Share

Pelangkah Tanpa Syarat
Pelangkah Tanpa Syarat
Author: El GeiysyaTin

Pria Pengangguran

“Dek Mina! Ngelamun saja, ada yang nyari, tuh!” kata seseorang yang tak lain adalah Mas Ragil, pria pengangguran—tetangga kontrakan yang baru beberapa bulan ini aku tempati.

Dia melewatiku sambil mengelus ayam pelungnya dan tengah menatapku. Aku menoleh padanya, sambil melukis bayangan wajah itu di hatiku. Wajah yang berbentuk oval, bersih tanpa bekas jerawat. Pupil matanya hitam, dilengkapi alis tebal yang lancip dan mirip sekali dengan bintang jatuh dari langit. Rambutnya ikal berwarna coklat, dan ada kumis tipis menghiasi bibirnya yang menyempurnakan bentuk wajah ciptaan Tuhan, nyaris tanpa cela.

Tubuhnya yang tergolong tinggi dan kokoh itu bergerak menjauh, setelah aku berhasil memalingkan pandangan darinya. Dia ternyata cukup tampan juga, mungkin karena itu bapak menjodohkan laki-laki itu denganku. Namun, aku tidak mau. Oleh karena itu aku terus berbohong bahwa, aku tak mengenali pria itu.

“Minari!” tiba-tiba ada suara lain memanggilku. Aku pun menoleh pada sumber suara itu.

“Ibuk?” kulihat ibuku sudah ada di pintu gerbang kontrakan, beliau datang dengan dua adik kembarku, Linda.dan Landu.

“Landu, Linda? Tumben ke sini, untung saja Mbak libur kerja!” Aku tercengang dengan kedatangan mereka yang tidak biasa.

Aku menyalami mereka satu persatu dan mencium punggung tangan ibu.

“Ya, memang sengaja Ibu datang ke sini, pas kamu libur! Jadi anak kok nggak pinter-pinter dari dulu!”

“Ibuk, jangan begitu!” Landu membelaku.

“Jangan apanya, memang Mbakmu ini nggak pernah mikir pake otak!” kata Ibuku lagi sambil cemberut.

Beliau memang selalu terlihat menyesal memiliki anak yang telmi seperti diriku. Namun, aku tidak tahu apa yang menyebabkan ibuku begitu. padahal, kan, aku anaknya juga.

Ibu mengumpatku saat kami masih di teras, padahal masih ada Mas Ragil di sana. Malu rasanya aku sudah sebesar ini, tapi masih diomeli seperti anak kecil oleh ibuku sendiri.

Walaupun, Mas Ragil orangnya cuek sama urusan orang, tapi kulihat tadi, Bu Kokom sedang menjemur pakaian dan Teh Nina yang tukang gosip itu sedang menyuapi anaknya makan. Habislah aku jadi bahan gosip mereka.

Dari para tetangga tukang gosip itulah, aku jadi tahu kalau Mas Ragil hanyalah pengangguran.

Ada juga yang bilang kalau Mas Ragil adalah orang yang suka makan gaji buta karena kerja semaunya. Aku pikir benar juga apa kata tetangga sebab aku sering lihatnya hanya bersantai atau merawat tanaman-tanaman yang tumbuh subur di halaman kontrakan atau mengurus ayam pelungnya.

Amit-amit deh, dia, hidup seperti tak berharga tanpa keluarga. Tidak punya anak istri, lalu siapa yang akan mengurusnya di masa tua nanti. Mana ada perempuan yang mau menikah dengan orang seperti dia.

“Jangan sampai deh, Mbak Mina dapat suami kayak dia!” kata Bu RT suatu ketika, saat secara tak sengaja bertemu di tukang sayur, tempat kami biasa belanja. Dia memberiku nasehat tanpa kuminta.

Walaupun, di kampung aku dibilang perawan tua, tapi kalau harus nikah sama laki-laki seperti dia, aku juga tidak mau.

“Ya, sudah! Ayo masuk saja, nggak enak dilihat tetangga!” Aku mempersilahkan semua keluargaku itu masuk, karena tidak mau kalau kedatangan ibu dan kedua adikku menambah gosip tetangga.

“Bapak nggak ikut, Buk? Sehat, kan, di rumah?”

“Alhamdulillah!” jawab mereka semua secara serempak.

