Dalam hati, Iwan merasa menyesal sudah melukai hati Dewi dengan berselingkuh. Walaupun itu masa lalu, Iwan tetap merasa berdosa. Dia berjanji akan menemui Dewi saat sudah kembali dari puncak. Dia sekaligus ingin bertemu Tia. Lalu muncul inisiatif untuk Iwan mengajak Dewi rujuk, tetapi apa Dewi mau menerima ajakannya.
**
Pagi itu, setelah kembali dari puncak, Iwan langsung menuju ke rumah Dewi dan berniat mewujudkan rencananya dari awal. Kedatangannya kali ini akan dibuat lebih baik. Ia ingin bicara serius dengan Dewi, mengajaknya untuk kembali rujuk.
Jika Tuhan saja masih mau memaafkan kesalahan hambanya, Iwan yakin Dewi akan memaafkan kesalahannya. Ia tidak pernah menganggap jika Dewi akan mengusirnya saat Iwan mengatakan tentang perasaannya sekarang.Tok! Tok!
Pintu rumah Dewi diketuk.
Saat itu Dewi masih asyik mengajak Tia berbicara dan mencoba mengembalikan ingatan puterinya, ia lalu menghentikan terlebih dahulu."Nanti ya. Ibu mau lihat siapa yang datang."
Dengan langkah perlahan, Dewi membuka pintu rumah. Ia terkejut saat tahu Iwan datang. "Ka-kamu?"
Iwan dan Dewi saling tatap. Sekitar satu menit berlalu, sampai Iwan salah tingkah. Rasanya cinta masa lalu seperti datang lagi. Apa mungkin mereka bisa bersatu lagi?.
"Ma-maaf, aku ada waktu sekarang. Kemarin aku kerja."
Dewi tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis. Mempersilahkan lelaki itu masuk dan mereka berjalan bersamaan. Di situ terlihat Tia sedang melihat-lihat foto di album.
"Selamat pagi Tia. Ayah datang."
Tia tersenyum. Ia menatap ibu dan ayahnya bergantian. Ia tampak bahagia melihat dua orang itu berduaan.
"Ayah dari mana aja?" tanya Tia.
Perkumpulan itu terjadi lagi. Seperti keluarga yang utuh. Rasanya Tia bahagia melihat keadaan ini.
Iwan mencoba memberanikan diri. Ia menarik napas, mendekati Dewi dan mencoba berbicara di depan Tia.
"Aku mau bicara sesuatu sama kamu. Apa boleh?" ucapnya.
"Bo-boleh." Suara Dewi gemetaran.
Dewi dan Tia saling bertatapan. Mereka duduk bersebelahan. Iwan ada di depannya. Saat itu, Iwan langsung memegang tangan Dewi dan mengungkapkan isi hatinya.
"A-aku mau rujuk sama kamu, Wi. Kamu nggak kasihan lihat anak kita? Harusnya sekarang Tia punya orang tua lengkap yang bisa dampingi dia."
Ketukan pintu kembali terdengar di saat Dewi ingin memberikan jawaban. Dewi langsung melepaskan tangannya dari genggaman tangan Iwan. Baru saja ia ingin berjalan, tiba-tiba pintu rumah sudah terbuka. Dini berdiri disitu.
"Assalamualaikum. Selamat pagi. Maaf, aku mengganggu waktu kalian."
Ya, Dewi terbelalak. Ia melihat seorang wanita muslimah berdiri di hadapan. Dewi memperhatikan wanita itu dari atas sampai ke bawah. Mengenakan jilbab panjang, baju gamis syar'i, sebagian wajahnya tertutup niqob/cadar, dan kakinya tertutup kaos kaki. Tapi suara itu Dewi sangat amat mengenalnya.
"MasyaAllah. Akhirnya saya bisa bertemu juga dengan non Dewi. Maafkan saya."
