“Airin ... Airin ... Dek! Kamu kenapa?” Andika menggoncang tubuh kurus adiknya.
Airin terlihat kejang, napasnya masih berbunyi, Andika memeluk tubuh adiknya, berkali-kali dia mencium kening dan tangan wanita itu.
Intan yang melihat hal itu, segera menarik Andika.
“Dik... hey!! Tenangin diri kamu. Airin butuh kamu, bimbing dia!”ucap Intan, tangannya mengelus kepala lelaki itu.
“Tan, kita ke rumah sakit sekarang!” Andika berdiri, dia berniat untuk menyiapkan mobil.
Langkahnya terhenti ketika tangannya di pegang oleh Airin, Andika berbalik.
Dia melihat sang adik menatap dengan tersenyum. “Kak, jangan ti— ngg— alin,” ucap Airin dengan napas tersengal-sengal.
Intan berlalu meninggalkan Andika dan Airin, dia ke ruang tamu, mengambil Alquran dan kembali ke kamar.
“Dik, baca ini, tuntun dia, kalau sudah waktunya semoga Airin perg
“Bu, ayo kita pulang!” kata Mira. Dia berdiri lalu menarik tangannya ibunya.“Tapi, Ibu belum bicara sama kakak kamu!” tolak bu Marni.“Untuk apa?! Nggak perlu bicara dengan orang yang nggak punya akhlak kayak mereka,” ucap Mira, dia masih berusaha menarik ibunya.“Mira, jaga bicara kamu!” bentak Danu. Dia tidak suka mendengar kata-kata adiknya itu.“Apa? Terus kalian fikir kelakuan kalian apa?” teriak Mira tak mau kalah.Danu mengangkat tangannya, mau menampar Mira.“Tampar! Memang, Mas hanya bisa menyakiti,” ucap Mira.Danu menurunkan tangannya, tubuhnya bergetar menahan amarah, tak menyangka adiknya akan berani padanya.Melihat situasi tidak kondusif, bu Marni menelpon seseorang, berbicara agak se
“Yang mana suami Airin?”Pertanyaan itu membuat semua yang mendengar saling bertatapan, begitu pun dengan bu Marni dan Mira.Mereka salah tingkah mendengar pertanyaan yang tak pernah terpikirkan oleh mereka.“Egh, itu anu tante, Danu lagi di luar negeri, dua tiga hari lagi baru sampai,” jawab Andika berbohong.“Kok, istri meninggal dia tak datang, apa dia nggak tau kalau istrinya sakit?” tanya wanita itu lagi dengan ketus.“Tau tante, tapi kan nggak ada yang nyangka kalau Airin bakal meninggal,” bela Andika.Walaupun dia tak menyukai lelaki itu, tapi dia tak mau mempermalukan bu Marni dengan membongkar kelakuan anaknya, karena dia tahu betul kalau Airin sangat di sayang oleh mertuanya.Mendengar jawaban Andika, wanita itu lalu keluar memilih duduk di
“Bagaimana, bagus kan?” tanya Mira, dia tersenyum sambil menggoyang-goyangkan kedua alisnya.“Pintar, nggak salah selama ini Ibu sekolahin kamu di sekolah elit,” puji bu Marni.“Jadi, kapan mau menjalankan rencananya?” tanya Mira lagi. Dia sudah tak sabar membalas dendamnya kepada perusak rumah tangga kakaknya itu.“Sekarang lah! Masa tahun depan,” seru bu Marni. Kemudian langsung beranjak dari duduknya, mencari Mama Airin.“Besan, hari ini saya mau pamit pulang, buat jemput Danu, nanti kami ke sini lagi!” pamit bu Marni ketika melihat besannya sedang memasak di dapur.“Kok, buru-buru sekali, Bu!” tanya Mama Amy.“Kan Danu mau datang,” jawab bu Marni.Walaupun berat hati, akhirnya mama Amy mengijinkan bu Marni dan
Mira terjengkang, jatuh dari duduknya, ternyata Maya telah menarik rambut gadis itu. Belum sempat dia berdiri, Maya sudah naik ke atas perut Mira. Muka Mira di cakar oleh Maya, tak tinggal diam, Mira melawan dengan menarik rambut Maya hingga mendongak. Mereka saling bergumul tak ada yang mau mengalah satu dengan yang lain.Polisi yang melihat juga bingung, mereka layaknya banteng yang sedang beradu, sampai akhirnya dua orang Polisi berusaha menarik Maya. Baru saja mereka bisa di lerai Mira kembali menendang perut Maya, sampai Wanita dan dua orang polisi, mundur beberapa langkah, akibat kuatnya tendangan Mira.Maya, jatuh tersungkur, berguling memegang perutnya, darah segar mengalir dari sela pahanya.Semua yang melihat kaget, bu Marni menutup mulut, pun begitu dengan Mira. Dia tak menduga kalau tendangannya bisa berefek sekeras itu.“Aduh, perutku! Mas, bayi kita,
