"Ada apa, Nye?"
Aku menoleh saat mendengar pertanyaan Mas Nata. Kulihat ke arah pagar. Anes sudah tak ada. Itu artinya Mas Nata baik Anes sama-sama tak melihat. Keburu Anes belok kanan sebelum mobil masuk.Aku bernafas lega. Namun sampai kapan aku akan menyembunyikan kebenaran ini? Sedangkan sudah ada pepatah mengatakan, sedalam-dalamnya bangkai dikubur, pasti tercium juga. "Nye, hei …." Mas Nata mengibaskan tangannya ke wajahku. Aku pun tersadar."Ada apa? Kok barang-barang Wulan berserakan di sini?" Mas Nata menatap barang-barang yang dilempar Anes tadi.Haruskah aku jujur sekarang? Sebab rasanya sudah lelah dan ingin mengakhiri saja. Sekalipun resikonya aku akan kehilangan segalanya. Materi dan … kebahagiaan hidup bersama Mas Nata walau … tanpa cinta. Ternyata benar, bahagia dengan hasil tak baik itu tak akan membuat benar-benar kita tenang. "Anye ….""Mas …." Aku balik memanggil."Iya. Ada apa?" tanyanya menatap serius."Aku ingin bilang … maksudku aku ingin bertanya kenapa Mas pulang? Apa ada yang ketinggalan lagi?"Ah, lagi-lagi aku tak siap untuk bilang sebenarnya. Iya, aku tak siap kehilangan pria sebaik Mas Nata.Mas Nata menatapku dengan kening berkerut. "Kamu seperti kebingungan gitu, Nes. Ada apa?"Rupanya dia menyadari. Aku menunduk seraya menggelengkan kepala. "Gak ada papa. Mas kalau ada yang ketinggalan kenapa gak bilang saja. Tanpa harus pulang." Sekilas aku meliriknya."Tidak ada yang ketinggalan.""Lalu?" "Aku hanya khawatir sama kamu."Aku yang kaget segera mengangkat pandangan. Aku yakin, ini bukan karena Mas Nata khawatir denganku, sebab tadi ia sudah berpesan hati-hati. Tapi karena keberadaan Aneska di sini, hatinya tergerak untuk pulang.Begitulah yang pernah kuketahui tentang cinta sejati. Aku tahu Mas Nata dan Anes masih saling mencintai.Hatiku ngilu. Air di pelupuk mata sudah berlomba ingin menerobos turun. Segera aku berjongkok memunguti mainan Wulan untuk menyembunyikan air mata yang sedang asyik mengalir ini."Kenapa bisa ada di luar seperti ini?" Mas Nata ikut memunguti. "Mungkin tadi Mbak Ita salah buang sampah, Mas." Aku beralasan, dan segera beranjak masuk sebelum banjir air mataku disadari Mas Nata.***Usai sholat Isya, Mas Nata berjalan ke meja kerjanya. Sedangkan aku mainan Hp di atas ranjang."Ini undangan apa, Nye?"Aku menoleh, Mas Nata melirik undangan reuni yang tadi tak sengaja aku simpan di sana."Reuni, Mas," jawabku sambil kembali menatap ponsel.Lama tak ada suara, lalu, "Maaf. Bukannya tak ingin ikut. Tapi jadwalnya bertepatan dengan rapat besar antar tiga perusahaan."Aku kembali menoleh. Menatap Mas Nata yang tengah memegang undangan. Jadi dia merasa aku ngasih kode ke dia dengan meletakkan undangan di meja kerjanya."Gak papa, kok, Mas. Lagian aku—""Meskipun aku gak ikut, aku tetap mau anterin kamu, kok."Mas Nata memotong. Padahal tadi aku mau bilang tidak ingin pergi.