Vianca membersihkan bekas makan malam dia dan suaminya. Tidak ada asisten rumah tangga yang berjaga sampai malam di rumah mereka, dan Vianca juga tak pernah menunda mencuci piring ke waktu pagi. Kalau sudah seperti ini, Zeva akan mengikutinya sampai dapur. Bukan untuk membantu, tapi hanya mengajak ngobrol atau bahkan mencipratkan air dari kran ke wajah Vianca sehingga wanita itu terganggu.
"Diam, Mas!" Vianca mendengkus, saat terciprat air dari tangan Zeva. lagi-lagi Zeva mengganggunya.
"Via, weekend kali ini aku harus berhasil mengajakmu bulan madu, jangan sampai menolak."
"Aku disuruh lembur, maaf." Vianca menyembunyikan wajahnya yang menahan tawa. Dia tidak serius dengan ucapannya.
"Nanti aku dianggap gila kalau bulan madu sendiri. Orang-orang pasti bertanya, mana pasangannya. Dan tidak mungkin juga aku jawab, pasanganku adalah bayanganku sendiri."
Vianca tertawa, dia sudah mulai berani menjahili Zeva. Salah sendiri, Zeva sering menjahili
Zeva memberi pencerahan dan nasihat semalaman tentang akibatnya kalau mereka memiliki anak sekarang-sekarang. Nasihat yang bagi Vianca tidak lebih hanya sebatas bualan dan rayuan buaya darat.Dengan sisa tangis yang sempat tumpah, akhirnya Vianca menelan pil KB yang disodorkan Zeva. Kemudian, tangis itu kembali pecah saat pil sudah masuk ke mulut. Masih ada cara lain bagi Vianca, dia memuntahkannya ke sisi ranjang, saat Zeva lengah.Vianca tahu, nantinya Zeva akan marah. Tapi dia harap, Zeva akan lebih memikirkan status pernikahan mereka jika di dalam rahim Vianca tumbuh janin buah cinta Zeva dan dirinya.***Bagi Vianca, hidup jauh dari jangkauan Melvin cukup membuat harinya tenang. Melvin tak berkutik ketika Zeva membatasi akses untuk bertemu dengan Vianca.Namun, tetap saja Vianca memiliki keresahan dalam hal lain, salah satunya dia tak bisa berangkat kerja bareng suaminya. Mereka nampak asing jika di tempat kerja."Saranku, kam
Zeva mengakhiri panggilan telepon saat menyadari istrinya sedang mengintip dibalik pintu dengan wajah murung. Dia memasukan ponsel ke saku celana, kemudian menghampiri Vianca dan memberi wanita itu pelukan yang hangat.Vianca berusaha menetralkan hati, dia tak ingin harapannya minum cokelat hangat berdua dengan suaminya menjadi gagal. Harapan sederhana, memang. Terlihat begitu kekanak-kanakan tapi Vianca sangat membutuhkan kebersamaan itu."Mana minuman cokelatku?" tanya Vianca, dia mendongak demi menatap mata Zeva, karena tinggi badan Zeva jauh darinya."Maaf, belum kubuat. Tadi aku langsung Nerima telepon. Ayo buat sekarang!" Zeva mendorong pelan punggung Vianca, mengikuti langkahnya. Mereka berjalan beriringan."Kamu duduk saja! Karena sesuai janjiku, aku akan buatkan cokelat untukmu, sekalian sambil nunggu pesanan makanan datang.""Mas pesan apa memangnya tadi?""Sea food, aku juga pesen dessert box untukmu.""Wah, yummy ...."
"Tentu saja alasannya bukan karena orang ke tiga. Dipikir-pikir, aku harus fokus memperbaiki diri dulu. Karirku juga belum begitu bagus untuk wanita sempurna seperti dirimu."Savana tak percaya ucapan Zeva. Pria memang selalu banyak alasan untuk sebuah penolakan.Savana merapatkan diri, memeluk Zeva. "Aku tidak ingin putus!"Isak tangis Vianca membuat hati Zeva luluh, dia membiarkan wanita itu menangis dalam pelukannya. Namun, akhirnya dia melepas pelukan Savana juga karena ingat pada Vianca."Carilah pria yang lebih baik dariku. Aku tidak bisa bahagiakan kamu."Hati Savana remuk, dia pulang dengan membawa luka. Akan tetapi, dia sudah berjanji pada diri sendiri akan mendapatkan Zeva kembali.Zeva menatap Savana pergi, dia bisa saja dengan mudah memiliki dua wanita sekaligus, selama tidak ketahuan. Akan tetapi, Zeva menahan diri, karena tak bisa membuat salah satu dari mereka terluka.Zeva akui, saat pertama kali bertemu Vianca,
Vianca mengusap wajah suaminya yang terlelap tidur. Dia sulit terpejam setelah selesai bercumbu walau raganya sedang lelah karena aktifitasnya tadi. Mendengkus, dia tak ingin malam ini cepat berlalu. Karena dia tahu Zeva setelah ini akan pergi lagi, tinggal terpisah darinya dan bahkan bersikap seperti orang asing."Kenapa tidak tidur?" tanya Zeva, matanya masih terpejam.Vianca tertegun, dia pikir suaminya sudah terlelap dibuai mimpi. "Kamu juga belum tidur.""Aku sudah hampir bermimpi, tapi kamu sentuh-sentuh terus, hingga wajahku geli." Zeva perlahan membuka mata.Vianca tertunduk, meraih selimut dan bersembunyi dibalik selimut itu."Vianca, emang yang tadi kurang? Kalau mau ronde dua, kita harus istirahat dulu baru mulai lagi."Sumpah demi apa pun Vianca ingin mencuci isi otak suaminya yang isinya tak jauh-jauh dari sex. Apa Zeva tak pernah mengeri bahwa dirinya ingin Zeva berada di sampingnya sebagai tempat berlindung juga?
