Share

Minta Pelangkah

“Linda bukan beli mobil, tapi ada yang ngelamar adikmu, dan calon suaminya itu punya mobil!” kata Ibu, dengan wajah yang semringah seraya menatapku.

Aku hampir tak bisa berkata apa-apa lagi, kecuali, “Oh! Beneran, Lin? Kamu sudah ada yang melamar?"

"Iya, kalau kamu kapan?" tanya ibu dan aku tidak tahu harus menjawab apa.

Aku kecewa? Jangan tanya.

“Mina, calon suami adikmu itu orang kaya, dia mau bulan depan langsung nikah sama Linda!”

Aku pun tercengang mendengar kabar itu, sungguh di luar dugaan. Aku tidak pernah tahu Linda punya pacar, dan sekarang mereka mau segera menikah setelah lamaran.

Aku sudah di sebut perawan tua di usia yang hampir mendekati 30 tahun, dan sekarang adikku mau menikah lebih dulu. Entah di sebut apa lagi nanti aku, perawan telat kawin? Tamatlah riwayatku.

“Oh, bulan depan, cepat juga ya, Alhamdulillah!” sekali lagi, aku hanya bisa bersyukur.

“Nah, maksud Ibuk ke sini, mau ngomong sama kamu, kalau mau minta pelangkahan, jangan yang mahal-mahal! Walau calon adik iparmu itu kaya ... tapi kamu harus pakai hati kalau minta, dari pada mikir pake otak gak bisa!”

Sungguh permintaan yang aneh bukan?

Aku tahu maksud ibu yang selalu bicara begitu, karena aku dianggap anak yang bodoh. Di matanya aku tak punya otak untuk berpikir hingga bisa meraih prestasi. Jadi, aku tidak mendapatkan rangking kelas dan beasiswa seperti dua adik kembarku itu.

“Lan! Apa kamu mau nikah sekalian? Kamu juga udah mapan, ganteng dan punya mobil pula!”

Aku bicara begitu sebenarnya bermaksud merajuk dengan nasibku, selain itu Landu adalah, idola desa sejak dulu. Hidupnya mapan dan tergolong sukses.

“Mbak Mina ini ngomong apa, sih?” kilahnya sambil memalingkan muka.

“Ya, mungkin saja kamu mau sekalian melangkahi aku!”

“Eum ... gimana ya, Mbak, baiknya?” Landu melirikku sambil tertawa.

Landu adalah adik lelakiku yang giat bekerja dan cerdas. Dia sama seperti Linda, berhasil memasuki perguruan tinggi negeri dengan beasiswa, karena memang berprestasi sejak SMA.

Aku mah apa atuh?

Bukankah manusia sejak lahir membawa semua kelebihan dan kekurangannya ke dunia?

Landu—adikju itu berhasil membudidayakan ikan hias yang harganya mahal dan langka bersama seorang temannya, sejak SMA. Sekarang usaha ikan hias mereka berkembang dan sukses membuka tiga cabang di tempat berbeda. Landu disebut juragan ikan hias di kampungku. Bukan hanya itu, usahanya merambah ke peternakan ikan lele dan nila.

Semua tidak lepas dari dukungan ayah, yang awalnya memberikan sepetak tanah, di dekat kandang ayam sebagai tempat usahanya. Namun, dia adik yang baik dan tidak melupakan jasa ayah ibu. Termasuk aku, yang dulu selalu rela mencuci pakaian kotornya, saat ia selesai bekerja.

Ia mengerjakan hobinya itu setiap pulang sekolah. Setelah dia kuliah, usahanya ia percayakan pada Ayah. Sampai sekarang tempat usahanya selalu menjadi kunjungan para pemburu ikan langka.

Sementara aku sebenarnya disuruh ibu untuk tetap di rumah saja, menunggu sampai ada yang melamarku. Namun, setelah adik-adik kuliah, aku mulai bosan, karena laki-laki yang aku harapkan tidak kunjung datang. Akhirnya aku memutuskan untuk merantau dan diterima bekerja di PT Araguna Dwipura, Pabrik garmen entah milik siapa.

Namun, meskipun aku sudah bekerja, ejekan ibu tentang kebodohanku tidak hilang juga. Anak yang tidak tahu di untung dan semau sendiri saja. Katanya.

“Eum ... kal—“

“Kamu mah, tinggal menuruti kemauan adikmu apa susahnya?” kata ibu, menyela ucapanku.

“Ya, gimana takdir mereka sajalah, Buk.”

“Iya, kalau nunggu kamu, kapan mereka nikahnya? Keburu jadi perawan tua! Jadi Kakak itu harus baik sama adik-adikmu!”

Aku tidak tahu apakah ibu memang sengaja menyakitiku, yang jelas, hatiku sakit, tapi hanya bisa tersenyum menanggapinya. Ukuran baik menurut beliau, mungkin tidak sama dengan ukuran baik menurut pendapatku.

Namun, aku sudah terbiasa dengan semua komplain Ibu akan kehidupanku, sejak dua adikku selalu mendapatkan juara di kelas, aku didiskriminasi oleh ibuku sendiri.

