Home / Urban / Pelangkah Tanpa Syarat / Minta Pelangkah

Share

Minta Pelangkah

Author: El GeiysyaTin
last update Last Updated: 2023-07-13 11:17:34

“Linda bukan beli mobil, tapi ada yang ngelamar adikmu, dan calon suaminya itu punya mobil!” kata Ibu, dengan wajah yang semringah seraya menatapku.

Aku hampir tak bisa berkata apa-apa lagi, kecuali, “Oh! Beneran, Lin? Kamu sudah ada yang melamar?"

"Iya, kalau kamu kapan?" tanya ibu dan aku tidak tahu harus menjawab apa.

Aku kecewa? Jangan tanya.

“Mina, calon suami adikmu itu orang kaya, dia mau bulan depan langsung nikah sama Linda!”

Aku pun tercengang mendengar kabar itu, sungguh di luar dugaan. Aku tidak pernah tahu Linda punya pacar, dan sekarang mereka mau segera menikah setelah lamaran.

Aku sudah di sebut perawan tua di usia yang hampir mendekati 30 tahun, dan sekarang adikku mau menikah lebih dulu. Entah di sebut apa lagi nanti aku, perawan telat kawin? Tamatlah riwayatku.

“Oh, bulan depan, cepat juga ya, Alhamdulillah!” sekali lagi, aku hanya bisa bersyukur.

“Nah, maksud Ibuk ke sini, mau ngomong sama kamu, kalau mau minta pelangkahan, jangan yang mahal-mahal! Walau calon adik iparmu itu kaya ... tapi kamu harus pakai hati kalau minta, dari pada mikir pake otak gak bisa!”

Sungguh permintaan yang aneh bukan?

Aku tahu maksud ibu yang selalu bicara begitu, karena aku dianggap anak yang bodoh. Di matanya aku tak punya otak untuk berpikir hingga bisa meraih prestasi. Jadi, aku tidak mendapatkan rangking kelas dan beasiswa seperti dua adik kembarku itu.

“Lan! Apa kamu mau nikah sekalian? Kamu juga udah mapan, ganteng dan punya mobil pula!”

Aku bicara begitu sebenarnya bermaksud merajuk dengan nasibku, selain itu Landu adalah, idola desa sejak dulu. Hidupnya mapan dan tergolong sukses.

“Mbak Mina ini ngomong apa, sih?” kilahnya sambil memalingkan muka.

“Ya, mungkin saja kamu mau sekalian melangkahi aku!”

“Eum ... gimana ya, Mbak, baiknya?” Landu melirikku sambil tertawa.

Landu adalah adik lelakiku yang giat bekerja dan cerdas. Dia sama seperti Linda, berhasil memasuki perguruan tinggi negeri dengan beasiswa, karena memang berprestasi sejak SMA.

Aku mah apa atuh?

Bukankah manusia sejak lahir membawa semua kelebihan dan kekurangannya ke dunia?

Landu—adikju itu berhasil membudidayakan ikan hias yang harganya mahal dan langka bersama seorang temannya, sejak SMA. Sekarang usaha ikan hias mereka berkembang dan sukses membuka tiga cabang di tempat berbeda. Landu disebut juragan ikan hias di kampungku. Bukan hanya itu, usahanya merambah ke peternakan ikan lele dan nila.

Semua tidak lepas dari dukungan ayah, yang awalnya memberikan sepetak tanah, di dekat kandang ayam sebagai tempat usahanya. Namun, dia adik yang baik dan tidak melupakan jasa ayah ibu. Termasuk aku, yang dulu selalu rela mencuci pakaian kotornya, saat ia selesai bekerja.

Ia mengerjakan hobinya itu setiap pulang sekolah. Setelah dia kuliah, usahanya ia percayakan pada Ayah. Sampai sekarang tempat usahanya selalu menjadi kunjungan para pemburu ikan langka.

Sementara aku sebenarnya disuruh ibu untuk tetap di rumah saja, menunggu sampai ada yang melamarku. Namun, setelah adik-adik kuliah, aku mulai bosan, karena laki-laki yang aku harapkan tidak kunjung datang. Akhirnya aku memutuskan untuk merantau dan diterima bekerja di PT Araguna Dwipura, Pabrik garmen entah milik siapa.

Namun, meskipun aku sudah bekerja, ejekan ibu tentang kebodohanku tidak hilang juga. Anak yang tidak tahu di untung dan semau sendiri saja. Katanya.

