Home / Rumah Tangga / Pelakor dan mantan suami / Bab 4. Kembalinya masa Lalu

Share

Bab 4. Kembalinya masa Lalu

Author: Ambu Abbas
last update Huling Na-update: 2023-07-16 17:32:24

Dini mengambil air wudhu dari kran di kamar mandi rumah pak Sidik. Perasaannya campur aduk, setelah mendengar semua kejadian yang diceritakan oleh pamannya Iwan.

”Neng Dini ga perlu temui Iwan dan neng Dewi lagi. Kasian mereka..”

Dini mengangguk pelan.

Dalam shalat, Dini mengadukan semua kepada Tuhannya. Tiba-tiba saja ia langsung menangis karena teringat akan dosanya yang begitu banyak terasa. Pikirannya yang kalut karena beranggapan bahwa salahnya itu banyak sekali, mungkin Tuhan juga tidak mudah memaafkan dirinya. 

Dini shalat dengan sangat khusyuk, disetiap gerakan shalat wanita itu tidak hentinya meneteskan air mata. Hingga diakhiri dengan salam. Dini memanjatkan doa, kesulitannya dia berkata, karena lidahnya kelu, dan hanya mampu menangis dengan hebat.

 

"Aku adalah pendosa, aku begitu buruk ya Allah, sekarang ini aku menghadap padaMu, dengan keadaanku yang seperti ini. 

Ya Allah... Maukah Engkau memaafkan aku? Seorang wanita yang hina dan banyak menorehkan malu pada diri sendiri, ya Allah hukum aku jika engkau marah padaku, namun ampuni aku ya Allah, aku tidak memiliki tempat untuk mengadu, aku telah sadar akan kesalahanku, aku minta maaf dengan tulus padaMu ya robbi," kata batin Dini.

Wanita itu sesenggukan menangis dalam sujudnya. Seluruh dosa yang telah diperbuatnya, kini muncul dalam ingatannya.

Saat itu juga Dini mendadak teringat pada dosanya terhadap Dewi dan juga Iwan. Kontak rasa itu terasakan oleh Iwan, yang tiba-tiba ingin menengok pamannya ke Serang. Sedangkan Dewi, sering didatangi Dini dalam mimpinya,

”Maafkan saya non Dewi, maafkan saya..”

Dini datang ke dalam mimpi Dewi sampai bersujud-sujud memohon ampunan dari Dewi.

Kesalahan yang pernah wanita itu lakukan terhadap Dewi, membuat dirinya merasa malu dan hancur atas perbuatannya yang dahulu.

"Aku harus minta maaf kepada mereka, aku tidak boleh merasa semua baik-baik saja, padahal aku telah menyakiti perasaan seorang wanita yang begitu lemah, aku adalah wanita juga tapi aku begitu kejam dulu, astaghfirullah, sebaiknya aku segera mencari keberadaan Dewi dan Iwan, aku ingin meminta maaf, aku tidak tahu apakah diriku akan diterima atau tidak, aku sudah siap atas segala hal yang mungkin saja akan dilakukan Dewi padaku, ini adalah resiko yang harus aku tanggung dan terima."  

Wanita itu telah membulatkan tekadnya untuk menemui Dewi.

**

Sementara itu, Iwan sudah dikontrak kerja di Kedai Kopi Para Mantan. Sekarang dia sudah berhasil mempertemukan Tia dengan ibunya. Waktunya Iwan menjaga diri sendiri dan berusaha berubah lebih baik.

Di tempat pekerjaan Iwan diberi fasilitas tidur satu kamar bersama Robby, dengan kasur masing-masing. Robby sangat baik padanya, hanya saja Mytha, pacarnya Robby yang sering datang; jadi tidak bisa menginap disitu; karena ada Iwan.

