Share

Bab 5. Dini

Penulis: Ambu Abbas
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-16 17:32:36

Dalam hati, Iwan merasa menyesal sudah melukai hati Dewi dengan berselingkuh. Walaupun itu masa lalu, Iwan tetap merasa berdosa. Dia berjanji akan menemui Dewi saat sudah kembali dari puncak. Dia sekaligus ingin bertemu Tia. Lalu muncul inisiatif untuk Iwan mengajak Dewi rujuk, tetapi apa Dewi mau menerima ajakannya.

**

Pagi itu, setelah kembali dari puncak, Iwan langsung menuju ke rumah Dewi dan berniat mewujudkan rencananya dari awal. Kedatangannya kali ini akan dibuat lebih baik. Ia ingin bicara serius dengan Dewi, mengajaknya untuk kembali rujuk.

Jika Tuhan saja masih mau memaafkan kesalahan hambanya, Iwan yakin Dewi akan memaafkan kesalahannya. Ia tidak pernah menganggap jika Dewi akan mengusirnya saat Iwan mengatakan tentang perasaannya sekarang.

Tok! Tok!

Pintu rumah Dewi diketuk.

Saat itu Dewi masih asyik mengajak Tia berbicara dan mencoba mengembalikan ingatan puterinya, ia lalu menghentikan terlebih dahulu.

"Nanti ya. Ibu mau lihat siapa yang datang."

Dengan langkah perlahan, Dewi membuka pintu rumah. Ia terkejut saat tahu Iwan datang. "Ka-kamu?"

Iwan dan Dewi saling tatap. Sekitar satu menit berlalu, sampai Iwan salah tingkah. Rasanya cinta masa lalu seperti datang lagi. Apa mungkin mereka bisa bersatu lagi?.

"Ma-maaf, aku ada waktu sekarang. Kemarin aku kerja." 

Dewi tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis. Mempersilahkan lelaki itu masuk dan mereka berjalan bersamaan. Di situ terlihat Tia sedang melihat-lihat foto di album.

"Selamat pagi Tia. Ayah datang."

Tia tersenyum. Ia menatap ibu dan ayahnya bergantian. Ia tampak bahagia melihat dua orang itu berduaan.

"Ayah dari mana aja?" tanya Tia.

Perkumpulan itu terjadi lagi. Seperti keluarga yang utuh. Rasanya Tia bahagia melihat keadaan ini.

Iwan mencoba memberanikan diri. Ia menarik napas, mendekati Dewi dan mencoba berbicara di depan Tia.

"Aku mau bicara sesuatu sama kamu. Apa boleh?" ucapnya.

"Bo-boleh." Suara Dewi gemetaran.

Dewi dan Tia saling bertatapan. Mereka duduk bersebelahan. Iwan ada di depannya. Saat itu, Iwan langsung memegang tangan Dewi dan mengungkapkan isi hatinya.

"A-aku mau rujuk sama kamu, Wi. Kamu nggak kasihan lihat anak kita? Harusnya sekarang Tia punya orang tua lengkap yang bisa dampingi dia."

Ketukan pintu kembali terdengar di saat Dewi ingin memberikan jawaban. Dewi langsung melepaskan tangannya dari genggaman tangan Iwan. Baru saja ia ingin berjalan, tiba-tiba pintu rumah sudah terbuka. Dini berdiri disitu.

"Assalamualaikum. Selamat pagi. Maaf, aku mengganggu waktu kalian."

Ya, Dewi terbelalak. Ia melihat seorang wanita muslimah berdiri di hadapan. Dewi memperhatikan wanita itu dari atas sampai ke bawah. Mengenakan jilbab panjang, baju gamis syar'i, sebagian wajahnya tertutup niqob/cadar, dan kakinya tertutup kaos kaki. Tapi suara itu Dewi sangat amat mengenalnya.

"MasyaAllah. Akhirnya saya bisa bertemu juga dengan non Dewi. Maafkan saya."

Bukan hanya Dewi, Iwan dan Tia juga terpelongo melihat kedatangan wanita itu. Suaranya tak asing bagi mereka, Dewi dan Iwan pun langsung dapat mengenalinya.

Dewi dan Iwan saling tatap. Mereka bertemu Dini kembali dengan penampilan yang sangat berbeda. 

