Home / Romansa / Pelakor Itu Pembantuku / Bab 8. Kesepakatan Di Atas Materai

Share

Bab 8. Kesepakatan Di Atas Materai

last update Last Updated: 2022-02-20 20:04:13

Bab 8. Kesepakatan Di Atas Materai

*****

“Kau serius melakukan ini semua, Mel?”

“Ya, Sebetulnya aku mau pisah denganmu tanpa persyaratan ini semua. Tapi, orang tua dan keluarga besarmu, bagaimana?”

“OK, akan aku pikirkan. Semoga Harum bisa menerimanya. Dia sangat ingin kunikahi secara sah,” sergahnya bingung dan putus asa.

“TIdak bisa dong, dia harus menjaga rahasia ini. Jangan sampai orang kampung tau kalau dia adalah istri sirimu. Orang  tahunya, bahwa dia itu pembantuku. Bisa tidak?”

“Ini pilihan yang sulit, sangat sulit,” sergahnya. Wajahnya terlihat begitu muram.

“Terserah. Lima menit lagi, harus sudah ada keputusanmu!” ancamku lagi.

Dia terdiam. Rupanya besar juga untungnya  mertua menyayangiku. Hal ini bisa kujadikan senjata untuk mengalahkan kedurjanaan anaknya. Alasannya karena aku tidak cantik lagi dan  tubuhku melar setelah melahirkan. Baik, hal pertama yang akan kulakukan setelah bercerai adalah mengembalikan kecantikan wajah dan tubuhku. Akan kubuat dia tergila-gila lagi seperti masa aku masih gadis dulu.

Langkah kedua adalah menyiksanya lahir dan batin, menyiksa perempuan pelakor itu sekaligus.  Dia harus tetap menjalani kedudukannya sebagai pembantuku, meski dia bisa menikmati tubuh suamiku. Toh, aku juga sudah tidak sudi bersuamikan dia. Ambil kalau kau mau, tapi nikmati siksaan manis dariku.

***

Aku sudah selesai membersihkan diri. Baru saja keluar dari kamar mandi lalu mematut diri di depan cermin. Sementara Mas Gilang masih terlihat bingung dengan semua tawaran yang telah aku ajukan. Ponselnya di ketuk-ketuk, bibirnya di gigit-gigit, dan sesekali mendesah berat. Diraihnya  surat perjanjian yang telah kutempel materai. Dibacanya  dengan seksama. Lalu diletakkannya lagi dengan enggan.

“Dua menit lagi!” ketusku sambil meneliti pantulan tubuhku di cermin. Kenapa ya, perutku masih melentung begini?  Bagaimana caranya mengecilkan perut ini? Ingin rasanya memiliki tubuh langsing dan padat seperti sebelum hamil dulu. Ini juga, pipiku. Kenapa jadi bengkak begini, sih? Gendut banget. Entah ke mana wajah asliku dulu. Berminyak lagi.

Kugeraikan rambut sepunggungku. Selama hamil  tidak pernah memotongnya meski untuk sekedar merapikan. Kata mertuaku pamali menggunting rambut selagi hamil. Banyak banget aktivitas yang  pamali menurut dia. Jadinya begini, deh, bentukku. Anaknya sendiri jijik melihat penampilanku. Tapi, sekarang putriku sudah lahir. Aku harus bisa mengembalikan wujudku seperti semula.

“Mel ….”

Aku tersentak, segera kutoleh ke ranjang.  Mas Gilang terlihat masih cemas.

“Kenapa? Sudah kau putuskan?” tanyaku sambil menggelung rambutku ke atas.

Tiba-tiba ponselnya berdering, segera diusapnya  tanpa menghiraukan pertanyaanku. Tuh, kan. Aku sama sekali tak penting baginya. Entah siapa  yang memanggilnya melalui ponsel itu.

“Oh, iya, aku keluar,” ucapnya melalui ponsel.

Dengan terburu dia bangkit dan menuju pintu kamar.

“Mau ke mana, Mas? Putuskan dulu, baru kau boleh pergi!” perintahku sambil berusaha menahan anak kunci.