Mytha selalu mencari cara supaya Iwan pergi dari situ, tapi Robby selalu membela Iwan. Ada rasa kurang enak, atas perlakuan Mytha terhadap Iwan,

 

"Myt, kamu gak suka saya ada di sini ya?" tanya Iwan.

"Kok bang Iwan bisa ngomong begitu?" Mytha balik bertanya.

"Ya, saya cuma lihat kamu uring-uringan terus tiap hari sama Robby," kata Iwan.

"Itu kan urusan Mytha sama Robby bang. Gak ada kaitannya sama bang Iwan." Mytha bela diri.

"Ooh ya udah, gak apa-apa kalo gak ada kaitannya," kata Iwan merasa lega.

Kadang waktunya tidur, Iwan terpaksa pergi keluar karena ada Mytha di kamar Robby. Dia berkeliling pakai motornya. Sesekali, Iwan lewat di depan rumah Dewi, meski hanya melihat genteng rumah itu, rasanya dia sudah melihat Tia; yang aman dalam pelukan ibunya. 

Sebenarnya dari lubuk hati Iwan yang terdalam, dia mau kembali menjalani hidup bersama Dewi. Tapi apakah itu mungkin?. Sedangkan Dewi sudah memusuhinya. Iwan butuh waktu panjang, untuk dapat mengembalikan kepercayaan Dewi terhadapnya. Meskipun hal itu, tidak semudah membalik telapak tangan.

Malam itu, bang Andy ingin mengajak Iwan pergi ke puncak, untuk buka kedai kopi yang baru di sana.

Bang Andy mengintip kamarnya, dari jendela nako yang terbuka. Dilihatnya Robby sedang asyik bercumbu dengan Mytha. Spontan bang Andy naik pitam.

"Hey Rob, keluar lu!" teriak bang Andy dari depan pintu kamar Robby.

Robby kaget, buru-buru mengenakan celana pendek, sedangkan Mytha hanya menutup tubuhnya dengan selimut.

"Lu lagi ngapain heh?" tanya bang Andy sambil mencolek pipi Robby dengan kepalan tangannya.

"Enggak. Itu, anu ... anu bang," jawab Robby terbata-bata.

"Gua gak mau tahu, keluar lu sekarang juga dari sini. Jorok amat permainan lu Rob.." kata bang Andy marah.

"Bang Iwan mana?" tanya bang Andy kasar.

"Ta tadi dia keluar, ga.. ga tau ke mana bang." Robby terbata-bata ketakutan.

"Ya jelas aja dia pergi, karena lu bawa cecunguk ke kamar. Sekarang juga lu pergi dari sini, sebelum gua habisin lu Rob," kata bang Andy sambil mengepalkan tangannya.

"I-iya bang, saya pergi," sahut Robby semakin ketakutan.

Bang Andy duduk di kursi yang ada disitu, sambil menggerutu.

"Lu pikir ini tempat penampungan jablai apa? Lu kayak kacang lupa sama kulit Rob. Udah bagus ditolongin, kurang apa gue sama lu." bang Andy makin kesal.

Robby di dalam kamar tampak membereskan baju-bajunya.

"Bawa keluar semua barang-barang lu!" bentak bang Andy sambil menendang ember yang ada disitu, lalu dia jalan menuju ke tangga.

"Gue tunggu lu 10 menit di bawah Rob. Dasar sial*n lu!" bentak bang Andy kasar, sambil menuruni anak tangga ke bawah.

Setelah selesai, Robby buru-buru turun bersama Mytha. Di garasi bang Andi menunggu mereka. Ketika Mytha sudah berada di depan bang Andy, tubuhnya ditendang oleh kaki bang Andy, hingga Mytha jatuh tersungkur.

"Pergi jauh-jauh lu," bentak bang Andy.

Robby baru saja hendak menolong Mytha.

"Eh, belom selesai urusan lu sama gua Rob," bentak bang Andy kepada Robby. Amarah yang tidak terelakkan berhasil membuat suasana jadi makin ricuh.