Dini tampak anggun dengan berhijab. Meski balutan dress panjang yang tebal dan lebar, tapi badannya terlihat lebih kurus daripada sebelumnya. Sorot matanya berembun, memancarkan kesejukan yang seolah-olah ingin diterima kehadirannya hanya dengan sebuah kalimat dimaafkan, yang keluar dari mulut Dewi.

"Dini kembali. Ya, masa laluku telah hadir lagi. Apa ini artinya aku tidak akan bisa bersatu dengan Iwan? " kata batin Dewi.

Ia berusaha menyapa Dini dengan menahan lapisan ingatannya pada masa lalu.

”Dini, silakan duduk.. “

”Terimakasih non Dewi, saya gak perlu berlama-lama disini, cuma ingin minta maaf atas seluruh kesalahan yang telah saya perbuat dimasa lalu.”

Dewi bingung. Apakah benar kata maaf yang terucap dari Dini itu tulus? Apa bukan cuma sandiwara Iwan dan Dini saja, yang datangnya pada waktu yang hampir bersamaan.

”Terus kamu mau kemana Din? Apa kamu masih diakui di kampung halaman kamu nanti..?” tanpa sadar kalimat itu meluncur dari mulut Dewi.

Iwan dan Tia sama-sama tidak mengerti, mereka hanya saling tatap. Tia juga belum ingat, tentang siapa sosok Dini dimasa lalu. Namun ada getaran halus yang muncul dihatinya. Rindu pada belaian kasih sayang seorang ibu, yang dulu pernah Dini berikan pada Tia. Jalinan rasa itu, seperti benang merah yang tak mudah terputus.

Meski Dini bukan ibu yang telah melahirkannya ke dunia, tapi kehangatan cintanya pernah tersimpan diruang memory gadis kecil ini.

”Ibuu..” Tiba-tiba Tia memanggil Dini sambil tangannya menjulur seolah ingin disambut oleh Dini.

”Saya bukan ibumu Tia, itu ibumu..” sahut Dini sambil menunjuk ke arah Dewi.

Tia kecewa, kepalanya menggeleng perlahan.

”Sudah! Stop!! hentikan sandiwara ini Dini, kamu datang kesini mau minta maaf.. sudah aku maafkan. Sekarang silakan secepatnya kamu pergi dari sini, jangan merusak suasana lagi. “

Dini menatap wajah Dewi dengan tajam. Ia merasakan getaran kemarahan dari suaranya, bahwa Dewi belum bisa seutuhnya memaafkan kesalahannya, Dewi masih menyimpan rasa dendam.

Dewi lalu menatap Iwan,

”Kamu juga Iwan, bagaimana mungkin aku bisa percaya kepada kamu lagi, sedangkan dia muncul hampir bersamaan dengan kamu”

”Tenang Wi.. Dia cuma ingin minta maaf.. Jujur, aku tidak datang bersama dia. Apa aku perlu bersumpah..” Iwan membela diri.

Dini tidak bergeming, ia tetap duduk tenang di kursi persis dibawah jendela kaca, disamping pintu keluar.

”Bagaimana caraku bisa memaafkan kalian? Aku tidak tahu, dulu, hatiku kecewa oleh tindakan kalian, ditambah melihat nasib Tia yang sekarang, rasanya hatiku begitu sakit sekali,” Dewi tak mampu menahan rasa pedih didalam hatinya.

”Kamu lihat sendiri Dini, bahkan Tia malah memanggil ibu kepada kamu.. Sudah, pergi saja kalian berdua sekarang juga. Aku tidak sanggup.. sungguh.. aku tak sanggup lagi,” Dewi menangis makin sesegukan.

Tiba-tiba tangan Tia memegang tangan Dewi ditaruhnya ke depan dadanya, begitu pula dengan tangan Dini, lalu dirapatkan keduanya di dada Tia.

”Wi, Tuhan saja memaafkan kesalahan hambanya, bagaimana dengan kamu?” pinta Iwan pelan.

Dewi melepas tangannya dari genggaman tangan Dini. Ia lalu menarik nafas panjang.

”Tidak.. aku hanya manusia biasa, perempuan yang masih menyimpan rasa kecewa yang dalam, karena dulu, kamu membandingkan aku dengan dia. Sekarang, aku minta kalian pergilah dari rumahku. Pergii..!!”

Dewi lalu menggendong Tia masuk ke dalam kamarnya.

