Aku masih berdiri di tempat dengan dada berdetak tak karuan. Tangan berkeringat dingin, hati dipenuhi rasa cemas.
Tak dapat kubayangkan reaksi Mas Nata saat melihat wanita terkasihnya dalam keadaan seperti ini, lebih-lebih Anes bilang yang sebenarnya. Akulah yang memisahkan mereka.Siap-tak siap, aku harus menerima kenyataan. Toh, di sini aku yang perebut. Perusak hubungan dua insan saling mencintai itu.Beberapa menit berlalu, aku tak mendengar suara apapun. Ataupun suara Mas Nata begitupun Anes. Karena penasaran, aku menoleh ke belakang. Mataku memicing saat sudah tak menjumpai Mas Nata di tempatnya. Hanya Anes yang celingukan tampak mencari-cari seseorang.Ke mana Mas Nata? Kulihat Aneska melangkah ke arahku. "Mungkin tidak sekarang, tapi aku akan kembali berusaha menemui apa yang sepantasnya jadi milikku."Aku terpaku dengan kata-kata Anes. Artinya … ia akan berusaha terus menemui Mas Nata. "Seperti halnya kau merebut Mas Nata, aku akan kembali hadir untuk merebutnya kembali darimu. Sebab ia memang milikku. Lagi pula … pernikahanku sedang berada di ujung tanduk." Setelah berucap, Aneska pergi begitu saja.Aku meremas tanganku. Tentu gelisah dengan ucapan Anes yang secara tak langsung ia akan meneror pernikahanku.Ya, Tuhan … siapkah aku?Tak ingin berlarut dengan ketakutan, aku berlari kecil mencari Mas Nata dan anak-anak. Ke mana dia?Saat ingin kembali berlari, aku melihat Mas Nata muncul bersama si kembar."Mas Nata!" Segera kuhampiri dan mencekal lengannya."Ada apa? Kenapa wajahmu berkeringat?" Dia menatapku heran."Mama habis lari-lari?" tanya Damar. Aku menggeleng."Kenapa, Nye?""Aku mencarimu, Mas. Kau menghilang." Kalimat itu begitu cepat aku luncurkan disertai nada khawatir.Mas Nata terdiam sejenak. "Kamu takut kehilangan aku?"Aku tergeragap dengan pertanyaannya. "Tidak, aku hanya khawatir sama Damar dan Wulan." Aku segera berjongkok dan memeluk si kembar. Untuk mengalihkan keadaan. Yang sempat tegang karena pertanyaannya.***Saat tiba di rumah, Mas Nata menggendong Wulan yang tertidur, sedangkan aku menuntun Damar.Setibanya di kamar, dengan pelan nan lembut Mas Nata mengelus pipi gembul Wulan dan menatapnya sambil tersenyum. Sedangkan Damar masih bermain dengan Mbak Ita di ruang tengah."Wulan begitu mirip denganku, ya?" Aku yang tengah menyimpan tas menoleh ke arah Mas Nata yang terus mengelus wajah Wulan dengan bibir masih tersenyum."Memang Damar nggak, Mas?" tanyaku sambil melepas aksesorisku."Ya mirip. Kan mereka kembar. Cuman … Wulan lebih mirip.""Kenapa bisa begitu?" Sekilas aku melirik sambil melepas anting."Entahlah … mungkin ini efek aku terlalu penyayang wanita. Sebenarnya Wulan sama Damar sama aja wajahnya. Mirip denganku. Cuman karena Wulan wanita jadi mungkin aku lebih memperhatikan dia. Bukan ingin pilih kasih. Tapi aku didik Damar agar jadi mandiri dan pemberani. Agar kelak bisa melindungi sang adik." Mas Nata masih setia mengelus wajah yang bak cerminannya tersebut.Dia memang akan bicara dan bercerita denganku hanya di luar tentang dirinya. Keseringan tentang anak-anak. Padahal aku ingin ia curhat tentang pribadinya. Lebih-lebih