Share

Tubuhku Tidak Rela

Ah, yang benar saja!

Aku tanpa sadar telah memelototi Mas Ragil dari pintu yang sedikit terbuka. Tiba-tiba hatiku menyesal telah melemparkan segitiga pengaman itu hingga campur dengan pakaian lainnya.

Mas Ragil salah tingkah dan bingung, ia membuang muka saking malunya. Kulihat dia menggaruk kepala.

“Maaf, celana yang tadi, jatuh dan kotor, makanya nggak saya campurkan dengan yang lain!”

Nah, benar, kan dugaanku ... aku tidak terkejut tapi kesal.

Kalau celana itu basah, berarti pakaian lainnya juga ikut basah dan kotor, dong? Kenapa baru terpikirkan.

Ya Robbi! Selamatkan hamba-Mu ini dari rasa malu!

"Oh, eh, iya, gak apa, sekali lagi terima kasih!" Setelah berkata seperti itu aku pun segera menutup pintu, dari luar kudengar samar suara Mas Ragil mengucapkan kata-kata, "Ya, sama-sama!"

Lalu, aku segera mengangkat celana yang terkena lumpur itu.

Benar, kan! Baju yang lain ikut ketularan kotor. Akhirnya aku mencuci ulang semua pakaian yang terkena lumpur dari celana itu. Selama aku melakukannya, bayangan kejadian di teras dengan Mas Ragil yang mengulurkan dalamanku, terus berputar di kepala. Bahkan, membayangi aktivitasku selanjutnya.

Astaghfirullah!

Keesokan hari sejak peristiwa menjengkelkan itu, aku menjalani aktivitas dengan perasaan was-was agar tidak melihat tetangga laki-laki yang membuatku malu itu.

Bahkan, aku lewati setiap hari dengan perasaan itu hingga aku berharap tidak bertemu Mas Ragil lagi. Aku sengaja pergi ke pabrik lebih pagi, dan lembur hingga bisa pulang lebih malam. Selain untuk menghindarinya, aku ingin menambah tabungan.

Aku bersyukur tidak pernah bertemu Mas Ragil. Entah ke mana perginya orang itu, tapi timbul pertanyaan di hatiku, apa dia juga berusaha menghindariku?

Aku merasa lega karena tidak perlu takut atau bingung bagaimana bersikap kalau berpapasan dengannya. Kata Teh Nena, Mas Ragil mungkin pulang kampung, tapi pikiranku berkata kalau dia sebenarnya enggan melihatku juga.

Anehnya, kenapa tiba-tiba saja rasanya tak lengkap, setelah lama tidak melihat wajahnya.

Pada saat itu, aku mendapatkan panggilan dari bapak, perasaanku bilang kalau bapak mau bertanya soal orang itu.

“Nduk! Bener kata Pakde Yusro! Ragil itu rumahnya dekat kontrakan kamu!!” Bapak langsung bicara pada intinya, setelah aku mengucap salam.

“Baik, Pak! Nanti saya cari, kalau ketemu, Bapak mau pesan apa?"

“Salam aja dari Bapak, kalau bisa suruh dia ke rumah. Bapak mau jodohin dia sama kamu!”

Aku menarik napas yang tiba-tiba terasa berat, ucapan bapak membuatku heran sekaligus kesal. Aku sendiri tidak rela kalau tubuhku ini dimiliki oleh orang itu.

Eh, kan, belum tentu juga Ragil yang dicari bapak adalah orang yang sama dengan Ragil tetangga.

Masa, sih, Bapak tega menjodohkan anaknya dengan orang seperti dia.

“Memang apa bagusnya dia, sampai Bapak jodohin sama Mina?” Akhirnya aku tanyakan juga rasa penasaran di hatiku.

“Dia baik, Nduk! Kamu percaya, deh, kalau dia itu suami idaman wanita!”

“Bapak punya buktinya?”

“Kalau soal bukti, ya, tidak ada, tapi Bapak kenal baik dulu sama Bapaknya, Dokter Joko!”

Kudengar bapak menghela napasnya sebelum melanjutkan bicara.

“Dulu, Dokter Joko itu banyak berjasa waktu dia praktik di kampung kita! Nah, si Ragil itu pernah main juga sama kamu, karena kalian umurnya tidak jauh beda!”

“Oh! Ya, terserah Bapak saja, lah! Nanti Mina cari orangnya!”

Setelah itu, telepon di tutup dan aku tidak memikirkan ucapan Bapak. Setiap kali dia mengirim pesan tentang orang yang bernama Ragil itu, aku selalu menjawab tidak tahu.

