Share

Bab 6. Dini korban tabrak lari

Dewi mengunci pintu kamarnya, diatas kursi roda, tubuh Tia gemetaran, ketakutan.

"Ibu, apa mereka orang jahat?"

Degh !

Pertanyaan Tia membuat Dewi bingung merangkai kata jawabannya, ia berjongkok disamping kursi roda Tia, menggenggam tangan Tia dengan kelembutan, akhirnya Dewi harus mengatakan apa yang sebenarnya dulu pernah terjadi. 

"Dulu, mereka berdua pernah jahat pada ibu. Mereka membawa Tia pergi sampai jauh dari ibu, tapi sekarang Tia sudah dikembalikan lagi kepada ibu. Ibu senang sekali." kata Dewi sambil menciumi pipi Tia.

Tia belum paham apa yang dibicarakan Dewi. Namun melihat airmata yang menetes dipipi Dewi, Tia lalu menghapus lembut dengan jemarinya.

" Ibu jangan nangis, Tia ga tau.. Tia ga tau buu... "

Dewi memeluk Tia, mengelus-elus rambut dikepalanya. Meskipun Dewi tahu persis kesadaran Tia belum pulih, tapi ia sudah mau berbicara dengan ibunya, walaupun masih menganggap ibu hanya sebuah panggilan tanpa makna yang jelas baginya.

Kamar Dewi tidak terlalu luas, tapi disitu ada lemari kaca berpintu dua, disampingnya tampak pintu menuju ke kamar mandi dalam kamar, di pojok ruangan ada meja rias, dan meja kerja untuk work from home di sisi sebelah kiri tempat tidurnya.. Tiba-tiba handphone di atas meja kerjanya berbunyi, tanda panggilan meeting online dari tugas kantor. Mata Dewi menoleh kearah handphonenya sebentar, lalu menatap pada Tia lagi,

"Kamu tunggu disini sebentar ya, ibu panggil mbak Surti dulu,"

Dewi lalu keluar dari kamar. Di ruang tamu terlihat Iwan masih duduk disitu.

"Kamu ngapain masih disini.. aku bilang sekali lagi kamu harus pergi dari sini. Teruskan saja hubunganmu dengan Dini. Dulu, kamu bilang dia lebih pantas jadi ibunya Tia kan? Aku tidak akan pernah bisa melupakan semuanya Iwan.. Seluruh rasa sakit dan pedihnya hati ini, tidak dapat kamu tebus hanya dengan satu kalimat permohonan maaf saja. Sekarang pergilah.. jangan sampai aku teriaki maling, sampai tetangga yang akan mengusirmu.."

Iwan menatap Dewi, lalu menoleh kearah pintu kamar Dewi, dan kembali menatap Dewi lagi. Kalau saja bukan karena ada Tia keturunannya, dia tak mungkin mendatangi Dewi, yang kedatangannya seolah dianggap mengemis kebaikan hati dari seorang Dewi. Sebagai laki-laki, Iwan merasa terusir dari situ.

Dewi membuang wajahnya dari tatapan Iwan, ia lalu jalan menuju ke dapur,

"mbak Surti.. mbak dimana?"

"Saya lagi di kamar mandi non,"

"Nanti temani Tia nonton tivi ya mbak.."

"Baik non,"

Dewi kembali menuju ke kamarnya, ia sempat melihat Iwan yang melangkah tanpa menengok lagi, lalu menutup pintu rumah. Dewi merasa lega. Sedikitnya, hatinya tidak terganggu lagi, kemudian ia masuk ke dalam kamarnya.

**

Sementara itu, Iwan yang merasa kecewa dengan penolakan Dewi, dan harus menerima kenyataan bahwa Dewi masih belum bisa melupakan kesalahannya dimasa lalu; dia mengemudikan motornya jadi kurang fokus. Hingga tiba-tiba dia tersentak, motornya oleng karena menabrak seorang wanita yang hendak menyebrang tapi ragu-ragu. Wanita itu, setelah tertabrak tubuhnya oleh motor Iwan, langsung terseret mobil dalam kecepatan tinggi. Terseret beberapa meter karena jilbab panjangnya tersangkut dikaca spion mobil, setelah dilepas jilbab yang tersangkut oleh penumpang dalam mobil itu, mobil pun langsung melaju meninggalkan korbannya.  

Iwan terkejut, melihat langsung didepan matanya wanita itu terpental dan tersungkur dekat trotoar. Dia langsung memparkir motornya di pinggir jalan, karena melihat wanita itu tubuhnya tertelungkup dan tidak bergerak.

"Ya Allah.. ini salahku,"  kata Iwan sambil menghampiri tubuh wanita tersebut.

Iwan membalikkan tubuhnya, wajah wanita itu terlihat jelas karena niqob/cadar penutup wajah sudah terlepas. Iwan semakin terkejut, meski wajah wanita itu cacat oleh baret-baret dikedua pipinya, tapi Iwan masih mengenalinya. Wanita itu adalah Dini, mantan pelakor yang telah menggoda hatinya dan merusak kehidupan rumahtangganya. Namun Iwan tidak tega meninggalkan Dini terkapar tak sadarkan diri disitu, dia lalu meminta pertolongan dengan menyetop mobil-mobil lain yang lewat di jalan itu.

Rasa kesadaran manusiawi Iwan muncul, karena bagaimanapun Dini pernah hadir dihatinya. Entah karena kesepian, sekedar pelampiasan nafsu, atau karena wibawa kelelakiannya seolah hilang dimata Dewi, pada waktu itu.

Sebuah mobil sedan yang dikemudikan oleh seorang wanita cantik berhenti.

"Kenapa dia mas?" tanya wanita itu.

"Korban tabrak lari mbak.."