perasaannya. Untuk siapa hatinya."Juga … kelak pria yang menginginkan Wulan, gak boleh sembarang pria. Aku harus menjaga wanitaku dari emosional pria yang bisa berujung kekerasan. Itu tak boleh terjadi."Kata-kata pria yang penuh kelembutan nyaris mengalahi perempuan itu mengingatkanku dengan nasib rumah tangga Aneska. Ia banyak menerima kekerasan dari suaminya.Ya, Allah … apa jadinya jika Mas Nata tahu keadaan wanita terkasihnya yang gagal ia nikahi sebab tuduhan palsuku?Mas Nata tak suka pengkhianatan, jika sampai ia tahu kebohonganku, aku tak tahu apa yang akan terjadi. Tentu aku kehilangan segalanya. Materi dan cinta ….***Pagi ini si kembar berangkat sekolah denganku. Saat perjalanan pulang, di pinggir jalan aku melihat mainan anak-anak yang dijual dengan harga murah. Berjejer antara penjual satu dengan yang lainnya.Sebenarnya mama mertua melarangku juga Mas Nata membelikan si kembar mainan yang dijual pinggir jalan. Alasannya kotor gak baik untuk anak-anak.Ah, ada-ada aja emang mama. Udah kayak makanan aja harus bersih.Mas Nata biasa membelikan di mall, tapi sekalian melariskan dagangan bapak-bapak yang jualannya tampak sepi, aku pun turun dari mobil yang kuparkir di pinggir jalan.Pertama aku mengambil mobil-mobilan untuk Damar. Ada bola kecil dan pesawat juga. Lalu beralih ke boneka barbie. Saat tanganku hendak meraih bando pita. Tiba-tiba …."Mah, Bela kepengen bando itu. Cepat beli sebelum dibeli bibi itu …."Karena aku penasaran, lantas menoleh ke belakang. Mataku membelalak saat mengetahui itu Aneska dengan anak cewek berkisar seumuran Wulan.Segera kupalingkan wajah ke depan sebelum Aneska melihatnya. Mungkinkah itu anak Aneska?"Besok, ya, Nak … sekarang uangnya 'kan dipakai beli buku Bela …." "Ah, Mama selalu saja bilang besok dan besok terus. Tapi gak pernah belikan Bela. Bela benci Mama." Melalui pandangan ekor mataku, anak kecil yang kuyakini anak Aneska berlari."Bela. Tunggu …!" Aneska mengejarnya.Aku membalikkan badan untuk menatap Aneska yang mengejar anaknya. Juga kulihat mantan sahabatku itu memarahi makanya yang ngambek. Bahkan juga memukulnya. Setelah cukup lama, Aneska pergi dengan kesal meninggalkan Bela yang menangis tersedu-sedu.Hatiku teriris melihat adegan ini. Apalagi Mas Nata yang melihatnya. Dia orang yang sangat tersentuhan. Dulu Aneska yang glamor dan selalu membeli barang mahal, kini untuk membelikan bando anaknya seharga tujuh ribu saja gak punya.Apa segitu gak punyanya suami Anes. Dan ke mana orang tuanya yang kaya raya. Setidaknya mengetahui ini sedikit membantu.Di sini aku merasa jadi wanita paling jahat. Seharusnya Anes yang ada di posisiku, dan mungkin akulah yang di posisi Anes.Aku membeli beberapa mainan anak cewek juga bando tadi yang tersisa satu.Lalu menghampiri Bela yang masih menangis tersedu-sedu duduk di hamparan rumput.Kuusap air mata di wajah cantik menuruni ibunya itu. Dia tersenyum. Lalu kuberikan semua mainan yang kubawa. Tak luput bando yang diinginkannya tadi.Senyuman gadis ayu itu semakin mengembang. Begitu terlihat kebahagiaan di wajahnya."Kalau ditanyain mama, bilang aja dapat dari bibi yang Bela bantu bawain mainannya, ya." Aku mencolek dagu Bella. Dia mengangguk girang. Beberapa kali bilang terimakasih. Sebelum akhirnya pamit untuk pergi sambil berlari.Tadinya ingin memberikan uang juga, tapi takut Anes curiga.