Pagi ini, lagi-lagi aku kesiangan. Usai sholat Subuh ketiduran di atas sajadah. Bangun-bangun sudah ada di atas kasur. Untung hari ini tanggal merah. Mas Nata sama si kembar libur.
Saat masuk ke dapur, aku sudah menjumpai Mas Nata mencuci piring di wastafel. "Maaf, Mas. aku kesiangan," kataku setelah sampai di dekatnya.Dia tersenyum sambil meneruskan kegiatannya. "Gak papa, sengaja juga gak aku bangunin." Dia berucap dengan tenang. Aku yang gak enak, mengulurkan tangan hendak mengambil alih spon di tangannya. Namun ia tahan."Sudah tinggal sedikit. Biar aku selesaikan. Kamu bangunin aja si kembar. Habis sholat tadi, mereka tidur lagi."Aku mengangguk, namun berjalan ke arah kamar mandi hendak mencuci pakaian. Namun keranjang cucian sudah kosong. Mesin cuci juga kosong. Aku kembali ke dapur. Mas Nata tersenyum ke arahku. "Semua sudah aku kerjakan. Nyapu, ngepel juga. Kamu bangunin anak-anak aja.""Maaf, Mas. Aku tak akan mengulangi," kataku tak enak. Ia hanya tersenyum tulus.Dengan masih merasa tak enak, aku melangkah ke luar dapur menuju kamar si kembar.***"Namanya Mbak Ita 'kan?" Langkahku terhenti saat ingin masuk ke kamar mendengar suara Mas Nata menanyakan nama seorang wanita di telepon.Siapa Ita? Kok mendadak aku sakit hati? Sejenis tak terima gitu. Mas Nata yang cuek terhadap wanita menanyakan nama wanita.Aku melanjutkan langkahku ke lemari. Kulihat ia sudah selesai bertelepon."Nye …!"Aku menoleh. "Iya, Mas?" Mas Nata bangkit dari duduknya dan melangkah ke arahku. "Nanti akan ada Mbak Ita datang untuk—""Siapa dia?" Ah, pertanyaan itu refleks keluar begitu saja dari mulutku."Dia wanita yang akan bekerja di rumah kita." "Gadis apa sudah punya suami." Dih, pertanyaan apa lagi ini."Dia janda.""Kenapa milih yang janda?" Nah, makin ngaco aja pertanyaanku. Haish … memalukan.Mas Nata sempat terdiam. Mungkin heran. "Karena dia sudah tak memiliki suami lagi untuk memberinya nafkah," jawabnya pelan. Dan aku malu dengan jawabannya. Sempatnya diri ini curiga yang tidak-tidak dengan Mas Nata. Padahal aku tahu, ia pria super cuek. Kecuali dengan Aneska saat itu.Ya, sekarang aku jadi sadar, bahwa kecuekan Mas Nata berlaku untuk semua wanita kecuali adik dan Aneska. "Kenapa Mas harus mempekerjakan orang? Mas gak percaya dengan pekerjaanku?"Langkah pria yang hanya memakai boxer dan kaos lengan pendek itu terhenti. "Bukannya tidak percaya. Hanya saja aku ingin mengurangi pekerjaan kamu. Sudahlah aku jarang bantu belakangan ini. Sebab sibuk di kantor.""Apa Mama yang menyuruh ini?" tanyaku. Menatap pria yang saat ini sudah ada di depan kamar mandi."Tidak. Ini murni kemauanku. Dan andaikan Mama tahu di rumah ini tidak ada pembantu tentu ia akan marah. Takut menantunya gak punya waktu untuk si kembar." Dia tersenyum sebelum akhirnya masuk ke kamar mandi.Iya, mama mertua lebih suka mempekerjakan pembantu daripada baby sitter. Kurang percaya untuk mengasuh si kembar katanya.