Bukan hanya Dewi, Iwan dan Tia juga terpelongo melihat kedatangan wanita itu. Suaranya tak asing bagi mereka, Dewi dan Iwan pun langsung dapat mengenalinya.
Dewi dan Iwan saling tatap. Mereka bertemu Dini kembali dengan penampilan yang sangat berbeda.
Dini tampak anggun dengan berhijab. Meski balutan dress panjang yang tebal dan lebar, tapi badannya terlihat lebih kurus daripada sebelumnya. Sorot matanya berembun, memancarkan kesejukan yang seolah-olah ingin diterima kehadirannya hanya dengan sebuah kalimat dimaafkan, yang keluar dari mulut Dewi."Dini kembali. Ya, masa laluku telah hadir lagi. Apa ini artinya aku tidak akan bisa bersatu dengan Iwan? " kata batin Dewi.
Ia berusaha menyapa Dini dengan menahan lapisan ingatannya pada masa lalu.”Dini, silakan duduk.. “”Terimakasih non Dewi, saya gak perlu berlama-lama disini, cuma ingin minta maaf atas seluruh kesalahan yang telah saya perbuat dimasa lalu.”Dewi bingung. Apakah benar kata maaf yang terucap dari Dini itu tulus? Apa bukan cuma sandiwara Iwan dan Dini saja, yang datangnya pada waktu yang hampir bersamaan.”Terus kamu mau kemana Din? Apa kamu masih diakui di kampung halaman kamu nanti..?” tanpa sadar kalimat itu meluncur dari mulut Dewi.Iwan dan Tia sama-sama tidak mengerti, mereka hanya saling tatap. Tia juga belum ingat, tentang siapa sosok Dini dimasa lalu. Namun ada getaran halus yang muncul dihatinya. Rindu pada belaian kasih sayang seorang ibu, yang dulu pernah Dini berikan pada Tia. Jalinan rasa itu, seperti benang merah yang tak mudah terputus.Meski Dini bukan ibu yang telah melahirkannya ke dunia, tapi kehangatan cintanya pernah tersimpan diruang memory gadis kecil ini.”Ibuu..” Tiba-tiba Tia memanggil Dini sambil tangannya menjulur seolah ingin disambut oleh Dini.”Saya bukan ibumu Tia, itu ibumu..” sahut Dini sambil menunjuk ke arah Dewi.Tia kecewa, kepalanya menggeleng perlahan.”Sudah! Stop!! hentikan sandiwara ini Dini, kamu datang kesini mau minta maaf.. sudah aku maafkan. Sekarang silakan secepatnya kamu pergi dari sini, jangan merusak suasana lagi. “Dini menatap wajah Dewi dengan tajam. Ia merasakan getaran kemarahan dari suaranya, bahwa Dewi belum bisa seutuhnya memaafkan kesalahannya, Dewi masih menyimpan rasa dendam.Dewi lalu menatap Iwan,”Kamu juga Iwan, bagaimana mungkin aku bisa percaya kepada kamu lagi, sedangkan dia muncul hampir bersamaan dengan kamu””Tenang Wi.. Dia cuma ingin minta maaf.. Jujur, aku tidak datang bersama dia. Apa aku perlu bersumpah..” Iwan membela diri.Dini tidak bergeming, ia tetap duduk tenang di kursi persis dibawah jendela kaca, disamping pintu keluar.”Bagaimana caraku bisa memaafkan kalian? Aku tidak tahu, dulu, hatiku kecewa oleh tindakan kalian, ditambah melihat nasib Tia yang sekarang, rasanya hatiku begitu sakit sekali,” Dewi tak mampu menahan rasa pedih didalam hatinya.”Kamu lihat sendiri Dini, bahkan Tia malah memanggil ibu kepada kamu.. Sudah, pergi saja kalian berdua sekarang juga. Aku tidak sanggup.. sungguh.. aku tak sanggup lagi,” Dewi menangis makin sesegukan.Tiba-tiba tangan Tia