***Karena kemarin malam Mas Nata ngotot ingin mengantarku, demi menghargainya aku pun malam ini sudah siap-siap untuk pergi ke acara reuni. Sedangkan anak-anak sudah tidur dan akan dijaga Mbak Ita.Sebenarnya ngarep banget Mas Nata ikut. Tapi ya sudahlah. Dia orangnya memang super sibuk akhir-akhir ini.Aku yang duduk di sofa ruang tengah, melihat Mas Nata turun dari tangga dengan terburu-buru sambil memasang jas-nya."Nye, maaf. Aku gak bisa nganterin kamu. Ternyata ada perubahan jadwal rapat maju satu jam. Hanya saja aku tak tahu karena gak buka Hp," jelas Mas Nata saat sambil merapikan letak jas-nya."Kamu gak papa 'kan, pergi sendiri?" Dia menatapku tak enak. Segera kuukir senyuman di wajah."Gak papa, kok, Mas. Tempat kita memang berlawanan arah." Kupaksakan senyuman lagi, berusaha ikhlas. Entahlah, ada rasa kecewa. Meskipun sedikit."Maaf, ya." Tangan pria yang tampak gagah dan tampan dengan jas navi-nya itu menyentuh kepalaku sebelum akhirnya berangkat.***Aku pun pergi seorang diri ke lokasi reuni. Sepertinya aku sedikit terlambat. Parkiran hampir penuh, dan di dalam tampak sudah ramai.Dengan santai, aku membuka pintu dan masuk ke dalam."Hei, ini Anyelir, bukan?" Salah satu seorang wanita yang mungkin dulu satu sekolah dan tahu aku namun aku tak mengenalnya bertanya sambil menatapku."Iya, dia Anyelir. Adik kelas kita yang sering dapat penghargaan sebab prestasinya. Gak salah banget." Seorang pria yang duduk di kursi panjang bagian pria menyahuti.Aku hanya tersenyum. Rupanya di sekolah dulu aku cukup terkenal sebab prestasiku. Kukira hanya Anes saja yang terkenal karena kecantikan dan keglamorannya.Banyak teman-teman yang mengajakku ngobrol dengan berdiri. Ada juga pria yang bilang salut karena ada adik kelas secantik aku. Ah, ada-ada saja emang.Masa kayak aku dibilang cantik, mereka belum tahu Anes saja.Ada macam-macam reaksi dari teman sekolahku yang kenal. Ada yang takjub dengan perubahanku yang dulunya mungkin sederhana bahkan terkesan norak sekarang malah elegan."Ngomong-ngomong, Mbak Anye udah punya suami belum?" tanya salah seorang pria yang direspon sorakan oleh yang lain."Emang kenapa, gak ada salahnya 'kan merapat." Pria tadi berusaha membela diri. Sedangkan aku hanya tersenyum sambil hendak duduk di kursi paling dekat dengan pintu."Ayo, dong, Mbak, jawab udah punya suami apa belum."Saat aku ingin jawab sebelum duduk, tiba-tiba …."Iya. Dia sudah punya suami."Mataku terbelalak saat melihat Rosa berdiri dan menatap tajam ke arahku.Aku lupa, bahwa aku satu sekolah bahkan satu kelas dengannya. Bodohnya aku, bisanya tak kepikiran ke Rosa bahkan … aku juga melihat Dita dan terakhir Anes duduk di pojokan sana. Seharusnya aku tak hadir ke acara ini. Kenapa aku tak mengingat mereka?"Dan kalian tahu siapa suami dari wanita yang kalian puji dan sanjung-sanjung karena perubahan yang semakin cantik … glamor dan elegan itu?"Dadaku semakin berdebar. Tanganku berkeringat dingin. Kulihat Anes hanya tersenyum duduk santai dengan Dita.Aku sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan oleh Rosa."Emang siapa suaminya?" Entah siapa yang bertanya, aku sudah tak peduli. Hatiku sedang kalut dan kacau berantakan. "Suaminya adalah calon suami dari sahabatnya sendiri.""Iya benar. Dia itu pelakor!" Dita menyahuti dengan lantang sambil berdiri.Lalu kedua wanita yang begitu membenciku itu saling berbicara menceritakan semuanya yang terjadi. Mulai dari awal aku dan mereka berteman, paling dekat dengan Aneska dan yang selalu membantunya namun aku malah merebut calon suaminya.Kedua temanku itu juga menceritakan nasib Aneska setelah tak jadi menikah dengan Mas Nata dan mendapatkan suami kejam yang selalu menyiksanya."Dia sekarang memang sukses, setelah menjadi pelakor," teriak Dita."Gimana gak sukses. Dia