“Kalau mau sih, dari dulu juga aku nikah, tapi kasian Mbak Mina!” kata Landu dengan senyum malu-malu.

Ada lesung pipi yang manis di sana, seperti Linda, dia punya lesung pipi juga. Kecuali aku tentunya. Dua adikku itu memang tampan dan ayu, mirip ayah dan ibu.

Aku hampir saja menitikkan air mata, mendengar ucapannya.

“Landu, Linda ... kalau jodoh kalian sudah ketemu, ya, temui saja ... ikat dia, jangan dilepas lagi. Kalau soal Mbak, nggak perlu kalian pikirkan, aku bukan pemaksa ...!”

“Ya. Alhamdulillah kalau kamu ngerti! Adikmu dapat rezeki lebih dulu! Itu nasib mereka, kamu nggak boleh iri!” Ibu berujar dengan santai.

Aku mendengar sambil menarik napas.

“Mbak gak akan protes, kalau memang kalian menikah lebih dulu ... segalanya sudah jadi ketentuan takdir dari Allah, Mbak juga nggak akan minta pelangkahan!”

Itulah keputusanku soal pelangkahan karena tidak percaya dengan semua mitos yang datang entah dari mana.

“Bagus kalau kamu mengerti! Ternyata otakmu masih berfungsi!”

“Ibuk! Sudah cukup bilang begitu sama Mbak Mina!” kata Landu menengahi, dia yang selalu membelaku.

“Nggak apa, Lan! Mbak sudah biasa, justru mbak anggap itu hobinya Ibuk!” Aku pun berkata sambil tertawa.

“Kalau Ibuk bilang Mbak gak punya otak, itu mengingatkan Mbak harus banyak bersyukur, karena Allah menciptakan manusia lengkap dengan otaknya ...! Coba kalau Mbak nggak pakai otak, nggak mungkin bisa kerja!” Aku berkata setelah tertawa.

Aku lihat ibu seketika terdiam.

“Iya, ya, bener kata Mbak Mina, Ibuk hobinya ngomong ‘nggak punya otak', kalau bukan hobi, ya, nggak mungkin bilang begitu!” kata Landu.

“Mbak Mina terlalu positif thinking orangnya!” sela Linda sambil tertawa menutup mulutnya.

Tingkahnya selalu elegan bak orang kalangan atas, kalem dan berwibawa. Tidak seperti aku, yang selalu tampil apa adanya.

Begitu seringnya aku mendengar omelan ibu, membuatku terbiasa mengabaikan komentar orang lain. Toh, apa yang mereka katakan, tidak akan merubah apa pun dari ketentuan Tuhan.

“Nggak masalah Ibuk suka bilang ‘bodoh’ asal bisa bikin Ibuk bahagia!” Aku kembali terkekeh, “Nggak apa Mbak dibilang gak punya otak, sebab pada dasarnya organ otak manusia itu sama!”

Aku sengaja memilih untuk mengontrak rumah, selain biar lebih dekat, juga untuk menghindari omongan ibu. Tidak kuat rasanya setiap hari harus dihina.

Padahal jarak rumah ke tempat kerjaku hanya melewati tiga kecamatan saja. Masih berada dalam satu kabupaten yang sama. Hanya butuh waktu sekitar 45 menit dengan menggunakan bis kota. Atau bisa naik angkot dengan dua jurusan yang berbeda-beda. Namun, aku tetap memilih untuk mengontrak saja.

Entah kenapa tiba-tiba ibu mencubitku.

“Mina! Ibu bukannya mengejek atau meremehkan, sebenarnya maksud Ibuk itu, biar kamu bisa lebih baik dari adik-adikmu atau setidak-tidaknya sama berprestasi juga seperti mereka!” katanya sambil melotot padaku.

“Tuh, kan! Maksud Ibuk kita baik!” Aku membalas dengan memeluknya, sekuat tenaga menahan air mata.

Aku tahu maksudnya melakukan semua itu agar aku luluh dan mengikuti semua kemauannya seperti biasa.

Bukankah kapasitas otak setiap manusia memang berbeda, lagi pula aku tipe orang yang tidak mau ribet menjalani segalanya. Biarkan semua berjalan apa adanya. Belajar seperlunya, sekolah seperlunya, makan seperlunya, dan berkunjung ke mana-mana juga seperlunya. Tidak perlu berlebihan.

“Ibuk nggak salah, kan, Mina?”

“Ibuk nggak salah, jasa Ibuk membesarkan aku jauh lebih banyak, dari kata-kata bodoh yang Ibuk keluarkan—apalagi nggak sungguh-sungguh menghina anak sendiri!” ucapku menahan perih.

Tak apa, yang penting ibuku bahagia.

“Ibuk boleh melakukan apa saja padaku karena aku anak Ibuk, tapi kalau soal nasib itu terserah Allah ....”

Ibuku diam, aku melepas pelukan.

“Jadi, kamu mau minta pelangkahan apa? Biar adik-adikmu ini nggak sial!

❤️❤️❤️❤️

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status