Share

Persahabatan

Berjalan keluar dari ruangan shower, Daya menyambar bathrob berwarna hijau lumut yang tersampir di gantungan handuk kemudian memakainya, kemudian mengambil satu handuk lagi untuk mengeringkan rambutnya.

Langkahnya terhenti di depan kaca besar meja wastafel. Daya biasanya mengeringkan rambut dengan hairdryer di bagian tersebut dan menata rambutnya. Hari ini Daya merasa malas untuk melakukan itu semua.

Daya menatap kaca di depannya yang masih dipenuhi embun dari uap air hangat ketika dia berlama-lama di bawah pancuran. Bayangan dirinya tampak samar. Daya menarik nafas panjang sembari mengangkat tangannya, mencoba menghalau embun yang menutupi cermin. Dirinya di dalam cermin tampak mewujud semakin jelas.

Daya memperhatikan bagian demi bagian dirinya yang dipantulkan cermin. Terlahir sebagai lelaki, Daya memiliki wajah yang rupawan. Bola matanya yang berwarna coklat tua tampak sempurnya berbingkai kelopak berbentuk almond eyes. Kedua mata dengan tatapan yang dalam tersebut proposional dengan alisnya yang tebal dan datar. Daya mengingikan alis yang lebih tipis dan lebih tinggi.

Hidung mancung Daya didapat dari mamanya yang memiliki campuran darah Persia, hanya saja ukurannya berbeda. Daya mengiinginkannya sama persis seperti mama. Bibirnya yang tipis dibingkai oleh dagu runcing dan garis rahang yang semakin menguat seiring pertumbuhan Daya meyelesaikan masa remaja. Daya berpikir, andaikan saja bibirnya lebih penuh dengan warna yang lebih kontras seperti Zora. Andaikan pula kurva garis rahang tersebut tidak muncul menguat, seandaiya saja garis tersebut tetap lembut dalam pertumbuhannya.

Bukannya Daya tidak bersyukur atas semua yang dimilikinya, hanya saja, setiap kai melihat cermin, daya selalu merasa asing dengan lelaki di dalamnya. Daya menaruh handuk yang digunakannya untuk mengeringkan rambut di sisi meja wastafel, kemudian mulai membuka bathrob yang dikenakannya.

Daya masih memperhatikan bayangan dirinya di dalam cermin tersebut. Rambut lurusnya yang setengah basah memantulkan cahaya kuning dari lampu kamar mandi. Daya berpikir, andaikan saja dia diijinkan untuk memanjangkan rambut. Lehernya yang jenjang tampak simetris dengan bahunya yang datar dan berbidang. Daya berpikir, andaikan saja tidak ada tonjolan jakun di lehernya, tentunya itu sudah menjadi sempurna. Pandangannya turun ke dada, perut, ke seluruh bagian tubuhnya. Matanya serasa tak mampu lagi menatap. Daya tak menginginkan tubuh ini, hatinya sungguh berteriak menyesali diri mengaa tak lahir dengan gender serupa Zora. Tak ingin menangis lagi, Daya kembali mengenakan bathrob. Menggosok wajahnya beberapa kali dan keluar dari kamar mandi.

Telepon genggam Daya yang diletakkannya sembarangan di atas tempat tidur berbunyi tepat ketika Daya selesai mengenakan pakaiannya. Nama Renata dan foto yang menunjukkan wajah usilnya tampil di layar. Daya meraih cepat benda yang berdering kencang tersebut dan segera menerima panggilan Renata.

“Halo Ren”, sebenarnya Daya tak kuasa menahan segala luapan kesedihan dalam hatinya ketika berbicara dengan Renata.

“Halo Daya, aih...suaramu, ada apa? Aku menghubungimu berkali-kali”, suaranya yang ceria tertahan, mencoba merasa-rasa getirnya nada suara yang keluar dari mulut Daya.

“Benar-benar hari yang buruk lagi untukku Ren”, Daya ingin sekali menceritakan semuanya pada Renata.

“Kita jadi jalan? Atau kamu mau aku kerumahmu?” Renata dan Daya sudah berteman sejak di sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama. Mereka berpisah sekolah saat memasuki sekolah menengah atas karena orangtuanya memilih sekolah yang lain untuk Renata.

Daya tak pernah menemukan teman lain yang selalu ada di sisinya seperti Renata. Pada malam-malam libur dan hari libur, apabila masing-masing tidak memiliki acara keluarga maka mereka selalu jalan bersama. Menceritakan apapun yang dialami sepanjang minggu. Tapi tidak hari ini, Daya sungguh dipaksa orangtuanya untuk menunggu dan menemui Tante Azmi. Menolak suruhan kedua orangtuanya itu akan lebih memperparah keadaan Daya.

“Aku tidak bisa bertemu denganmu malam ini Ren, aku harus menunggu Tante Azmi, disuruh papa dan mama”, Daya tidak ingin Renata mendengar dirinya dihakimi karena akan membuatnya ikut merasa sedih. Setidaknya itulah yang dirasakan Daya, bahwa dirinya akan dihakimi. Mendengar kata-kata Daya tersebut, Renata terdiam sejenak. Pada situasi biasa, ketika ada anggota keluarga besar Daya yang lain berkunjung ke rumahnya, tidak pernah ada masalah untuk mereka apabila Renata juga hadir disana.

“Mau menceritakannya padaku?” Renata benar-benar ingin sahabatnya itu membagi kesedihan yang membebani kepada dirinya.

“Aku dimarahi habis-habisan Re. Lebih baik aku ceritakan ketika kita bertemu langsung. Besok aku jemput kerumahmu, lalu kita pergi tanpa arah”, lanjut Daya.

“Okelah kalau begitu Day, datanglah lebih awal”, Renata sungguh memahami. Daya sudah pernah menceritakan peristiwa di rumah ungku pada Renata.

Daya sepakat dan mereka menutup teleponnya. Dari jendela kamarnya yang menghadap ke jalan, Daya melihat sinar lampu mobil Tate Azmi memasuki halaman rumahnya. Daya berpikir akan ke kamar Zora. Bagaimanapun, dia tidak ingin Zora mencemaskannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status