“Siniin kuncinya! Aku buru-buru!” teriaknya mencoba merebut dari tanganku.

“Putuskan sekarang atau aku akan bongkar semua kepada orang tuamu!” ancamku sengit.

“Ok, aku terima. Buka pintunya!” teriaknya semakin emosi.

“Tanda tangani surat perjanjiannya!” perintahku menunjuk kertas di atas nakas dengan dagu.

“Ribet banget!” sungutnya dengan wajah merah padam.

Langkah pertama sudah di mulai. Aku akan mulai menapak ke tangga berikutnya. Rasa lega bercampur dendam membuatku sangat bergairah. Aku tersenyum  sambil memutar anak kunci, lalu melebarkan daun pintu untuk sang durjana.

Mas Sigit berlari kecil menuju  pintu depan. Setengah berlari juga aku mengikutinya dari belakang. Sebuah mobil menunggu di depan toko. Kukira itu adalah mobil pelangan yang hendak berbelanja pupuk. Tapi, demi melihat siapa yang turun, dadaku berkecamuk. Harum. Perempuan itu turun dengan langkah lemah, setelah Mas Sigit membuka pintu mobil.

Mas Gilang mengeluarkan dompet lalu menyerahan sejumlah uang kepada sang supir. Aku melotot tajam ke sang wanita, dia mengkerut, bersembunyi di balik punggung pasangannya.

“Aku yang menyuruh dia ke sini. Aku juga yang memesankan taksi online untuk menjemput dia. Harum tidk punya uang untuk pulang kampung.” Mas Gilang menerangkan tanpa kuminta.

“Ok, jelaskan pada perempuan ini, tentang perjajian kita!” ucapku menatapnya sinis.

Mas Gilang berusaha menjelaskan semuanya kepada Harum. Tentu saja dengan nada memelas tapi sangat meyakinkan.

“Tidak! Aku tidak mau! Mas  janjinya enggak kek gitu!” teriaknya histeris.

Pegawai toko dan beberapa pelangan terlihat kaget. Mereka menatap kami penasaran.

“Jaga mulutmu! Kau ikuti permintaanku, atau  kutelpon Ibumu agar datang menjemputmu sekarang juga!”   ancamku.

“Mas!” sergahnya seolah menuntut Mas Gilang.

“Sabar, Sayang! Sementara begini  dulu! Pasti akan segera ada penyelesaiannya, ya!” kata Mas Gilang mencoba memegang pundaknya.

“Stop! Tanganmu, Mas!”tagurku menatap tajam.

Mas Gilang spontan melepas pegangannya.

“Kau juga! Ingat, semua orang  di rumah ini beserta seluruh karyawan toko, tahunya kau itu pembantu. Jangan pernah  kalian itu menunjukkan kemesraan di depan siapapun! Jangan pangil-panggil dengan kata sayang atau yang lainnya, paham!”

“Mel, kapan kami bisa bebas?” protes Mas Gilang tidak senang.

“Dulu gimana kalian buat? Saat aku masih hamil. Enggak ada yang tahu, kan?” sahutku tetap tenang.

“Tapi, kami akan menikah, bukan? Kalau sudah nikah, sudah bebas, kan?” kejarnya lagi.

“Hey! Kau lupa ya, Mas? Kalian  akan segera kunikahkan secara siri. Tapi diam-diam! Tidak ada yang boleh tahu selain aku. Enggak ngerti juga, sih? Atau keluargamu akan tahu semua kebusukanmu, mau?”

“Mas … gimana, sih? Katanya kau akan talak dia! Lalu nikahi aku secara sah?” rengek Harum sambil menghentakkan kakinya ke tanah berualng-ulang. Persis seperti anak kecil yang permintannya tidak dituruti.

“Sabar, ya, Sayang. Hanya tinggal waktu. Sementara kita ikuti permintaannya!” Mas Gilang menatap lembut kekasihnya. Aku tahu dia sangat ingin memeluk perempuan itu untuk menenangkannya. Tapi, dia ragu dengan ancamanku.

“Ini ada apa? Kok dari tadi papa perhatikan seperti ada masalah?”  Papa tiba-tiba muncul. Da menatap Harum keheranan. “Ini siapa?” tanyanya lagi.

