Masuk“Angel…?”Kening Xavier mengkerut saat melihat Zoe duduk di depan pintu apartemennya, wajah wanita itu disembunyikan di antara dua kakinya. Xavier yang tadinya berjalan sempoyongan, segera menegakkan punggungnya seolah-olah tak terjadi apa-apa. Padahal saat ini Xavier sedang menahan rasa sakit sekaligus perih di punggungnya akibat pukulan benda tumpul.“Apa yang kamu lakukan disini?” tanya Xavier yang saat ini ikut berjongkok di depan Zoe.Zoe menatap diam dan dalam wajah Xavier. Tangannya terjulur mengusap sudut bibir Xavier yang memar. “Kamu berkelahi?” tanya Zoe terdengar perhatian.Xavier tersenyum samar. Tangannya menggenggam tangan Zoe, mengajak wanita itu untuk masuk ke dalam apartemennya.“Tadi aku menelponmu, tapi….’“Akkhh….”Suara Zoe berubah menjadi jeritan ketika tubuhnya tiba-tiba saja melayang dan berpindah di atas bar. Tubuh Zoe menegang seiring lengan kekar Xavier yang merengkuh tubuhnya dengan posesif. Mata Xavier menatap tajam dan dalam wajah Zoe, seolah menguncin
“Jelaskan!”Zoe menelan ludahnya susah payah. Matanya terpejam sesaat untuk menormalkan pikirannya yang mendadak kacau. Satu kata yang dikirimkan oleh Xavier, sukses membuatnya ketakutan. Tubuhnya bahkan terasa lemas meski tidak melakukan sesuatu yang berat.Zoe menggigit kukunya, panik. Kepalanya terlihat menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sosok Xavier yang kemungkinan ada di sekitarnya. Bisa ia bayangkan bagaimana murkanya Xavier saat ini. Di mata Xavier, ia hanya miliknya seorang–pemuas nafsu dan teman tidurnya. Ia bahkan tidak boleh dekat atau menjalin hubungan dengan orang lain. Ia hanya milik Xavier seorang–tanpa status, tanpa ikatan.“Eum…maaf sepertinya aku harus pergi,” ucap Zoe, berdiri dari duduknya. Semakin lama dia berada di kampus, semakin besar pula kemarahan Xavier. Cara terbaik untuk meredakan amarah pria itu adalah menemuinya langsung.Sofia mengerutkan keningnya. “Pergi? Kemana?” “Sebentar lagi mata kuliah Pak Reyhan akan dimulai,” imbuh Sofia melihat jam yang m
Mata Arabella membaca lapar menu makanan di depannya. Bukan tidak pernah datang ke restoran mewah, hanya saja jika ia ke tempat seperti ini, ia yang akan membayar pengeluarannya. Dengan semua uang yang diberikan kakaknya dan juga hutang dari beberapa rentenir, ia kerap berlagak seperti orang kaya agar mendapatkan banyak teman.“Pesan apapun yang kamu mau,” ucap Nora menatap remeh Arabelle.Arabella tersenyum tipis. Ia duduk menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Kakinya ia tumpuk menyilang, sementara tangannya terangkat ke atas memanggil pelayan dengan anggun. Ia melihat senyum miring yang dilemparkan oleh Nora. Jika dibandingkan dengan Zoe, ia lebih bisa bergaya layaknya orang kaya. Keluar masuk restoran mewah dan hotel mewah sudah menjadi makanan sehari-hari baginya.“Kenapa, apa Anda pikir saya tidak bisa bersikap anggun?” celetuk Arabella. “Jika dibandingkan dengan Zoe, aku jauh lebih baik, Nyonya,” imbuhnya.“Ah…atau aku perlu memanggil Tante? Bukankah setelah ini kita a
“Sudah mendapatkan informasinya?” tanya Nora pada Baskara–asisten pribadinya. Baskara maju beberapa langkah, lebih mendekat pada Nora yang saat ini sedang menikmati sarapan paginya. Meja makan pagi ini masih kosong, Xavier masih berada di kamarnya. Semalam tuan muda dari keluarga pratama itu baru datang dan belum keluar dari kamarnya hingga pagi ini. Xavier memang jarang sekali menginjakkan kakinya di kediaman ini. Setelah lulus dari sekolah menengah atas, Xavier memilih tinggal di luar hingga sekarang. Xavier hanya akan pulang jika Jonatan–ayahnya pulang dari luar negeri. “Ini, Nyonya.” Baskara menyerahkan amplop coklat yang ada di tangannya. Selama beberapa hari ini dia diperintahkan untuk mengikuti dan mencari tahu informasi tentang seorang wanita bernama Zoe. Nora tersenyum miring. Matanya membaca tuntas informasi yang dikumpulkan oleh Baskara. Mulai dari ayah sampai adik Zoe. Semuanya ia baca tanpa terlewat sedikitpun, dan seperti dugaannya, Zoe hanyalah wanita dari keluarga
Zoe menahan napasnya. Ini tentu bukan pertama kalinya dia melepas pakaiannya. Waktu itu dia juga pernah melakukannya. Namun, entah kenapa rasanya sekarang begitu berat untuk melakukan hal ini.“Melepas bajuku?” Zoe tersenyum centil. Ia memainkan anak rambutnya sambil terus berusaha mengulur waktu.“Safano: ayo lakukan. Biarkan kami melihatmu!”“Ganga: memberimu 500 koin.”“Diego: memberimu 750 koin.”“Anak mama: ayo hibur kami. Jawab setuju dan aku akan berikan yang kamu mau!”Zoe menghela napas panjang dan berat. Bibirnya mencebik seolah-olah tengah kesal. Suara manja dan centilnya kembali menyapa para penontonnya.“Sayang sekali aku tidak bisa melakukan hal itu. Beberapa hari yang lalu aku sedang terluka di bagian dadaku, jadi… aku tidak bisa melakukannya.”“Sekali lagi aku minta maaf ya,” ucap Zoe sambil menangkupkan tangannya. Bola mata Zoe bergerak membaca setiap komentar bernadakan kekecewaan dari para penontonya, meski tidak semua. Zoe tersenyum lebar. “Bagaimana kalau kita me
Zoe menghela napas berat. Kata-kata Xavier terus menari-nari dipikirannya, bahkan ketika dia hendak melakukan live. Malam ini dia akan kembali live setelah sekian lama tidak menyapa para penggemarnya. Dari kata-kata yang diucapkan Xavier, dia bisa menyimpulkan bahwa pria itu hanya menginginkan tubuhnya tanpa ingin terikat lebih jauh. Entah akan seperti apa akhir hubungan tak jelas ini nantinya, tapi yang bisa dia lihat, dia akan tertahan di samping Xavier tanpa kepastian dan status yang jelas.“Sudahlah sebaiknya aku segera memulai live ku saja,” kata Zoe mencoba menghentikan kerumitan dalam otaknya.Menarik napas panjang, Zoe mulai menekan ikon untuk memulai live. Senyum manis dan lambaian tangan menyambut, para penontonnya yang mulai masuk sedikit demi sedikit.Mata Zoe bergerak, membaca satu persatu penonton yang menonton livenya malam ini, tidak ada nama Eros di sana padahal selama ini Eros tidak pernah sedetikpun ketinggalan menonton livenya.Senyum ceria itu tak selebar sebelum







