Bab 9. Kamar Maksiat Untuk Pembantuku Sayang
*****
“Kamar untuk Harum yang mana, Mel?” tanya Mas Gilang kemudian.
“Yang biasa, kenapa memang? Kamar itu selama ini enggak pernah dipakai, kan? Bik Ina enggak kuijinin tidur di kamar maksiat itu. Bik Ina selama ini tidur di kamar belakang,” terangku tetap sinis.
Harum mendengus kasar, kutahu dia sangat tersinggung. Sedang Mas Gilang tak bisa berbuat apa-apa.
“Mel! Siapa ini? Mama dengar kamu nyebut kamar maksiat?”
Tiba-tiba Mama mertua menghampiri kami. Papa sudah pergi ke kamar Chika cucu tersayangnya. Mereka berdua sehari-hari tiada henti mengawasi Chika secara bergantian. Tentu saja sangat meringankan tugas Bik Ina. Biarlah, sampai mereka puas.
Mertuaku memang belum pernah memiliki anak perempuan maupun cucu perempuan. Mereka memiliki anak dua, tapi duanya laki-laki. Mas Faja
Bab 10. Ikuti Permainanku, Harum!*****“Kenapa Gilang tampak kurang bergairah, ada masalah di antara kalian?” tanya Papa menatapku penuh selidik.“Ma, Mama belum jelasin ke Papa?” tanyaku mengedipkan mata.“Iya, nanti Mama jelasin. Udahlah Pa! Gilang baik-baik saja. Makanya Menantu kita ke salon tadi siang, berusaha merubah penampilan secantik mungkin, itu semua demi suaminya. Maklum, istri habis melahirkan. Papa kayak enggak ngerti aja!” cerocos Mama mertua.Mas Gilang melotot, menatapku dan ibunya bergantian.“Mas Gilang malu, Ma,” bisikku di telinga ibunya.“Iya, tapi dia sudah klepek-klepek melihat perubahanmu,” sahut Mama balas berbisik di telingaku.Kami berdua pun tertawa lepas. Saat itu Harum muncul dengan segelas air hangat di tangannya.
Bab 11. Ternyata Suamiku Sudah Melamar Harum****“Mas … kau tidak membelaku? Kau diam saja melihat perempuan ini semakin menekanku?” Harum mengguncang tubuh Mas Gilang.“Masuk ke kamarmu!” suara Mas Gilang terdengar pelan, tapi penuh tekanan.Aku dan Harum terperanjat. Gadis itu menatap Mas Gilang tak percaya.“Kalau kau masih mau jadi istriku, kau harus patuhi perintahku!” tegas Mas Gilang lagi.“Kau berubah, Mas! Kenapa?” tanya Harum lunglai.“Aku tidak berubah, aku akan tetap menikahimu, tapi tidak bisa sekarang. Ikuti perintahku, Harum! Jangan nambah masalah! Sakit kepalaku!” sergah Mas Gilang melemah.“Lalu janjimu pada Ibuku? Bagaimana janjimu pada ibuku? Kau sudah janji padanya, Mas!” lirihnya mengagetkanku.“Jaga mulutu,
Bab 12. Kau Sentuh Aku, Kau Kuterjang*****“Berarti orang kampung semua sudah tahu kalau kau telah melamar dia?” tanyaku. Seluruh tubuh dan persendian rasanya lemas.“Tidak, Kak. Lamaran itu masih kami rahasiakan. Asal Mas Gilang segera memenuhi janjinya.” Harum mengangkat dagu. Perempuan ini benar-benar sudah merasa di atas angin.“Janji apa?” tanyaku melangkah ke arah pintu. Kuhampiri dia dengan gemetar. Kurasakan darahku mulai mendidih.“Mas Gilang janji, dia akan segera menikahi saya secara sah. Sebulan setelah Kakak melahirkan, dia akan talak Kakak. Ini sudah sebulan, tapi Mas Gilang belum talak Kakak. Justru Kakak semakin semena-mena menekan saya, memperlakukan saya seperti pembantu di rumah ini. Makanya saya nelpon ibu, besok dia datang sama Mas Yanto. Mas Yanto pasti ngamuk besok, liat aja!” Harum berkata berapi-api, ancamannya membuat Mas
Bab 13. Suami Pecundang Menyesal Bohongan*****“Aku rela kau tendang seperti tadi, seribu kalipun kau menendangku seperti tadi aku pasrah. Kalau memang hal itu bisa menebus kesalahanku.”Astaga! Apa yang kudengar ini? Mas Gilang berkata seperti itu setelah aku menendangnya? Apa yang terjadi dengannya? Jangan-jangan dia geger otak gara-gara tendanganku tadi? Gawat, apakah benturan di kepalanya begitu parah?“Mas, apakah kepalamu sakit? Kau masih waras, bukan?” tanyaku menatapnya lekat. Tapi, aku tetap bersiap siaga menjaga segala kemungkinan, termasuk bila tiba-tiba dia mencelakaiku.“Aku sehat, Mel. Aku enggak apa-apa. Tapi, jujur, setelah kesulitan yang ditimbulkan oleh Harum, aku semakin sadar kalau langkah yang kutempuh selama ini salah.”“Kau … kau sehat? Setelah tadi pagi kau bilang bisa gila bila t