***Usai membersihkan kamar bawah untuk ditempati Mbak Ita nanti, aku kembali ke kamar dan membaringkan diri di ranjang."Selamat ulang tahun …!" Aku yang heran dengan ucapan Mas Nata sontak bangun dari baringku. Langsung kulihat kalender di Hp, ternyata sekarang aku ulang tahun.Pria yang sudah segar sehabis mandi itu meletakkan amplop di dekatku."Apa ini, Mas?" tanyaku."Ambillah, dan beli apapun yang kamu mau." Setelah berucap, pria itu melangkah keluar kamar.Aku tersenyum miris. Jadi ini maksudnya aku disuruh beli hadiah sendiri?'Kenapa gak kamu aja yang belikan, Mas?' lirihku dalam hati.Sedih rasanya diberi hadiah mentahan seperti ini. Tahun sebelum-sebelumnya disuruh milih hadiah sendiri. Padahal aku ingin merasakan dapat hadiah dari pasangan. Selama kami menikah, aku tak pernah mendapatkannya selain dari mertua. Apalagi kejutan.Tapi kenapa Mas Nata tak sepeka itu? Padahal dia dulu saat masih berpacaran dengan Aneska sering memberi hadiah saat ulang tahunnya.Dari ini aku semakin sadar, bahwa pernikahan kami hanya Mas Nata anggap sebatas persahabatan. Bahkan kurang dari itu. Entah mau disebut apa pernikahan ini. Rosa benar, aku tak akan bahagia dengan hasil curianku.Aku telah mencuri Mas Nata dasi Aneska. Sahabat baikku.***"Kamu mau aku temani, Nye?"Aku yang sedang menyisir rambut terhenti. Menatap Mas Nata yang baru masuk kamar."Beli hadiah," lanjutnya dengan pandangan ke arah amplop yang tadi pagi ia berikan padaku. Masih tergeletak di atas nakas.Mungkinkah … ia tersinggung? Ah, bodohnya aku. Seharusnya tadi aku bilang terimakasih dan menyimpan amplopnya."Tidak usah, Mas. Lagian aku masih bingung mau beli apa," tolakku."Keluar aja dulu, biasanya wanita kalau sudah lihat barangnya baru kepengen."Aku kembali menolak ajakan Mas Nata untuk keluar beli hadiah. Namun ia memaksa, dengan alasan sekalian bawa si kembar jalan-jalan sore.Setelah tiba di pusat perbelanjaan, pertama kali Mas Nata membawaku ke toko emas. Dan menyuruhku memilih apapun yang aku suka. Padahal kemarin aku sudah dapat dari mamanya. Setelahnya ia membawaku ke tempat penjual sepatu, lalu tas dan terakhir baju.Si kembar sibuk makan ice cream. Dengan telatennya si papa membersihkan ice cream yang belepotan di mulut dan tangan mereka. Aku hanya bisa tersenyum sambil memilih baju."Belum nemu juga?""Hah!" Aku terkesiap dengan pertanyaan Mas Nata yang saat ini sudah ada di sampingku."Ini kayaknya bagus." Mas Nata menunjuk baju di tangan kananku."Kalau butuh penilaian, kamu bisa minta pendapatku."Aku mengangkat wajah, menatapnya tak percaya. Ya, Allah … kok aku baper. Secara tidak langsung Mas Nata sudah memilihkan baju untukku."Kamu juga bisa mencobanya. Nanti tunjukkan padaku."Saking senangnya mendengar kata-katanya, aku langsung mengangguk berkali-kali dan berlalu menuju ruang ganti.Langkah lincahku terhenti dan mataku membelalak saat melihat keberadaan Aneska berdiri di depan ruang ganti.Wanita yang anggun dengan jilbabnya itu melangkah ke arahku. Aku menegang."Harusnya aku yang ditemani belanja saat ini. Bukan kamu, Nye."'Deg.' Kata-kata Anes langsung mengena ke ulu hati."Aku tadi melihat kalian pas di pom bensin. Aku sengaja mengejar ke sini karena penasaran." Jadi … Aneska sedari tadi mengikuti kami, dan mengetahui semua kegiatan kami? "Aku iri melihat kamu diperlakukan manja bak ratu penuh pengertian sama Mas Nata, Nye. Sesuatu yang tak pernah aku dapatkan dari suamiku …." Mata Anes berkaca-kaca. Sedangkan aku terdiam dan membisu."Dia memang pria baik. Hatiku sakit saat melihat dia sibuk mengurus anaknya, sedangkan kau asyik memilih baju, bahkan dipilihkan."Hatiku ngilu mendengarnya. Ya, Allah … apa yang dikatakan Anes benar. Harusnya