Share

Bab 8. Kesepakatan Di Atas Materai

Bab 8. Kesepakatan Di Atas Materai

*****

“Kau serius melakukan ini semua, Mel?”

“Ya, Sebetulnya aku mau pisah denganmu tanpa persyaratan ini semua. Tapi, orang tua dan keluarga besarmu, bagaimana?”

“OK, akan aku pikirkan. Semoga Harum bisa menerimanya. Dia sangat ingin kunikahi secara sah,” sergahnya bingung dan putus asa.

“TIdak bisa dong, dia harus menjaga rahasia ini. Jangan sampai orang kampung tau kalau dia adalah istri sirimu. Orang  tahunya, bahwa dia itu pembantuku. Bisa tidak?”

“Ini pilihan yang sulit, sangat sulit,” sergahnya. Wajahnya terlihat begitu muram.

“Terserah. Lima menit lagi, harus sudah ada keputusanmu!” ancamku lagi.

Dia terdiam. Rupanya besar juga untungnya  mertua menyayangiku. Hal ini bisa kujadikan senjata untuk mengalahkan kedurjanaan anaknya. Alasannya karena aku tidak cantik lagi dan  tubuhku melar setelah melahirkan. Baik, hal pertama yang akan kulakukan setelah bercerai adalah mengembalikan kecantikan wajah dan tubuhku. Akan kubuat dia tergila-gila lagi seperti masa aku masih gadis dulu.

Langkah kedua adalah menyiksanya lahir dan batin, menyiksa perempuan pelakor itu sekaligus.  Dia harus tetap menjalani kedudukannya sebagai pembantuku, meski dia bisa menikmati tubuh suamiku. Toh, aku juga sudah tidak sudi bersuamikan dia. Ambil kalau kau mau, tapi nikmati siksaan manis dariku.

***

Aku sudah selesai membersihkan diri. Baru saja keluar dari kamar mandi lalu mematut diri di depan cermin. Sementara Mas Gilang masih terlihat bingung dengan semua tawaran yang telah aku ajukan. Ponselnya di ketuk-ketuk, bibirnya di gigit-gigit, dan sesekali mendesah berat. Diraihnya  surat perjanjian yang telah kutempel materai. Dibacanya  dengan seksama. Lalu diletakkannya lagi dengan enggan.

“Dua menit lagi!” ketusku sambil meneliti pantulan tubuhku di cermin. Kenapa ya, perutku masih melentung begini?  Bagaimana caranya mengecilkan perut ini? Ingin rasanya memiliki tubuh langsing dan padat seperti sebelum hamil dulu. Ini juga, pipiku. Kenapa jadi bengkak begini, sih? Gendut banget. Entah ke mana wajah asliku dulu. Berminyak lagi.

Kugeraikan rambut sepunggungku. Selama hamil  tidak pernah memotongnya meski untuk sekedar merapikan. Kata mertuaku pamali menggunting rambut selagi hamil. Banyak banget aktivitas yang  pamali menurut dia. Jadinya begini, deh, bentukku. Anaknya sendiri jijik melihat penampilanku. Tapi, sekarang putriku sudah lahir. Aku harus bisa mengembalikan wujudku seperti semula.

“Mel ….”

Aku tersentak, segera kutoleh ke ranjang.  Mas Gilang terlihat masih cemas.

“Kenapa? Sudah kau putuskan?” tanyaku sambil menggelung rambutku ke atas.

Tiba-tiba ponselnya berdering, segera diusapnya  tanpa menghiraukan pertanyaanku. Tuh, kan. Aku sama sekali tak penting baginya. Entah siapa  yang memanggilnya melalui ponsel itu.

“Oh, iya, aku keluar,” ucapnya melalui ponsel.

Dengan terburu dia bangkit dan menuju pintu kamar.

“Mau ke mana, Mas? Putuskan dulu, baru kau boleh pergi!” perintahku sambil berusaha menahan anak kunci.

“Siniin kuncinya! Aku buru-buru!” teriaknya mencoba merebut dari tanganku.

“Putuskan sekarang atau aku akan bongkar semua kepada orang tuamu!” ancamku sengit.

“Ok, aku terima. Buka pintunya!” teriaknya semakin emosi.

“Tanda tangani surat perjanjiannya!” perintahku menunjuk kertas di atas nakas dengan dagu.

“Ribet banget!” sungutnya dengan wajah merah padam.

Langkah pertama sudah di mulai. Aku akan mulai menapak ke tangga berikutnya. Rasa lega bercampur dendam membuatku sangat bergairah. Aku tersenyum  sambil memutar anak kunci, lalu melebarkan daun pintu untuk sang durjana.

