Home / Rumah Tangga / Pelakormu vs Aku / Bab 6: Malam yang Menyesatkan

Share

Bab 6: Malam yang Menyesatkan

Author: Vivits
last update Last Updated: 2024-12-31 21:30:54

Dua bulan berlalu, dan hubungan antara Bastian dan Kadita semakin dekat. Apa yang awalnya hanya sekadar obrolan ringan di mobil kini berubah menjadi percakapan mendalam tentang mimpi, ambisi, dan kehidupan pribadi mereka. Kadita, seorang janda muda yang mandiri dan percaya diri, merasa bahwa ia dan Bastian adalah pasangan yang sempurna.

Bastian, di sisi lain, semakin terperangkap dalam pesona Kadita. Kehadirannya memberi warna baru di tengah tekanan pekerjaan dan konflik rumah tangga. Kartini, dengan segala kecemasannya, mulai merasakan ada yang salah, tapi ia belum memiliki bukti kuat.

____

Malam Itu di Kantor

Selesai rapat malam itu, Kadita menghampiri Bastian yang sedang membereskan berkas-berkasnya. Senyumnya manis, tapi ada sesuatu di balik tatapan matanya yang mengundang.

"Pak Bastian, malam ini pulang sama saya lagi, ya?" ujar Kadita, santai tapi penuh maksud.

Bastian menatapnya sejenak, ragu. "Ah, enggak usah repot, Kadita. Saya bisa pulang sendiri kok."

Kadita tersenyum, menggeleng pelan. "Enggak repot, Pak. Lagian, saya mau mampir dulu ke rumah sebentar. Bapak bisa ikut, sekalian ngobrol santai. Saya punya kopi yang enak di rumah, lho."

Bastian tertawa kecil. "Kopi di rumah saya juga enak."

"Ya, tapi kopi saya lebih spesial," balas Kadita, menatapnya dengan mata yang berbinar. "Anggap aja bonus setelah kerja keras hari ini."

Setelah sedikit ragu, Bastian akhirnya mengangguk. "Oke, tapi sebentar saja, ya. Enggak lama-lama."

Kadita mengangguk, senyumnya semakin lebar. "Sip. Sebentar kok, Pak."

____

Di Rumah Kadita

Rumah Kadita kecil tapi tertata rapi. Aroma lilin beraroma vanila memenuhi ruangan, memberikan suasana yang hangat dan nyaman. Kadita meletakkan tasnya di sofa, lalu mempersilakan Bastian duduk.

"Pak, tunggu sebentar, ya. Saya buatkan kopi dulu," katanya sambil berjalan ke dapur.

Bastian mengangguk, mencoba merasa nyaman di tempat yang asing ini. Ia memandang sekeliling, memperhatikan bagaimana rumah Kadita mencerminkan kepribadiannya yang tertata dan modern.

Tak lama kemudian, Kadita kembali membawa dua cangkir kopi. Ia duduk di sofa, hanya beberapa inci dari Bastian.

"Silakan, Pak. Cobain kopi racikan saya," katanya sambil menyerahkan cangkir.

Bastian mencicipi kopi itu. "Hmm, enak. Kamu memang hebat, Kadita. Segalanya serba sempurna."

Kadita tersenyum lembut. "Ah, enggak juga, Pak. Saya cuma tahu apa yang saya mau, dan berusaha keras untuk mendapatkannya."

Mereka berbincang tentang pekerjaan, impian, dan sedikit bercanda. Tapi di tengah-tengah percakapan, Kadita mulai membuka topik yang lebih pribadi.

"Pak, boleh saya tanya sesuatu?" ujar Kadita, nadanya sedikit ragu.

"Tentu. Apa?" jawab Bastian, matanya menatap lurus ke arahnya.

Kadita memainkan rambutnya, tampak malu-malu tapi terkesan menggoda. "Kenapa sih, Bapak masih bertahan di rumah dengan kondisi yang... ya, seperti itu? Maksud saya, Bapak kan orang hebat, pantas mendapatkan yang lebih baik."

Bastian terdiam sejenak. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini, tapi ia tidak ingin terbawa. "Kadita, setiap rumah tangga punya masalahnya sendiri. Saya dan Kartini... ya, kami sedang mencoba mencari jalan tengah."