Kami duduk di karpet berukuran sedang yang sengaja aku beli dan biasa kujadikan alas duduk, di ruang serba guna di sebelah kamarku.

“Ini, oleh-oleh buat Mbak Mina!” kata Linda, seraya memberikan bungkusan berupa paper bag, ia duduk di antara ibu dan Landu, memberi senyum manisnya padaku.

Linda memang lebih unggul dariku dalam segala hal, termasuk soal hadiah, tidak seperti aku yang harus berpikir beberapa kali hanya untuk membeli barang mahal seperti hadiahnya kali ini.

Dia wanita yang beruntung, setelah lulus kuliah, dia langsung diterima bekerja pada salah satu perusahaan bonafid di kota kami, jalan hidupnya terlihat begitu mudah.

Tidak seperti aku yang cuma bekerja menjadi buruh di pabrik garmen karena aku tamatan SMA.

Jarak kelahiranku dan adik kembarku itu cukup jauh, sekitar lima tahun lebih hingga waktu sekolah dan lulus, pun jaraknya jauh berbeda.

“Wah, apa, ini, Lin?” Aku bertanya sambil menuangkan air mineral dari galon kecil ke dalam beberapa gelas untuk tamuku.

“Ya, tinggal dibuka aja! Kalo kamu, mana pernah ngasih oleh-oleh tiap bulan buat Ibu juga Adik-adikmu!” kata ibuku lagi.

“Ya, maklum, Bu, gajiku kecil, uangnya aku tabung, buat ngasih Ibunya nanti saja, pas lebaran!” Aku tertawa, untuk menutupi rasa kecewaku. Sudah tidak aneh dengan Ibu yang selalu meremehkan. Aku hanya bisa memberi hadiah dan uang, saat lebaran saja untuk wanita yang sudah melahirkan aku ke dunia itu.

Tidak lebih. Aku masih harus menabung untuk masa depanku. Aku mau beli motor buat berangkat ke pabrik atau pulang kampung.

Selama ini Ibu melarangku membeli kendaraan itu dengan cara mencicil. Takut aku pusing memikirkan angsuran, katanya. Makanya aku memilih menabung saja dan membelinya secara cash.

“Eh, iya, tumben kalian kemari, ada apa?” Aku penasaran dengan kedatangan dua adikku itu.

“Tuh! Linda, yang punya keperluan sama Mbak! Aku cuma nganterin aja!” kata Landu dengan wajah yang serius.

“Iya, aku pikir juga begitu, soalnya gak biasa kalian datang barengan kayak gini, lagian, bisa nyuruh pulang kalau memang penting."

“Halah! Kelamaan! Orang kemarin Ibuk telepon hp kamu nggak aktif!” kata ibu, terus menyalahkan aku.

“Oh, itu karena masih kerja, Buk, tapi aku telepon balik kemarin malam, sama Ibuk gak diangkat juga!”

“Ya sudah, sekarang Ibuk sudah ke sini sekalian lihat keadaan kontrakanmu!"

"Mbak betah?” tanya Landu.

“Hehe, iya! Alhamdulillah! Kontrakan yang lama itu naik bayarannya, kalau di sini, memang lebih jauh dari pabrik, tapi harganya masih sama!”

“Jadi, sekarang kamu jalan kaki apa naik ojek kalau ke sana?” tanya ibu.

“Kadang jalan, kadang naik angkot juga!”

“Ah, maklum,” kata ibu sambil melambaikan tangannya, “Kalau Linda, nih! Bakalan gak naik bis lagi kalau kerja!” kata ibu kembali membanggakan adik perempuanku.

“Alhamdulillah, kamu bisa beli mobil, Lin, sekarang?” Aku antusias dengan berprasangka baik menanggapinya. Apa pun kelebihan adikku, harus aku syukuri karena mereka keluargaku juga.

Linda menggelengkan kepala, sambil tersenyum malu-malu.

“Bukan!” katanya.

“Linda bukan beli mobil, tapi ada yang ngelamar adikmu, dan calon suaminya itu punya mobil!” kata Ibu dengan wajah yang semringah saat menatapku.

"Beneran, Lin? Kamu sudah ada yang melamar?"

"Iya, kalau kamu kapan?"

❤️❤️❤️❤️

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status