Home / Urban / Pelangkah Tanpa Syarat / Pria Pengangguran

Share

Pelangkah Tanpa Syarat
Pelangkah Tanpa Syarat
Author: El GeiysyaTin

Pria Pengangguran

Author: El GeiysyaTin
last update Last Updated: 2023-07-13 06:30:51

“Dek Mina! Ngelamun saja, ada yang nyari, tuh!” kata seseorang yang tak lain adalah Mas Ragil, pria pengangguran—tetangga kontrakan yang baru beberapa bulan ini aku tempati.

Dia melewatiku sambil mengelus ayam pelungnya dan tengah menatapku. Aku menoleh padanya, sambil melukis bayangan wajah itu di hatiku. Wajah yang berbentuk oval, bersih tanpa bekas jerawat. Pupil matanya hitam, dilengkapi alis tebal yang lancip dan mirip sekali dengan bintang jatuh dari langit. Rambutnya ikal berwarna coklat, dan ada kumis tipis menghiasi bibirnya yang menyempurnakan bentuk wajah ciptaan Tuhan, nyaris tanpa cela.

Tubuhnya yang tergolong tinggi dan kokoh itu bergerak menjauh, setelah aku berhasil memalingkan pandangan darinya. Dia ternyata cukup tampan juga, mungkin karena itu bapak menjodohkan laki-laki itu denganku. Namun, aku tidak mau. Oleh karena itu aku terus berbohong bahwa, aku tak mengenali pria itu.

“Minari!” tiba-tiba ada suara lain memanggilku. Aku pun menoleh pada sumber suara itu.

“Ibuk?” kulihat ibuku sudah ada di pintu gerbang kontrakan, beliau datang dengan dua adik kembarku, Linda.dan Landu.

“Landu, Linda? Tumben ke sini, untung saja Mbak libur kerja!” Aku tercengang dengan kedatangan mereka yang tidak biasa.

Aku menyalami mereka satu persatu dan mencium punggung tangan ibu.

“Ya, memang sengaja Ibu datang ke sini, pas kamu libur! Jadi anak kok nggak pinter-pinter dari dulu!”

“Ibuk, jangan begitu!” Landu membelaku.

“Jangan apanya, memang Mbakmu ini nggak pernah mikir pake otak!” kata Ibuku lagi sambil cemberut.

Beliau memang selalu terlihat menyesal memiliki anak yang telmi seperti diriku. Namun, aku tidak tahu apa yang menyebabkan ibuku begitu. padahal, kan, aku anaknya juga.

Ibu mengumpatku saat kami masih di teras, padahal masih ada Mas Ragil di sana. Malu rasanya aku sudah sebesar ini, tapi masih diomeli seperti anak kecil oleh ibuku sendiri.

Walaupun, Mas Ragil orangnya cuek sama urusan orang, tapi kulihat tadi, Bu Kokom sedang menjemur pakaian dan Teh Nina yang tukang gosip itu sedang menyuapi anaknya makan. Habislah aku jadi bahan gosip mereka.

Dari para tetangga tukang gosip itulah, aku jadi tahu kalau Mas Ragil hanyalah pengangguran.

Ada juga yang bilang kalau Mas Ragil adalah orang yang suka makan gaji buta karena kerja semaunya. Aku pikir benar juga apa kata tetangga sebab aku sering lihatnya hanya bersantai atau merawat tanaman-tanaman yang tumbuh subur di halaman kontrakan atau mengurus ayam pelungnya.

Amit-amit deh, dia, hidup seperti tak berharga tanpa keluarga. Tidak punya anak istri, lalu siapa yang akan mengurusnya di masa tua nanti. Mana ada perempuan yang mau menikah dengan orang seperti dia.

“Jangan sampai deh, Mbak Mina dapat suami kayak dia!” kata Bu RT suatu ketika, saat secara tak sengaja bertemu di tukang sayur, tempat kami biasa belanja. Dia memberiku nasehat tanpa kuminta.

Walaupun, di kampung aku dibilang perawan tua, tapi kalau harus nikah sama laki-laki seperti dia, aku juga tidak mau.

