak, tapi sekarang, aku mulai bingung. Oh, aku tidak boleh berpikir keras dulu. Aku masih sangat lemah. Kalau aku memaksakan diri, aku takut terjadi pendarahan. Biarlah begini saja dulu. Tunggu sampai aku lebih kuat, akan kuselidiki semuanya. Aku tidak akan percaya begitu saja.
Tiba-tiba ponsel Mas Gilang berbunyi. Dia terlihat gugup setelah melihat si penelepon.
“Siapa? Orang tuamu? Udah sampai mana?” tanya Ibu menatapnya.
“Papa dan mama sudah hampir sampai, Bu. Ini telpon dari teman. Saya permisi keluar sebentar,” sahutnya semakin gugup.
Sempat dia menatapku seperti minta ijin. Salahkah jika naluriku mengatakan dia tengah menyembunyikan sesuatu? Sorot matanya seolah bercerita, meski mulutnya berkata dusta.
*
“Assalamualaikum, Melur … selamat ya, Sayang!” sapa mertua yang telah tiba di ruang perawatanku. Keduanya bergantian menyalam dan mengusap kepalaku.
“Terimakasih, kau telah mengabulkan harapan dan mimpi kami. Cucu perempuan,” ibu mertua tiada henti tersenyum.
“Selamat ya, Bu! Kita sudah jadi nenek.” Ibuku langsung menyalam dan memeluk besannya.
“Saya, sih sudah dari dulu jadi nenek, tapi baru kali ini merasa sempurna. Melur memang menantu yang baik.” Kedua nenek –nenek itu cipika cipiki bahagia.
Mereka tidak tahu kalau tawa mereka akan berubah menjadi kesedihan sebentar lagi. Tidak sekarang, tapi pasti akan datang.
“Saya mau lihat cucu kita, boleh enggak, ya?” tanya ibu mertuaku.
“Belum boleh, Bu. Nanti pukul sepuluh katanya.”
“Duh, rasanya tidak sabar mau lihat, temani kami ke ruang bayi, yuk!”
“Jangan! Kita tidak boleh sembarangan ke sana!”
“Mau ngintip aja dari luar, ayolah!” rengeknya lagi.
Ibuku terpaksa mengantar keduanya ke ruang bayi, setelah Mas Gilang kembali masuk ke dalam kamar.
“Kau lihat, Mas. Orang tuamu begitu bahagia dengan kelahiran putriku,” ketusku setelah suasana kembali sepi.
“Putri kita, Mel,” ucapnya mendekati ranjang, lalu duduk di kursi tepat di sebelah kepalaku.
“Sepertinya sebentar lagi akan ada prahara besar di keluargamu, Mas.”
“Maksudmu?”
“Yah, aku tidak akan pernah melepaskan anakku. Bisa saja orang tuamu akan menangis darah karena hal itu,” tandasku.
“Aku tidak mengerti ucapanmu, Sayang? Apa maksudmu?” Dia mencoba menggengam tanganku. Namun segera kutepis dengan kasar.
“Naluri seorang istri tidak bisa dibohongi. Aku mencium sesuatu yang begitu busuk kau sembunyikan.”
“Mel … kenapa kau berprasangka buruk terus?”
“Kita lihat saja nanti!”
**
Sudah sebulan genap usia bayiku. Kedua mertuaku tetap bertahan tinggal di rumah kami. Mereka belum mau kembali ke rumahnya sendiri. Sebenarnya aku sudah mulai bosan dengan keberadaan mereka. Karena hal itu membuatku tidak bebas bersikap kepada putranya. Sedang ibuku yang mengelola warung kelontong di depan rumahnya di kampung, hanya empat hari menemaniku.
Aku harus selalu bersikap manis, sopan, perhatian pada lelaki pengkhianat itu. Padahal aku sudah sangat muak padanya. Merasa ada pembela, dia malah semakin bertingkah kulihat. Sekarang tokonya lebih sering ditiggal-tinggal. Dengan alasan menjumpai pelanggan, memantau toko cabang dan sebagainya. Bahkan dalam sebulan ini sudah empat kali dia tidak tidur di rumah. Toko diserahkannya pada papanya untuk mengawasi.
Aku tidak hendak menanyakan ke mana dan kenapa. Hari ini aku putuskan akan mencari tahu segalanya.
“Pagi-pagi udah cantik, mau ke mana, Mel?” tanya ibu mertuaku
Kami berpapasan di dekat kamar Chika putriku. Matanya menatap lekat penampilanku.
“Mau ke luar, Ma. Ada urusan penting,” sahutku melanjutkan langkah.
“Lho, kamu belum selapan. Belum boleh ke luar rumah. Pamali!” protesnya membalikkan badan lalu mengikutiku.