Robby menghampiri bang Andy, sementara Mytha buru-buru pergi dari situ dengan terpincang-pincang, dan sambil memegangi pinggangnya yang sakit kena tendang.

"Iya bang, ada apa lagi?" tanya Robby.

"Dasar anji*g," bentak bang Andy kasar.

Bang Andy tidak bisa menahan amarahnya, dihajarnya muka Robby. Hingga hidungnya berdarah.

"Gue udah kasih kepercayaan sama lu, malah lu sendiri yang ancurin. Lu udah sering bawa jablai itu kesini 'kan?" bentak bang Andy lagi.

Tangan bang Andy mendarat di dada Robby.

Robby menerima pukulan bang Andy, tubuhnya jatuh tersungkur menabrak dinding garasi, lalu dia bangun lagi. Robby tidak berani melawan, karena dia merasa bersalah, dan tak mampu untuk melawan.

"Maafin Robby bang Andy, maafin Robby," kata Robby meminta dikasihani.

Robby dihajar lagi oleh pukulan bang Andy. Dia jengkel pada ulah Robby, yang seenaknya bawa perempuan masuk ke kamarnya. Sebenarnya bang Andy sudah lama dengar tentang hal itu, dari Maming bagian kebersihan di kedai, bahwa Robby suka bawa perempuan ke kamarnya. Tapi bang Andy tidak menyangka jika Robby sampai melakukan hal yang kurang pantas; karena perempuan itu cuma berstatus sebagai pacar saja.

Bang Andy masih terus menghajar tubuh Robby, sampai Iwan muncul disitu.

Iwan kaget, langsung turun dari motornya.

"Bang Andy, stop bang, ada apa ini?" Iwan berusaha melerai tangan bang Andy.

"Lu juga Wan, kenapa gak lapor ke gue, kalo dia bawa jablai ke kamar." Bang Andy melotot ke arah Iwan.

"Ya maafin gue bang, gue di sini, kan, masih baru," sahut Iwan.

"Sana lu pergi Rob, gue gak mau liat muka lu lagi," bentak bang Andy.

Robby jalan dengan terhuyung-huyung lemah, dadanya sakit, hidung dan bibirnya berdarah. Bang Andy tidak peduli. 

"Dia gak tau siapa gue kali ya. Macan lagi tidur, malah dibangunin. Dasar goblok." Bang Andy masih menggerutu.

Iwan memasukan motornya ke garasi.

Baru saja Iwan hendak masuk ke arah dalam.

"Wan, lu bisa bawa mobil?" tanya bang Andi.

"Bisa bang," sahut Iwan.

"Anter gue ke puncak sekarang," kata bang Andy.

"Iya bang," sahut Iwan lagi.

Mereka pun lalu naik ke mobil.

Mobil bang Andy meluncur meninggalkan kedai itu.

Setelah mobil menjauh dari kedai, bang Andy bicara.

"Wan, gue dulu juga pernah bandel, tapi kagak berani kalo bawa perempuan ke kamar. Lu tau, kan, kamar itu tempat privasi kita, apalagi sekarang ada lu di situ. Lu juga ngapain pake pergi, jadi ngasih kesempatan buat mereka," kata bang Andy.

Seketika Iwan terdiam. Dia merasa memiliki masalah yang sama. Di masa lalu, dia pernah berbuat salah yang sama. Dia juga bukan orang suci, tubuh asistennya sendiri dinikmati. Semua pernah dilakukan Iwan, sehingga dia hanya diam saat Bang Andy bicara.

"Iwan, lu dengar apa yang gue bilang ini 'kan?"

"I-iiya Bang. Dengar."

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pelakor dan mantan suami   55. Sita yang bebal.