“Ya, sudah! Ayo masuk saja, nggak enak dilihat tetangga!” Aku mempersilahkan semua keluargaku itu masuk, karena tidak mau kalau kedatangan ibu dan kedua adikku menambah gosip tetangga.

“Bapak nggak ikut, Buk? Sehat, kan, di rumah?”

“Alhamdulillah!” jawab mereka semua secara serempak.

Kami duduk di karpet berukuran sedang yang sengaja aku beli dan biasa kujadikan alas duduk, di ruang serba guna di sebelah kamarku.

“Ini, oleh-oleh buat Mbak Mina!” kata Linda, seraya memberikan bungkusan berupa paper bag, ia duduk di antara ibu dan Landu, memberi senyum manisnya padaku.

Linda memang lebih unggul dariku dalam segala hal, termasuk soal hadiah, tidak seperti aku yang harus berpikir beberapa kali hanya untuk membeli barang mahal seperti hadiahnya kali ini.

Dia wanita yang beruntung, setelah lulus kuliah, dia langsung diterima bekerja pada salah satu perusahaan bonafid di kota kami, jalan hidupnya terlihat begitu mudah.

Tidak seperti aku yang cuma bekerja menjadi buruh di pabrik garmen karena aku tamatan SMA.

Jarak kelahiranku dan adik kembarku itu cukup jauh, sekitar lima tahun lebih hingga waktu sekolah dan lulus, pun jaraknya jauh berbeda.

“Wah, apa, ini, Lin?” Aku bertanya sambil menuangkan air mineral dari galon kecil ke dalam beberapa gelas untuk tamuku.

“Ya, tinggal dibuka aja! Kalo kamu, mana pernah ngasih oleh-oleh tiap bulan buat Ibu juga Adik-adikmu!” kata ibuku lagi.

“Ya, maklum, Bu, gajiku kecil, uangnya aku tabung, buat ngasih Ibunya nanti saja, pas lebaran!” Aku tertawa, untuk menutupi rasa kecewaku. Sudah tidak aneh dengan Ibu yang selalu meremehkan. Aku hanya bisa memberi hadiah dan uang, saat lebaran saja untuk wanita yang sudah melahirkan aku ke dunia itu.

Tidak lebih. Aku masih harus menabung untuk masa depanku. Aku mau beli motor buat berangkat ke pabrik atau pulang kampung.

Selama ini Ibu melarangku membeli kendaraan itu dengan cara mencicil. Takut aku pusing memikirkan angsuran, katanya. Makanya aku memilih menabung saja dan membelinya secara cash.

“Eh, iya, tumben kalian kemari, ada apa?” Aku penasaran dengan kedatangan dua adikku itu.

“Tuh! Linda, yang punya keperluan sama Mbak! Aku cuma nganterin aja!” kata Landu dengan wajah yang serius.

“Iya, aku pikir juga begitu, soalnya gak biasa kalian datang barengan kayak gini, lagian, bisa nyuruh pulang kalau memang penting."

“Halah! Kelamaan! Orang kemarin Ibuk telepon hp kamu nggak aktif!” kata ibu, terus menyalahkan aku.

“Oh, itu karena masih kerja, Buk, tapi aku telepon balik kemarin malam, sama Ibuk gak diangkat juga!”

“Ya sudah, sekarang Ibuk sudah ke sini sekalian lihat keadaan kontrakanmu!"

"Mbak betah?” tanya Landu.

“Hehe, iya! Alhamdulillah! Kontrakan yang lama itu naik bayarannya, kalau di sini, memang lebih jauh dari pabrik, tapi harganya masih sama!”

“Jadi, sekarang kamu jalan kaki apa naik ojek kalau ke sana?” tanya ibu.

“Kadang jalan, kadang naik angkot juga!”

“Ah, maklum,” kata ibu sambil melambaikan tangannya, “Kalau Linda, nih! Bakalan gak naik bis lagi kalau kerja!” kata ibu kembali membanggakan adik perempuanku.

