Share

Pembicaraan Tante Azmi

“Zora, kakak boleh masuk?” Daya berkata seraya mengetuk pintu kamar Zora. Zora menghambur dari kursi meja belajarnya. Separuh berlari membukakan pintu untuk Daya.

“Kak, sini kak”, Zora menarik Daya masuk ke dalam kamarnya, kemudian segera menutup pintu kamar itu. Daya menjatuhkan badannya di karpet duduk dalam kamar Zora. Zora mengikuti kakaknya, duduk tepat di depannya.

“Kakak baik-baik saja kan?” Zora bertanya sambil menatap wajah kakaknya. Dia bisa melihat bahwa mata Daya masih sembab setelah menangis sesiangan. Gadis itu sangat sayang pada kakaknya. Wajahnya serupa dengan Daya, hanya saja, Zora adalah versi perempuannya.

“Nggak tahu ya Ra, kakak bener-bener merasa putus asa. Papa dan mama memang tidak pernah mau paham apa yang kakak rasakan”, Daya duduk membungkuk dengan memeluk kedua lututnya yang bersilang vertikal di hadapannya. Kepalanya bersandar pada lutut kirinya.

Zora mendekat pada Daya, salah satu tangannya mengelus pundak kanan kakak kesayangannya itu. Berusaha hanya menjadi pendengar bagi segala keluh kesah Daya. Zora ingin meringankan bebannya. Berbagi kesedihan dengan Zora tentu setidaknya dapat melepaskan perih yang tertahan di hati Daya.

“Kakak sudah mencoba Ra, mencoba mengikuti ekskul Basket dan beberapa beladiri. Kakak mencoba tidak menuruti kata hati kakak sendiri dalam memilih barang-barang yang sebenarnya kakak inginkan”, Daya benar-benar tampak putus asa.

“Kakak tidak ingin kuliah di Kedokteran Ra, kakak ingin melanjutkan pendidikan di musik tapi....”, Daya melanjutkan.

“Tunggu kak, sebenarnya papa mengamuk, hanya karena kakak ingin masuk kuliah jurusan musik?” Zora merasa ingin tahu lebih banyak.

Keinginan papa untuk menyuruh Daya masuk ke jurusan Kedokteran sebenarnya hanya sebagai bagian dari kemarahan yang tertahan. Daya sebenarnya meminta ijin untuk melanjutkan pada jurusan musik di perguruan tinggi yang berada pada negara lain. Hal itu digunakan papa untuk mengulik keinginan Daya untuk melakukan prosedur operasi mengganti gendernya. Sungguh pandai orangtua laki-lakinya itu bersilat lidah, Daya masuk dalam perangkap.

Daya berpikir bahwa sebagai dokter, walaupun berada di bidang spesialisasi yang berbeda namun tentu sedikit banyaknya memahami prosedur pergantian gender melalui operasi, sebagai salah satu kemajuan di dunia kedokteran. Daya mengemukakan segalanya, tentang apa yang dirasakan. Papa yang mendengar pengakuannya kemudian menjadi berang.

“Kak, maaf kalau nanti pertanyaan Zora menyinggung kakak, apa kakak benar-benar ingin melakukan operasi itu?” Zora benar-benar ingin tahu kebenaran dari kakaknya.

“Tidak Zora, untuk apa kakak merasa tersinggung. Kakak memang tidak pernah merasa nyaman menjadi laki-laki Ra, kakak merasa tidak suka dengan fisik kakak yang terlahir seperti ini”, Daya mengungkapkan perasaannya yang terdalam kepada Zora sambil menunduk memandang tubuhnya.

“Tapi sebenarnya kakak itu ganteng, teman sekelas Zora juga banyak yang bilang. Jadi kakak tidak pernah naksir siapa-siapa? Kak Renata misalnya”, gadis manis yang beranjak remaja ini memang sungguh masih sangat lugu.

Melihat adiknya bertanya dengan lugu, Daya sedikit merasa kasihan. Zora harus memahami mungkin lebih daripada yang seharusnya dia tahu pada umurnya sekarang. “Kakak dan kak Renata benar-benar hanya sahabatan Ra. Zora tahu kan, kakak seringkali di-bully sejak SD, dan kak Renata selalu membela kakak, kami jadi bersahabat”.

Mendadak Daya teringat bahwa Tante Azmi sudah datang. Sudah menjadi standar kesopanan bagi Daya dan Zora untuk menemui apabila ada anggota keluarga besarnya yang lain datang berunjung. Apalagi, kedatangan Tante Azmi ada kaitannya dengan Daya secara langsung. Daya kemudian mengajak adiknya itu menemui Tante Azmi di ruang tamu lantai bawah rumah mereka.

Ketika mendekati tangga, mereka bisa mendengar suara Tante Azmi sedang berbicara serius dengan papa. Zora tiba-tiba mendahului langkah Daya dan memberikan aba-aba kepada Daya untuk berhenti berjalan seraya berbisik, “Kita duduk dulu di disini kak Day, tunggu sampai mereka tidak teralu serius”. Zora benar, tidak baik memotong pembicaraan antara papa dan Tante Azmi.

“Kasihan Daya bang Ir, disforia gender bang. Dia secara pribadi juga sudah pasti merasa tertekan dan tidak nyaman dengan dirinya bang Ir. Kalau abang tambah keras padanya, apa tidak kasihan bang, anak abang sendiri”, Tante Azmi terdengar membela Daya. Namun papa tetap membantah dengan keras.

“Itu dosa Az, anak itu harus tahu. Macam tak pernah diajari. Sekeluarga kita malu Az, aku sudah ditegur papa juga. Sekarang alasannya ingin melanjutkan di musik, di luar negeri pula Az. Untuk apa sebenarnya Az? Menjauhkan diri? Supaya bebas menjadi perempuan?”, nada suara papa menyala-nyala.

“Tunggu bang Ir, biar aku yang bicara pada Daya bang. Jangan menduga-duga bang. Sedangkan diagnosis penyakit pun tak dapat kita menduga saja bang, ada pemeriksaan, ada anamnesis, ada prosedurnya bang. Masak iya pada anak sendiri kia lampaui saja bang? Satu lagi bang, terapi konversi itu tak lagi dibenarkan bang, berbahaya” Tante Azmi benar-benar berupaya keras menyabarkan papa Daya. Tante Azmi memang seorang lulusan luar negeri yang berpikiran maju, namun apabila di tengah keluarga, dia sungguh menjaga bahasanya, bahasa ibu yang selalu digunakannya.

“Baiknya abang tunggu disini, biar Az bicara dulu dengan Daya. Dia ada di atas kan? Biar Az yang naik kesana”, Tante Azmi memotong singkat ketika papa Daya hendak meminta Tek Ani, asisten rumah tangga mereka untuk memanggil Daya. Daya dan Zora berpandangan, Zora memberikan isyarat pada Daya untuk segera pergi ke kamarnya, agar tak ketahuan bahwa mereka berdua mendengarkan percakapan sedari tadi. Langkah kaki Tate Azmi sudah terdengar mulai menaiki tangga, setelah berbelok pada bordes di pertengahan tangga tersebut, tentunya akan memergoki mereka berdua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status