”Maafkan saya pak Iwan..” ucap Dini pelan, ia tak berani menatap mata Iwan. Ia berusaha menghindari kontak mata yang dapat menjerumuskannya ke jurang yang sama, masa lalu telah ditebus dengan luka-luka pada sekujur tubuhnya..

Dini pun melangkah keluar dari rumah Dewi, ia hanya berharap, semoga Allah mengetuk pintu maaf dari lubuk hati Dewi yang terdalam.

”Wii.. Dewiii. Dini sudah pergi Wi,” ucap Iwan di depan pintu kamar Dewi.

Dewi tidak menjawabnya.

Iwan tahu, hati Dewi yang masih tersakiti selama ini, semakin sakit ditambah datangnya Dini; yang memecah ingatan Tia pada kehadiran sosok seorang ibu.

Lantas, sejak Dini hadir kembali, apa yang akan terjadi?

*****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pelakor dan mantan suami   55. Sita yang bebal.

    Manusia memang tak ada yang sempurna. Demikian pula dengan Sita. Gadis yang berusia 18 tahun ini baru saja tamat dari Sekolah Menengah Atas. Masa pubertas yang dipengaruhi gejolak emosional, lebih sering dikuasai oleh tuntutan pemenuhan hasrat dari dalam tubuhnya saja.Wardah jalan disamping bi Risna, ia menuju ke sebuah pintu kamar, lalu membukakannya. Kamar itu kosong. Ia memberitahu dengan bahasa tangannya supaya bi Risna bersihkan dulu. Bi Risna meresponnya dengan mengangguk-angguk. Wardah lalu pergi meninggalkan bi Risna disitu. Bi Risna dan Sita di yang jalan belakangnya, lalu masuk ke dalam kamar tersebut.Ruangan kosong itu berukuran cukup besar, empat kali tiga setengah meter. Dulu, sewaktu masih ada almahum ibunya Wardah, ruang tersebut digunakan untuk segala kegiatan. Tempat bermain Wardah dimasa kanak-kanak, tempat belajar bahasa isyarat, menulis dan membaca; hingga dijadikan tempat Wardah Fatimah belajar membuat kue. Benda-benda sisa kegiatan dari masa lalu tersebut sudah

  • Pelakor dan mantan suami   55. Sita yang bebal.

    Manusia memang tak ada yang sempurna. Demikian pula dengan Sita. Gadis yang berusia 18 tahun ini baru saja tamat dari Sekolah Menengah Atas. Masa pubertas yang dipengaruhi gejolak emosional, lebih sering dikuasai oleh tuntutan pemenuhan hasrat dari dalam tubuhnya saja. Wardah jalan disamping bi Risna, ia menuju ke sebuah pintu kamar, lalu membukakannya. Kamar itu kosong. Ia memberitahu dengan bahasa tangannya supaya bi Risna bersihkan dulu. Bi Risna meresponnya dengan mengangguk-angguk. Wardah lalu pergi meninggalkan bi Risna disitu. Bi Risna dan Sita di yang jalan belakangnya, lalu masuk ke dalam kamar tersebut. Ruangan kosong itu berukuran cukup besar, empat kali tiga setengah meter. Dulu, sewaktu masih ada almahum ibunya Wardah, ruang tersebut digunakan untuk segala kegiatan. Tempat bermain Wardah dimasa kanak-kanak, tempat belajar bahasa isyarat, menulis dan membaca; hingga dijadikan tempat Wardah Fatimah belajar membuat kue. Benda-benda sisa kegiatan dari masa lalu tersebut suda

  • Pelakor dan mantan suami   54. Dua rumah sakit berbeda.

    Setelah slang infus dipasang oleh Perawat di tangan Dewi, Perawat itu mendekati Dr Permana. "Bagaimana kondisi istri saya suster?" "Tekanan darahnya agak rendah, tapi gak apa-apa.. bu Dewi butuh istirahat saja. Dokter Herman sedang dalam perjalanan kesini dok," ucap Perawat jaga itu. "Baik suster, terimakasih," Perawat itu menuju ke meja, lalu memberi catatan pada selembar kertas diatas papan jalan, dan keluar dari ruangan. "Kalau ada apa-apa, saya di ruang jaga dok," "Baik Suster, terimakasih.." sahut Dr Permana. Dr Permana duduk disamping ranjang pasien. Dia menatap wajah istrinya, merasa kuatir melihat kondisi Dewi, tubuhnya sangat lemah serta wajahnya pucat. Dr Permana tampak mengelus tangan Dewi dengan penuh kasih. "Kamu sabar ya sayang... ini reaksi kandungan dengan tubuhmu. Gak apa-apa, gak lama kok.. aku yakin kamu pasti kuat.." seru Dr Permana sambil menciumi punggung tangan istrinya. Dewi mengangguk pelan, "Terimakasih ya.. Aku jadi ngantuk pap.. " "Iya

  • Pelakor dan mantan suami   53. Wardah mengidam.

