Home / Urban / Pelangkah Tanpa Syarat / Tubuhku Tidak Rela

Share

Tubuhku Tidak Rela

Author: El GeiysyaTin
last update Huling Na-update: 2023-07-13 13:31:23

Ah, yang benar saja!

Aku tanpa sadar telah memelototi Mas Ragil dari pintu yang sedikit terbuka. Tiba-tiba hatiku menyesal telah melemparkan segitiga pengaman itu hingga campur dengan pakaian lainnya.

Mas Ragil salah tingkah dan bingung, ia membuang muka saking malunya. Kulihat dia menggaruk kepala.

“Maaf, celana yang tadi, jatuh dan kotor, makanya nggak saya campurkan dengan yang lain!”

Nah, benar, kan dugaanku ... aku tidak terkejut tapi kesal.

Kalau celana itu basah, berarti pakaian lainnya juga ikut basah dan kotor, dong? Kenapa baru terpikirkan.

Ya Robbi! Selamatkan hamba-Mu ini dari rasa malu!

"Oh, eh, iya, gak apa, sekali lagi terima kasih!" Setelah berkata seperti itu aku pun segera menutup pintu, dari luar kudengar samar suara Mas Ragil mengucapkan kata-kata, "Ya, sama-sama!"

Lalu, aku segera mengangkat celana yang terkena lumpur itu.

Benar, kan! Baju yang lain ikut ketularan kotor. Akhirnya aku mencuci ulang semua pakaian yang terkena lumpur dari celana itu. Selama aku melakukannya, bayangan kejadian di teras dengan Mas Ragil yang mengulurkan dalamanku, terus berputar di kepala. Bahkan, membayangi aktivitasku selanjutnya.

Astaghfirullah!

Keesokan hari sejak peristiwa menjengkelkan itu, aku menjalani aktivitas dengan perasaan was-was agar tidak melihat tetangga laki-laki yang membuatku malu itu.

Bahkan, aku lewati setiap hari dengan perasaan itu hingga aku berharap tidak bertemu Mas Ragil lagi. Aku sengaja pergi ke pabrik lebih pagi, dan lembur hingga bisa pulang lebih malam. Selain untuk menghindarinya, aku ingin menambah tabungan.

Aku bersyukur tidak pernah bertemu Mas Ragil. Entah ke mana perginya orang itu, tapi timbul pertanyaan di hatiku, apa dia juga berusaha menghindariku?

Aku merasa lega karena tidak perlu takut atau bingung bagaimana bersikap kalau berpapasan dengannya. Kata Teh Nena, Mas Ragil mungkin pulang kampung, tapi pikiranku berkata kalau dia sebenarnya enggan melihatku juga.

Anehnya, kenapa tiba-tiba saja rasanya tak lengkap, setelah lama tidak melihat wajahnya.

Pada saat itu, aku mendapatkan panggilan dari bapak, perasaanku bilang kalau bapak mau bertanya soal orang itu.

“Nduk! Bener kata Pakde Yusro! Ragil itu rumahnya dekat kontrakan kamu!!” Bapak langsung bicara pada intinya, setelah aku mengucap salam.

“Baik, Pak! Nanti saya cari, kalau ketemu, Bapak mau pesan apa?"

“Salam aja dari Bapak, kalau bisa suruh dia ke rumah. Bapak mau jodohin dia sama kamu!”

Aku menarik napas yang tiba-tiba terasa berat, ucapan bapak membuatku heran sekaligus kesal. Aku sendiri tidak rela kalau tubuhku ini dimiliki oleh orang itu.

Eh, kan, belum tentu juga Ragil yang dicari bapak adalah orang yang sama dengan Ragil tetangga.

Masa, sih, Bapak tega menjodohkan anaknya dengan orang seperti dia.

“Memang apa bagusnya dia, sampai Bapak jodohin sama Mina?” Akhirnya aku tanyakan juga rasa penasaran di hatiku.

“Dia baik, Nduk! Kamu percaya, deh, kalau dia itu suami idaman wanita!”

“Bapak punya buktinya?”

“Kalau soal bukti, ya, tidak ada, tapi Bapak kenal baik dulu sama Bapaknya, Dokter Joko!”

Kudengar bapak menghela napasnya sebelum melanjutkan bicara.