Mas Sigit berlari kecil menuju  pintu depan. Setengah berlari juga aku mengikutinya dari belakang. Sebuah mobil menunggu di depan toko. Kukira itu adalah mobil pelangan yang hendak berbelanja pupuk. Tapi, demi melihat siapa yang turun, dadaku berkecamuk. Harum. Perempuan itu turun dengan langkah lemah, setelah Mas Sigit membuka pintu mobil.

Mas Gilang mengeluarkan dompet lalu menyerahan sejumlah uang kepada sang supir. Aku melotot tajam ke sang wanita, dia mengkerut, bersembunyi di balik punggung pasangannya.

“Aku yang menyuruh dia ke sini. Aku juga yang memesankan taksi online untuk menjemput dia. Harum tidk punya uang untuk pulang kampung.” Mas Gilang menerangkan tanpa kuminta.

“Ok, jelaskan pada perempuan ini, tentang perjajian kita!” ucapku menatapnya sinis.

Mas Gilang berusaha menjelaskan semuanya kepada Harum. Tentu saja dengan nada memelas tapi sangat meyakinkan.

“Tidak! Aku tidak mau! Mas  janjinya enggak kek gitu!” teriaknya histeris.

Pegawai toko dan beberapa pelangan terlihat kaget. Mereka menatap kami penasaran.

“Jaga mulutmu! Kau ikuti permintaanku, atau  kutelpon Ibumu agar datang menjemputmu sekarang juga!”   ancamku.

“Mas!” sergahnya seolah menuntut Mas Gilang.

“Sabar, Sayang! Sementara begini  dulu! Pasti akan segera ada penyelesaiannya, ya!” kata Mas Gilang mencoba memegang pundaknya.

“Stop! Tanganmu, Mas!”tagurku menatap tajam.

Mas Gilang spontan melepas pegangannya.

“Kau juga! Ingat, semua orang  di rumah ini beserta seluruh karyawan toko, tahunya kau itu pembantu. Jangan pernah  kalian itu menunjukkan kemesraan di depan siapapun! Jangan pangil-panggil dengan kata sayang atau yang lainnya, paham!”

“Mel, kapan kami bisa bebas?” protes Mas Gilang tidak senang.

“Dulu gimana kalian buat? Saat aku masih hamil. Enggak ada yang tahu, kan?” sahutku tetap tenang.

“Tapi, kami akan menikah, bukan? Kalau sudah nikah, sudah bebas, kan?” kejarnya lagi.

“Hey! Kau lupa ya, Mas? Kalian  akan segera kunikahkan secara siri. Tapi diam-diam! Tidak ada yang boleh tahu selain aku. Enggak ngerti juga, sih? Atau keluargamu akan tahu semua kebusukanmu, mau?”

“Mas … gimana, sih? Katanya kau akan talak dia! Lalu nikahi aku secara sah?” rengek Harum sambil menghentakkan kakinya ke tanah berualng-ulang. Persis seperti anak kecil yang permintannya tidak dituruti.

“Sabar, ya, Sayang. Hanya tinggal waktu. Sementara kita ikuti permintaannya!” Mas Gilang menatap lembut kekasihnya. Aku tahu dia sangat ingin memeluk perempuan itu untuk menenangkannya. Tapi, dia ragu dengan ancamanku.

“Ini ada apa? Kok dari tadi papa perhatikan seperti ada masalah?”  Papa tiba-tiba muncul. Da menatap Harum keheranan. “Ini siapa?” tanyanya lagi.

“Dia pembantu kita, Pa. Baru datang dari kampung. “ sahutku cepat.

Mas Gilang dan Harum menatapku tajam. Aku melengos, lalu menggandeng papa mertuaku kembali masuk ke dalam. Terpaksa mereka berdua mengikuti langkah kami dengan diam.

“Pembantu apa lagi, Mel? Kan, udah ada Bik Ina?” tanya Papa sambil berjalan.

“Bik Ina khusus mengurus cucu Papa. Perempuan busuk ini mengurus rumah dan segalanya,” sahutku mantap.

“Apa? Perempuan busuk?” Papa mengulang ucapanku.

“Eh, bukan. Perempuan ini maksudku, Pa” kilahku tertawa manja.

“Kamu itu, orang baru datang saja sudah di katain seperti itu. Nanti dia enggak betah gimana?” Papa mertua mengucek rambutku.

Bagaimana mungkin Harum tidak betah, aku bayar pakai tubuh suamiku. Aku tertawa renyah, padahal sangat tidak lucu. Aku menertawakan kemalanganku.  Mas Gilang hanya bisa menghela napas, sambil menguatkan selingkuhannya lewat tatapan.

“Kamar untuk Harum yang mana, Mel?” tanya Mas Gilang kemudian.

*****

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Mbk Tia
kok dikunci sih
goodnovel comment avatar
Siti Ami
keren cerita nya thor
goodnovel comment avatar
Teddy Ardhian
Suaminya Sigit apa Gilang Thor? bingung saya.. pdhal ceritanya bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status