Bab 5. Harum Sang Pelakor
****
Perlahan tangan kanan Mas Gilang turun ke bawah, menyusuri tubuh Harum lalu berhenti tepat di bokong gadis belia itu. Tangan kekar yang selama ini kukira hanya menyentuhku, kini meremas bokong besar Harum.
Kudengar perempuan itu meleguh. Mas Gilang melepas mulutnya. Kukira permaian mereka akan berakhir. Tetapi aku salah. Harum malah mengalungkan tangannya di leher suamiku.
Mas Gilang kini menciumi leher wanita itu. Makin lama makin turun, dan berhenti di bagian dada.
“Mas Gilang, Sayang …. Aaach, gak jadi pulang kalau begini,” racau Harum merekas rambut suamiku.
Tak ingin menodai mataku lebih lama lagi, aku mendekat dengan perlahan, saat keduanya makin larut dalam napsu setan.
“Mas, pulang, yuk!” ucapku dengan sangat lembut.
Mereka tersentak, spontan saling melepaskan pagutan , lalu menatapku nanar.
“Mana kunci mobilnya? Ayo, buka!” perintahku masih dengan suara lembut.
“Mel?” Mas Gilang yang tadi garang dan ganas, tiba-tiba letoi.
Sepasang manusia durjana itu menatapku nanar. Wajah sang gadis berubah pucat, bibirnya yang baru saja dilumat itu bergetar, lalu digigit-gigitnya penuh ketakutan. Sorot mata nanar itu kini menunduk dengan jemari saling memilin.
Sementara sang singa jantan tapi pecundang itu terlihat mengkerut. Rambutnya masih basah. Sepertinya dia segera mandi basah setelah lelah bertempur sehari semalam.
“Mana kunci mobilnya, Mas?” kataku lagi seraya menadahkan tangan ke arahnya. Suaraku masih sama lembutnya saat pertama menyapa.
“Kamu mau apa, Mel?” Suaranya terdengar serak, seolah tercekat di kerongkongan.
“Kunci mobilnya mana, Mas?” tanyaku dengan nada suara kini meninggi satu oktaf.
Lelaki itu merogoh saku celana, lalu mngeluarkan benda yang kuminta.
“Mel, kamu ke sini sama siapa? Dan naik apa?” tanyanya seperti sengaja menutupi ketakutan.
“Sini kuncinya!” sergahku menadahkan tangan sekali lagi, tak menghiraukan pertanyaannya.
Mas Gilang menatapku pias, terpaksa dia meletakkan kunci itu di tanganku.
Gegas kubuka pintu mobil, lalu duduk di belakang stir.
“Masuk, Mas!” perintahku mengagetkannya.
“Ayo, kita masuk, Rum!” katanya menarik lengan Harum.
“Kamu duluan, Mas!” perintahku menatapnya tajam.
Mas Gilang melangkah masuk. Segera kukunci semua pintu dan jendela mobil.
“Bagaimana dengan Harum, Sayang? Kenapa dikunci?” protesnya terlihat panik.
“Tenang, akan kuurus kekasih harammu itu, Mas!” sahutku sambil keluar dari mobil. Kupastikan mengunci seluruh pintu dan jendela mobil sekali lagi.
Mas Gilang makin panik. Suami tampanku itu mulai menggedor-gedor kaca mobil sambil memanggil namaku. Aku berjalan gontai mendekati sang pelakor.
“Kak Mel ….” Perempuan itu semakin gemetar. Dia bergerak mundur, tapi terjebak dengan mobil yang terparkir di belakangnya.
“Selamat pagi, Rum! Selamat pagi adikku!” sapaku sambil tersenyum menyeringai.
“Kak, aku ….” Bibir tipis itu terbata-bata.
Aku kian merapat ke tubuhnya. Perempuan itu terpaksa bersender ke mobil di belakangnya.
“Mel … Mel …!” teriak Mas Gilang dari dalam Mobil. Begitu takutnya dia kalau aku sampai melukai kekasihnya.
“Kau enggak ngucapin selamat padaku, karena telah lahiran dan berhasil menjadi seorang ibu?” tanyaku menatapnya tajam.
“I … iya, selamat ya, kak!” sahutnya bergetar.
“Kenapa kamu enggak melihatku ke rumah sakit? Kenapa kamu malah pulang ke kampung? Bukankah kau telah berjanji padaku bahwa kau akan merawatku setelah melahirkan?”
“Maaf, Kak. Aku … aku ….”
“Kamu apa? Jawab! Kamu apa?”
“Aku takut kakak marah.”
“Memangnya kenapa aku mesti marah? Apa kesalahan yang telah kau lakukan sehingga aku harus marah?” tanyaku sambil menindih tubuhnya.
“Kak, ampun. Aku … aku ….”
“Kau apa? Jawab! Kau apa!”
“Aku minta maaf, Kak?”
“Minta maaf kenapa, Adikku yang cantik? Adikku yang bahenol? Katakan! Kau minta maaf kenapa?”
“Aku dan suami Kakak ….”
“Kenapa? Kau dan suamiku kenapa?”
