Share

Ungkapan Rasa Tak Terduga

Aku menatap Mas Nata dan Anes secara bergantian. Tatapan keduanya saling tertahan. Bak sepasang kekasih yang sudah lama terpisahkan dan sekarang kembali bertemu di waktu yang tak terduga.

Iya, itu memang benar. Dan pelakunya adalah aku. Memang akulah orang ketiga di antara mereka.

Andai aku tak tega memisahkan mereka berdua dengan tuduhan palsuku, tentu kedua insan berbeda jenis saling mencinta itu akan hidup bahagia.

Di sini aku yang salah. Namun … untuk sekarang, akulah istri Mas Nata dan aku sakit melihat tatapan itu.

Dapat kulihat tatapan itu begitu berarti untuk Anes. Begitu lekat menatap sang wanita. 

Ah, entah apa yang ada di pikiran Mas Nata sekarang ini setelah bertemu dengan pujaan hatinya.  

"Hei, itu Pak Adinata, bukan?" Salah seorang pria bertanya.

"Iya. Dia Adinata Hermas. Pengusaha sukses itu," jawab seseorang.

Namun meskipun begitu, Mas Nata seolah tak mendengar beberapa orang yang membicarakannya. Ia terlalu fokus menatap sang pujaan hati. Bahkan ia tak peduli dengan keberadaanku.

Situasi ini membuatku terluka dan sakit. Hatiku sakit … dadaku sesak … semakin lama semakin menghimpit.  Karena tak tahan, perlahan aku mundur secara teratur dan pasti. 

Barulah setibanya di kura kaget aku berlari kencang masuk ke mobil.

Di dalam mobil, aku menangis sejadi-jadinya sambil menjalankan dengan kecepatan tinggi.

Akhirnya … aku merasakan kekecewaan ini. Ya, karena aku sadar memang bersalah. Lalu mau apalagi?

Tinggal menikmati dengan ikhlas rasa sakit hati yang dulu juga pernah dirasakan oleh Anes.

Semakin kupercepat laju mobil hingga tiba di tempat di mana biasa aku mampir.

Setelah keluar dari mobil, aku berlari sekencang mungkin dengan deraian air mata yang tak kunjung berhenti mengalir. Kutelusuri jembatan panjang yang melintang di atas laut.

Entah kenapa aku seolah tak ingin berhenti berlari. Tak kupedulikan tatapan heran dari beberapa orang yang melihatku.

Aku terus berlari hingga kaki ini kesandung dan ….

Tangan seseorang menarik tanganku sebelum tubuh ini terjatuh. 

Aku menoleh, dan mendapati tubuh tinggi tegap pria berdiri di belakangku. Menatapku dengan raut wajah yang tak bisa aku tebak.

Aku menangis sambil menundukkan wajah. Ada rasa kecewa saat mengetahui kalau yang datang menyusulku bukan Mas Nata, tapi Kak Abian.

Kemana Mas Nata? Apa dia sekarang sedang bersama Anes? Matan kekasihnya? Apa Anes sudah menceritakan semua kebenarannya? Lalu apa tanggapan Mas Nata?

Ah, begitu banyak pertanyaan yang menggelayut terasa berat di kepalaku.

"Jangan seperti ini, Nye!" Kak Bian bersuara.

Aku pun tersenyum. Seolah ingin menyembunyikan kesedihanku dari pria yang bisa kubilang orang asing.

Aku mengangkat tangan mengusap wajah yang basah dengan air mata.

"Pakai ini." Kak Bian mengulurkan sapu tangan. Untuk menghargai kepeduliannya, aku menerimanya.

"Terimakasih," ucapku. Iya, aku suka menghargai kepedulian orang. Sebab aku tahu bagaimana rasanya tak dipedulikan. Dan itu sakit. 

Kak Bian bersandar ke pinggiran jembatan, sedangkan aku sibuk menata hati agar baik-baik saja. Tak kacau seperti sebelumnya.

Entahlah, kenapa sekarang aku merasakan cemburu pada Mas Nata yang memberikan tatapan lain pada Anes—wanita yang begitu dicintainya dulu.

Padahal dulu aku tak peduli akan itu. Aku hanya fokus materi yang diberikan Mas Nata. Masa bodo hati Mas Anta untuk siapa. Tapi sekarang … aku rapuh, aku cemburu.

"Jika kau butuh orang yang ingin mendengarkan keluh kesahmu, aku siap."

Aku menoleh mendengar kata-kata itu. Kak Bian berucap dengan pandangan lurus ke depan  menatap laut.

"Dari tadi apa yang aku dengar dari ketiga temanmu … aku sudah dapat menebak kalau—"

"Kalau aku pelakor." Aku memotong ucapan Kak Bian.

Pria di samping ku itu menoleh, menatapku sambil tersenyum. "Kau bukan pelakor, Nye." Dia terkekeh.