Anes yang di posisiku. Namun malah kebalik."Mendadak aku rindu Mas Nata."Air mata Anes terjatuh. Begitupun dengan air mataku."Apa jadinya, Nye. Jika aku menampakkan diri saat ini … dalam keadaan seperti ini pada pria yang di hatinya masih ada aku itu?"Mataku membelalak seketika. Ya, Allah … meskipun aku masih tak mendapatkan hati dari suamiku. Namun aku tak siap kehilangannya … sosok pria baik itu.Kupejamkan mata bersamaan dengan derasnya air mata mengalir, tatkala Anes melewatiku begitu saja berjalan ke arah belakang.Aku memang salah, tapi aku belum siap ya, Allah … kehilangan kebahagiaan keluarga kecilku ….Terutama Mas Nata ….______"Kamu suka hadiahku?" Usai sholat Maghrib, aku mendapat telepon dari Mas Nata. Tak segera kujawab pertanyaanya. Mendadak canggung, seperti malu gitu aku mau mengakuinya. Ya tentu aku suka dengan hadiahnya. Yang merupakan untuk pertama kali darinya."Itu hadiah pertama kalinya dariku." Meski pertanyaanya belum kujawab, ia kembali berucap."Namun bukan berarti untuk terakhir kalinya," lanjutnya lagi. Aku masih setia membungkam.Entahlah, lebih suka mendengarkan suaranya saja. Suara yang begitu aku rindukan di setiap waktu."Nanti aku akan sering memberimu hadiah lagi. Maaf ….""Untuk apa?" Kali ini aku bersuara. Sebab penasaran tiba-tiba Mas Nata bilang maaf padaku."Maaf aku baru tahu kalau kamu suka hadiah. Kupikir kamu lebih suka uangnya.""Tidak. Maksudnya … ya awalnya aku memang butuh uang. Namun bukan berarti—""Iya aku tahu kau mencintaiku." Mas Nata menyela, tentu membuatku malu mendengar kebenaran itu.Sesaat hening. Aku dan Mas Nata sama-sama terdiam."Sepertinya kita meman
"Minta tisu, Nye!" Aku yang termangu segera sadar ketika Mas Nata mengulurkan tangannya ke depanku."Ada, gak?" tanya Mas Nata dengan sebelah mata terpejam.Karena tak membawa tisu, aku memberikan saputangan. Yang langsung disambut oleh Mas Nata mengelap wajahnya."Eh, ini saputangan milikku, bukan?" Mas Nata menatap sapu tangan berwarna dongker yang memang miliknya. "Iya," jawabku pelan."Kok gak kamu kembalikan?" Mas Nata menatapku dengan mata memicing."Ya udah, itu sekalian aku kembalikan.""Gak usah, itu emang buat kamu, kok." Mas Nata langsung duduk begitu saja di kursi tepat depanku."Mas udah dari tadi di sini?" tanyaku langsung begitu Mas Nata sudah duduk."Iya, bahkan sebelum kalian datang.""Hah!" Aku melongo dengan mata beberapa kali berkedip."Kenapa?""Jadi—""Iya, aku melihat tingkah saltingmu saat baca chat aku."Aku segera memalingkan pandangan ke arah lain. Gak kuat menanggung rasa malu.Sesaat hening. Aku sok sibuk membenarkan jilbab yang diterpa angin sore."Kamu
Pagi ini aku sudah diperbolehkan pulang. Amir yang menjemputku.Wulan tak bisa datang, katanya pagi ini ia akan mendaftar sekolah di salah satu sekolah SMP top dan bermutu.Sedih sebenarnya, tapi tak apa. Toh habis ini aku akan sering bertemu dengan putriku itu. Mas Nata sendiri yang bilang.Selama dalam perjalanan pulang, dalam mobil aku terus kepikiran dengan kata-kata Mas Nata semalam yang mengatakan akan membuatku jadi lebih dekat dengan Wulan juga papanya. Itu artinya dirinya 'kan? Iya, aku yakin maksud kata-kata Mas Nata semalam itu adalah dirinya. Memang siapa lagi papanya Wulan. Atau … apa mungkin pria itu hanya bercanda. Secara Mas Nata sekarang agak berubah, dia bukan pria pendiam lagi yang dingin dan cuek. Semalam saat bersamaku meskipun hanya sebentar, dia banyak bicara bahkan bercanda juga.Sempat kaget dengan perubahan Mas Nata. Penasaran, kira-kira siapa yang membuatnya berubah? Adakah wanita lain yang membuatnya berubah. Sering kudengar, cinta akan membuat seseorang
