"Kamu suka hadiahku?" Usai sholat Maghrib, aku mendapat telepon dari Mas Nata. Tak segera kujawab pertanyaanya. Mendadak canggung, seperti malu gitu aku mau mengakuinya. Ya tentu aku suka dengan hadiahnya. Yang merupakan untuk pertama kali darinya."Itu hadiah pertama kalinya dariku." Meski pertanyaanya belum kujawab, ia kembali berucap."Namun bukan berarti untuk terakhir kalinya," lanjutnya lagi. Aku masih setia membungkam.Entahlah, lebih suka mendengarkan suaranya saja. Suara yang begitu aku rindukan di setiap waktu."Nanti aku akan sering memberimu hadiah lagi. Maaf ….""Untuk apa?" Kali ini aku bersuara. Sebab penasaran tiba-tiba Mas Nata bilang maaf padaku."Maaf aku baru tahu kalau kamu suka hadiah. Kupikir kamu lebih suka uangnya.""Tidak. Maksudnya … ya awalnya aku memang butuh uang. Namun bukan berarti—""Iya aku tahu kau mencintaiku." Mas Nata menyela, tentu membuatku malu mendengar kebenaran itu.Sesaat hening. Aku dan Mas Nata sama-sama terdiam."Sepertinya kita meman
"Eh, itu Anyelir, bukan?"Aku yang mendengar namaku seperti sedang disebut, sontak menoleh. Untuk memperjelas wajah kedua wanita yang sedang berdiri menatapku, kubuka kacamata hitamku sambil mengibaskan rambut ikalku ke belakang."Bener banget dia Anyelir," sahut wanita satunya yang begitu aku kenal. Rosa—temanku sedari SMA hingga kuliah."Iya, dia Anyelir. Si pelakor itu." Sonya—juga temanku sedari SMA menimpali dengan sengit.Aku hanya bisa menelan ludah. Tanganku berkeringat dingin. Ah, ternyata kedua temanku itu masih membenciku. Dan sebutan pelakor masih mereka ucapkan dengan sengit padaku setelah hampir lima tahun kami tidak bertemu.Tanganku semakin berkeringat dingin tatkala melihat kedua wanita yang dulunya sering berbagi kisah suka maupun duka denganku itu melangkah ke arahku. Yang sedang berdiri dekat kursi taman."Baru kali ini aku melihat pelakor tapi bahagia, malah semakin jaya aja." Setelah tiba di depanku, Rosa menatapku dari ujung kaki hingga ujung rambut."Iya, ini n
"Kenapa kamu kayak kaget gitu, Nye?" Rosa mendorong bahuku. "Apa tadi kamu pikir bisa menebus kesalahanmu dengan uang? Mentang-mentang sekarang kamu banyak uang dan Anes kekurangan?" Rosa menatap dengan ejekan ke arahku.Aku hanya bisa diam. Sebab tadi aku memang sempat berpikiran seperti itu."Anye …."Aku mengangkat wajah kembali menatap Anes saat ia menyebutku."Bagaimana jika aku menjadi pelakor dalam hidupmu?" Mataku kembali melebar mendengar kata-kata Aneska."Jawab! Jangan diam saja!" Rosa kembali mendorong bahuku. Aneska maju satu langkah ke depan, dengan mata tak lepas menatapku. "Aku masih mencintai Mas Nata," ucapnya, "dan kupikir Mas Nata juga masih mencintaiku." Aku gak heran jika Anes masih mencintai Mas Nata. Namun … jika Mas Nata yang masih mencintai Anes … kenapa hatiku perih?"Jelas Mas Adinata masih mencintaimu, Nes. Kan kamu memang cinta pertamanya. Anye tahu itu, bahkan seluruh dunia aku rasa tahu. Kalian berpacaran sudah hampir lima tahun lamanya, dan hampir m
Aku menatap kotak perhiasan mewah di depanku. Dua buah gelang yang dikirim mama mertua. Alasannya masih sama. Karena perusahaan Mas Nata maju dan sukses.Mama mertua juga bilang makasih saat di telpon tadi. Kesuksesan Mas Nata karena aku katanya.Orang tua di kampung sudah aku kirim. Setelah pertemuanku dengan Aneska … aku merasa tak pantas mendapat kemewahan ini. Seharusnya Aneska yang ada di posisiku. Menikmati kesuksesan Mas Nata dan kebahagiaan dalam berumah tangga dengannya. Bukan aku.Dua hari sebelum pernikahan Mas Nata dan Anes, aku melihat Aneska keluar dari salon. Kala itu Aneska masih tak berhijab. Ia masuk ke dalam mobil bersama seorang pria tampak mesra.Aku yang saat itu memang sangat membutuhkan uang untuk biaya operasi ibuku dan bayar hutang bapakku yang sudah jatuh tempo dan kalau tidak dibayar maka bapak akan dimasukkan ke penjara, akhirnya aku yang tak menemukan pinjaman, berani memberikan tuduhan palsu tentang Aneska pada Masa Nata. Aku memberikan foto Aneska bers