“Kami … kami telah ….”
“Jawab dengan jelas!” teriakku kencang.
Parkiran itu terlihat sangat sepi. Tidak ada lagi mobil masuk maupun yang keluar. Sepertinya semua telah tenggelam dalam kenikmatan di dalam kamar hotel. Rani dan Mala juga entah ke mana. Mungkin masih sibuk meneliti plat mobil satu persatu, atau malah masuk ke dalam hotel untuk mencari suamiku di lobi atau di restorannya.
Sepertinya di sini hanya ada aku, sang pelakor dan suamiku yang telah kukurung di dalam mobil. Kutatap lagi perempuan itu tiada jeda. Mulutnya komat-kamit seperti hendak bersuara, tapi masih gentar.
“Aku dan Mas Gilang, kami … KAMI TELAH SELINGKUH DI BELAKANG KAKAK!” teriaknya tiba-tiba.
Aku tercekat, kutatap tajam wajah cantiknya yang kembali menunduk. Kuangkat dagunya ke atas, hingga mata kami bertemu. Tapi, dia segera mengalihkan tatapannya ke samping. Ingin sekali rasanya agar dia menentang tatapanku. Aku ingin melihat dari matanya, seperti apa isi hatinya yang sesungguhnya sehingga dia begitu tega menusukku dari belakang.
Mas Gilang masih menjerit dari dalam mobil sambil menggedor-gedor. Aku tidak perduli. Aku masih fokus kepada Harum.
“Kau seorang gadis cantik, muda, tubuhmu begitu sempurna, kau mau menyerahkan segalanya kepada suamiku? Dia suamiku! Kenapa?” sergahku melemah.
Harum menegeakkan wajahnya.
“Mas Gilang menginginkanku. Dia sangat menyukaiku, dia bahkan tergila-gila padaku,” pungkasnya dengan nada bangga. Sepertinya dia sudah merasa di atas angin. Tiada lagi rasa gentar dan takut di wajahnya. Sorot matanya kini mulai menantang.
“Oh, ya? Bisa kau tunjukkan padaku bagian tubuhmu yang mana yang paling disukai suamiku?” tanyaku sinis. Tanganku mencengkram dagunya.
“Katakan bagian tubuhmu yang mana yang membuat suamiku tergila-gila!”
“Lepaskan tangan Kakak, biar kujawab!” tandasnya tanpa sungkan.
“Ok, baik. Sekarang jawab!”
Kulepaskan cengkramanku. Aku salut akhirnya dia berani juga menerima tantanganku. Hebat.
“Asal Kakak tahu, Mas Gilang lebih menyukaiku dari pada Kakak.”
“Oh, ya?” sahutku hampir tak percaya.
“Kakak enggak pernah sadar, kan? Kalau suami Kakak itu sebenarnya udah lama jijik sama Kakak. Kakak itu jelek, cerewet, suka ngatur-ngatur, suka marah-marah enggak jelas. Makanya dia lebih milih aku.”
“Begitu? Begitu yang di bilang Mas Gilang padamu, ha?” Dadaku terasa sesak. Emosi mulai memuncak.
“Iya, kakak juga enggak pernah bisa memuaskan Mas Gilang di atas ranjang. Dia enggak pernah bisa puas. Beda dengan aku. Aku tahu bagaimana cara melayani dia sampai dia sangat puas bahkan bisa berkali-kali. Makanya dia tidak bisa lagi melupakan aku. Kakak sadar diri, dong!”
“Par!” Tanganku tak tertahan lagi. Sebuah tamparan mendarat di pipi ranumnya.
“Kau bisa memuaskan napsu setan suamiku, ya? Mas Gilang lebih puas dengan pelayanmu daripada pelayananku? Begitu katamu!”
Tanganku meraih rambut ikalnya, kucengkram sekuatnya.
“Kau tahu kenapa dia katakan seperti itu padamu? Kau mau tahu kenapa dia berkata begitu? Karena dia telah tergoda napsu setan. Setan telah berhasil menipu daya dirinya, menambah kenikmatan maksiat yang kalian lakukan. Kau tahu siapa setan itu? Setan itu adalah kau!”
*****
Bab 150. Ekstra Part 5 (Pernikahan Mala Dan Diky)"Ayo, dong, dandan! Pak Penghulunya bentar lagi datang, lho!" Mas Diky mengalungkan tangannya di leherku."Mas Diky, ngapain masuk kamar, coba! Gimana aku mau dandan kalau dipeluk terus begini? Juru riasnya malah diusir keluar," protesku melonggarkan pelukannya."Aku takut, Sayang. Makanya, aku mau menjagamu dua puluh empat jam.""Takut apa?""Takut, kalau kau berubah pikiran. Karena, aku sangat paham, kau belum juga bisa menerima aku di hatimu.""Ya, enggak mungkinlah aku berubah pikiran. Secara, para tamu undangan udah pada datang, Pak Penghulu udah dalam perjalanan, masa iya, aku berubah pikiran."Wajahnya terlihat mendung, sorot mata itu kini sayu.