Vianca berusaha tetap tegar walau melihat suami sendiri digandeng wanita lain. Apalagi, wanita itu adalah mantannya Zeva. Iya, kata Zeva Savana mantannya, entah jika sebenarnya mereka tidak putus berarti Zeva menipu dirinya."Kamu tidak mau pergi? Mau berdiri saja seperti orang bodoh di situ?" tanya Savana sinis.Vianca tak mau dipermalukan, dia menahan tangisannya yang hampir pecah. Perlahan, dia memundurkan langkah. Dia menyempatkan diri, melihat tampang Zeva yang bodoh, pria itu hanya datar saja. Vianca tak bisa menebak isi kepala suaminya tersebut.Vianca berjalan tergesa-gesa pergi dari apartemen Zeva. Dia bahkan melupakan pakaian sexy yang masih di simpan di atas sofa apartemen di dalam paper bag. Saat ingat hal itu, dia malahan berharap Savana melihat isinya, dan sadar bahwa Zeva dan dirinya akan melakukan apa jika Savana tak ada.***Vianca datang ke rumah Melvin dengan membawa setumpuk uang hasil menguras saldo Zeva. Dia mendengar kelu
Semuanya sudah berubah setelah Zeva ketahuan membawa mantan kekasih ke kamar. Vianca menjadi dingin, dia memang masih melayani Zeva tapi pikirannya entah berlabuh di mana. Dia tak bahagia.Apalagi kini dia sedang tak enak badan. Dia hanya meringkuk di balik selimut, tak berharap banyak Zeva akan menemani. Malah bisa dibilang, komunikasi mereka memburuk. Vianca enggan tersenyum saat menyambut suaminya pulang.Vianca menggeliat, dia menyalakan televisi, cukup sulit menemukan chanel yang bagus untuk ditonton. Akhirnya, dia memilih chanel lokal yang isinya seputar inspirasi usaha atau hobby. Kebetulan sekali orang yang diwawancarai di acara tersebut Vianca kenal dengannya.Vianca tertegun, pria tinggi dan tampan berbicara dengan sangat santun di media. Edrick sedang mengadakan acara amal dan kegiatannya sedang diliput. Vianca merasa kagum, pria itu sudah berubah dari yang dia kenal dulu di SMA. Vianca menjadi kagum padanya."Aku melihat kamu di tv, acar
Vianca menyingkirkan tangan Zeva yang melingkar di perutnya. Dia bangkit dari posisi berbaring, dan duduk menghadap ke arah jendela. Walaupun Zeva belum menjawab pertanyaan dirinya. Tapi dia sudah merasa pilu hanya dengan melihat ekspresi wajah Zeva."Vianca, tatap mataku, sini!""Tidak mau.Tolong jawab pertanyaan aku dulu. Kamu setuju dengan pertunangan itu 'kan?" tanya Vianca"Tidak, aku tidak setuju. Ayah mengatur acara itu sendiri tanpa minta pendapatku.""Tapi ujung-ujungnya, Mas Zeva setuju juga 'kan?" Vianca mulai menatap wajah Zeva."Ya."Hal yang dia takutkan akhirnya kejadian. Dia menyesal sudah menitipkan hatinya pada buaya darat macam Zeva."Aku ingin kita pisah!" ucap Vianca."Jangan main-main, Vianca. Kamu harusnya ingat masa lalumu seperti apa. Masa lalumu yang memalukan tidak akan merubah statusmu jadi seorang putri hanya dengan kamu jadi istriku. Aku mencintaimu, tapi mengenalkan kamu pada keluargaku adal
"Vianca, harusnya apapun yang akan kamu lakukan diskusikan dulu padaku. Aku pun juga ingin punya anak darimu tapi nanti, disaat waktu yang tepat.""Diskusi? Mas Zeva bertunangan dengan Savana pun tidak diskusi dulu padaku, kenapa aku harus diskusi?""Karena aku sebagai suami yang berhak mengambil segala keputusan.""Egois!"Vianca malas berkata-kata lagi, saat Zeva menanggapinya seperti itu. Dia menarik selimut menutupi badannya. Mengelus perut, dia berdoa pada Allah supaya anak yang dia kandung membuat Zeva menjadi sadar, dan membatalkan pernikahan dengan Savana.Zeva melihat tingkah laku Vianca. Meskipun dirinya tak berniat memiliki anak dari Vianca, akan tetapi semuanya sudah terlanjur, dan Zeva tak ingin ada jiwa yang mati hanya karena dirinya tak menginginkannya. Lagipula, itu bukan anak haram.Zeva mendekat, mengelus rambut Vianca. Kemudian memeluknya dari belakang. "Jaga anak kita sayang!"Vianca berbalik badan menj