Home / Urban / Pelatih Renang Idaman Para Sosialita / Bab 151. Berakhir Di Ranjang (21+)

Share

Bab 151. Berakhir Di Ranjang (21+)

Author: WAZA PENA
last update Huling Na-update: 2025-10-25 09:17:04

Aku hanya bisa mengikuti langkah Bu Dewi menuju kamar. Setiap langkahku terasa berat. Ruangan itu seolah menelan semua suara dari luar, menyisakan hanya degup jantungku yang beradu dengan desah napas gugup. Aku tahu, seharusnya aku tidak di sini. Aku tahu apa yang akan terjadi jika aku terus diam. Tapi entah kenapa, tubuhku tidak bisa bergerak mundur.

Di dalam kamar, lampu remang berwarna kuning membuat suasana terasa lembap dan mencekam. Tirai tertutup rapat, hanya menyisakan sedikit celah dari mana cahaya jalanan masuk samar. Di sisi meja rias, Bu Dewi menatapku lewat pantulan cermin. Bibirnya melengkung, senyum itu tidak sekadar menggoda, tapi menekan.

"Dion," ucapnya pelan. "Kamu tahu, saya tidak memaksa. Saya hanya ingin ini selesai dengan cara baik. Setelah saya benar-benar hamil, saya janji tidak akan muncul lagi di hidup kamu."

Aku menelan ludah. Suaraku serak ketika menjawab, "Saya tidak yakin, Bu... saya takut ini malah menghancurkan segalanya."

Dia menoleh, melangkah mendek
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 163. Ancaman Bobi Kembali

    Sesampainya di kosan, aku duduk di tepi ranjang dengan kepala bersandar di dinding. Pikiran terus berputar, memutar ulang percakapan dengan Raka. Temanku itu sudah bersedia membantuku, menjadi perwakilan keluarga untuk menemui orangtua Bunga. Sejujurnya, aku sangat lega. Tapi di balik kelegaan itu, muncul rasa cemas yang pelan-pelan merayap seperti kabut dingin di malam hari."Kalau mereka tahu Raka bukan keluargaku... habislah aku," gumamku lirih.Aku memijat pelipis, berusaha menenangkan diri. Raka memang teman dekat, bahkan sudah seperti saudara sendiri. Tapi kalau nanti orangtua Bunga sampai tahu kebenarannya, mereka pasti merasa dibohongi. Dan kalau itu terjadi, semua yang sudah kujalani selama ini akan sia-sia.Kupandangi foto Bunga di layar ponsel, dia tersenyum manis, mata beningnya seperti tak tahu apa pun soal kekacauan yang kurasakan sekarang. "Aku cuma mau semuanya lancar, Bunga…" ucapku pelan. "Aku cuma mau kita benar-benar bahagia."**Pagi ini, udara terasa berat sejak

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 162. Penekanan Bu Dewi

    Dalam perjalanan pulang dari rumah Raka, pikiranku masih penuh dengan bayangan tentang Bunga dan orangtuanya. Aku sudah berjanji pada Bunga kalau semuanya akan segera diatur, tapi nyatanya sampai sekarang aku masih belum tahu harus bagaimana. Mobil yang kukendarai melaju pelan di jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan memantul di kaca depan, dan pikiranku melayang ke mana-mana.Tiba-tiba ponselku berdering. Saat kulihat nama yang muncul di layar, jantungku langsung terasa berat "Bu Dewi".Aku menghela napas panjang, lalu menjawab dengan nada datar, "Halo, Bu."Suara di seberang langsung terdengar lembut tapi menekan, "Dion, kamu di mana sekarang?""Dalam perjalanan pulang, Bu. Abis dari rumah temen," jawabku singkat."Jangan pulang dulu. Datang ke rumah saya sekarang. Ada yang ingin Ibu bicarakan," ucapnya tegas.Aku langsung terdiam. Rasa malas bercampur cemas mulai menyergap. Aku tahu setiap kali Bu Dewi memintaku datang, pasti bukan hal baik. Tapi menolak juga bukan pilih