mendapatkan hasil tanpa usaha." Rosa menimpali sambil menyoraki-ku."Gak ada yang namanya perebut dan penghancur hubungan orang sekalipun itu masih akan menikah bukan suami istri tetap gak akan sukses." Seorang wanita yang tak kukenali berteriak sambil berdiri."Iya. Benar juga. Aku seorang wanita dan suamiku direbut pelakor. Meskipun yang direbut masih status calon suami orang tapi aku sangat benci dengan wanita perusak hubungan orang.""Dih, pengen sukses itu usaha. Jangan jadi pelakor.""Wanita kayak gitu jangan dideketin. Entar lihat suami kita sukses, eh dia rebut lagi."Suara saling bersahutan. Terutama dari para wanita. Air mataku mengalir dengan deras."Iya, setuju. Aku juga pembenci pelakor. Aku anak korban broken home sebab pelakor. Aku benci pelakor!" teriak seseorang sambil melemparkan buah jeruk tepat mengenai dadaku.Sakit. Tapi lebih sakit di hati ….Lalu lemparan makanan dan juga sejenisnya menyusul bertubi-tubi mengenai badan bahkan juga wajahku.Aku memejamkan mata dengan air mata semakin deras menetes. Dalam keadaan terpejam, aku merasakan seseorang mendekapku.Karena penasaran, aku membuka mata dan langsung terkejut saat tahu orang itu ternyata Kak Abian."Hei, apa yang kalian lakukan? Hentikan!" teriak Kak Bian sambil berusaha melindungiku dari lemparan yang melayang bertubi-tubi.Beberapa kali, pria yang mendekap-ku ini berteriak untuk berhenti melempariku. Namun tak digubrisnya.Saat aku ingin melepaskan dekapan Kak Bian, dari luar pintu kafe muncul seorang pria berjas. Dia langsung terpaku menatap cengang ke arahku. Dan bersamaan dengan itu juga, lemparan dan keramaian terhenti seketika."M – Mas Nata …." Segera aku menarik diri dari dekapan kuat Kak Bian.Keringat dingin mengalir dari pelipisku. Hatiku kalut dan tangan bergetar melihat tatapan lekat Mas Nata masih ke arahku.Tidak … tidak … tatapan cengang Mas Nata bukan ke arahku, namun tepat ke belakangku.Lantas aku menoleh. "Aneska …."_____Follow akun sosmed Sakura Sen😉Aku menatap Mas Nata dan Anes secara bergantian. Tatapan keduanya saling tertahan. Bak sepasang kekasih yang sudah lama terpisahkan dan sekarang kembali bertemu di waktu yang tak terduga.Iya, itu memang benar. Dan pelakunya adalah aku. Memang akulah orang ketiga di antara mereka.Andai aku tak tega memisahkan mereka berdua dengan tuduhan palsuku, tentu kedua insan berbeda jenis saling mencinta itu akan hidup bahagia.Di sini aku yang salah. Namun … untuk sekarang, akulah istri Mas Nata dan aku sakit melihat tatapan itu.Dapat kulihat tatapan itu begitu berarti untuk Anes. Begitu lekat menatap sang wanita. Ah, entah apa yang ada di pikiran Mas Nata sekarang ini setelah bertemu dengan pujaan hatinya. "Hei, itu Pak Adinata, bukan?" Salah seorang pria bertanya."Iya. Dia Adinata Hermas. Pengusaha sukses itu," jawab seseorang.Namun meskipun begitu, Mas Nata seolah tak mendengar beberapa orang yang membicarakannya. Ia terlalu fokus menatap sang pujaan hati. Bahkan ia tak peduli dengan