Bab 149. Balasan Kejam Buat sang Durjana ( Ekstra Part Akhir) VOP Fika Aku memang sudah berumur. Sudah hampir kepala empat. Hingga detik ini tak juga menikah, karena memang tak mau menikah Keputusanku tak mau menikah bukan karena apa-apa. Rasa kecewa karena pernah bertepuk sebelah tangan, membuatku tak mau membuka pintu hati pada siapa pun lagi. lebih baik hidup sendiri dari pada kecewa lagi. Fajar, pemuda yang telah mencuri hatiku. Sayang, dia tidak ada rasa sedikitpun untuk menerima kehadiranku. Cintaku tak berbalas. Cinta bertepuk sebelah tangan. Tetapi, aku tidak pernah membencinya. Saat dia memilih wanita lain sebagai pendamping hidupnya, aku turut berbahagia. Meski sakit, aku harus tetap waras. Fajar tidak bersalah. Wanita pilihannya juga tidak salah. Yang bersalah itu adalah aku.&nbs
Bab 148. Ekstra Part 4 VOP Gilang "Selamat menghirup udara bebas! Selamat datang kembali di dunia yang penuh sandiwara ini!" Aku terperangah. Seorang wanita tinggi semampai berkacamata hitam, menegurku. Aku tidak dapat mengenalinya. Lama kupindai wajah dan penampilannya. Rambut sebahu hitam legam, badan padat berisi, dan suara yang tegas penuh wibawa. "Selamat menjalani babak kedua dalam hidupmu?" ucapnya lagi. Jemari dengan berkutek merah terang itu memegang bingkai kacamata, lalu menanggalkannya perlahan. "Fika ...!" gumamku terkejut. Pengacara wanita yang telah membuat sang Hakim mengetuk palu, memutuskan hukuman penjara buatku. "Enggak ada yang jemput, ya? Kasihan banget kamu. Mana keluargamu?" Aku hanya m
Bab 147. Ekstra Part 3 “Oh, iya, sabar, ya, Bu. Sebentar saja, kok! Enggak lama. Mereka pelanggan tetap saya. Harus ekstra pelayanannya. Memang Ibu yang duduk duluan di sini, tapi, mereka yang memesan duluan.” Penjual es itu, tak menghiraukanku. “Saya duluan! Saya dari tadi di sini! Mentang-mentang mereka orang kaya, saya orang miskin, saya enggak dilayani, begitu? Saya bisa obrak abrik warung jelekmu ini tau?” teriakku mulai emosi. “Lho dari tadi ibu enggak minta, mereka pesan, baru ibu minta, sabar, dong!” Penjual es tak juga memenuhi permintaanku. “Pokoknya layani saya dulu! Saya sudah tidak sabar! Biar jadi pelajaran buatmu! Jangan pilih kasih sama pembeli, ya!” “Ya, sudah, ibu ambil yang sudah dibungkus itu, dulu, enggak apa-apa, saya akan ganti nanti buat mereka, tanggung ini, dua bungkus lagi!” “Saya e
Bab 146. Ekstra Part 2 Secara rutin aku memeriksakan diri ke dokter. Namun penyakitku tak juga kunjung sembuh. Awalnya tak menunjukkan gejala apa-apa. Tetapi setelah beberapa tahun kemudia, infeksi itu sudar menyerang bagian dalam tubuh. Mulai dari uterus, bahkan alat kelamin itu sendiri. Melihat kondisiku, tak ada lagi lelaki hidung belang yang mau menggunakan jasaku. Mereka merasa jijik dan takut tertular. Padahal aku tak pernah mengatakan tentang penyakitku. Aku hanya deman biasa, begitu alasanku. Tapi, melihat kodisi tubuhku yang kian kurus tinggal tulang, juga lemah tak bertenaga, mereka semakin curiga. Bokong dan dada besarku yang sangat terkenal di kalangan lelaki durjana itu, mulai menipis. Hilang sudah andalanku dalam menjerat mangsa. Aku menganggur. Makan tidur menjadi tanggunagn Bang Jordan. Dia mulai marah karena mengaggap aku tak lagi meguntungka
Bab 145.Ekstra Part 1 VOP Harum Kehancuran Kak Melur adalah target utamaku. Dia yang telah membawaku ke kota ini, semua masalah ini timbul karena dia, Aku dan keluargaku terusir dari kampung, juga karena dia telah menghasut orang kampung. Sekarang, Mas Yanto meninggal, Ibu di penjara, dan aku terlunta-lunta dengan penyakit di tubuhku. Ke mana aku akan bernaung sekarang? Setelah kucoba mengemis kepadanya, dia malah mengusirku dengan kasar. Harusnya dia bertanggung jawab dan menampungku. Sekarang, ke mana aku akan melangkah? Uang yang di berinya waktu itu hanya cukup biaya makan seminggu. Untung tempat tinggal aku enggak perlu bayar. Bekas toko ini bisa kugunakan untuk tempat bernaung. Tapi untuk makan besok, aku uang dari mana? Sebuah Mobil berhenti di depan toko. Gegas aku keluar melihatnya. Itu Bang Jordan, teman Mas Gilang sekaligus tempat