“Jaman sekarang, mana ada pamali-pamali, Ma. Yang penting sudah sehat.” Kuraih kunci mobil dan tas sandang yang tadi sempat kuletak di atas meja di ruang tv.
“Kamu, mau nyetir sendiri?”
“Iya, Ma.”
“Sebaiknya jangan dulu! Kenapa enggak bareng Gilang, sih? Ke mana anak ini? Belum bangun, ya?”
“Mas Gilang enggak pulang tadi malam,” sahutku datar tetap melanjutkan langkah menuju garasi.
“Mungkin meninjau toko pupuk yang di cabang, Mel. Kamu jangan berprasangka buruk!” Wanita paruh baya itu tetap menjejeri langkahku.
“Saya enggak bilang apa-apa, kan, Ma?” ucapku tetap lembut, meski sedikit dingin.
“Iya, sih. Tapi Mama khawatir, kalau kamu mencurigai suamimu.”
Aku tersenyum. Membuka pintu mobil, lalu memanaskan mesinnya sebentar.
“Titip Chika, ya, Ma. Udah saya pesanin sih, sama Bik Ina. Tapi, tolong Mama kontrol juga. Saya pergi,” pamitku.
Bik Ina adalah pembantu baru kami. Aku meminta temanku Rani yang mencarikannya. Sengaja kusuruh cari yang sudah berumur. Aku khawatir kejadian sama Harum terulang lagi.
Wanita itu tampak menghela nafas, lalu kembali masuk kedalam rumah setelah mobilku berlalu.
*****
Bab 4. Sepasang Durjana Berbuat Mesum di Areal Parkir*****Notifikasi di ponselku memberitahu kalau ada pesan masuk. Kuraih benda itu dari dalam tas sandang dengan tangan kiri. Rani rupanya. Sahabatku yang telah kukontak dari semalam agar bersiap-siap pagi ini. Sepertinya dia sudah mulai bosan menunggu.Kutambah kecepatan mobil menuju rumahnya.“Yuk!” kataku setelah menepi di depan rumahnya. Gadis itu sudah berdiri di teras.“Mala! Cepat! Melur sudah datang!” teriaknya.Bah, dia ngajak Mala segala. Bakal rame, nih dunia persilatan.Kedua sohib kentalku sejak SMA itu berjalan menuju mobil. Keduanya lalu masuk di jok belakang.“Hoy, enak lu berdua, nyuruh perempuan baru melahirkan yang nyetir!” teriakku.“Kamu belum pede, ya. Tadi kemari bisa.” Keduanya terta
Bab 5. Harum Sang Pelakor****Perlahan tangan kanan Mas Gilang turun ke bawah, menyusuri tubuh Harum lalu berhenti tepat di bokong gadis belia itu. Tangan kekar yang selama ini kukira hanya menyentuhku, kini meremas bokong besar Harum.Kudengar perempuan itu meleguh. Mas Gilang melepas mulutnya. Kukira permaian mereka akan berakhir. Tetapi aku salah. Harum malah mengalungkan tangannya di leher suamiku.Mas Gilang kini menciumi leher wanita itu. Makin lama makin turun, dan berhenti di bagian dada.“Mas Gilang, Sayang …. Aaach, gak jadi pulang kalau begini,” racau Harum merekas rambut suamiku.Tak ingin menodai mataku lebih lama lagi, aku mendekat dengan perlahan, saat keduanya makin larut dalam napsu setan.“Mas, pulang, yuk!” ucapku dengan sangat lembut.Mereka tersentak, spon
Bab 6. Ternyata Suamiku Lebih Mencintai Harum****“Harusnya Kakak sadar, bukan malah ngata-ngatin aku. Aku perempuan sempurna di mata Mas Sigit. Kakak itu apa? Lihat wajah Kakak! Lihat tubuh Kakak! Kakak itu enggak ada cantik-cantiknya. Tubuh kakak juga gak ada seksi-seksinya. Laki-laki tampan dan tajir seperti Mas Gilang layak mendapatkan perempuan yang istimewa. Bukan perempuan macam Kakak! Sebelum Mas Gilang mentalak Kakak, seharusnya Kakak mundur! Akan lebih terhormat kalau Kakak yang minta pisah, dari pada di talak!”“Terima kasih atas semua saranmu, adikku. Terima kasih banyak, ya!” ucapku lemah lembut. Pandanganku gelap. Kesadarnku telah hilang.“Cukup, Mel! Sadar! Mel! Istiqfar, Mel!” teriak Rani dan Mala bersamaan.Entah sejak kapan mereka berdua ada di dekat kami. Sepertinya suara teriakan Harum memancing pe
