Share

Awal Segala Impian

Jam digital di atas meja nakas menunjukkan pukul 5 sore. Daya masih terduduk di atas ranjangnya, benar-benar merasa tidak baik. Cermin di lemari pakaian yang berjarak 5 meter darinya memantulkan bayangan Daya. Wajahnya terlihat kuyu, matanya pun masih sembab. Daya mencoba untuk tidak menangis lagi.

Daya berpikir lebih baik dia mandi saja. Mungkin dengan mandi Daya akan merasa lebih segar. Dia berusaha bangkit dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Raya melepas seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya, kemudian masuk ke ruangan shower. Raya membuka keran shower, air hangat mengucur membasahi rambutnya lalu turun dan menelusuri jengkal demi jengkal tubuh Daya.

Daya menengadahkan wajahnya ke atas, menantang arah jatuhnya air. Matanya pelan-pelan memejam, menikmati setiap tetesan air yang membasahinya. Semuanya kenangan dan apapun yang pernah dialami dari masa kecilnya kembali membayang, mewujud bagaikan kaleidoskop yang diputar berulang-ulang dalam kepalanya.

Terbayang bagaimana kedua orangtuanya dulu pernah sangat membanggakannya. Daya kecil selalu diajak apabila kedua orangtuanya harus mendatangi berbagai konferensi di luar kota maupun di luar negeri. Namun memang, papa dan mama selalu menolak apabila Daya meminta pakaian-pakaian berwarna muda. Papa selalu mengatakan anak laki-laki harus berpakaian yang warna tegas dan lebih baik lagi kalau warna gelap.

Daya juga teringat saat kedua orangtuanya menolak membelikannya rumah boneka bernuansa warna merah muda yang dipajang pada salah satu toko mainan langganannya. Akhirnya, papa mencari seorang pengrajin untuk membuatkan rumah boneka yang cukup megah, dilengkapi berbagai jenis diecast mobil-mobilan di garasi kecilnya.

Di masa kecilnya, Daya juga meminta orantuanya untuk mendaftarkan pada salah satu tempat kursus vokal. Papa dan Mama juga menolaknya. Padahal, Daya sangat tertarik karena Renata teman akrabnya di sekolah dasar bercerita betapa menyenangkan kegiatan di tempat kursus tersebut. Setelah tak henti-hentinya membujuk mama, Daya akhirnya diijinkan untuk mengikuti kursus musik, namun dibatasi pada kursus gitar. Papa bahkan sempat meminta Daya untuk mempelajari perkusi saja, membujuknya akan membelikan drum jenis apapun yang ditunjuk Daya, namun Daya menolak.

Dua tahun setelahnya, Daya mengikuti dan menjuarai beberapa lomba gitar solo, mengalahkan peserta lainnya yang bahkan mulai menginjak usia remaja. Kedua orangtuanya merasa sangat bangga terhadap seluruh prestasi Daya. Papa, mama, dan Zora yang biasanya duduk di kursi barisan paling depan selalu menyambutnya dengan buket coklat dan snack. Papa Daya memang selalu menghindarkan hal-hal berbau feminim utuk Daya sejak masa kecilnya. Papa dan mama sudah melihat kecenderungan feminim pada diri Daya.

Pada suatu liburan keluarga ke Australia saat Daya sudah menempuh pendidikan di sekolah menengah, Papa dan Mama mengajak Daya menonton resital cello di Sydney Opera House. Penampilan cellis wanita yang begitu menghayati musiknya, sinar panggung, pencahayaan, riuh rendahnya tepuk tangan penonton telah membius Daya. Alunan suara dari alat musik dawai yang menjadi fondasi dalam orkestra modern tersebut telah membuatnya jatuh cinta. Keindahan irama cello yang merdu mendayu membawa perasaan Daya jauh menerawang membayangkan dirinya yang suatu saat bisa berada di tengah panggung besar tersebut.

Mimpi Daya telah dimulai pada hari itu. Pada awalnya Papa juga tidak menyetujui Daya mengganti jenis alat musik yang dipelajarinya. Namun diperbolehkan setelah Tante Azmi ikut memberikan argumen membela Daya bahwa cello sama sekali tidak terlihat feminim. Tak ada kaitannya antara jenis alat musik dengan gender seseorang. Musik adalah musik, yang bisa dinikmati oleh semua kalangan, tanpa terpaut gender.

Keinginan Daya dikabulkan, dia senang bukan kepalang. Daya diberikan seorang guru private cello yang mengajarinya dirumah. Daya berlatih dengan giat. Dalam beberapa bulan, Daya sudah mengikuti beberapa berlombaan di Jakarta.

Memasuki sekolah menengah atas, Daya meraih penghargaan pada salah satu ajang lomba musik bergengsi yang diadakan di negara tetangga. Alunan musik klasik ‘Albinoni's Adagio in G Minor’ yang dimainkan Daya telah memukau juri yang datang dari berbagai negara. Papa dan mama Daya menceritakan pada banyak orang dengan bangga hingga pada suatu hari ungku memanggil mereka sekeluarga untuk makan malam bersama.

Daya mengira dia bisa berkumpul dengan sepupu-sepupunya yang lain saat itu. Ternyata ungku hanya memanggil keluarga kecil mereka.

“Kau membiarkan dia terlalu jauh Ir, kau turuti kemauannya”, suara ungku terdengar lantang dari ruangan perpustakaan rumahnya. Daya bersama Zora yang masih duduk di depan televisi saling berpandangan. Mama dan anduang, panggilan Daya pada neneknya, masih mengobrol santai di meja makan. Mungkin ungku dan papa mengira Daya dan Zora juga masih berada di ruang makan sehingga berbicara dengan lantangnya.

“Daya itu cucu laki-lakiku satu-satunya sampai saat ini Ir. Dia yang paling besar pula diantara cucuku yang lain. Dengan beban main musik-musik itu saja, dia masih juga juara di sekolahnya. Suruh dia lebih serius, Irwan. Ikutkan olympiade matematika, fisika, kimia, apalah, yang lainnya, yang menggunakan otaknya”, kalau saja yang berkata bukan ungku, Daya tentunya sudah mencoba menyela. Zora menatapnya kakak laki-lakinya itu. Sinar matanya terlihat bersimpati pada perasaan Daya.

Belum lagi selesai pikiran Daya mencerna maksud dari untaian kata-kata ungku, bagian yang lebih menyakitkan pun menyusul dilantunkan ungku. “Belum lagi gayanya Ir, kau kira aku tak lihat, lemah gemulai seperti anak gadis. Kau ikutkan dia karate, taekwondo, silat, atau apalah Ir, yang melatihnya jadi laki-laki. Malu kita dibicarakan orang satu kota ini nanti”, ungku masih dengan suara lantang.

Zora menarik pergelangan tangan kakaknya. “Kak, baiknya kita duduk di taman saja”, Zora memilih mengajak Daya keluar. Sebagai adik, sebenarnya Zora banyak sekali berusaha melindungi perasaan Daya. Zora melihat kakaknya diejek dan diolok di sekolah, dia tak ingin Daya menghadapi hal yang sama di rumah, di dalam keluarga.

Kaleidoskop berbagai kenangan masa kecilnya masih membayang di benak Daya. Tubuhnya sudah terasa cukup segar. Sekali lagi dia menarik nafas panjang. Daya memilih melapangkan hatinya, menerima segala perkataan dari orang-orang terdekatnya, menghadapi segalanya, namun di sisi yang berbeda juga tak rela melepaskan segala mimpinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status