Pagi ini, lagi-lagi aku kesiangan. Usai sholat Subuh ketiduran di atas sajadah. Bangun-bangun sudah ada di atas kasur. Untung hari ini tanggal merah. Mas Nata sama si kembar libur.Saat masuk ke dapur, aku sudah menjumpai Mas Nata mencuci piring di wastafel. "Maaf, Mas. aku kesiangan," kataku setelah sampai di dekatnya.Dia tersenyum sambil meneruskan kegiatannya. "Gak papa, sengaja juga gak aku bangunin." Dia berucap dengan tenang. Aku yang gak enak, mengulurkan tangan hendak mengambil alih spon di tangannya. Namun ia tahan."Sudah tinggal sedikit. Biar aku selesaikan. Kamu bangunin aja si kembar. Habis sholat tadi, mereka tidur lagi."Aku mengangguk, namun berjalan ke arah kamar mandi hendak mencuci pakaian. Namun keranjang cucian sudah kosong. Mesin cuci juga kosong. Aku kembali ke dapur. Mas Nata tersenyum ke arahku. "Semua sudah aku kerjakan. Nyapu, ngepel juga. Kamu bangunin anak-anak aja.""Maaf, Mas. Aku tak akan mengulangi," kataku tak enak. Ia hanya tersenyum tulus.De
Aku masih berdiri di tempat dengan dada berdetak tak karuan. Tangan berkeringat dingin, hati dipenuhi rasa cemas.Tak dapat kubayangkan reaksi Mas Nata saat melihat wanita terkasihnya dalam keadaan seperti ini, lebih-lebih Anes bilang yang sebenarnya. Akulah yang memisahkan mereka.Siap-tak siap, aku harus menerima kenyataan. Toh, di sini aku yang perebut. Perusak hubungan dua insan saling mencintai itu.Beberapa menit berlalu, aku tak mendengar suara apapun. Ataupun suara Mas Nata begitupun Anes. Karena penasaran, aku menoleh ke belakang. Mataku memicing saat sudah tak menjumpai Mas Nata di tempatnya. Hanya Anes yang celingukan tampak mencari-cari seseorang.Ke mana Mas Nata? Kulihat Aneska melangkah ke arahku. "Mungkin tidak sekarang, tapi aku akan kembali berusaha menemui apa yang sepantasnya jadi milikku."Aku terpaku dengan kata-kata Anes. Artinya … ia akan berusaha terus menemui Mas Nata. "Seperti halnya kau merebut Mas Nata, aku akan kembali hadir untuk merebutnya kembali da
Setelah mengetahui kenangan dengan Aneska masih tersimpan, aku lebih banyak diam pada Mas Nata. Mengimbangi sikapnya yang pendiam. Tak lagi ada basa-basi untuk mengajaknya ngobrol. Ah, entahlah. Aku tahu diri ini egois. Aku sudah disenangkan dengan materinya sesuai tujuanku menikah dengannya, sekarang aku malah menuntut pria itu untuk memperlakukan aku sama dengan mantannya.Siang, sehabis menemui Bella dan memberikan mainan, aku langsung masuk ke kamar.Ada rasa dilema saat mendengar cerita Bela. Gadis itu kerap menerima kekerasan dari ayahnya.Ternyata suami Anes seorang penjudi dan pemabuk. Hutang di mana-mana. Awalnya si suami seorang ustadz yang kaya. Begitu informasi yang kudengar yang sengaja aku cari tahu.Setelahnya aku tak tahu apa yang terjadi, kenapa suami Anes jadi berubah.'Drrtt ….'Ponselku bergetar, sebuah pesan dari Mas Nata masuk.[Bisa minta tolong? Berkasku yang ada di atas meja rias kamu ketinggalan.]Aku melirik meja rias. Memang ada map di sana. Aku mengirim
"Ada apa, Nye?"Aku menoleh saat mendengar pertanyaan Mas Nata. Kulihat ke arah pagar. Anes sudah tak ada. Itu artinya Mas Nata baik Anes sama-sama tak melihat. Keburu Anes belok kanan sebelum mobil masuk.Aku bernafas lega. Namun sampai kapan aku akan menyembunyikan kebenaran ini? Sedangkan sudah ada pepatah mengatakan, sedalam-dalamnya bangkai dikubur, pasti tercium juga. "Nye, hei …." Mas Nata mengibaskan tangannya ke wajahku. Aku pun tersadar."Ada apa? Kok barang-barang Wulan berserakan di sini?" Mas Nata menatap barang-barang yang dilempar Anes tadi.Haruskah aku jujur sekarang? Sebab rasanya sudah lelah dan ingin mengakhiri saja. Sekalipun resikonya aku akan kehilangan segalanya. Materi dan … kebahagiaan hidup bersama Mas Nata walau … tanpa cinta. Ternyata benar, bahagia dengan hasil tak baik itu tak akan membuat benar-benar kita tenang."Anye ….""Mas …." Aku balik memanggil."Iya. Ada apa?" tanyanya menatap serius."Aku ingin bilang … maksudku aku ingin bertanya kenapa Mas