“Eum ... kal—“

“Kamu mah, tinggal menuruti kemauan adikmu apa susahnya?” kata ibu, menyela ucapanku.

“Ya, gimana takdir mereka sajalah, Buk.”

“Iya, kalau nunggu kamu, kapan mereka nikahnya? Keburu jadi perawan tua! Jadi Kakak itu harus baik sama adik-adikmu!”

Aku tidak tahu apakah ibu memang sengaja menyakitiku, yang jelas, hatiku sakit, tapi hanya bisa tersenyum menanggapinya. Ukuran baik menurut beliau, mungkin tidak sama dengan ukuran baik menurut pendapatku.

Namun, aku sudah terbiasa dengan semua komplain Ibu akan kehidupanku, sejak dua adikku selalu mendapatkan juara di kelas, aku didiskriminasi oleh ibuku sendiri.

“Kalau mau sih, dari dulu juga aku nikah, tapi kasian Mbak Mina!” kata Landu dengan senyum malu-malu.

Ada lesung pipi yang manis di sana, seperti Linda, dia punya lesung pipi juga. Kecuali aku tentunya. Dua adikku itu memang tampan dan ayu, mirip ayah dan ibu.

Aku hampir saja menitikkan air mata, mendengar ucapannya.

“Landu, Linda ... kalau jodoh kalian sudah ketemu, ya, temui saja ... ikat dia, jangan dilepas lagi. Kalau soal Mbak, nggak perlu kalian pikirkan, aku bukan pemaksa ...!”

“Ya. Alhamdulillah kalau kamu ngerti! Adikmu dapat rezeki lebih dulu! Itu nasib mereka, kamu nggak boleh iri!” Ibu berujar dengan santai.

Aku mendengar sambil menarik napas.

“Mbak gak akan protes, kalau memang kalian menikah lebih dulu ... segalanya sudah jadi ketentuan takdir dari Allah, Mbak juga nggak akan minta pelangkahan!”

Itulah keputusanku soal pelangkahan karena tidak percaya dengan semua mitos yang datang entah dari mana.

“Bagus kalau kamu mengerti! Ternyata otakmu masih berfungsi!”

“Ibuk! Sudah cukup bilang begitu sama Mbak Mina!” kata Landu menengahi, dia yang selalu membelaku.

“Nggak apa, Lan! Mbak sudah biasa, justru mbak anggap itu hobinya Ibuk!” Aku pun berkata sambil tertawa.

“Kalau Ibuk bilang Mbak gak punya otak, itu mengingatkan Mbak harus banyak bersyukur, karena Allah menciptakan manusia lengkap dengan otaknya ...! Coba kalau Mbak nggak pakai otak, nggak mungkin bisa kerja!” Aku berkata setelah tertawa.

Aku lihat ibu seketika terdiam.

“Iya, ya, bener kata Mbak Mina, Ibuk hobinya ngomong ‘nggak punya otak', kalau bukan hobi, ya, nggak mungkin bilang begitu!” kata Landu.

“Mbak Mina terlalu positif thinking orangnya!” sela Linda sambil tertawa menutup mulutnya.

Tingkahnya selalu elegan bak orang kalangan atas, kalem dan berwibawa. Tidak seperti aku, yang selalu tampil apa adanya.

Begitu seringnya aku mendengar omelan ibu, membuatku terbiasa mengabaikan komentar orang lain. Toh, apa yang mereka katakan, tidak akan merubah apa pun dari ketentuan Tuhan.

“Nggak masalah Ibuk suka bilang ‘bodoh’ asal bisa bikin Ibuk bahagia!” Aku kembali terkekeh, “Nggak apa Mbak dibilang gak punya otak, sebab pada dasarnya organ otak manusia itu sama!”

Aku sengaja memilih untuk mengontrak rumah, selain biar lebih dekat, juga untuk menghindari omongan ibu. Tidak kuat rasanya setiap hari harus dihina.

Padahal jarak rumah ke tempat kerjaku hanya melewati tiga kecamatan saja. Masih berada dalam satu kabupaten yang sama. Hanya butuh waktu sekitar 45 menit dengan menggunakan bis kota. Atau bisa naik angkot dengan dua jurusan yang berbeda-beda. Namun, aku tetap memilih untuk mengontrak saja.

Entah kenapa tiba-tiba ibu mencubitku.

“Mina! Ibu bukannya mengejek atau meremehkan, sebenarnya maksud Ibuk itu, biar kamu bisa lebih baik dari adik-adikmu atau setidak-tidaknya sama berprestasi juga seperti mereka!” katanya sambil melotot padaku.