“Dulu, Dokter Joko itu banyak berjasa waktu dia praktik di kampung kita! Nah, si Ragil itu pernah main juga sama kamu, karena kalian umurnya tidak jauh beda!”

“Oh! Ya, terserah Bapak saja, lah! Nanti Mina cari orangnya!”

Setelah itu, telepon di tutup dan aku tidak memikirkan ucapan Bapak. Setiap kali dia mengirim pesan tentang orang yang bernama Ragil itu, aku selalu menjawab tidak tahu.

Aku benar-benar tidak tahu, apakah Mas Ragil itu adalah orang yang dimaksudkan beliau, sedangkan aku pun malas bertanya. Di samping itu, aku takut kalau memang benar Mas Ragil adalah orang yang dicari Bapak, artinya aku akan dijodohkan dengannya.

$$$$$$$$$$$

Hari Jumat sore ini, aku pulang lebih cepat karena tidak enak badan, lalu turun dari angkot di depan rumah Teh Mela. Namun, sebelum berjalan kaki ke kontrakan, aku melihat Mas Ragil ke luar dari sana, sambil membawa bungkusan.

Jadi, pertemuan dengan Mas Ragil ini, pun tak bisa kuhindari. Dan, untuk pertama kalinya kami bertemu setelah kejadian celana dalam waktu itu. Walaupun, aku sudah tidak memikirkannya, tapi tetap saja malu rasanya.

Namun, rasa malu itu hilang seketika saat pikiran buruk menyeruak di otak kecilku.

Ada hubungan apa Mas Ragil dengan Teh Mela? Apa jangan-jangan—ah! Lupakan saja.

Lagi-lagi aku berusaha keras membuang jauh-jauh pikiran kotorku yang sempat melintas di kepala.

“Dek Mina!” itu Mas Ragil yang memanggil, rupanya dia mengikuti di belakangku, padahal aku sudah berjalan lebih cepat dari seekor kelinci. UPS! Kelinci melompat bukan berjalan.

Aku menoleh dan bertanya dengan ketus, “Ada apa?”

Aku kesal, entah kenapa aku tidak suka melihatnya ke luar dari rumah mewah Teh Mela yang merupakan wanita jablay, itu sih, orang yang bilang. Suaminya jarang pulang, karena harus mengurus perkebunan sawit di kabupaten Wakandan.

Aku hanya bertemu dengannya setiap kali dia menagih uang kontrakan. Padahal sudah kaya, anak pun tidak punya, tapi masih saja rajin menagih uang dari para penghuni kontrakannya, kenapa tidak dia hibahkan saja?

Kembali ke urusan Mas Ragil yang sekarang berjalan sejajar denganku.

“Hehe. Baru pulang, ya?” tanyanya.

Udah tahu, pake tanya.

“Iya! Maaf, saya duluan, lagi nggak enak badan!”

“Eh, iya!”

Entah kenapa ada rasa kecewa yang kurasakan dari nada suaranya.

Sampai di kontrakan, aku memutuskan untuk mencuci kaki tangan, mengganti pakaian, sholat Ashar dan tidur, aku harus sehat untuk memulai aktivitasku besok. Terkadang hanya saat seperti inilah aku rindu rumah, bermanja-manja pada nenek—akh! Dia sudah tiada.

Atau pada ibu, walaupun dia sering mengataiku, tapi ibu tetaplah seorang ibu yang akan memasak untukku kalau aku sakit. Aku pun tidak harus memaksakan diri, hanya untuk mencari sesuap nasi.

Aku tidur nyenyak, sampai sholat magrib pun sedikit terlewat. Bahkan, panggilan telepon dari bapak aku abaikan karena ingin tenang. Lalu, lanjut tidur di atas sajadah sampai Isya, setelah itu aku lanjut tidur lagi di kasurku.

Baru saja aku menarik selimut, ada orang yang mengetuk pintu dari luar. Malas rasanya berdiri lagi, tapi suara itu mengganggu sekali.

“Siapa?” tanyaku sambil berjalan lemah ke arah depan.

“Maaf, Dek! Mengganggu!” Itu Mas Ragil, yang langsung tersenyum begitu aku membuka pintu.

“Eh, Mas Ragil! Ada apa, ya?” aku terkejut melihat pria itu berdiri sambil membawa bungkusan.