    Manusia memang tak ada yang sempurna. Demikian pula dengan Sita. Gadis yang berusia 18 tahun ini baru saja tamat dari Sekolah Menengah Atas. Masa pubertas yang dipengaruhi gejolak emosional, lebih sering dikuasai oleh tuntutan pemenuhan hasrat dari dalam tubuhnya saja.Wardah jalan disamping bi Risna, ia menuju ke sebuah pintu kamar, lalu membukakannya. Kamar itu kosong. Ia memberitahu dengan bahasa tangannya supaya bi Risna bersihkan dulu. Bi Risna meresponnya dengan mengangguk-angguk. Wardah lalu pergi meninggalkan bi Risna disitu. Bi Risna dan Sita di yang jalan belakangnya, lalu masuk ke dalam kamar tersebut.Ruangan kosong itu berukuran cukup besar, empat kali tiga setengah meter. Dulu, sewaktu masih ada almahum ibunya Wardah, ruang tersebut digunakan untuk segala kegiatan. Tempat bermain Wardah dimasa kanak-kanak, tempat belajar bahasa isyarat, menulis dan membaca; hingga dijadikan tempat Wardah Fatimah belajar membuat kue. Benda-benda sisa kegiatan dari masa lalu tersebut sudah

  • Pelakor dan mantan suami   55. Sita yang bebal.

    Manusia memang tak ada yang sempurna. Demikian pula dengan Sita. Gadis yang berusia 18 tahun ini baru saja tamat dari Sekolah Menengah Atas. Masa pubertas yang dipengaruhi gejolak emosional, lebih sering dikuasai oleh tuntutan pemenuhan hasrat dari dalam tubuhnya saja. Wardah jalan disamping bi Risna, ia menuju ke sebuah pintu kamar, lalu membukakannya. Kamar itu kosong. Ia memberitahu dengan bahasa tangannya supaya bi Risna bersihkan dulu. Bi Risna meresponnya dengan mengangguk-angguk. Wardah lalu pergi meninggalkan bi Risna disitu. Bi Risna dan Sita di yang jalan belakangnya, lalu masuk ke dalam kamar tersebut. Ruangan kosong itu berukuran cukup besar, empat kali tiga setengah meter. Dulu, sewaktu masih ada almahum ibunya Wardah, ruang tersebut digunakan untuk segala kegiatan. Tempat bermain Wardah dimasa kanak-kanak, tempat belajar bahasa isyarat, menulis dan membaca; hingga dijadikan tempat Wardah Fatimah belajar membuat kue. Benda-benda sisa kegiatan dari masa lalu tersebut suda

  • Pelakor dan mantan suami   54. Dua rumah sakit berbeda.

    Setelah slang infus dipasang oleh Perawat di tangan Dewi, Perawat itu mendekati Dr Permana. "Bagaimana kondisi istri saya suster?" "Tekanan darahnya agak rendah, tapi gak apa-apa.. bu Dewi butuh istirahat saja. Dokter Herman sedang dalam perjalanan kesini dok," ucap Perawat jaga itu. "Baik suster, terimakasih," Perawat itu menuju ke meja, lalu memberi catatan pada selembar kertas diatas papan jalan, dan keluar dari ruangan. "Kalau ada apa-apa, saya di ruang jaga dok," "Baik Suster, terimakasih.." sahut Dr Permana. Dr Permana duduk disamping ranjang pasien. Dia menatap wajah istrinya, merasa kuatir melihat kondisi Dewi, tubuhnya sangat lemah serta wajahnya pucat. Dr Permana tampak mengelus tangan Dewi dengan penuh kasih. "Kamu sabar ya sayang... ini reaksi kandungan dengan tubuhmu. Gak apa-apa, gak lama kok.. aku yakin kamu pasti kuat.." seru Dr Permana sambil menciumi punggung tangan istrinya. Dewi mengangguk pelan, "Terimakasih ya.. Aku jadi ngantuk pap.. " "Iya

  • Pelakor dan mantan suami   53. Wardah mengidam.