“Alhamdulillah, kamu bisa beli mobil, Lin, sekarang?” Aku antusias dengan berprasangka baik menanggapinya. Apa pun kelebihan adikku, harus aku syukuri karena mereka keluargaku juga.

Linda menggelengkan kepala, sambil tersenyum malu-malu.

“Bukan!” katanya.

“Linda bukan beli mobil, tapi ada yang ngelamar adikmu, dan calon suaminya itu punya mobil!” kata Ibu dengan wajah yang semringah saat menatapku.

"Beneran, Lin? Kamu sudah ada yang melamar?"

"Iya, kalau kamu kapan?"

❤️❤️❤️❤️

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Perdamaian (TAMAT)

    “Tidak masalah Pak Anan! Saya faham soal ini, jadi jangan sungkan lagi pada kami!” jawab Yusro, semakin membuat lega perasaan semua orang yang ada di sana.“Iya, Mas Anan! Saya juga salah, sudah membuat anak saya tidak tenang di sana! Oh ya! Nak Abid, saya sudah memaafkan kesalahan kamu, kok!” kata Nuria.Akhirnya, semua pihak berdamai, karena tidak ada yang bisa dilakukan selain melupakan. Masa lalu tidak akan terasa menyakitkan jika semua orang bisa mengikhlaskan dan menyadari bahwa sang waktu tidak dalam kendali manusia.Nuria dan Yusro pun akhirnya merelakan, kalau Abid akhirnya dibebaskan. Mereka menyadari bahwa, tidak seharusnya mereka mengungkit kematian Ismawati setelah sekian lama waktu berlalu atas kematiannya. Ada hal yang menyakitkan bagi jasad anaknya kalau proses itu tetap dilakukan. Apalagi mereka memahami selama dua bulan proses penyelidikan itu berjalan, bahwa semua tidak terlepas dari kuasa Tuhan.Setelah proses penjelasan resmi dari pihak kepolisian selesai, sem

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Otopsi

    POV AUTHORMina memutuskan menginap karena Abid tidak pulang, tidak ada yang tidak tahu, apa yang terjadi karena Linda juga tidak bisa menghubungi suaminya. Ia sering tidak masuk kerja karena kondisinya, tapi ia sudah mendelegasikan pekerjaan kantor pada asistennya. Linda tidak mau meninggalkan karirnya walau keadaan diri dan suaminya seperti sekarang ini. Ia memang diandalkan oleh sang suami karena memiliki kompetensi. Apalagi Abid menyerahkan keputusan soal pekerjaan sepenuhnya pada, sang istri. Jadi, Linda bebas apakah ia tetap bekerja atau akan berhenti.Tanpa sepengetahuan istrinya, Ragil menghubungi seorang pengacara yang pernah ia kenal saat ayahnya masih ada. Semua demi berjaga-jaga kalau Mina membutuhkan pembelaan dari pengacara.Proses di kepolisian terus berjalan selama beberapa hari lamanya, demi penyelidikan yang harus terus di lakukan. Sementara Mina bergantian menjaga Linda dengan ibunya. Ia memilih menghindar kalau ibunya datang. Mereka melakukan giliran itu karen

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Sesuatu Untuk Linda

    “Jadi, Mas benaran mau nganterin aku ke mana pun aku mau?” aku bertanya sambil menutup dompetku kembali. Aku putuskan untuk membeli sesuatu nanti saja setelah melihat keadaan Linda dan membeli apa kiranya yang ia butuhkan.“Siap!” katanya seraya melakukan gerakan hormat. Kelihatan ya, kalau pengangguran sejati, pekerjaannya Cuma nganterin istri. Jadi, pasti dia mau nganterin aku untuk membeli kebutuhan Linda nanti.Sesampainya di rumah Linda, aku dibuat terkejut dengan keadaannya. Suasana sepi dan pintunya tidak dalam keadaan terkunci. Semua ruangan berantakan seperti baru saja ada peperangan. Aku menemukannya sesuai lokasi yang dibagikannya.Aku memberanikan diri masuk ke dalam sebuah ruangan yang aku pikir itu kamar Linda. Ternyata benar, adikku itu meringkuk di kamar.“Linda ...!” panggilku lembut. Aku baru saja hendak menyentuh tubuhnya saat tiba-tiba telepon dalam tas ku berbunyi nyaring. Aku berniat mematikannya agar tidak menggangu Linda. Namun, setelah kulihat nama