“Dia pembantu kita, Pa. Baru datang dari kampung. “ sahutku cepat.

Mas Gilang dan Harum menatapku tajam. Aku melengos, lalu menggandeng papa mertuaku kembali masuk ke dalam. Terpaksa mereka berdua mengikuti langkah kami dengan diam.

“Pembantu apa lagi, Mel? Kan, udah ada Bik Ina?” tanya Papa sambil berjalan.

“Bik Ina khusus mengurus cucu Papa. Perempuan busuk ini mengurus rumah dan segalanya,” sahutku mantap.

“Apa? Perempuan busuk?” Papa mengulang ucapanku.

“Eh, bukan. Perempuan ini maksudku, Pa” kilahku tertawa manja.

“Kamu itu, orang baru datang saja sudah di katain seperti itu. Nanti dia enggak betah gimana?” Papa mertua mengucek rambutku.

Bagaimana mungkin Harum tidak betah, aku bayar pakai tubuh suamiku. Aku tertawa renyah, padahal sangat tidak lucu. Aku menertawakan kemalanganku.  Mas Gilang hanya bisa menghela napas, sambil menguatkan selingkuhannya lewat tatapan.

“Kamar untuk Harum yang mana, Mel?” tanya Mas Gilang kemudian.

*****

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Mbk Tia
kok dikunci sih
goodnovel comment avatar
Siti Ami
keren cerita nya thor
goodnovel comment avatar
Teddy Ardhian
Suaminya Sigit apa Gilang Thor? bingung saya.. pdhal ceritanya bagus
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pelakor Itu Pembantuku   Bab 150. Ekstra Part 5 (Pernikahan Mala Dan Diky)

    Bab 150. Ekstra Part 5 (Pernikahan Mala Dan Diky)"Ayo, dong, dandan! Pak Penghulunya bentar lagi datang, lho!" Mas Diky mengalungkan tangannya di leherku."Mas Diky, ngapain masuk kamar, coba! Gimana aku mau dandan kalau dipeluk terus begini? Juru riasnya malah diusir keluar," protesku melonggarkan pelukannya."Aku takut, Sayang. Makanya, aku mau menjagamu dua puluh empat jam.""Takut apa?""Takut, kalau kau berubah pikiran. Karena, aku sangat paham, kau belum juga bisa menerima aku di hatimu.""Ya, enggak mungkinlah aku berubah pikiran. Secara, para tamu undangan udah pada datang, Pak Penghulu udah dalam perjalanan, masa iya, aku berubah pikiran."Wajahnya terlihat mendung, sorot mata itu kini sayu.

  • Pelakor Itu Pembantuku   Bab 149. Balasan Kejam Buat sang Durjana ( Ekstra Part Akhir)

    Bab 149. Balasan Kejam Buat sang Durjana ( Ekstra Part Akhir) VOP Fika Aku memang sudah berumur. Sudah hampir kepala empat. Hingga detik ini tak juga menikah, karena memang tak mau menikah Keputusanku tak mau menikah bukan karena apa-apa. Rasa kecewa karena pernah bertepuk sebelah tangan, membuatku tak mau membuka pintu hati pada siapa pun lagi. lebih baik hidup sendiri dari pada kecewa lagi. Fajar, pemuda yang telah mencuri hatiku. Sayang, dia tidak ada rasa sedikitpun untuk menerima kehadiranku. Cintaku tak berbalas. Cinta bertepuk sebelah tangan. Tetapi, aku tidak pernah membencinya. Saat dia memilih wanita lain sebagai pendamping hidupnya, aku turut berbahagia. Meski sakit, aku harus tetap waras. Fajar tidak bersalah. Wanita pilihannya juga tidak salah. Yang bersalah itu adalah aku.&nbs