Kadita mendekat sedikit, tatapannya intens. "Tapi, Pak, terkadang kita harus berpikir, apa kita sudah memberikan yang terbaik untuk diri kita sendiri? Kalau kita terus bertahan di tempat yang salah, itu sama saja menyiksa diri."

Bastian mencoba menahan diri, tapi ada sesuatu dalam cara Kadita berbicara yang membuat hatinya goyah. "Kadita, saya tahu kamu peduli. Tapi ini bukan hal yang mudah untuk saya."

Kadita tersenyum tipis, lalu meletakkan tangannya di atas tangan Bastian. "Bapak orang yang luar biasa. Saya yakin, dengan orang yang tepat di sisi Bapak, hidup Bapak akan jauh lebih bahagia."

Bastian menatap tangan Kadita yang kini menggenggam tangannya. Ia tahu ini salah, tapi hatinya berperang dengan logika.

"Kadita..." suaranya bergetar, mencoba menghentikan langkah ini.

Namun, Kadita lebih berani. Ia mendekat, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. "Pak Bastian, saya tidak akan memaksa. Tapi saya di sini, dan saya selalu ada untuk Bapak."

Kata-kata itu, ditambah dengan tatapan dan senyuman Kadita, membuat Bastian akhirnya kehilangan kendali. Ia mendekat, dan tanpa sadar jarak di antara mereka menghilang.

Malam itu, batasan yang seharusnya ada hancur. Kadita berhasil mencuri perhatian Bastian sepenuhnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelakormu vs Aku   Bab 96 – Langkah yang Berwarna

    Kartini masih duduk di tepi ranjang, jemarinya menyentuh lembut gelang kaki yang baru saja dipasangkan Antonio. Pikirannya melayang. Dari sekian banyak jenis perhiasan yang ada di dunia ini, kenapa gelang kaki yang dipilih Antonio? Pria itu memang selalu penuh kejutan. Tapi ia juga sadar, di balik setiap tindakan Antonio, pasti ada alasan yang tak tertebak. Dengan sedikit ragu, Kartini akhirnya bertanya, “Pak Antonio…” suaranya hampir seperti bisikan, membuat pria yang sedang berdiri memandangi jendela berbalik perlahan. “Kenapa… memilih gelang kaki?? Maksud saya, Anda bisa memilih cincin, kalung, atau bahkan anting. Tapi kenapa ini?” Antonio menatapnya, senyum tipis yang khas itu kembali muncul di wajahnya. Sorot matanya seperti menembus jiwa, membuat Kartini merasa seperti satu-satunya hal yang penting di dunia ini. Pria itu mendekat, langkahnya tenang namun penuh wibawa. Ia berhenti di depannya, menunduk sedikit hingg

  • Pelakormu vs Aku   Bab 95: Hadiah Tak Terduga

    Kartini menatap lukisan yang baru saja ia selesaikan dengan hati berdebar. Kuas-kuas telah disisihkan, cat yang sedikit belepotan di tangannya menjadi saksi bagaimana ia mengerahkan seluruh perasaannya ke dalam karya itu. Dengan sedikit ragu, ia mendorong kanvas ke depan Antonio, memperlihatkan hasilnya. “Sudah selesai…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan. “Saya harap… Pak Antonio nanti menyukainya.” Antonio, yang masih berbaring santai di ranjang, memiringkan kepala untuk melihat lukisan itu. Tatapannya tajam dan serius, tak ada ekspresi yang bisa Kartini tebak. Ia hanya diam, membuat suasana semakin menegangkan. Kartini mulai gelisah, jemarinya tanpa sadar meremas gaunnya. “Pak Antonio? Apa… apa ada yang salah dengan lukisannya?” tanyanya gugup. Beberapa detik berlalu sebelum pria itu akhirnya berbicara, suaranya rendah tetapi menggema penuh wibawa. “Kamu benar-benar… luar bias