“Tuh, kan! Maksud Ibuk kita baik!” Aku membalas dengan memeluknya, sekuat tenaga menahan air mata.

Aku tahu maksudnya melakukan semua itu agar aku luluh dan mengikuti semua kemauannya seperti biasa.

Bukankah kapasitas otak setiap manusia memang berbeda, lagi pula aku tipe orang yang tidak mau ribet menjalani segalanya. Biarkan semua berjalan apa adanya. Belajar seperlunya, sekolah seperlunya, makan seperlunya, dan berkunjung ke mana-mana juga seperlunya. Tidak perlu berlebihan.

“Ibuk nggak salah, kan, Mina?”

“Ibuk nggak salah, jasa Ibuk membesarkan aku jauh lebih banyak, dari kata-kata bodoh yang Ibuk keluarkan—apalagi nggak sungguh-sungguh menghina anak sendiri!” ucapku menahan perih.

Tak apa, yang penting ibuku bahagia.

“Ibuk boleh melakukan apa saja padaku karena aku anak Ibuk, tapi kalau soal nasib itu terserah Allah ....”

Ibuku diam, aku melepas pelukan.

“Jadi, kamu mau minta pelangkahan apa? Biar adik-adikmu ini nggak sial!

❤️❤️❤️❤️

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Perdamaian (TAMAT)

    “Tidak masalah Pak Anan! Saya faham soal ini, jadi jangan sungkan lagi pada kami!” jawab Yusro, semakin membuat lega perasaan semua orang yang ada di sana.“Iya, Mas Anan! Saya juga salah, sudah membuat anak saya tidak tenang di sana! Oh ya! Nak Abid, saya sudah memaafkan kesalahan kamu, kok!” kata Nuria.Akhirnya, semua pihak berdamai, karena tidak ada yang bisa dilakukan selain melupakan. Masa lalu tidak akan terasa menyakitkan jika semua orang bisa mengikhlaskan dan menyadari bahwa sang waktu tidak dalam kendali manusia.Nuria dan Yusro pun akhirnya merelakan, kalau Abid akhirnya dibebaskan. Mereka menyadari bahwa, tidak seharusnya mereka mengungkit kematian Ismawati setelah sekian lama waktu berlalu atas kematiannya. Ada hal yang menyakitkan bagi jasad anaknya kalau proses itu tetap dilakukan. Apalagi mereka memahami selama dua bulan proses penyelidikan itu berjalan, bahwa semua tidak terlepas dari kuasa Tuhan.Setelah proses penjelasan resmi dari pihak kepolisian selesai, sem

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Otopsi

    POV AUTHORMina memutuskan menginap karena Abid tidak pulang, tidak ada yang tidak tahu, apa yang terjadi karena Linda juga tidak bisa menghubungi suaminya. Ia sering tidak masuk kerja karena kondisinya, tapi ia sudah mendelegasikan pekerjaan kantor pada asistennya. Linda tidak mau meninggalkan karirnya walau keadaan diri dan suaminya seperti sekarang ini. Ia memang diandalkan oleh sang suami karena memiliki kompetensi. Apalagi Abid menyerahkan keputusan soal pekerjaan sepenuhnya pada, sang istri. Jadi, Linda bebas apakah ia tetap bekerja atau akan berhenti.Tanpa sepengetahuan istrinya, Ragil menghubungi seorang pengacara yang pernah ia kenal saat ayahnya masih ada. Semua demi berjaga-jaga kalau Mina membutuhkan pembelaan dari pengacara.Proses di kepolisian terus berjalan selama beberapa hari lamanya, demi penyelidikan yang harus terus di lakukan. Sementara Mina bergantian menjaga Linda dengan ibunya. Ia memilih menghindar kalau ibunya datang. Mereka melakukan giliran itu karen

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Sesuatu Untuk Linda

    “Jadi, Mas benaran mau nganterin aku ke mana pun aku mau?” aku bertanya sambil menutup dompetku kembali. Aku putuskan untuk membeli sesuatu nanti saja setelah melihat keadaan Linda dan membeli apa kiranya yang ia butuhkan.“Siap!” katanya seraya melakukan gerakan hormat. Kelihatan ya, kalau pengangguran sejati, pekerjaannya Cuma nganterin istri. Jadi, pasti dia mau nganterin aku untuk membeli kebutuhan Linda nanti.Sesampainya di rumah Linda, aku dibuat terkejut dengan keadaannya. Suasana sepi dan pintunya tidak dalam keadaan terkunci. Semua ruangan berantakan seperti baru saja ada peperangan. Aku menemukannya sesuai lokasi yang dibagikannya.Aku memberanikan diri masuk ke dalam sebuah ruangan yang aku pikir itu kamar Linda. Ternyata benar, adikku itu meringkuk di kamar.“Linda ...!” panggilku lembut. Aku baru saja hendak menyentuh tubuhnya saat tiba-tiba telepon dalam tas ku berbunyi nyaring. Aku berniat mematikannya agar tidak menggangu Linda. Namun, setelah kulihat nama