“Kamu, tuli!!” tanya bu Marni.“Apa maksud, Ibu?” Bukannya menjawab pertanyaan, Danu malah balik bertanya.Mira meronta sampai tangannya terlepas dari genggaman Danu.“Jangan pura-pura, Mas!” ucap Mira.Entah dia dapat kekuatan dari mana, hatinya kembali sakit mengingat Airin yang telah meninggal Dunia.“Diam, kamu!” hardik Danu.“Kamu yang diam, Mas! Aku pastikan sebentar lagi, kamu akan kembali membusuk di penjara,” seru Mira. Dia menunjuk kakaknya dengan penuh amarah.Plak!Danu menampar adiknya, Mira memegang pipinya yang terkena tangan kakaknya.“Ayo, tampar lagi!” seru Mira, tak ada air mata yang turun.Plak! Plak!Bu Marni balas menampar Danu.“Berani sekali kamu tampar anak saya, pergi kamu dari sini!” usir bu Marni.&ld
“Haduh, istri baru dua hari meninggal, suami sudah bawa perempuan baru.”Danu membanting pintu, dia mengepalkan tangan menahan emosi. Maya, mendekati dan mengusap punggungnya agar lebih tenang.Danu mengambil hape dan menelpon Mira, sekali tak di angkat, dia menelpon lagi. Baru panggilan ke tiga yang di angkat.“Kenapa kamu tak bilang kalau Airin meninggal?” ucap Danu, sesaat setelah Mira mengangkat telponnya.“Apa penting? Waktu hidup saja kamu nggak peduli,” tanya Mira balik.“Dia istriku! Harusnya kamu bilang!!” teriak Danu. Emosinya benar-benar tersulut di buat oleh Mira. Dia menutup telpon, dan melemparkannya ke lantai. Untung saja hapenya mahal jadi tahan banting.“Mas, kamu kenapa? Kok marah-marah, tenang nanti tetangga dengar,” tanya Maya. Dia sedang di dapur akan membuatkan makanan untuk Danu, tapi karena mendengar suara hape di banting,
“Astaghfirullah, Pak, istighfar!” teriak penjaga malam yang melihat Andika mencekik Danu.Lelaki tua itu, berlari menghampiri pusara Airin. Dia menarik tubuh Andika agar berhenti mencekik Danu.Dengan susah payah, akhirnya cengkraman tangan Andika lepas dari batang leher Danu.“Pak, Istighfar! Kalau orang nya mati bagaimana?” Pak Tua, penjaga makam mengingatkan Andika.“Biar, Pak! Memang saya harap dia MATI! Gara-gara dia adik saya mati,” jawab Andika.“Sudah, Bapak pulang saja, kasian adiknya. Nggak bakalan tenang kalau kamu seperti ini.” Bapak itu menasehati Andika.Sesaat Andika termenung, lalu berdiri. Sebelum pergi dia masih sempat mendaratkan tendangan ke badan Danu, membuat penjaga malam kembali beristighfar.Setelah Andika pergi, pak tua itu menepuk-nepuk pipi Danu, tak berapa lama, lelaki itu terbang
Danu menghempaskan tubuhnya di kursi sofa ruang tamu, dia lelah. Baru saja akan memejamkan mata, kembali Maya sudah mulai dengan omelannya.“Mas, kok lembek banget sama mereka?!” tanya Maya. Dia bersedekah, menatap Danu dengan tatapan jengkel.“Sudahlah, aku lagi tidak mood untuk berbicara,” jawab Danu. Dia memijit pelipisnya, tiba-tiba saja kepalanya terasa sakit.“Kamu kalau di kasih tau, banyak banget ngelesnya,” ucap Maya kesal. Dia menghentakkan kakinya lalu berlalu pergi.Danu menggeleng, lalu melanjutkan tidurnya.“Sia*an, sepertinya mereka punya rencana untuk memisahkan aku dan Danu, lebih baik besok aku ikut bersama Danu,” ucap Maya.Dia tak tenang, setelah kedatangan ibu dan adik Danu.Kembali Maya melangkah menemui Danu yang baru saja terlelap.“Mas, besok aku ikut ke rumah ibu kamu, yah!” ucap Maya, dia menggoyangka