  • Pelakor Itu Pembantuku   Bab 148. Ekstra Part 4

    Bab 148. Ekstra Part 4 VOP Gilang "Selamat menghirup udara bebas! Selamat datang kembali di dunia yang penuh sandiwara ini!" Aku terperangah. Seorang wanita tinggi semampai berkacamata hitam, menegurku. Aku tidak dapat mengenalinya. Lama kupindai wajah dan penampilannya. Rambut sebahu hitam legam, badan padat berisi, dan suara yang tegas penuh wibawa. "Selamat menjalani babak kedua dalam hidupmu?" ucapnya lagi. Jemari dengan berkutek merah terang itu memegang bingkai kacamata, lalu menanggalkannya perlahan. "Fika ...!" gumamku terkejut. Pengacara wanita yang telah membuat sang Hakim mengetuk palu, memutuskan hukuman penjara buatku. "Enggak ada yang jemput, ya? Kasihan banget kamu. Mana keluargamu?" Aku hanya m

  • Pelakor Itu Pembantuku   Bab 147. Ekstra Part 3

    Bab 147. Ekstra Part 3 “Oh, iya, sabar, ya, Bu. Sebentar saja, kok! Enggak lama. Mereka pelanggan tetap saya. Harus ekstra pelayanannya. Memang Ibu yang duduk duluan di sini, tapi, mereka yang memesan duluan.” Penjual es itu, tak menghiraukanku. “Saya duluan! Saya dari tadi di sini! Mentang-mentang mereka orang kaya, saya orang miskin, saya enggak dilayani, begitu? Saya bisa obrak abrik warung jelekmu ini tau?” teriakku mulai emosi. “Lho dari tadi ibu enggak minta, mereka pesan, baru ibu minta, sabar, dong!” Penjual es tak juga memenuhi permintaanku. “Pokoknya layani saya dulu! Saya sudah tidak sabar! Biar jadi pelajaran buatmu! Jangan pilih kasih sama pembeli, ya!” “Ya, sudah, ibu ambil yang sudah dibungkus itu, dulu, enggak apa-apa, saya akan ganti nanti buat mereka, tanggung ini, dua bungkus lagi!” “Saya e

  • Pelakor Itu Pembantuku   Bab 146. Ekstra Part 2

    Bab 146. Ekstra Part 2 Secara rutin aku memeriksakan diri ke dokter. Namun penyakitku tak juga kunjung sembuh. Awalnya tak menunjukkan gejala apa-apa. Tetapi setelah beberapa tahun kemudia, infeksi itu sudar menyerang bagian dalam tubuh. Mulai dari uterus, bahkan alat kelamin itu sendiri. Melihat kondisiku, tak ada lagi lelaki hidung belang yang mau menggunakan jasaku. Mereka merasa jijik dan takut tertular. Padahal aku tak pernah mengatakan tentang penyakitku. Aku hanya deman biasa, begitu alasanku. Tapi, melihat kodisi tubuhku yang kian kurus tinggal tulang, juga lemah tak bertenaga, mereka semakin curiga. Bokong dan dada besarku yang sangat terkenal di kalangan lelaki durjana itu, mulai menipis. Hilang sudah andalanku dalam menjerat mangsa. Aku menganggur. Makan tidur menjadi tanggunagn Bang Jordan. Dia mulai marah karena mengaggap aku tak lagi meguntungka

  • Pelakor Itu Pembantuku   Bab 145.Ekstra Part 1

    Bab 145.Ekstra Part 1 VOP Harum Kehancuran Kak Melur adalah target utamaku. Dia yang telah membawaku ke kota ini, semua masalah ini timbul karena dia, Aku dan keluargaku terusir dari kampung, juga karena dia telah menghasut orang kampung. Sekarang, Mas Yanto meninggal, Ibu di penjara, dan aku terlunta-lunta dengan penyakit di tubuhku. Ke mana aku akan bernaung sekarang? Setelah kucoba mengemis kepadanya, dia malah mengusirku dengan kasar. Harusnya dia bertanggung jawab dan menampungku. Sekarang, ke mana aku akan melangkah? Uang yang di berinya waktu itu hanya cukup biaya makan seminggu. Untung tempat tinggal aku enggak perlu bayar. Bekas toko ini bisa kugunakan untuk tempat bernaung. Tapi untuk makan besok, aku uang dari mana? Sebuah Mobil berhenti di depan toko. Gegas aku keluar melihatnya. Itu Bang Jordan, teman Mas Gilang sekaligus tempat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status