memegang tangan Dewi ditaruhnya ke depan dadanya, begitu pula dengan tangan Dini, lalu dirapatkan keduanya di dada Tia.”Wi, Tuhan saja memaafkan kesalahan hambanya, bagaimana dengan kamu?” pinta Iwan pelan.Dewi melepas tangannya dari genggaman tangan Dini. Ia lalu menarik nafas panjang.”Tidak.. aku hanya manusia biasa, perempuan yang masih menyimpan rasa kecewa yang dalam, karena dulu, kamu membandingkan aku dengan dia. Sekarang, aku minta kalian pergilah dari rumahku. Pergii..!!”Dewi lalu menggendong Tia masuk ke dalam kamarnya.”Maafkan saya pak Iwan..” ucap Dini pelan, ia tak berani menatap mata Iwan. Ia berusaha menghindari kontak mata yang dapat menjerumuskannya ke jurang yang sama, masa lalu telah ditebus dengan luka-luka pada sekujur tubuhnya..Dini pun melangkah keluar dari rumah Dewi, ia hanya berharap, semoga Allah mengetuk pintu maaf dari lubuk hati Dewi yang terdalam.”Wii.. Dewiii. Dini sudah pergi Wi,” ucap Iwan di depan pintu kamar Dewi.Dewi tidak menjawabnya.Iwan tahu, hati Dewi yang masih tersakiti selama ini, semakin sakit ditambah datangnya Dini; yang memecah ingatan Tia pada kehadiran sosok seorang ibu.Lantas, sejak Dini hadir kembali, apa yang akan terjadi?
*****Dewi mengunci pintu kamarnya, diatas kursi roda, tubuh Tia gemetaran, ketakutan."Ibu, apa mereka orang jahat?"Degh !Pertanyaan Tia membuat Dewi bingung merangkai kata jawabannya, ia berjongkok disamping kursi roda Tia, menggenggam tangan Tia dengan kelembutan, akhirnya Dewi harus mengatakan apa yang sebenarnya dulu pernah terjadi. "Dulu, mereka berdua pernah jahat pada ibu. Mereka membawa Tia pergi sampai jauh dari ibu, tapi sekarang Tia sudah dikembalikan lagi kepada ibu. Ibu senang sekali." kata Dewi sambil menciumi pipi Tia.Tia belum paham apa yang dibicarakan Dewi. Namun melihat airmata yang menetes dipipi Dewi, Tia lalu menghapus lembut dengan jemarinya." Ibu jangan nangis, Tia ga tau.. Tia ga tau buu... "Dewi memeluk Tia, mengelus-elus rambut dikepalanya. Meskipun Dewi tahu persis kesadaran Tia belum pulih, tapi ia sudah mau berbicara dengan ibunya, walaupun masih menganggap ibu hanya sebuah panggilan tanpa makna yang jelas baginya. Kamar Dewi tidak terlalu luas, tapi dis
Dalam perjalanan menuju ke kedai Kopi Para Mantan, hati Iwan masih galau. Pada satu sisi dia tidak mau kehilangan Dewi dan Tia, tapi disisi lain dia membayangkan lelaki lain, yaitu sang psikiater, yang bakal hadir kedalam hidup Dewi dan Tia. Apalagi dari pembicaraan dr Finka tadi, mereka satu sekolah di SMA, masa muda yang penuh nostalgia. Ditambah lagi ingatannya pada Dini yang masih tak sadarkan diri di rumahsakit. Apakah dia bisa setega itu dengan membiarkan nasib Dini yang harus menghadapi kenyataan hidupnya sendirian?. Iwan tahu persis masa lalu Dini di kampungnya. Dini diperlakukan semena-mena oleh kedua orangtuanya, bahkan telah beberapa kali diperkosa oleh ayahnya sendiri. Itu sebabnya Dini kabur dari rumah, berusaha hidup mandiri; sampai akhirnya nasib membawanya ke kota Jakarta."Woiii.. lu mau belok kanan atau ke kiri, itu sen yang bener dong!" bentak seseorang dari sebuah motor yang tiba-tiba muncul di samping kirinya.Iwan tersentak dari lamunannya, dia lalu minta maaf k