Saat perjalanan pulang, pikiranku kalut dan bercabang. Begitu banyak yang aku pikirkan. Dari Mas Nata yang bertemu dengan Anes. Lalu pengakuan perasaan Kak Bian.Kak Bian bilang menyukaiku sudah lama, sedari masih sama-sama SMA atas rekomendasi Anes.Saat Anes menolak Kak Bian sebab sudah punya pacar dari anak kepala sekolah, temanku itu memperkenalkan aku pada Kak Bian. Aku masih ingat kejadiannya. Baru ngeh juga saat itu dia baru ditolak Anes.Dan saat itu juga mungkin aku sudah terlebih dahulu menyukai Kak Bian, namun ia tak menyadari.Lalu baru sekarang ia menyatakan perasaanya dengan alasan gadis seukuran Aneska saja menolak, apalagi aku yang katanya kerap mendapat prestasi dan pendiam. Ah, entahlah. Aku tak tahu apa yang dikatakan Kak Bian itu benar atau tidak. Sebab saat ini aku tak bisa fokus hanya ke satu hal. Ada hal lain yang lebih penting aku pikirkan sekarang. Yaitu Mas Nata.Sesampainya di rumah, aku langsung masuk dan menjumpai Mas Nata duduk seorang diri di sofa ruang
Aku masih menangis menatap foto Mas Nata dan Anes. Di sana Mas Nata tampak berdiri saling berhadapan, sedikit menoleh ke samping. Aku cemburu melihat ini. Apalagi lainnya?Apa yang Mas Nata dan Anes lakukan saat ini? Bagaimana posisinya. Mengetahui selama ini Mas Nata pendiam dan cuek pada wanita lalu menemui wanita lain sekalipun itu mantan calon istrinya, itu membuatku agak gimana. Seharusnya biasa tapi jadi tak biasa. Ingin aku blokir nomor Rosa, agar tak mengetahui tentang Mas Nata dan Anes lainnya yang tentu sangat membuatku sakit hati dan rapuh. Tapi … jika tidak begitu, aku akan terus menutup mata dari kebenaran.Kebenaran Mas Nata yang diam-diam menemui Anes dan hatinya masih untuknya.Dadaku sesak, hati dan pikiran tak tenang. Memikirkan apa yang dilakukan Mas Nata dan Anes. Entahlah kenapa aku bisa se tak terima ini. Padahal di sini akulah orang ketiga, namun aku juga yang merasa terkhianati.Karena tak tahan menanggung gejolak hati yang dirundung rasa curiga, kuberanikan d
Setibanya di rumah, aku melihat mobil Mas Nata sudah terparkir di depan rumah. Itu artinya dia sudah tiba terlebih dahulu.Mendadak bingung, jika ia bertanya aku habis dari mana, aku jawab apa? Tapi rasanya tidak mungkin. Selama ini Mas Nata tak pernah bertanya aku habis dari mana jika keluar.Toh, dia juga pernah bilang gak usah repot-repot izin jika mau pergi ke suatu tempat. Takutnya Mas Nata lagi sibuk dan ia telat balas aku juga telat perginya.Tapi aku malah merasa tak dipedulikan dengan cara bersikapnya. Seolah ia cuek aku mau pergi ke mana aja. Padahal aku pengen ditanyain, dikepoin. Mau ke mana, pergi dengan siapa, ketemu siapa. Pengen gitu, merasa dipentingin Mas Nata, dikhawatirin di luar khawatir aku celaka. Cemburu gitu.Ah, boro-boro cemburu. Suka aja nggak.Setelah keluar dari mobil, aku langsung masuk. Anak-anak tampak sudah siap untuk pergi jalan, sudah dimandikan juga kayaknya sama Mbak Ita.Setelah menyapa si kembar dan mengecupnya, aku melangkah ke kamar.Saat mem
Seperti halnya saat aku menikah dengan Mas Nata karena tak punya pilihan, begitupun dengan perpisahan ini, aku tak punya pilihan. Tepatnya Mas Nata tak memberiku pilihan.Semalaman aku dan Mas Nata sama-sama menangis. Menangis dalam diam. Sebab, setelah keputusan perpisahan sudah diambil, Mas Nata tak lagi bicara denganku.Aku meringkuk di atas ranjang, menangis sepanjang malam. Sedangkan Mas Nata di sofa sama menangisnya.Sempat bertanya-tanya, apa yang membuat pria itu menangis. Perpisahan inikah? Atau apa? Ingin bertanya tapi keadaan sudah tak sama lagi.Pagi sekitar jam 5, Mas Nata mengantarku untuk kembali ke rumah orang tuaku. Si kembar dititipkan ke Anita—adiknya yang masih kuliah. Diantar sekolah dan dijemput olehnya lalu dipulangkan ke rumah Mama Sarah—orang tua Mas Nata.Iya, aku pergi dari rumah saat si kembar belum terbangun. Sengaja aku memintanya, sebab tak tahan untuk berpisah dari mereka dan menampakkan air mata kesedihan ini. Lalu menciptakan tanda tanya di pikiran k