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Pengangguran Sejati

    Keesokan harinya, setelah sarapan, Teh Mela berpesan padaku agar tetap merahasiakan semuanya dan biarlah tetap berjalan seperti biasa.“Kenapa?” tanyaku, sebab jelas aku ingin mengatakan semuanya dengan segera, tapi justru dilarang.“Biar mereka nggak memanfaatkan kebaikan kita atau meminta agar sewanya diskon sama Ragil! Soalnya Ragil itu baiknya nggak ketulungan, bisa-bisa nanti semua orang minta potongan!”Alasan Teh Mela memang benar adanya, tapi selain itu, kalau bayaran sewanya kurang, maka dialah yang akan dapat akibatnya karena jatahnya berkurang.Aku bisa memakluminya, sebab Teh Mela memang bisa dikatakan sangat tergantung pada adik laki-lakinya. “Anakku ada tiga, di pesantren semua dan jauh, kalau saya nggak bantu suami membiayai mereka, kasihan juga, Mbak Mina tahu, kan, biaya anak pesantren berkualitas jaman sekarang berapa?”“Iya, Teh, biaya tahunannya itu yang memberatkan biasanya!” “Nah iya, kalau bukan suami saya yang dulu menghabiskan warisan ayah, mungkin sa

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Siapa Dia Yang Sebenarnya

    Mas Ragil pun kembali bercerita. Atas desakan sang ayah, akhirnya ia pun mau membeli mobil itu. Di kemudian hari ia baru tahu bahwa, itu mobil bekas dan sang ayah memintanya membeli karena pemiliknya sedang kekurangan uang.Dari cerita itu aku berpikir jangan-jangan rumah yang di tempati teh Mela juga miliknya.Jawaban dari dugaanku itu segera terjawab. Dan, ternyata benar, bahwa rumah besar yang sering dimasuki Mas Ragil—aku melihatnya sendiri keluar masuk ke rumah itu, adalah rumahnya. Bukan rumah Teh Mela.Saat aku sampai di kota, hari sudah malam dan tidak mungkin berkunjung ke rumah Linda. Sementara di kontrakan tidak ada garasi mobil, hingga Mas Ragil menyimpan mobil itu di garasinya.“Mas! Parkir mobil di sini! Tadi bilangnya nggak mau gangguin Linda, eh! Di sini ganggu Teh Mela!”“Nggak apa, dia sudah biasa!” jawab Mas Ragil, sambil melepas sabuk pengamannya. Aku mengikutinya dan turun, Mas Ragil membuka gerbang dan aku masuk untuk mengetuk pintu rumah, dengan niat me

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Sekarang Mulai Tahu

    “Memangnya, Abid kenapa, Bu?” tanyaku pada Ibu, seraya mendengar lebih serius di telepon.“Bagus kamu ya, langsung bisa tahu kalau Ibuk mau bicara soal Abid!” jawab ibu.Ibu Aku bisa menebak, sebab adik ipar yang bermasalah denganku ya, Abid. Tidak mungkin kalau Ismaya, kan? Kalau soal Landu, adikku itu mengirim kabar beberapa hari yang lalu. Adikku dan istrinya akan menetap di kota dan untuk sementara waktu tidak akan mengunjungi mertuanya. Entah kapan ia bisa bersikap kembali seperti biasa, setelah mengetahui masa lalu mertuanya.Walaupun, apa yang terjadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan Ismaya atau pun Landu, tapi, sikap menghindar dari kedua orang tua itu perlu. Apalagi, hanya untuk sementara waktu. Selain demi menata hati, juga demi kebaikan semuanya. Bayangkan saja kalau bertemu sementara hati belum memaafkan kesalahan masa lalu. Bisa jadi mereka akan terus membicarakan kekecewaan itu.Bagaimana Ismaya tidak kecewa kalau setelah mengetahui Ismawati tiada, ayahnya ju

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status