Share

Pelangi di Langit Malam
Pelangi di Langit Malam
Penulis: Candra Kirana

Air Mata Daya

Daya berlari menaiki tangga menuju ke kamarnya. Ketika menginjakkan kakinya di di bagian bordes, air mata benar-benar sudah menggenang di pelupuk matanya. Daya bertahan untuk tidak menangis. Ada Zora, adik perempuannya yang sedari tadi duduk di anak tangga terakhir, menyandarkan kepalanya di railing tangga rumah mewah keluarga mereka, mendengarkan segala perdebatan yang terjadi di lantai bawah dengan wajah sedih.

Pertengkaran papa dan mamanya sayup-sayup masih terdengar di telinga Daya. Daya menghambur masuk ke kamarnya yang berada di lantai dua, tepat disamping kamar Zora. Menutup pintu dan segera menguncinya dari dalam, Daya tau Zora mengikutinya. Daya bersandar di pintu, seluruh tubuhnya terasa lemah. Kakinya sungguh enggan melangkah. Tulang-tulang dan otot tubuhnya lunglai merosot ke lantai.

“Kak Daya, Zora boleh masuk?”, gadis remaja berparas cantik itu mengetuk pelan kamar kakak lelakinya. Daya tidak menjawab, dia tak ingin bekata apa-apa. Tangisannya meledak tanpa suara. Kedua tangan Daya menutup mulutnya, menahan suara tangis yang mungkin saja menyelinap keluar dari bibirnya.

“Kak, bukakan pintunya kak, ini cuma aku saja”, sekali lagi Zora terdengar memohon. Daya tidak mau membuka pintu. Bagaimanapun, Daya tidak ingin kelihatan lemah, apalagi di depan Zora, adik kesayangannya.

Setelah beberapa saat yang hening tanpa suara, Zora kembali memulai kata-katanya. “Kalau kakak sudah tenang, panggil Zora ya Kak”, kali ini nada suaranya mulai putus asa. Zora sangat memahami apa yang dirasakan Daya, kakak yang lebih tua dua setengah tahun darinya.

Sebagai saudara kandung, Daya dan Zora sangat akrab. Menempuh pendidikan di sekolah yang sama, Daya dan Zora selalu pergi dan pulang bersama hampir setiap hari, kecuali ada perbedaan waktu pulang karena Daya sudah di semester terakhir. Karena berada di sekolah  yang sama itu pulalah yang membuat Zora sangat banyak mengetahui dan memahami apa yang dialami Daya, baik di rumah maupun di sekolah.

Dari balik pintu Daya bisa mendengar derap langkah kaki Zora menjauhi pintu kamarnya, diikuti dengan suara tertutupnya pintu kamar Zora. Menyadari adiknya tidak lagi di balik pintu kamar, Daya terisak.

Masih terngiang di telinga Daya perkataan papanya beberapa saat yang lalu. “Sudah cukup Daya, berhentilah bersikap seperti perempuan. Banyak orang yang bergosip tentang keluarga kita, membuat Papa malu. Malu sekali Papa punya anak bencong”, kata-kata papa menancap bagaikan sembilu, mendesak masuk ke otaknya, menyesakkan dada Daya.

“Kamu juga jangan keterlaluan mengatai anak kita Pa, bagaimanapun Daya anak kita. Kita panggil saja Azmi kemari nanti malam. Kita bicarakan dengannya Pa”, mama Daya mencoba menetralisir suasana, namun berakhir dengan perdebatan panjang dan suara yang saling meninggi hingga Daya tidak tahan untuk tetap berada di depan kedua orangtuanya.

Bagi Daya, tidak masalah semua orang mem-bully dan mengatainya bencong, di sekolah, di tempat kursus bahasa, kursus musik, dimanapun. Tapi sungguh ternyata terasa menyakitkan apabila kata tersebut keluar langsung dari mulut papa. Sejatinya, seorang papa akan selalu menjadi pelindung bagi seluruh keluarga, bukan saja pelindung secara fisik, namun seharusnya juga hati dan perasaan.

Daya sungguh dirundung perih, papa yang menanti-nantikan kelahirannya, menggendongnya pertama kali, membisikkan doa pertama di telinganya, mengajarinya banyak hal, ternyata tak mampu menerima Daya apa adanya. Tak bisa menerima apa yang dirasakan Daya dalam kegalauannya. Justru lebih memikirkan citra diri, nama baik, dan martabatnya di mata orang lain. Termasuk hanya memikirkan kelanjutan dari garis kelimpahan materi yang selama ini dimiliki keluarganya.