Aku masih termangu di tempat, rintik hujan semakin deras turun. Begitu juga dengan air mata yang mengalir deras hanya saja tersamarkan air yang turun dari atas.Mas Nata membalikkan badan, mulai melangkahkan kakinya.Aku terpaku di tempat, seolah tak punya tenaga untuk bersuara atau mengejar langkah Mas Nata yang semakin menjauh.Saat kupaksakan kaki ini untuk bergerak untuk mengejar, tiba-tiba …."Awas … ada mobil!"Entah siapa yang berteriak, namun bersamaan dengan itu sesuatu yang keras menerjang tubuh hingga diri ini terpelanting ke aspal jalanan. Disusul dengan suara teriakan histeris dari orang banyak.Aku merasakan sakit di sekujur tubuh, dan dari kepala seperti ada cairan kental yang mengalir."Mama …!" Saat mata ini ingin terpejam, tiba-tiba mendengar suara yang begitu aku kenal. Sekuat tenaga kupaksakan mata ini terbuka.Samar-samar kulihat gadis kecil berjilbab mendekatiku. Setelahnya semuanya jadi gelap dan aku tak ingat apa-apalagi.***"Mama, ini Damar!" Sayup-sayup k
Lima tahun berlalu, dan luka juga rasa kehilangan itu masih ada di lubuk kalbu. Entah kapan bisa move on dari rasa kehilangan.Kegiatan sehari-hariku disibukkan dengan mengajar di beberapa universitas di samping menjaga toko kosmetik yang alhamdulillah semakin maju dengan pesat, bahkan aku harus menaruh beberapa karyawan di sana untuk membantu di kala sibuk.Setelah lulus S2 sebenarnya banyak perusahaan yang menawarkan pekerjaan, namun entah kenapa aku tak tertarik, lebih tertarik menjadi seorang dosen.Namun sesibuk apa diri ini, kadang masih meneteskan air mata saat teringat dengan orang-orang tercinta."Mbak semakin sibuk aja." Amir yang baru saja turun dari mobil menghampiriku di toko."Iya, Mir, biar sukses. Mbak udah kenyang dengan hinaan di masa lalu," candaku yang disambut gelak tawa oleh pria yang kini sudah bekerja di sebuah perusahaan besar dengan jabatan lumayan tinggi."Kamu juga gitu, Mir, kerja yang benar, biar nanti gak dipandang rendah sama wanita. Apalagi pas nikah d
"Pergilah, Nes. Aku tak lagi ingin melihatmu," kataku menatap Anes yang masih menangis.Perlahan aku berdiri tanpa mengusap air mata yang terus mengalir."Anye, aku—"Kata-kata Anes terhenti saat sebelah tangan kuangkat sebagai isyarat agar dia diam saja."Aku tak perlu permintaan maafmu saat ini. Jangan tanya bagaimana rasa benciku padamu sekarang. Tapi tetap aku memaafkanmu.""Anye—"Aku kembali mengangkat tangan menghentikan Anes yang hendak mendekatiku."Percuma, aku meluapkan amarah padamu. Toh aku sudah kehilangan segalanya." Kutarik nafas dalam-dalam. "Pergilah!" kataku tanpa melirik Aneska.Perlahan dan dengan kepala menunduk, wanita yang sudah menghancurkan hidupku itu melangkahkan kakinya."Ingat! Jangan pernah lagi muncul di hadapanku. Aku tak mau lagi hilang kontrol dan kembali memukulmu seperti tadi," kataku saat Anes sudah berada di belakangku.Sesaat hening, lalu … "Maafkan aku, Nye." Terdengar suara Anes bergetar sebelum kudengar langkanya pergi menjauh. Air mata kemb