Masa-masa menjalani pendidikan di SMA, hanya ada tiga orang di sekolah yang selalu bersaing untuk jadi juara kelas dan dapat nilai tertinggi. Selain berharap bisa mendapatkan bea siswa untuk melanjutkan kuliah keluar negeri, ada kepuasan tersendiri bila masuk ke ranking teratas diantara teman-teman lainnya di satu sekolah. Mereka itu adalah Dewi, Permana, dan Intan.Permana sudah pernah bertemu dengan Intan, sewaktu dia meneruskan pendidikan S3 di luar negeri. Akan tetapi sikap Intan kurang bersahabat. Intan membuat jarak komunikasi dengannya, mungkin karena jabatan yang dipegang Intan di kota itu, banyak didatangi orang yang butuh tandatangannya, terutama pada musim pendaftaran mahasiswa/siswi baru di negeri tersebut. Begitulah adanya. Setiap orang, tentu punya karakter dan sikap hidup yang berbeda. Atau, menjadi berubah sikap hidupnya, ketika interaksi antar ruang hidupnya berubah.** Setiba di rumahsakit, Dr Permana langsung menuju ke ruang ICU yang telah diberitahukan oleh dr Fink
Bang Andy menatap langkah Iwan menuju panggung kecil di pojok ruangan kedai itu. Dia merasa bersyukur dapat dipertemukan dengan Iwan, sosok yang tidak neko-neko. Obrolannya selalu nyambung tentang apapun. Kalau bukan karena ada isteri dan anak yang menunggu di rumah, rasanya bang Andy lebih suka ngobrol dengan Iwan ngalor ngidul soal perjalanan hidupnya, setiap malam sampai pagi.Tiba-tiba Maming lewat dari koridor ruang belakang disamping bang Andy,"E eeh Ming.. sini, duduk dulu.""Ada apa Boss?" sahut Maming sambil duduk di sebelah bang Andy."Besok pagi, lu bersihin garasi samping. Gue kurang suka kalau lama-lama garasi itu berubah jadi gudang. Pokoknya lu kosongin ruangan itu, bersihin, trus cat ulang."Bang Andy mengeluarkan dompetnya, lalu memberikan beberapa lembaran uang merah kepada Maming."Nih buat beli catnya.. Beli 1 galon yang besar trus sekalian sama roll, gak usah pake kuas ngecatnya, ntar kelamaan,""Oke boss. " sahut Maming. "Eh warna catnya apa boss?" tanya Maming
Dr Permana tidak tega melihat kondisi Dini. Bagaimana pun ia seorang perempuan. Dari hasil diskusi yang telah diadakan bersama, Pihak pemilik rumahsakit memutuskan satu solusi. Dini tetap dirawat disitu tapi tidak ditangani Dr Permana, dan tidak di ruang isolasi khusus, karena masih banyak pasien lain, terutama pasien yang sedang dalam kondisi terpapar wabah covid dan mempunyai catatan komorbid. Dalam situasi seperti itu, ruangan tersebut sangat dibutuhkan."Mendengar laporan-laporan medis, mengamati seluruh catatan, maka jalan keluar bagi masalah pasien tanpa nama itu, sebaiknya, bukan lagi merupakan tanggung jawab Dr Permana. Depresi berat seperti itu, akan semakin sulit disembuhkan, kalau kita melayani gejolak dari pengaruh halusinasi sipasien.""Terimakasih prof.. saya sepakat," ucap Dr Inggrid."Kita pindahkan pasien saat dia dalam pengaruh obat penenang dan tertidur pulas. Taruh di ruang rawat inap yang sudah tidak dipakai, di dekat kamar jenazah. Lepaskan ikatan tangannya, biark