“Ini, makan soto hangat dari warung perempatan! Katanya tadi nggak enak badan?”

Pria itu menerobos masuk sambil bicara, ia meletakkan bungkusan makanan di atas karpet tanpa menunggu aku persilakan. Aku terlalu lemah untuk melawan dan aku hanya mengangguk. Dia ke luar setelah itu.

“Kalau sudah makan, istirahat, ya! Semoga cepat sembuh!” katanya terkesan sok perhatian. Lalu, dia pergi tanpa menoleh lagi.

Aku memang belum makan dan biasanya beli nasi goreng kalau malam, tapi sekarang buat apa beli kalau tidak napsu makan. Namun, menghirup aroma soto itu, aku jadi ingin mencicipi.

Mas Ragil baik sekali, ini sekedar balas Budi atau karena dia sedang berusaha mencuri?

Mencuri hatiku maksudnya!

“Habislah aku kalau hatiku dicuri orang seperti itu!”

❤️❤️❤️❤️

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Perdamaian (TAMAT)

    “Tidak masalah Pak Anan! Saya faham soal ini, jadi jangan sungkan lagi pada kami!” jawab Yusro, semakin membuat lega perasaan semua orang yang ada di sana.“Iya, Mas Anan! Saya juga salah, sudah membuat anak saya tidak tenang di sana! Oh ya! Nak Abid, saya sudah memaafkan kesalahan kamu, kok!” kata Nuria.Akhirnya, semua pihak berdamai, karena tidak ada yang bisa dilakukan selain melupakan. Masa lalu tidak akan terasa menyakitkan jika semua orang bisa mengikhlaskan dan menyadari bahwa sang waktu tidak dalam kendali manusia.Nuria dan Yusro pun akhirnya merelakan, kalau Abid akhirnya dibebaskan. Mereka menyadari bahwa, tidak seharusnya mereka mengungkit kematian Ismawati setelah sekian lama waktu berlalu atas kematiannya. Ada hal yang menyakitkan bagi jasad anaknya kalau proses itu tetap dilakukan. Apalagi mereka memahami selama dua bulan proses penyelidikan itu berjalan, bahwa semua tidak terlepas dari kuasa Tuhan.Setelah proses penjelasan resmi dari pihak kepolisian selesai, sem

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Otopsi

    POV AUTHORMina memutuskan menginap karena Abid tidak pulang, tidak ada yang tidak tahu, apa yang terjadi karena Linda juga tidak bisa menghubungi suaminya. Ia sering tidak masuk kerja karena kondisinya, tapi ia sudah mendelegasikan pekerjaan kantor pada asistennya. Linda tidak mau meninggalkan karirnya walau keadaan diri dan suaminya seperti sekarang ini. Ia memang diandalkan oleh sang suami karena memiliki kompetensi. Apalagi Abid menyerahkan keputusan soal pekerjaan sepenuhnya pada, sang istri. Jadi, Linda bebas apakah ia tetap bekerja atau akan berhenti.Tanpa sepengetahuan istrinya, Ragil menghubungi seorang pengacara yang pernah ia kenal saat ayahnya masih ada. Semua demi berjaga-jaga kalau Mina membutuhkan pembelaan dari pengacara.Proses di kepolisian terus berjalan selama beberapa hari lamanya, demi penyelidikan yang harus terus di lakukan. Sementara Mina bergantian menjaga Linda dengan ibunya. Ia memilih menghindar kalau ibunya datang. Mereka melakukan giliran itu karen

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Sesuatu Untuk Linda

    “Jadi, Mas benaran mau nganterin aku ke mana pun aku mau?” aku bertanya sambil menutup dompetku kembali. Aku putuskan untuk membeli sesuatu nanti saja setelah melihat keadaan Linda dan membeli apa kiranya yang ia butuhkan.“Siap!” katanya seraya melakukan gerakan hormat. Kelihatan ya, kalau pengangguran sejati, pekerjaannya Cuma nganterin istri. Jadi, pasti dia mau nganterin aku untuk membeli kebutuhan Linda nanti.Sesampainya di rumah Linda, aku dibuat terkejut dengan keadaannya. Suasana sepi dan pintunya tidak dalam keadaan terkunci. Semua ruangan berantakan seperti baru saja ada peperangan. Aku menemukannya sesuai lokasi yang dibagikannya.Aku memberanikan diri masuk ke dalam sebuah ruangan yang aku pikir itu kamar Linda. Ternyata benar, adikku itu meringkuk di kamar.“Linda ...!” panggilku lembut. Aku baru saja hendak menyentuh tubuhnya saat tiba-tiba telepon dalam tas ku berbunyi nyaring. Aku berniat mematikannya agar tidak menggangu Linda. Namun, setelah kulihat nama