***Setibanya di rumah, aku mencari mainanan Wulan baik yang baru atau sudah tak digunakan lagi untuk kuberikan pada Bela.Untuk baju … biar aku belikan yang baru saja. Harga standar biar Anes gak curiga. Sebab kulihat baju Bela sudah kumuh, tak kalah dengan Anes.Saat sudah mengumpulkan barang dan buku serta alat tulis milik Wulan yang tak ia pakai sebab lebih, aku lanjut berjalan ke arah kamar lantai bawah dekat gudang.Aku mencari boneka besar yang masih baru. Terakhir kulihat di lemari kamar sana.Saat membuka lemari, sebuah kotak terjatuh. Dan tampaklah sebuah liontin berinisial A menyundul dari dalam kotak berukuran sedang itu.Aku tahu, itu liontin dari Anes untuk Mas Nata. Sebagai hadiah karena Mas Nata mendapat predikat terbaik di kampusnya."Jadi kau masih menyimpannya, Mas?" Air mata mengalir begitu saja. Kesakitan hatiku tak berhenti di situ. Luka semakin menganga tatkala melihat foto setengah wajah Aneska yang hanya menampakkan lesung pipinya saja.Aku terduduk lesu di lantai sambil meremas foto. Aku sakit … aku rapuh mengetahui kenangan mantan terindah masih tersimpan olehnya._____Setelah mengetahui kenangan dengan Aneska masih tersimpan, aku lebih banyak diam pada Mas Nata. Mengimbangi sikapnya yang pendiam. Tak lagi ada basa-basi untuk mengajaknya ngobrol. Ah, entahlah. Aku tahu diri ini egois. Aku sudah disenangkan dengan materinya sesuai tujuanku menikah dengannya, sekarang aku malah menuntut pria itu untuk memperlakukan aku sama dengan mantannya.Siang, sehabis menemui Bella dan memberikan mainan, aku langsung masuk ke kamar.Ada rasa dilema saat mendengar cerita Bela. Gadis itu kerap menerima kekerasan dari ayahnya.Ternyata suami Anes seorang penjudi dan pemabuk. Hutang di mana-mana. Awalnya si suami seorang ustadz yang kaya. Begitu informasi yang kudengar yang sengaja aku cari tahu.Setelahnya aku tak tahu apa yang terjadi, kenapa suami Anes jadi berubah.'Drrtt ….'Ponselku bergetar, sebuah pesan dari Mas Nata masuk.[Bisa minta tolong? Berkasku yang ada di atas meja rias kamu ketinggalan.]Aku melirik meja rias. Memang ada map di sana. Aku mengirim
"Ada apa, Nye?"Aku menoleh saat mendengar pertanyaan Mas Nata. Kulihat ke arah pagar. Anes sudah tak ada. Itu artinya Mas Nata baik Anes sama-sama tak melihat. Keburu Anes belok kanan sebelum mobil masuk.Aku bernafas lega. Namun sampai kapan aku akan menyembunyikan kebenaran ini? Sedangkan sudah ada pepatah mengatakan, sedalam-dalamnya bangkai dikubur, pasti tercium juga. "Nye, hei …." Mas Nata mengibaskan tangannya ke wajahku. Aku pun tersadar."Ada apa? Kok barang-barang Wulan berserakan di sini?" Mas Nata menatap barang-barang yang dilempar Anes tadi.Haruskah aku jujur sekarang? Sebab rasanya sudah lelah dan ingin mengakhiri saja. Sekalipun resikonya aku akan kehilangan segalanya. Materi dan … kebahagiaan hidup bersama Mas Nata walau … tanpa cinta. Ternyata benar, bahagia dengan hasil tak baik itu tak akan membuat benar-benar kita tenang."Anye ….""Mas …." Aku balik memanggil."Iya. Ada apa?" tanyanya menatap serius."Aku ingin bilang … maksudku aku ingin bertanya kenapa Mas