"Kenapa kau harus kehilangan suami sebaik Nata, Nye?"Saat aku kembali masuk, Bapak dan Ibu menyidangku. Sedangkan Paman sudah pulang.Aku hanya menunduk dalam-dalam. Tak tahu mau jawab apa. Aku saja terpukul atas kehilangan Mas Nata."Katakan, Nye. Tidak mungkin suami sesempurna Nata akan menceraikanmu tanpa sebab. Dia pria cerdas dan sopan. Aku tahu pasti kamu yang berbuat kesalahan tidak mungkin dia. Katakan sekarang! Kesalahan apa yang kau perbuat hingga pria baik itu membuangmu?" Kali ini Ibu berdiri. Menatapku dengan deraian air mata.Sedangkan Bapak hanya diam saja. Namun aku tahu, diamnya Bapak bukan berarti ia tak marah. Oleh karena ia marah makanya diam."Anye, katakan!" bentak Ibu. Masih menanyaka kesalahanku.Keluargaku memang tak ada yang tahu, alasan kenapa aku bisa dinikahi pria yang banyak memiliki kelebihan seperti Mas Nata.Aku memang tak memberi tahu bahwa aku merebutnya dari Anes. Lalu dengan apa aku harus menjawab pertanyaan Ibu?Bilang kalau Mas Nata punya orang
"Kenapa Mas Nata peduli dengan luka ini?" tanyaku, sontak Mas Nata tercengang. Seolah menyadari sesuatu.Kenapa, Mas? Kenapa kau seolah peduli dengan luka di wajahku, namun tak peduli dengan luka yang di hatiku?"Mas khawatir?" tanyaku lagi."T-tidak. Maksudku iya.""Kenapa?" tanyaku lagi.Mas Nata tak segera menjawab, lalu selanjutnya menghela nafas. "Karena aku saja tak pernah menyentuhmu untuk menyakiti apalagi melukai. Makanya, meskipun aku sudah tak lagi bersamamu, aku tak terima," ucapnya sambil membuang pandangan ke arah lain.Aku tersenyum seraya menunduk. Ada rasa kecewa dengan jawabannya. Tadi sempat berpikir ia tak terima sebab sayang, tak tahunya hanya sebatas peduli tak lebih. Itu pun karena ia sendiri memang tak pernah menyakitiku. Secara fisik, tidak dengan batin.Ya, Mas Nata sudah menyakitiku dengan membuangku setelah bertemu kembali dengan Anes. Sekalipun aku salah, tetap saja aku merasa tersakiti di sini. Dibuang begitu saja.Aku segera menguasai keadaan. Tak ingin
Dua minggu dari perpisahanku dengan Mas Nata, akta cerai keluar. Air mataku menetes saat membacanya. Ternyata aku dan Mas Nata sudah benar-benar berpisah. Pilu hatiku menerima kenyataan ini."Semoga kau bahagia dengan cintamu, Mas …." Aku mengusap air mata tak ingin berlarut dalam kesedihan ini. Sebenarnya aku tak yakin, akan bisa hidup tenang setelah perpisahan ini. Sudah terbiasa hidup dengan Mas Nata dan keseharian juga kebiasaannya, kini aku seolah memulai hidup baru. Kulalui hari-hariku dengan penuh kepiluan, entah berapa lama aku akan menanggung duka nestapa ini. Kapan aku akan terbebas dari rasa kehilangan. Kehilangan Mas Nata, rasa kenyamanan yang kadang tak aku syukurin, sebab selalu merasa kekurangan. Menuntut agar pria itu seperti apa yang aku inginkan.Satu bulan terlewati, dua bahkan empat bulan sudah berlalu, namun duka yang kurasakan masih enggan enyah dari hati dan pikiran, Mas Nata beserta kenangannya masih lekat dalam ingatan.Bahkan cintaku pada pria penuh kelem