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Pengangguran Sejati

    Keesokan harinya, setelah sarapan, Teh Mela berpesan padaku agar tetap merahasiakan semuanya dan biarlah tetap berjalan seperti biasa.“Kenapa?” tanyaku, sebab jelas aku ingin mengatakan semuanya dengan segera, tapi justru dilarang.“Biar mereka nggak memanfaatkan kebaikan kita atau meminta agar sewanya diskon sama Ragil! Soalnya Ragil itu baiknya nggak ketulungan, bisa-bisa nanti semua orang minta potongan!”Alasan Teh Mela memang benar adanya, tapi selain itu, kalau bayaran sewanya kurang, maka dialah yang akan dapat akibatnya karena jatahnya berkurang.Aku bisa memakluminya, sebab Teh Mela memang bisa dikatakan sangat tergantung pada adik laki-lakinya. “Anakku ada tiga, di pesantren semua dan jauh, kalau saya nggak bantu suami membiayai mereka, kasihan juga, Mbak Mina tahu, kan, biaya anak pesantren berkualitas jaman sekarang berapa?”“Iya, Teh, biaya tahunannya itu yang memberatkan biasanya!” “Nah iya, kalau bukan suami saya yang dulu menghabiskan warisan ayah, mungkin sa

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Siapa Dia Yang Sebenarnya

    Mas Ragil pun kembali bercerita. Atas desakan sang ayah, akhirnya ia pun mau membeli mobil itu. Di kemudian hari ia baru tahu bahwa, itu mobil bekas dan sang ayah memintanya membeli karena pemiliknya sedang kekurangan uang.Dari cerita itu aku berpikir jangan-jangan rumah yang di tempati teh Mela juga miliknya.Jawaban dari dugaanku itu segera terjawab. Dan, ternyata benar, bahwa rumah besar yang sering dimasuki Mas Ragil—aku melihatnya sendiri keluar masuk ke rumah itu, adalah rumahnya. Bukan rumah Teh Mela.Saat aku sampai di kota, hari sudah malam dan tidak mungkin berkunjung ke rumah Linda. Sementara di kontrakan tidak ada garasi mobil, hingga Mas Ragil menyimpan mobil itu di garasinya.“Mas! Parkir mobil di sini! Tadi bilangnya nggak mau gangguin Linda, eh! Di sini ganggu Teh Mela!”“Nggak apa, dia sudah biasa!” jawab Mas Ragil, sambil melepas sabuk pengamannya. Aku mengikutinya dan turun, Mas Ragil membuka gerbang dan aku masuk untuk mengetuk pintu rumah, dengan niat me

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Sekarang Mulai Tahu

    “Memangnya, Abid kenapa, Bu?” tanyaku pada Ibu, seraya mendengar lebih serius di telepon.“Bagus kamu ya, langsung bisa tahu kalau Ibuk mau bicara soal Abid!” jawab ibu.Ibu Aku bisa menebak, sebab adik ipar yang bermasalah denganku ya, Abid. Tidak mungkin kalau Ismaya, kan? Kalau soal Landu, adikku itu mengirim kabar beberapa hari yang lalu. Adikku dan istrinya akan menetap di kota dan untuk sementara waktu tidak akan mengunjungi mertuanya. Entah kapan ia bisa bersikap kembali seperti biasa, setelah mengetahui masa lalu mertuanya.Walaupun, apa yang terjadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan Ismaya atau pun Landu, tapi, sikap menghindar dari kedua orang tua itu perlu. Apalagi, hanya untuk sementara waktu. Selain demi menata hati, juga demi kebaikan semuanya. Bayangkan saja kalau bertemu sementara hati belum memaafkan kesalahan masa lalu. Bisa jadi mereka akan terus membicarakan kekecewaan itu.Bagaimana Ismaya tidak kecewa kalau setelah mengetahui Ismawati tiada, ayahnya ju

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status