Aku menatap Mas Nata dan Anes secara bergantian. Tatapan keduanya saling tertahan. Bak sepasang kekasih yang sudah lama terpisahkan dan sekarang kembali bertemu di waktu yang tak terduga.Iya, itu memang benar. Dan pelakunya adalah aku. Memang akulah orang ketiga di antara mereka.Andai aku tak tega memisahkan mereka berdua dengan tuduhan palsuku, tentu kedua insan berbeda jenis saling mencinta itu akan hidup bahagia.Di sini aku yang salah. Namun … untuk sekarang, akulah istri Mas Nata dan aku sakit melihat tatapan itu.Dapat kulihat tatapan itu begitu berarti untuk Anes. Begitu lekat menatap sang wanita. Ah, entah apa yang ada di pikiran Mas Nata sekarang ini setelah bertemu dengan pujaan hatinya. "Hei, itu Pak Adinata, bukan?" Salah seorang pria bertanya."Iya. Dia Adinata Hermas. Pengusaha sukses itu," jawab seseorang.Namun meskipun begitu, Mas Nata seolah tak mendengar beberapa orang yang membicarakannya. Ia terlalu fokus menatap sang pujaan hati. Bahkan ia tak peduli dengan
Saat perjalanan pulang, pikiranku kalut dan bercabang. Begitu banyak yang aku pikirkan. Dari Mas Nata yang bertemu dengan Anes. Lalu pengakuan perasaan Kak Bian.Kak Bian bilang menyukaiku sudah lama, sedari masih sama-sama SMA atas rekomendasi Anes.Saat Anes menolak Kak Bian sebab sudah punya pacar dari anak kepala sekolah, temanku itu memperkenalkan aku pada Kak Bian. Aku masih ingat kejadiannya. Baru ngeh juga saat itu dia baru ditolak Anes.Dan saat itu juga mungkin aku sudah terlebih dahulu menyukai Kak Bian, namun ia tak menyadari.Lalu baru sekarang ia menyatakan perasaanya dengan alasan gadis seukuran Aneska saja menolak, apalagi aku yang katanya kerap mendapat prestasi dan pendiam. Ah, entahlah. Aku tak tahu apa yang dikatakan Kak Bian itu benar atau tidak. Sebab saat ini aku tak bisa fokus hanya ke satu hal. Ada hal lain yang lebih penting aku pikirkan sekarang. Yaitu Mas Nata.Sesampainya di rumah, aku langsung masuk dan menjumpai Mas Nata duduk seorang diri di sofa ruang
Aku masih menangis menatap foto Mas Nata dan Anes. Di sana Mas Nata tampak berdiri saling berhadapan, sedikit menoleh ke samping. Aku cemburu melihat ini. Apalagi lainnya?Apa yang Mas Nata dan Anes lakukan saat ini? Bagaimana posisinya. Mengetahui selama ini Mas Nata pendiam dan cuek pada wanita lalu menemui wanita lain sekalipun itu mantan calon istrinya, itu membuatku agak gimana. Seharusnya biasa tapi jadi tak biasa. Ingin aku blokir nomor Rosa, agar tak mengetahui tentang Mas Nata dan Anes lainnya yang tentu sangat membuatku sakit hati dan rapuh. Tapi … jika tidak begitu, aku akan terus menutup mata dari kebenaran.Kebenaran Mas Nata yang diam-diam menemui Anes dan hatinya masih untuknya.Dadaku sesak, hati dan pikiran tak tenang. Memikirkan apa yang dilakukan Mas Nata dan Anes. Entahlah kenapa aku bisa se tak terima ini. Padahal di sini akulah orang ketiga, namun aku juga yang merasa terkhianati.Karena tak tahan menanggung gejolak hati yang dirundung rasa curiga, kuberanikan d