Aku benar-benar tidak tahu, apakah Mas Ragil itu adalah orang yang dimaksudkan beliau, sedangkan aku pun malas bertanya. Di samping itu, aku takut kalau memang benar Mas Ragil adalah orang yang dicari Bapak, artinya aku akan dijodohkan dengannya.

$$$$$$$$$$$

Hari Jumat sore ini, aku pulang lebih cepat karena tidak enak badan, lalu turun dari angkot di depan rumah Teh Mela. Namun, sebelum berjalan kaki ke kontrakan, aku melihat Mas Ragil ke luar dari sana, sambil membawa bungkusan.

Jadi, pertemuan dengan Mas Ragil ini, pun tak bisa kuhindari. Dan, untuk pertama kalinya kami bertemu setelah kejadian celana dalam waktu itu. Walaupun, aku sudah tidak memikirkannya, tapi tetap saja malu rasanya.

Namun, rasa malu itu hilang seketika saat pikiran buruk menyeruak di otak kecilku.

Ada hubungan apa Mas Ragil dengan Teh Mela? Apa jangan-jangan—ah! Lupakan saja.

Lagi-lagi aku berusaha keras membuang jauh-jauh pikiran kotorku yang sempat melintas di kepala.

“Dek Mina!” itu Mas Ragil yang memanggil, rupanya dia mengikuti di belakangku, padahal aku sudah berjalan lebih cepat dari seekor kelinci. UPS! Kelinci melompat bukan berjalan.

Aku menoleh dan bertanya dengan ketus, “Ada apa?”

Aku kesal, entah kenapa aku tidak suka melihatnya ke luar dari rumah mewah Teh Mela yang merupakan wanita jablay, itu sih, orang yang bilang. Suaminya jarang pulang, karena harus mengurus perkebunan sawit di kabupaten Wakandan.

Aku hanya bertemu dengannya setiap kali dia menagih uang kontrakan. Padahal sudah kaya, anak pun tidak punya, tapi masih saja rajin menagih uang dari para penghuni kontrakannya, kenapa tidak dia hibahkan saja?

Kembali ke urusan Mas Ragil yang sekarang berjalan sejajar denganku.

“Hehe. Baru pulang, ya?” tanyanya.

Udah tahu, pake tanya.

“Iya! Maaf, saya duluan, lagi nggak enak badan!”

“Eh, iya!”

Entah kenapa ada rasa kecewa yang kurasakan dari nada suaranya.

Sampai di kontrakan, aku memutuskan untuk mencuci kaki tangan, mengganti pakaian, sholat Ashar dan tidur, aku harus sehat untuk memulai aktivitasku besok. Terkadang hanya saat seperti inilah aku rindu rumah, bermanja-manja pada nenek—akh! Dia sudah tiada.

Atau pada ibu, walaupun dia sering mengataiku, tapi ibu tetaplah seorang ibu yang akan memasak untukku kalau aku sakit. Aku pun tidak harus memaksakan diri, hanya untuk mencari sesuap nasi.

Aku tidur nyenyak, sampai sholat magrib pun sedikit terlewat. Bahkan, panggilan telepon dari bapak aku abaikan karena ingin tenang. Lalu, lanjut tidur di atas sajadah sampai Isya, setelah itu aku lanjut tidur lagi di kasurku.

Baru saja aku menarik selimut, ada orang yang mengetuk pintu dari luar. Malas rasanya berdiri lagi, tapi suara itu mengganggu sekali.

“Siapa?” tanyaku sambil berjalan lemah ke arah depan.

“Maaf, Dek! Mengganggu!” Itu Mas Ragil, yang langsung tersenyum begitu aku membuka pintu.

“Eh, Mas Ragil! Ada apa, ya?” aku terkejut melihat pria itu berdiri sambil membawa bungkusan.

“Ini, makan soto hangat dari warung perempatan! Katanya tadi nggak enak badan?”

Pria itu menerobos masuk sambil bicara, ia meletakkan bungkusan makanan di atas karpet tanpa menunggu aku persilakan. Aku terlalu lemah untuk melawan dan aku hanya mengangguk. Dia ke luar setelah itu.

“Kalau sudah makan, istirahat, ya! Semoga cepat sembuh!” katanya terkesan sok perhatian. Lalu, dia pergi tanpa menoleh lagi.

Aku memang belum makan dan biasanya beli nasi goreng kalau malam, tapi sekarang buat apa beli kalau tidak napsu makan. Namun, menghirup aroma soto itu, aku jadi ingin mencicipi.

Mas Ragil baik sekali, ini sekedar balas Budi atau karena dia sedang berusaha mencuri?

Mencuri hatiku maksudnya!

“Habislah aku kalau hatiku dicuri orang seperti itu!”

❤️❤️❤️❤️

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status