"Tak perlu membelaku, Kak. Aku sendiri menyadari itu."

"Hei, kamu lupa dengan pepatah sebelum janur kunin melengkung … yang artinya sebelum ijab qobul terlaksana, kita masih bisa memperjuangkan jodoh kita, bukan?" Kata-kata Kak Bian penuh semangat. 

Aku tahu pria hangat ini  ingin menghiburku. Tapi tetap saja hatiku resah. Apalagi setelah pertemuan Mas Nata dengan wanita tercintanya.

Kupejamkan mata rapat-rapat dengan kepala tertunduk. Membayangkan apa yang sedang dilakukan Mas Nata dengan mantan kekasihnya.

Aku tidak bisa … tidak bisa membayangkan apapun. Masih baru membayangkan saja begitu sakit.

"Kau tak akan bisa sedikit merasa lega jika tidak kau keluarkan semua unek-unekmu, Nye. Kamu bisa curhat padaku. Aku tahu selama ini kamu tak punya tempat curhat yang begitu buat kamu merasa laga. Sekalipun kau punya tiga teman."

Aku sempat tercengang. Dari mana dia tahu itu? Dan itu memang benar. Apalagi setela menikah dengan Mas Nata, aku tak lagi punya teman, apalagi teman berbagi kisah. Sesuatu yang aku inginkan dan butuhkan.

"Jika engkau bertanya, aku tahu dari mana dan kenapa aku bisa menebak tentang kamu, jawabannya … karena aku pernah peduli kamu."

Perkataan Kak Bian semakin membuatku bingung. Tapi aku tak ada keinginan untuk menanyakannya.

"Oleh karena itu, jangan sungkan untuk berbagi kisah denganku."

Mendengar itu, tangisku kembali pecah. Aku terbaru dengan kepedulian Kak Bian. Bagaimana aku tak peduli, sebab selama ini aku memang haus akan seseorang yang mau mendengar unek-unekku.

Aku pun, tanpa sungkan menceritakan semua pada Kak Bian. Bagaimana mulanya aku ingin merebut Mas Nata dari Anes. Pasangan yang sudah menjalin asmara bertahun lamanya.

Beserta alasan kenapa aku ingin menjadi wanita matre dan tega merebut calon suami sahabat sendiri.

"Aku saat itu gak punya pilihan lain, Kak. Aku buntu … gak punya cara lain hingga terpaksa merebut Mas Nata dari Anes." 

"Lalu … apa kau mencintai Nata?"

Aku sempat bungkam mendengar pertanyaan itu. Bahkan serasa tak punya jawaban sekalipun ada.

Namun … rasa nyaman yang mulai ada dengan berbagi kisah pada pria yang hangatan sepertinya, aku pun menceritakan perasaanku yang sebenarnya.

Aku yang luluh dengan sikap baik Mas Nata selama hidup dengannya … hingga kuberikan hati ini. Walau  tak mendapatkan balasan.

Dengan air mata yang kadang masih menetes, aku juga bercerita bagaiman lelahnya hati ini karena terus mencinta namun tak dicintai. 

"Jangan memaksakan keadaan untuk terus mencintai."

Kata-kata Kak Bian sontak membuatku menoleh dan membalas tatapannya.

Sesaat hening. Tak ada suara darinya, aku pun begitu. Hanya suara angin laut yang terdengar.

"Terkadang kita juga harus tahu, kapan waktu yang tepat untuk berhenti," lanjutnya dengan tatapan masih terarah ke arahku.

Suasana kembali hening. Setelah kata terakhirnya, Kak Bian lama terdiam. Menciptakan kecanggungan untukku.

.

"Andai kala itu kau datang padaku dan meminta bantuanku, Nye. Tentu aku yang akan menikahimu tanpa kau harus merebut Nata dari Anes."

Aku sempat  tercengang mendengar kata-kata Kak Bian. "Maksudnya?"

"Tak hanya menikah dengan Nata masalahmu bisa selesai."

"Maksudnya?" Aku masih tak mengerti.

"Kau salah bilang tak punya pilihan. Ada aku, Nye. Seharusnya kamu pilih aku." Kak Bian maju dua langkah ke depan, mendekatiku.

"Ma – maksudnya?" tanyaku lagi, semakin tak mengerti.

"Jika kau saat itu datang untuk minta bantuanku. Tentu kau tak perlu mengemis cinta … dari sang suami."

Aku semakin dibuat bingung dengan kata-kata Kak Bian. Entahlah … tiba-tiba pikiranku sulit difungsikan.

Kak Bian maju satu langkah lagi. Lalu kedua tangannya memegang bahuku.

"Aku menyukaimu, Nye …."

Aku ternganga tak percaya. Mendapatkan kata-kata ini dari pria yang pernah aku sukai.

"Bahkan sudah sejak dari dulu," lanjutnya … aku bergeming ….

_____

Follow akun Sosmed Sakura Sen😉

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status