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 161. Pembuktian Keseriusan

    Aku masih duduk di tepi kolam yang mulai gelap, lampu-lampu sudah dimatikan satu per satu. Udara malam terasa lembab dan dingin, tapi pikiranku justru semakin panas, berputar-putar pada satu hal yang sama, bagaimana caranya aku bisa memenuhi permintaan orangtua Bunga? Siapa yang akan menjadi perwakilan keluargaku?Aku mengusap wajahku yang mulai lelah. Aku benar-benar kehabisan akal. Keluarga pamanku sudah jelas menolak, bahkan memutuskan hubungan kalau aku masih bersikeras bersama Bunga. Kakek? Tidak mungkin. Aku tidak akan pernah menemui orang itu.Aku menatap pantulan diriku di air yang gelap. Bayangan itu tampak asing, seperti seseorang yang kehilangan arah. Aku menarik napas panjang. Tidak bisa terus begini. Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus bicara dengan seseorang yang bisa menilai dari luar, seseorang yang tidak terlibat dalam lingkaran rumit ini."Siapa yang harus aku percaya?" gumamku. "Paman sudah jelas-jelas melarang dan bahkan sekarang sampai Bobi menantang..."Setela

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 160. Janji Yang Tertunda

    Setelah latihan berakhir, kolam renang mulai sepi. Airnya tenang, hanya sesekali bergoyang lembut saat hembusan angin malam menyentuh permukaannya. Aku dan Bunga duduk berdampingan di tepi kolam, kaki kami masih basah, menggantung menyentuh air yang dingin. Lampu-lampu di sekitar kolam memantulkan cahaya kekuningan yang membuat suasana terasa hangat.Bunga terlihat bahagia. Rambutnya yang sedikit basah menempel di pipi, dan senyum itu, senyum yang selalu berhasil membuatku melupakan segalanya kembali muncul. Ia menatap ke arah air dengan pandangan yang lembut, lalu menoleh ke arahku."Kak, hari ini aku seneng banget, sumpah," ucapnya lirih tapi penuh perasaan.Aku ikut tersenyum, meskipun hatiku terasa berat. "Seneng kenapa emang?" tanyaku sambil berusaha terdengar santai."Soalnya Kak Dion kelihatan bahagia lagi. Aku takut aja akhir-akhir ini Kak Dion kayak banyak pikiran. Tapi sekarang kayak udah agak lega," ujarnya, menatapku dengan mata jernihnya.Aku menahan napas sejenak, lalu t

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 159. Ancaman Nyata Sepupu

    Setelah Bobi pergi meninggalkan café dengan tatapan penuh kebencian dan kata-kata ancaman yang menusuk, aku hanya bisa duduk terpaku. Gelas kopi di depanku sudah dingin, tapi tanganku masih gemetar memegangnya. Suara langkah kaki Bobi yang menjauh seolah masih terngiang di telingaku, bergema bersama kalimat terakhirnya yang terus mengulang di kepala. "Gua bakal hancurin hidup lu, Dion!" Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi dada terasa sesak. Aku tahu Bobi tidak sedang melebih-lebihkan. Dia bukan tipe orang yang mengancam tanpa maksud. Sejak kecil, Bobi selalu keras kepala dan tempramen. Kalau dia sudah marah, tidak ada yang bisa menahannya. Kali ini aku tahu masalahnya bukan sekadar adu mulut antar saudara. Ini sudah menyangkut harga diri, keluarga, dan perasaan. Dan aku berada di tengah-tengah pusaran itu. "Apa yang akan dia lakukan?" gumamku. Aku menyandarkan kepala di kursi, memejamkan mata sebentar, lalu menegakkan tubuh. Tidak ada gunanya berlama-lama d

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 158. Sepupu Menjadi Musuh

    Pagi itu aku duduk terhuyung di tepi ranjang, kopi yang belum sempat kuseduh sudah dingin di meja samping. Pikiran tentang siapa yang harus jadi perwakilan keluarga tiba-tiba bikin kepalaku berat. Aku hampir saja menunda berangkat ke kelab, berharap ada keajaiban yang muncul dan menyelesaikan semua masalah ini.Tapi dering ponsel memecah lamunanku. Nama "Bu Rani" di layar. Napasku tertahan sejenak, telepon dari Bu Rani jarang datang tanpa ada maksud penting, dan setiap kali dia menghubungi berarti sesuatu akan mengubah arah hariku. Aku mengangkat dengan tangan gemetar, membayangkan dia akan menyuruhku menemui Bu Dewi lagi."Halo, Bu? Kenapa?""Dion, kamu segera berangkat, ya? Ada yang tunggu di kelab," suara Bu Rani terdengar singkat, tegas."Siapa, Bu? Bu Dewi?" tanyaku, hampir terdengar putus asa."Bukan," jawabnya cepat. "Cepat saja, jangan lama-lama."Aku menutup telepon dengan perasaan aneh. Siapa yang menunggu? Kalau bukan Bu Dewi lantas siapa lagi? Tapi akhirnya aku bergegas un

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status