Bab 7. Talak Aku Atau Kubongkar Aibmu*****Segera aku meloloskan diri dari gendongan Mas Gilang. Aku berdiri kuat, kupaksa hati dan pikiran untuk fokus. Aku tidak boleh terlihat lemah.“Lho, Mel? Kamu enggak apa-apa?” tanya mama mertuaku heran.“Tidak, Ma. Saya baik-baik saja. Tadi, pusing dikit,” sergahku melangkah perlahan menuju kamar Chika.“Chika baik-baik saja. Sebaiknya kamu membersihkan diri dulu, makan, lalu istirahat. Kamu belum pulih benar, Mel. Masih sebulan pasca melahirkan, itu masih rentan.”“Iya, Ma. Saya cuma mau melihat sebentar saja. Saya kangen,” sahutku melanjutkan langkah.Mas Gilang langsung menuju kamar, sama sekali tidak ada niatnya untuk melihat keadaan putrinya. Betul-betul hatinya sudah dibutakan napsu dan cinta Harum.“Ku
Bab 8. Kesepakatan Di Atas Materai*****“Kau serius melakukan ini semua, Mel?”“Ya, Sebetulnya aku mau pisah denganmu tanpa persyaratan ini semua. Tapi, orang tua dan keluarga besarmu, bagaimana?”“OK, akan aku pikirkan. Semoga Harum bisa menerimanya. Dia sangat ingin kunikahi secara sah,” sergahnya bingung dan putus asa.“TIdak bisa dong, dia harus menjaga rahasia ini. Jangan sampai orang kampung tau kalau dia adalah istri sirimu. Orang tahunya, bahwa dia itu pembantuku. Bisa tidak?”“Ini pilihan yang sulit, sangat sulit,” sergahnya. Wajahnya terlihat begitu muram.“Terserah. Lima menit lagi, harus sudah ada keputusanmu!” ancamku lagi.Dia terdiam. Rupanya besar juga untungnya mertua menyayangiku. Hal ini bisa kujadikan senjata untuk mengalahkan k
Bab 9. Kamar Maksiat Untuk Pembantuku Sayang*****“Kamar untuk Harum yang mana, Mel?” tanya Mas Gilang kemudian.“Yang biasa, kenapa memang? Kamar itu selama ini enggak pernah dipakai, kan? Bik Ina enggak kuijinin tidur di kamar maksiat itu. Bik Ina selama ini tidur di kamar belakang,” terangku tetap sinis.Harum mendengus kasar, kutahu dia sangat tersinggung. Sedang Mas Gilang tak bisa berbuat apa-apa.“Mel! Siapa ini? Mama dengar kamu nyebut kamar maksiat?”Tiba-tiba Mama mertua menghampiri kami. Papa sudah pergi ke kamar Chika cucu tersayangnya. Mereka berdua sehari-hari tiada henti mengawasi Chika secara bergantian. Tentu saja sangat meringankan tugas Bik Ina. Biarlah, sampai mereka puas.Mertuaku memang belum pernah memiliki anak perempuan maupun cucu perempuan. Mereka memiliki anak dua, tapi duanya laki-laki. Mas Faja
Bab 10. Ikuti Permainanku, Harum!*****“Kenapa Gilang tampak kurang bergairah, ada masalah di antara kalian?” tanya Papa menatapku penuh selidik.“Ma, Mama belum jelasin ke Papa?” tanyaku mengedipkan mata.“Iya, nanti Mama jelasin. Udahlah Pa! Gilang baik-baik saja. Makanya Menantu kita ke salon tadi siang, berusaha merubah penampilan secantik mungkin, itu semua demi suaminya. Maklum, istri habis melahirkan. Papa kayak enggak ngerti aja!” cerocos Mama mertua.Mas Gilang melotot, menatapku dan ibunya bergantian.“Mas Gilang malu, Ma,” bisikku di telinga ibunya.“Iya, tapi dia sudah klepek-klepek melihat perubahanmu,” sahut Mama balas berbisik di telingaku.Kami berdua pun tertawa lepas. Saat itu Harum muncul dengan segelas air hangat di tangannya.
Bab 11. Ternyata Suamiku Sudah Melamar Harum****“Mas … kau tidak membelaku? Kau diam saja melihat perempuan ini semakin menekanku?” Harum mengguncang tubuh Mas Gilang.“Masuk ke kamarmu!” suara Mas Gilang terdengar pelan, tapi penuh tekanan.Aku dan Harum terperanjat. Gadis itu menatap Mas Gilang tak percaya.“Kalau kau masih mau jadi istriku, kau harus patuhi perintahku!” tegas Mas Gilang lagi.“Kau berubah, Mas! Kenapa?” tanya Harum lunglai.“Aku tidak berubah, aku akan tetap menikahimu, tapi tidak bisa sekarang. Ikuti perintahku, Harum! Jangan nambah masalah! Sakit kepalaku!” sergah Mas Gilang melemah.“Lalu janjimu pada Ibuku? Bagaimana janjimu pada ibuku? Kau sudah janji padanya, Mas!” lirihnya mengagetkanku.“Jaga mulutu,