Setibanya di rumah, aku melihat mobil Mas Nata sudah terparkir di depan rumah. Itu artinya dia sudah tiba terlebih dahulu.Mendadak bingung, jika ia bertanya aku habis dari mana, aku jawab apa? Tapi rasanya tidak mungkin. Selama ini Mas Nata tak pernah bertanya aku habis dari mana jika keluar.Toh, dia juga pernah bilang gak usah repot-repot izin jika mau pergi ke suatu tempat. Takutnya Mas Nata lagi sibuk dan ia telat balas aku juga telat perginya.Tapi aku malah merasa tak dipedulikan dengan cara bersikapnya. Seolah ia cuek aku mau pergi ke mana aja. Padahal aku pengen ditanyain, dikepoin. Mau ke mana, pergi dengan siapa, ketemu siapa. Pengen gitu, merasa dipentingin Mas Nata, dikhawatirin di luar khawatir aku celaka. Cemburu gitu.Ah, boro-boro cemburu. Suka aja nggak.Setelah keluar dari mobil, aku langsung masuk. Anak-anak tampak sudah siap untuk pergi jalan, sudah dimandikan juga kayaknya sama Mbak Ita.Setelah menyapa si kembar dan mengecupnya, aku melangkah ke kamar.Saat mem
Seperti halnya saat aku menikah dengan Mas Nata karena tak punya pilihan, begitupun dengan perpisahan ini, aku tak punya pilihan. Tepatnya Mas Nata tak memberiku pilihan.Semalaman aku dan Mas Nata sama-sama menangis. Menangis dalam diam. Sebab, setelah keputusan perpisahan sudah diambil, Mas Nata tak lagi bicara denganku.Aku meringkuk di atas ranjang, menangis sepanjang malam. Sedangkan Mas Nata di sofa sama menangisnya.Sempat bertanya-tanya, apa yang membuat pria itu menangis. Perpisahan inikah? Atau apa? Ingin bertanya tapi keadaan sudah tak sama lagi.Pagi sekitar jam 5, Mas Nata mengantarku untuk kembali ke rumah orang tuaku. Si kembar dititipkan ke Anita—adiknya yang masih kuliah. Diantar sekolah dan dijemput olehnya lalu dipulangkan ke rumah Mama Sarah—orang tua Mas Nata.Iya, aku pergi dari rumah saat si kembar belum terbangun. Sengaja aku memintanya, sebab tak tahan untuk berpisah dari mereka dan menampakkan air mata kesedihan ini. Lalu menciptakan tanda tanya di pikiran k
"Kenapa kau harus kehilangan suami sebaik Nata, Nye?"Saat aku kembali masuk, Bapak dan Ibu menyidangku. Sedangkan Paman sudah pulang.Aku hanya menunduk dalam-dalam. Tak tahu mau jawab apa. Aku saja terpukul atas kehilangan Mas Nata."Katakan, Nye. Tidak mungkin suami sesempurna Nata akan menceraikanmu tanpa sebab. Dia pria cerdas dan sopan. Aku tahu pasti kamu yang berbuat kesalahan tidak mungkin dia. Katakan sekarang! Kesalahan apa yang kau perbuat hingga pria baik itu membuangmu?" Kali ini Ibu berdiri. Menatapku dengan deraian air mata.Sedangkan Bapak hanya diam saja. Namun aku tahu, diamnya Bapak bukan berarti ia tak marah. Oleh karena ia marah makanya diam."Anye, katakan!" bentak Ibu. Masih menanyaka kesalahanku.Keluargaku memang tak ada yang tahu, alasan kenapa aku bisa dinikahi pria yang banyak memiliki kelebihan seperti Mas Nata.Aku memang tak memberi tahu bahwa aku merebutnya dari Anes. Lalu dengan apa aku harus menjawab pertanyaan Ibu?Bilang kalau Mas Nata punya orang