    Motor Iwan keluar dari halaman samping warung Wahyu. Dia merasa lega karena sudah membawa Tia ke rumah miliknya. Dia percaya, disitu banyak yang akan menjaga serta membimbingnya. Didalam benak Iwan ada target bahwa tahun depan Tia sudah harus masuk sekolah Taman Kanak-kanak, mungkin bisa juga bersama dengan Nana, kalau dia mau. Iwan memparkir motornya di pinggir jalan untuk menelpon pak Hasan, "Assalamu'alaikum pak Hasan, saya minta alamat rumah sakitnya pak haji," "Oh iya boleh..." Pak Hasan pun menjelaskan alamatnya, lalu Iwan mencari alamat tersebut, dengan bertanya-tanya kepada warga yang duduk di depan sebuah warung kopi di pinggir jalan raya itu. Sampai akhirnya dia menemukan letak rumah sakit tersebut. Iwan memparkir motornya, lalu masuk ke area lobby rumah sakit. di depan meja costumer service, dia bertanya pada petugas wanita disitu. "Ada yang bisa saya bantu pak?" tanya petugas wanita tersebut. "Kalau pasien pak haji Mahmud dirawat di lantai berapa kak?" tanya Iwan

  • Pelakor dan mantan suami   52. Kembali ke rumah.

    Mobil pajero hitam milik pak haji Mahmud melaju meninggalkan pinggir jalan depan warung Wahyu. Iwan mengenalkan Dini dan Tia pada keluarga Wahyu. Mereka pun saling bersalaman, mengenalkan diri masing-masing, "Wahyu... ini Nuning istri saya, itu nek Warni ibunya Nuning. Nah yang ini Nana kak.." "Nanti Tia main sama Nana disini ya?" sela Iwan. "Iya ayah.." Tia bersalaman dengan Nana. "Yuuk kita main di sana, ada ayunan lho.." Nana mengajak Tia. Iwan terperangah mendengar ucapan Nana. "Dimana ayunannya Na?" "Di samping rumah om.. kemarin Bapak dan Aki yang buatin.. ayoo" Nana dan Tia tampak langsung akrab. Mereka berlari menuju ke arah halaman samping rumah Iwan. Iwan, Dini, pak Sidik, Wahyu dan Nuning, saling bersitatap, dan tersenyum lebar. "Alhamdulillah... makasih Yu.." "Iya bang.. saya tahu mereka butuh tempat bermain, jadi kemarin saya cari ban bekas dan trus diikat ke pohon di samping belakang rumah abang.." "Tapi kuat ya Yu..?" "Kuat bang.."Iwan menoleh ke arah Dini

  • Pelakor dan mantan suami   51. Perjalanan

    Mereka tampak menikmati makan siang di satu warung makan di pinggir jalan raya itu. Setelah perutnya terisi makanan, wajah Dini terlihat segar. Iwan lalu menyuruhnya menelan pil anti mabuk. "Obat anti mabuknya diminum Din, kita bakal naik kapal feri.. nanti kalau mabuk lagi gimana?" "Iya bu diminum," celetuk Tia. "Iya Tia," jawab Dini sambil mengambil obat tersebut dari dalam tasnya. Dini pun lalu menelan pil anti mabuk tersebut. Tak lama kemudian, setelah Iwan merasa sudah cukup waktu istirahat bagi mereka, dia membayar makanan dan mengajak istri dan anaknya menuju ke mobil. Pak Hasan menyalakan mesin mobil, dan mobil melaju kembali. ** Pelabuhan Merak sudah terlihat. Matahari mulai bergeser ke tengah. Diantara teriknya panas matahari, tampak kesibukan kendaraan yang hendak menyeberang menuju Pelabuhan Bakauhuni. Suasana kesibukan di Pelabuhan Merak, tidak begitu padat, mungkin karena hari ini bukan hari liburan anak-anak sekolah dan bukan hari besar juga. Setelah menga

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status