Bab 14. Kedipan Mata dari Abang Sang PelakorJujur, aku sangat tegang dengan kedatangan sekutu musuhku. Ibu dan abangnya datang pasti untuk menyerang. Menyerang suamiku tentu saja. Pasti mereka menuntut pertangung-jawaban dari Mas Gilang karena telah mengganggu Harum. Mengganggu? Hah, kata Mas Gilang sih, Harum yang memulai. Merayu dan menjebak Mas Gilang di saat aku kesulitan memenuhi kebutuhan biologisnya. Tapi, tentu saja tetap suamiku yang salah. Mas Gilang yang durjana.Aku juga salah, kenapa aku memperkerjakan seorang gadis cantik, belia, murahan lagi di rumahku. Duh, kalau ingat awalnya, rasanya ingin kuulang kembali. Bagaimana ibunya memelas bahkan menghiba-hiba agar aku mau menerima anak gadisnya bekerja di rumahku. Andai waktu itu aku menolak, pasti semua ini tidak akan terjadi.Tapi, tunggu dulu. Sebenarnya, kalaupun aku tidak menerima Harum bekerja di rumahku, mereka sudah sering memancing di air
Bab 15. Permainan Dimulai****“Mas. Kamu tahu enggak toko kami yang di kecamatan?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku mulai menggiringnya masuk perangkap.“Kecamatan mana? Toko kalian kan hampir di setiap kecamatan ada cabangnya?”“Yang kecamatan kita, Mas. Yang dekat dengan desa kita?”“Oh, iya. Kenapa?”“Sekarang semua toko mau aku awasi, Mas. Aku yang akan turun langsung sekarang. Mas Gilang sedang fokus mau nikahin Harum,” paparku sambil senyum di kulum.Pemuda itu kaget, matanya terbelalak menatapku. Tentu dia kaget. Mereka pasti mengira aku belum tahu rancana suamiku menikahi adiknya. Atau jangan-jangan dia pikir aku tidak tahu tentang perselingkuhan Mas Gilang dengan Harum.“Kenapa, Mas?” tanyaku pura-pura tidak mengert
Bab 16. Tuntutan Keluarga Sang Pelakor“Kau aneh! Kau benar-benar aneh! Harusnya kau melarangku kawin lagi! Bukan malah mendukung!”“Aku tidak mau menghalangimu, Mas. Bukankah sudah kau katakan sejak awal kalau kau sangat mencintai Harum? Bahkan kau bilang, kau bisa gila bila tidak bersamanya?”“Itu, dulu, Mel?”“Dulu kau bilang? Baru sehari, Mas! Kau mengatakan itu kemarin pagi.”“Iya, sebelum kau berubah. Saat itu kau masih berdaster, rambut digelung acak-acakkan, kau … kau … masih jelek pokoknya!”Aku tersenyum kecut, dasar laki-laki durjana. Pasti sekarang dia berat melepasku. Semakin ketakutan karena semakin kudorong menikahi selingkuhannya. Aku yakin, dia ingin memiliki dua perempuan sekaligus. Enak aja!“Mas! Ayolah kita temui mereka, enggak enak sepert
Bab 17. Ibu Sang Pelakor Meradang“Kan, udah dijelasin sama Mas Yanto, saya sayang sama Harum. Saya enggak mau dia dihancurkan oleh suami saya sendiri,” jawabku datar.“Sesayang-sayang apapun, tak mungkin kau rela menyerahkan suamimu sendiri kepada perempuan lain?” tanyanya mulai menyelidik.Aku tersenyum, menyiapkan jawaban yang akan membuat mereka semua terbakar.Mak Uda mengernyitkan kening, seperti sedang berusaha berpikir keras. Matanya menatapku penuh curiga. Aku hanya tersenyum menikmati pemandangan indah di meja makan pagi ini.“Rum, coba kau buka dulu toko, gih! Bentar lagi para karyawan berdatangan!” perintahku kepada putri keayangannya.“Harum bukan babumu! Enak aja kau nyuruh-nyuruh!” protesnya“Bik Ina! Chika tidur enggak?” teriakku me