    Motor Iwan keluar dari halaman samping warung Wahyu. Dia merasa lega karena sudah membawa Tia ke rumah miliknya. Dia percaya, disitu banyak yang akan menjaga serta membimbingnya. Didalam benak Iwan ada target bahwa tahun depan Tia sudah harus masuk sekolah Taman Kanak-kanak, mungkin bisa juga bersama dengan Nana, kalau dia mau. Iwan memparkir motornya di pinggir jalan untuk menelpon pak Hasan, "Assalamu'alaikum pak Hasan, saya minta alamat rumah sakitnya pak haji," "Oh iya boleh..." Pak Hasan pun menjelaskan alamatnya, lalu Iwan mencari alamat tersebut, dengan bertanya-tanya kepada warga yang duduk di depan sebuah warung kopi di pinggir jalan raya itu. Sampai akhirnya dia menemukan letak rumah sakit tersebut. Iwan memparkir motornya, lalu masuk ke area lobby rumah sakit. di depan meja costumer service, dia bertanya pada petugas wanita disitu. "Ada yang bisa saya bantu pak?" tanya petugas wanita tersebut. "Kalau pasien pak haji Mahmud dirawat di lantai berapa kak?" tanya Iwan

  • Pelakor dan mantan suami   52. Kembali ke rumah.

    Mobil pajero hitam milik pak haji Mahmud melaju meninggalkan pinggir jalan depan warung Wahyu. Iwan mengenalkan Dini dan Tia pada keluarga Wahyu. Mereka pun saling bersalaman, mengenalkan diri masing-masing, "Wahyu... ini Nuning istri saya, itu nek Warni ibunya Nuning. Nah yang ini Nana kak.." "Nanti Tia main sama Nana disini ya?" sela Iwan. "Iya ayah.." Tia bersalaman dengan Nana. "Yuuk kita main di sana, ada ayunan lho.." Nana mengajak Tia. Iwan terperangah mendengar ucapan Nana. "Dimana ayunannya Na?" "Di samping rumah om.. kemarin Bapak dan Aki yang buatin.. ayoo" Nana dan Tia tampak langsung akrab. Mereka berlari menuju ke arah halaman samping rumah Iwan. Iwan, Dini, pak Sidik, Wahyu dan Nuning, saling bersitatap, dan tersenyum lebar. "Alhamdulillah... makasih Yu.." "Iya bang.. saya tahu mereka butuh tempat bermain, jadi kemarin saya cari ban bekas dan trus diikat ke pohon di samping belakang rumah abang.." "Tapi kuat ya Yu..?" "Kuat bang.."Iwan menoleh ke arah Dini

  • Pelakor dan mantan suami   51. Perjalanan

    Mereka tampak menikmati makan siang di satu warung makan di pinggir jalan raya itu. Setelah perutnya terisi makanan, wajah Dini terlihat segar. Iwan lalu menyuruhnya menelan pil anti mabuk. "Obat anti mabuknya diminum Din, kita bakal naik kapal feri.. nanti kalau mabuk lagi gimana?" "Iya bu diminum," celetuk Tia. "Iya Tia," jawab Dini sambil mengambil obat tersebut dari dalam tasnya. Dini pun lalu menelan pil anti mabuk tersebut. Tak lama kemudian, setelah Iwan merasa sudah cukup waktu istirahat bagi mereka, dia membayar makanan dan mengajak istri dan anaknya menuju ke mobil. Pak Hasan menyalakan mesin mobil, dan mobil melaju kembali. ** Pelabuhan Merak sudah terlihat. Matahari mulai bergeser ke tengah. Diantara teriknya panas matahari, tampak kesibukan kendaraan yang hendak menyeberang menuju Pelabuhan Bakauhuni. Suasana kesibukan di Pelabuhan Merak, tidak begitu padat, mungkin karena hari ini bukan hari liburan anak-anak sekolah dan bukan hari besar juga. Setelah menga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status