Pinggir jalan raya pantai Pelabuhan Ratu. Dr Permana turun dari mobil, lalu mengambil kursi roda Tia dari dalam bagasi. Kemudian membukakan pintu mobil dan membantu Dewi menggendong Tia turun dari mobil.Dewi menghirup udara pantai dengan lembut, menatap laut lepas yang dirasakannya turut melepas seluruh sendi permasalahan hidup yang sedang dihadapinya. Dr Permana mendorong kursi roda Tia mendekat ke arah tepi pantai. Dewi dan Dr Permana sengaja tidak mengenakan alas kaki agar dapat menikmati kehalusan pasir di tepi pesisir pantai itu.Gulungan gelombang ombak dari arah laut lepas berkejaran menuju ke pantai. Sorot mata Tia tampak mulai gelisah, tubuhnya bergerak seolah-olah menghindari air laut yang sedang menuju ke pantai. Lama kelamaan tubuh Tia semakin berguncang, ia terlihat ketakutan,"Ayaaah.. ibuuu tollooong, ayaaah..... ibuuu toolloooong,"Dewi panik, mendekat ke arah Tia, tapi sebelum Dewi menyentuh tubuh Tia, tangannya ditahan oleh Dr Permana,"Ssstt.. jangan ganggu, Tia ga
Di ruangan rapat di rumahsakit.Dr Sumiyati, tampak membuka pintu lalu masuk, ia sudah rapi dengan kostum gaya simbok. Mengenakan daster batik lama/warna pudar ala rumahan, ditutupi oleh jaket putih seragam khas seorang dokter. Rambut terikat asal kebelakang, wajah tanpa make up, dan memakai alas kaki sendal jepit.Di ruangan itu sudah menunggu Dr Permana, Dr Seno, Prof. DR Tagor pemilik saham terbesar pada rumahsakit tersebut."Nah ini dia artis kita sudah siap..""Selamat pagi prof, dokter Seno, dokter Permana,"Dr Permana dan Dr Seno spontan menoleh kearah kedatangan Dr Sumiyati."Pagi dokter Sumiyati,"Dr Sumiyati langsung duduk dekat Dr Seno."Prof, sepertinya ada yang pasang cctv di kamar itu ya?" tanya Dr Sumiyati."Iya, kemarin saya suruh tehnisi kesitu, tapi itu cctv lama, gak bisa rekam suara, makanya Dr Sumi saya minta datang kesini. Hape Dr Sumiyati jadi merekam suaranya..?""Jadi prof... Ini," jawab Dr Sumiyati sambil mengambil hape dan menaruhnya diatas meja."Coba tolong
Jam 10.00 pagi hari ini, hari pertama Iwan membuka bengkelnya. Dia mengenakan kaos oblong hitam dan celana jean. Laki-laki itu semakin bertambah usianya, makin terlihat aura ditubuhnya. Dengan memiliki tinggi badan proporsional sebagai laki-laki, wajah yang tertutup janggut dari mulai tulang pipi sampai rahangnya, menambah kharismanya sebagai lelaki. Kedewasaan Iwan dalam menyikapi setiap masalah hidup dengan santai dan selalu tersenyum, itulah yang telah membangkitkan aura pada wajahnya.Iwan menatap situasi lalu lintas didepan bengkel, lumayan ramai dan berisik sekali. Disitu terlihat banyak motor mundar mandir. Ada ojek online, ada tukang roti keliling, ada juga ibu-ibu yang mengantar anak-anaknya ke sekolah. Iwan menarik nafas lega. Dia lalu membereskan sebagian perlengkapan alat-alat, kaleng-kaleng oli baru, dan lainnya, yang kemarin dibelinya. Kemudian Iwan menata benda-benda itu pada rak-rak kecil yang terbuka yang disisipkan mengikuti garis cat batas anak tangga dengan warna ti