Wanita cantik yang berparas mirip artis korea, membukakan pintu belakang mobil, Mereka berdua menggotong tubuh Dini, lalu menidurkannya dikursi belakang mobil.

"Dia pingsan, masnya duduk didepan saja," kata wanita itu.

"Gak mbak, saya bawa motor jadi saya ikuti dari belakang,"

"Oke kalau begitu ga apa-apa.. tapi mas jangan kabur ya?"

"Enggaklah mbak.. " Iwan tersenyum hambar.

Setiba di rumahsakit, perawat sudah menunggu dimuka ruang IGD, dua perawat itu tergesa-gesa mendorong brankar menuju ke mobil wanita tadi, lalu membawa tubuh Dini langsung masuk ke ruangan IGD. Wanita itu mengikuti dari belakang.

Selang beberapa saat, Iwan masuk ke ruang IGD, dan mencari wanita itu. 

Seorang perawat menegurnya,

"Cari siapa mas?"

"Itu pasien yang korban tabrak lari,"

"Ooh, disitu mas... masih ditangani oleh dr Finka," kata Perawat sambil menunjuk ketempat tidur pasien di pojok ruangan, tapi ia merasa perlu mengantarnya.

Perawat tersebut mengantar Iwan ke arah tempat tidur pasien yang tertutup oleh gordein. Iwan terkesima melihat wanita berwajah artis korea itu ternyata seorang dokter, dan kini berada didepannya dengan mengenakan baju panjang putih seragam seorang dokter.  Alamak, kupikir dia artis! batin Iwan.

"Mas tunggu di luar dulu ya,"

"Baik dok.."

Iwan pun berjalan keluar dari situ. Tak lama kemudian dr Finka menemui Iwan.

"Perempuan itu masih belum sadar, apa mas tahu keluarganya?"

"Saya tidak tahu, saya hanya saksi korban tabrak lari, tapi saya sempat memotret nomer mobil yang menabraknya,"

Iwan menyodorkan foto di dalam hapenya kepada dr Finka.

"Ya sudah, nanti saya hubungi Polisi dulu, supaya dapat bantuan uang dari asuransi. Tapi mas jangan pergi dulu sampai Polisinya datang ya.."

"Baik dokter,"

Iwan lalu duduk di kursi dekat pintu, sedangkan dr Finka terlihat menelpon Polisi. Baru saja dr Finka memutuskan hubungan handphonenya, tiba-tiba hp itu berdering lagi.

"Hallo, ini siapa ya?"

"Aku Permana Fin..." kata suara diseberang sana.

"kemarin ada yang miscal berkali-kali, siapa ya.. apa kamu tahu Fin.." lanjut Dr Permana.

"Ooh, itu Dewi teman SMA kita dulu, aku memang kasih nomer kamu ke dia.."

Iwan tersentak mendengar dr Finka menyebut nama Dewi, dia lalu menguping obrolan tersebut.

"Dewi.. yang mana ya? aku lupa Fin.. banyak nama Dewi yang hadir dalam hidupku,"

"Alaay banget kamu, Dewi itu lho yang galak, cantik, yang pernah kamu jahilin dulu,"

"Ya udah, aku ga inget blasss.. ada apa dengan Dewi?"

"Dia butuh bantuan kamu. Anaknya trauma mental dan fisik, akibat bencana tsunami di Banten dua tahun yang lalu,"

Deg!

Iwan kaget mendengar penuturan dr Finka, dia semakin penasaran.

"Usia berapa Fin?"

"5 tahun Man, coba hubungi dia, siapa tahu dia belum dapat psikiater sehebat kamu,"

"Oke Fin, makasih infonya ya,"

"Oke.. sama-sama"

Dr Finka lalu memutuskan hubungan handphonenya, dan memasukkan hp itu ke dalam lacinya.

Tak lama kemudian, dua orang Polisi masuk ke ruangan IGD, mereka langsung menemui dr Finkan.

"Bagaimana dok," tanya Polisi 1.

Dr Finka yang baru saja meletakkan handphonenya kedalam laci, spontan menoleh ke arah Polisi tersebut.

"Silakan duduk pak, saya panggilkan saksinya dulu,"

Iwan yang masih memikirkan tentang Dewi, tiba-tiba tersentak, menyadari kalau dua orang Polisi itu menuju ke tempat duduk di depan meja dr Finka. Apalagi dr Finka terlihat berdiri hendak menuju ke arahnya. Tanpa diminta Iwan langsung menghampir dr Finka dan duduk disamping Polisi itu.

"Ini Pak, tadi saya sempat foto nomer mobil yang menabraknya,"

Iwan memperlihatkan foto adegan sebuah mobil yang menjauh dan tampak Dini yang tergeletak di trotoar.

"Sekarang kondisi pasiennya bagaimana dok?"

"Dia masih pingsan pak.. tadi sudah saya berikan bantuan medis, apa bapak mau lihat?"

Iwan memotong, karena dia masih merasa galau. Dia takut kalau tiba-tiba Dini sadar dari pingsannya.

"Ini fotonya saya kirim kemana?. Saya buru-buru, harus kerja,"

"Ke hp saya aja mas..081299xxxxx" sahut dr Finka.

"Oke dok, terimakasih" kata Iwan langsung mengirim foto tersebut.

"Saya pamit ya dok, pak Polisi,"

"Iya mas, terimakasih atas kerjasamanya ya.." ucap dr Finka lalu mengajak Polisi menengok ke ranjang pasien Dini.

Iwan melangkah keluar dari ruang IGD. Dia sengaja meninggalkan Dini disitu karena tidak mau terlibat lagi kedalam pengaruh Dini yang akan menambah masalah baru nantinya. Dia bertekad ingin membuktikan rasa sayangnya kepada Tia. Itu saja.

***

  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status