  • Pelakormu vs Aku   Bab 94: Kanvasku, Kamu

    Ruangan kamar Antonio yang luas, dengan jendela besar yang menampilkan langit malam, kini terasa semakin intim. Di sudut, Kartini berdiri gugup sambil melirik ke arah lemari besar yang ditunjuk Antonio. Suara bariton pria itu menggema lembut namun tegas. “Di situ ada kanvas dan cat. Ambil semuanya. Mulailah melukis,” katanya, matanya yang tajam mengunci Kartini dalam kebimbangan. Kartini mengangguk pelan, tubuhnya bergerak menuju lemari. Setiap langkah terasa berat, bukan karena beban yang ia bawa, melainkan karena kehadiran Antonio yang begitu dominan. Ketika ia membuka lemari, pandangannya jatuh pada set lengkap peralatan melukis yang tersusun rapi. “Semua ini… untuk saya gunakan?” tanyanya pelan, suaranya nyaris berbisik. Antonio, yang kini sudah duduk di sisi ranjangnya, hanya mengangguk kecil sambil melepas arloji dari pergelangan tangan. Ia meletakkannya di meja samping dengan

  • Pelakormu vs Aku   Bab 93 : Lukisan di Kamar

    Langit sore mulai meredup ketika Antonio melangkah masuk ke rumahnya setelah selesai dengan sesi latihan tembaknya. Kaus polo hitam yang ia kenakan melekat sempurna pada tubuh atletisnya, menyiratkan kelelahan sekaligus kesan menawan yang tak terbantahkan. Langkahnya tenang, tetapi tatapannya tajam menyusuri ruangan, mencari seseorang—Kartini. Namun, Kartini tidak terlihat di mana-mana. Antonio mengerutkan dahi. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung melangkah menuju kamarnya. Begitu membuka pintu, ia berhenti sejenak. Kartini ada di sana. Wanita itu berdiri diam di depan dinding besar yang dihiasi sebuah lukisan wanita mengenakan gaun marun. Kartini tampak terpaku, matanya menatap lekat pada detail lukisan itu. Antonio bersandar di ambang pintu, kedua lengannya menyilang di dada. Matanya mengamati Kartini yang tampak begitu terpesona, tetapi ekspresinya tetap dingin. “Kartini,” suara baritonnya memecah

  • Pelakormu vs Aku   Bab 92 – Tepat Sasaran

    Antonio berdiri di area latihan tembak dengan postur tegap, mengenakan pakaian olahraga hitam yang membuat auranya semakin mencolok. Sebuah pistol semi-otomatis berada di genggamannya, siap untuk digunakan. Ia menarik napas panjang, menatap target yang berada beberapa meter di depannya—sebuah lingkaran dengan titik merah di tengah. DOR! Tembakan pertama melesat, tepat mengenai tepi lingkaran tengah. Antonio sedikit menghela napas, tampak tak puas. Ia mengangkat pistolnya lagi, tetapi kali ini wajahnya tampak lebih serius. Dalam pikirannya, ia membayangkan wajah seseorang. “Bastian,” gumamnya sambil mengarahkan pistol. “Kalau saja kamu tahu betapa menyebalkannya dirimu…” DOR! Kali ini tembakannya tepat di tengah. Antonio menyeringai kecil, senang membayangkan dirinya sedang "mengalahkan" Bastian, meski hanya di pikirannya. “Pak Antonio, Anda tampaknya sangat f

  • Pelakormu vs Aku   Bab 91 – Pertemuan yang Tak Pernah Tenang

    Antonio berjalan dengan tenang di lorong hotel, memeriksa setiap detail dari pelayanan hingga suasana hotel. Mata tajamnya memperhatikan kerapian meja, keramahan staf, hingga suasana yang dihadirkan. Hari itu seharusnya menjadi hari biasa. Tapi, tentu saja, tidak bagi Bastian. “Antonio!” suara khas itu memecah keheningan. Antonio berhenti sejenak, menoleh, lalu kembali berjalan. Namun, seperti biasa, Bastian tak menyerah. Ia mengejar dengan langkah cepat, membawa senyum yang seolah penuh kemenangan. “Kenapa selalu buru-buru kalau ketemu aku? Takut kalah debat, ya?” goda Bastian sambil menyamakan langkah dengan Antonio. Antonio menghela napas pelan, menoleh tanpa banyak ekspresi. “Kalau tidak ada yang penting, lebih baik kembali ke pekerjaanmu.” “Tenang dulu, bos. Aku cuma mau ngobrol ringan. Kamu tahu Kartini pindah kerja ke mana?” tanyanya tiba-tiba, mencoba terdengar santai, tapi matanya penuh selidik.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status