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Pengangguran Sejati

    Keesokan harinya, setelah sarapan, Teh Mela berpesan padaku agar tetap merahasiakan semuanya dan biarlah tetap berjalan seperti biasa.“Kenapa?” tanyaku, sebab jelas aku ingin mengatakan semuanya dengan segera, tapi justru dilarang.“Biar mereka nggak memanfaatkan kebaikan kita atau meminta agar sewanya diskon sama Ragil! Soalnya Ragil itu baiknya nggak ketulungan, bisa-bisa nanti semua orang minta potongan!”Alasan Teh Mela memang benar adanya, tapi selain itu, kalau bayaran sewanya kurang, maka dialah yang akan dapat akibatnya karena jatahnya berkurang.Aku bisa memakluminya, sebab Teh Mela memang bisa dikatakan sangat tergantung pada adik laki-lakinya. “Anakku ada tiga, di pesantren semua dan jauh, kalau saya nggak bantu suami membiayai mereka, kasihan juga, Mbak Mina tahu, kan, biaya anak pesantren berkualitas jaman sekarang berapa?”“Iya, Teh, biaya tahunannya itu yang memberatkan biasanya!” “Nah iya, kalau bukan suami saya yang dulu menghabiskan warisan ayah, mungkin sa

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Siapa Dia Yang Sebenarnya

    Mas Ragil pun kembali bercerita. Atas desakan sang ayah, akhirnya ia pun mau membeli mobil itu. Di kemudian hari ia baru tahu bahwa, itu mobil bekas dan sang ayah memintanya membeli karena pemiliknya sedang kekurangan uang.Dari cerita itu aku berpikir jangan-jangan rumah yang di tempati teh Mela juga miliknya.Jawaban dari dugaanku itu segera terjawab. Dan, ternyata benar, bahwa rumah besar yang sering dimasuki Mas Ragil—aku melihatnya sendiri keluar masuk ke rumah itu, adalah rumahnya. Bukan rumah Teh Mela.Saat aku sampai di kota, hari sudah malam dan tidak mungkin berkunjung ke rumah Linda. Sementara di kontrakan tidak ada garasi mobil, hingga Mas Ragil menyimpan mobil itu di garasinya.“Mas! Parkir mobil di sini! Tadi bilangnya nggak mau gangguin Linda, eh! Di sini ganggu Teh Mela!”“Nggak apa, dia sudah biasa!” jawab Mas Ragil, sambil melepas sabuk pengamannya. Aku mengikutinya dan turun, Mas Ragil membuka gerbang dan aku masuk untuk mengetuk pintu rumah, dengan niat me

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Sekarang Mulai Tahu

    “Memangnya, Abid kenapa, Bu?” tanyaku pada Ibu, seraya mendengar lebih serius di telepon.“Bagus kamu ya, langsung bisa tahu kalau Ibuk mau bicara soal Abid!” jawab ibu.Ibu Aku bisa menebak, sebab adik ipar yang bermasalah denganku ya, Abid. Tidak mungkin kalau Ismaya, kan? Kalau soal Landu, adikku itu mengirim kabar beberapa hari yang lalu. Adikku dan istrinya akan menetap di kota dan untuk sementara waktu tidak akan mengunjungi mertuanya. Entah kapan ia bisa bersikap kembali seperti biasa, setelah mengetahui masa lalu mertuanya.Walaupun, apa yang terjadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan Ismaya atau pun Landu, tapi, sikap menghindar dari kedua orang tua itu perlu. Apalagi, hanya untuk sementara waktu. Selain demi menata hati, juga demi kebaikan semuanya. Bayangkan saja kalau bertemu sementara hati belum memaafkan kesalahan masa lalu. Bisa jadi mereka akan terus membicarakan kekecewaan itu.Bagaimana Ismaya tidak kecewa kalau setelah mengetahui Ismawati tiada, ayahnya ju

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status