Daya memang berasal dari keluarga terpandang, keluarga berpunya yang terhormat. Papa dan mamanya berprofesi sebagai dokter yang cukup terkenal. Papa Daya adalah seorang dokter bedah jantung, sedangkan mamanya adalah seorang dokter anestesi. Kisah cinta kedua orangtuanya bermula dari universitas yang sama.

Seluruh keluarga besar Daya adalah orang terpelajar. Masyarakat di Padang, kota tempat tinggalnya lebih mengenal mereka sebagai keluarga dokter. Ungku, panggilan Daya kepada kakeknya, sungguh bangga dengan seluruh anak-anaknya yang juga menjadi dokter. Keluarga Daya juga terkenal atas kepemilikannya terhadap salah satu rumah sakit besar di kota kelahirannya tersebut.

Ketiga adik papa Daya juga menjadi dokter yang terkenal dengan spesialisasinya masing-masing. Namun alih-alih mendapatan dukungan dari anggota-anggota keluarganya, Daya justru sering menghadapi ‘bisik-bisik di belakangnya.

Tidak ada yang benar-benar mengerti keinginan Daya. Daya tidak pernah merasa berada di tempat yang seharusnya. Tidak dalam keluarga, tidak juga dalam tubuhnya. Daya tidak pernah bahagia terlahir sebagai laki-laki. Hal inilah yang selalu berusaha ditutupi dan dibungkam oleh seluruh keluarga, kecuali Tante Azmi dan Zora.

Tante Azmi adalah adik bungsu dari papa Daya yang berprofesi sebagai psikiater. Berbeda dengan saudaranya yang lain, Tante Azmi menempuh pendidikannya sampai dengan lulus spesialis kedokteran jiwa di Perancis. Pengalaman yang pernah membawanya jauh dari tanah kelahirannya membuat pikirannya lebih terbuka. Walaupun masih takut untuk terlalu membela Daya di depan keluarga besarnya, setidaknya Tante Azmi adik bungsu papanya itu yang masih mau mendengarkan kata hati Daya.

Daya kembali mendengar suara langkah kaki mengarah ke pintu kamarnya. Tangisnya belum lagi reda, sedihnya belum pula usai.

“Mama boleh masuk, Nak?”, suara mamanya terdengar cukup tenang. Daya masih tak bergeming.

“Daya, sebentar lagi mama ada jadwal operasi di Rumah Sakit, Nak. Mama hanya mau bicara sebentar saja”, Daya sungguh tidak tega mendengar suara memelas mamanya. Daya tahu bahwa dengan bekerja sebagai dokter, kedua orang tuanya harus mengorbankan banyak waktu yang seharusnya untuk keluarga, demi melayani pasien. Sumpah Hipokrates modern yang telah diucapkan ketika menginjakkan kaki dalam profesi dokter yang dijalaninya, tentu tak bisa dilanggar, apapun keadaannya. Meninggalkan rumah dalam kondisi demikian tentu bisa mengganggu pikiran ibunya.

Daya berdiri dan menghapus air matanya. Membuka pintu kamar di hadapannya. “Boleh mama masuk?” ujar mama sembari mengusap pipi Daya, menghapus sisa air matanya.

Daya berjalan menuju ranjang di kamarnya, tidak berkata apapun, diikuti mamanya. Daya duduk bersedekap di ranjang besar yang tertutup bed cover berwarna biru muda. Mama duduk tepat di depan Daya.

“Mama tidak bisa bicara banyak dengan Daya sekarang, karena sebentar lagi harus pergi. Mama janji akan berbicara panjang dengan Daya besok ya, Nak. Mama hanya mau Daya tenang, berpikir panjang. Mama juga mau Daya tahu, kalau mama dan papa itu sayang sekali pada Daya, hanya menginginkan yang terbaik untuk Daya”, mama berkata sambil memegang pergelangan tangan kiri Daya.

Daya masih tak bergeming, mencoba memahami apa yang disampaikan mamanya. Tapi rasanya, mama benar-benar sedang buru-buru. Daya tidak ingin kembali membuka argumentasi. Dia hanya ingin mamanya pergi bekerja dengan tenang, dan selamat hingga kembali pulang.

“Nanti malam, Tante Azmi mau datang, mama usahakan setelah pekerjaan mama selesai, mama akan segera pulang. Nanti Daya temui Tante Azmi ya Nak, mama harus segera bersiap untuk berangkat”, mama Daya melanjutkan ucapan yang perlu disampaikannya pada Daya.

Daya hanya mengangguk pelan. Mama beranjak berdiri dan mengelus lembut rambut Daya, kemudian berbalik. Daya menarik nafas panjang. Mama sudah mau menutup pintu kamarnya ketika Daya kembali memanggil, “Ma, Daya sayang sama mama”. Mamanya hanya tersenyum mengangguk, sejenak kemudian berlalu, di balik pintu yang tertutup.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status