Share

Bab 152. Menagih Janji

Penulis: WAZA PENA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-25 10:13:51

Pukul 120:30 Aku duduk di tepi ranjang kos, menatap kosong ke dinding kamar yang lembab dan sepi. Suara detik jam terasa begitu keras di telingaku, seolah menghitung setiap detik yang membuat pikiranku semakin kalut. Aku tak bisa berhenti memikirkan satu hal, permintaan orangtua Bunga yang memintaku membawa keluargaku datang untuk membicarakan pertunangan.

Permintaan yang terdengar sederhana di telinga orang lain, tapi bagiku itu seperti beban yang begitu berat. Karena untuk memenuhinya, aku harus menatap masa lalu yang selama ini kuhindari. Masa lalu yang kutinggalkan dengan luka, amarah, dan kebencian.

Aku menunduk, mengusap wajahku pelan. "Apa aku harus kembali ke rumah itu?" gumamku pelan. Rumah tempat semua kenangan buruk tertinggal. Rumah tempat terakhir aku melihat ayah dan ibu sebelum semuanya berubah menjadi mimpi buruk yang tak pernah selesai.

Kakekku. Orang tua dari ibuku. Satu-satunya keluarga darah yang tersisa. Tapi juga orang yang paling kubenci di dunia ini.

Aku masih
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (1)
goodnovel comment avatar
DRIYANS TV
mual annjing laki kontol
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 161. Pembuktian Keseriusan

    Aku masih duduk di tepi kolam yang mulai gelap, lampu-lampu sudah dimatikan satu per satu. Udara malam terasa lembab dan dingin, tapi pikiranku justru semakin panas, berputar-putar pada satu hal yang sama, bagaimana caranya aku bisa memenuhi permintaan orangtua Bunga? Siapa yang akan menjadi perwakilan keluargaku?Aku mengusap wajahku yang mulai lelah. Aku benar-benar kehabisan akal. Keluarga pamanku sudah jelas menolak, bahkan memutuskan hubungan kalau aku masih bersikeras bersama Bunga. Kakek? Tidak mungkin. Aku tidak akan pernah menemui orang itu.Aku menatap pantulan diriku di air yang gelap. Bayangan itu tampak asing, seperti seseorang yang kehilangan arah. Aku menarik napas panjang. Tidak bisa terus begini. Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus bicara dengan seseorang yang bisa menilai dari luar, seseorang yang tidak terlibat dalam lingkaran rumit ini."Siapa yang harus aku percaya?" gumamku. "Paman sudah jelas-jelas melarang dan bahkan sekarang sampai Bobi menantang..."Setela

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 160. Janji Yang Tertunda

    Setelah latihan berakhir, kolam renang mulai sepi. Airnya tenang, hanya sesekali bergoyang lembut saat hembusan angin malam menyentuh permukaannya. Aku dan Bunga duduk berdampingan di tepi kolam, kaki kami masih basah, menggantung menyentuh air yang dingin. Lampu-lampu di sekitar kolam memantulkan cahaya kekuningan yang membuat suasana terasa hangat.Bunga terlihat bahagia. Rambutnya yang sedikit basah menempel di pipi, dan senyum itu, senyum yang selalu berhasil membuatku melupakan segalanya kembali muncul. Ia menatap ke arah air dengan pandangan yang lembut, lalu menoleh ke arahku."Kak, hari ini aku seneng banget, sumpah," ucapnya lirih tapi penuh perasaan.Aku ikut tersenyum, meskipun hatiku terasa berat. "Seneng kenapa emang?" tanyaku sambil berusaha terdengar santai."Soalnya Kak Dion kelihatan bahagia lagi. Aku takut aja akhir-akhir ini Kak Dion kayak banyak pikiran. Tapi sekarang kayak udah agak lega," ujarnya, menatapku dengan mata jernihnya.Aku menahan napas sejenak, lalu t

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 159. Ancaman Nyata Sepupu

    Setelah Bobi pergi meninggalkan café dengan tatapan penuh kebencian dan kata-kata ancaman yang menusuk, aku hanya bisa duduk terpaku. Gelas kopi di depanku sudah dingin, tapi tanganku masih gemetar memegangnya. Suara langkah kaki Bobi yang menjauh seolah masih terngiang di telingaku, bergema bersama kalimat terakhirnya yang terus mengulang di kepala. "Gua bakal hancurin hidup lu, Dion!" Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi dada terasa sesak. Aku tahu Bobi tidak sedang melebih-lebihkan. Dia bukan tipe orang yang mengancam tanpa maksud. Sejak kecil, Bobi selalu keras kepala dan tempramen. Kalau dia sudah marah, tidak ada yang bisa menahannya. Kali ini aku tahu masalahnya bukan sekadar adu mulut antar saudara. Ini sudah menyangkut harga diri, keluarga, dan perasaan. Dan aku berada di tengah-tengah pusaran itu. "Apa yang akan dia lakukan?" gumamku. Aku menyandarkan kepala di kursi, memejamkan mata sebentar, lalu menegakkan tubuh. Tidak ada gunanya berlama-lama d

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 158. Sepupu Menjadi Musuh

    Pagi itu aku duduk terhuyung di tepi ranjang, kopi yang belum sempat kuseduh sudah dingin di meja samping. Pikiran tentang siapa yang harus jadi perwakilan keluarga tiba-tiba bikin kepalaku berat. Aku hampir saja menunda berangkat ke kelab, berharap ada keajaiban yang muncul dan menyelesaikan semua masalah ini.Tapi dering ponsel memecah lamunanku. Nama "Bu Rani" di layar. Napasku tertahan sejenak, telepon dari Bu Rani jarang datang tanpa ada maksud penting, dan setiap kali dia menghubungi berarti sesuatu akan mengubah arah hariku. Aku mengangkat dengan tangan gemetar, membayangkan dia akan menyuruhku menemui Bu Dewi lagi."Halo, Bu? Kenapa?""Dion, kamu segera berangkat, ya? Ada yang tunggu di kelab," suara Bu Rani terdengar singkat, tegas."Siapa, Bu? Bu Dewi?" tanyaku, hampir terdengar putus asa."Bukan," jawabnya cepat. "Cepat saja, jangan lama-lama."Aku menutup telepon dengan perasaan aneh. Siapa yang menunggu? Kalau bukan Bu Dewi lantas siapa lagi? Tapi akhirnya aku bergegas un

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 157. Bayang-bayang Ancaman

    Aku masih menatap Bobi, dan untuk sesaat mata kami bertemu. Tatapan itu seperti pisau tajam yang menusuk dadaku. Aku tahu apa artinya, pengkhianatan. Dia pasti tahu. Atau setidaknya menebak.Aku akhirnya menuruti tarikan Bunga, melangkah menjauh dari tempat itu. Tapi langkahku terasa berat, seolah setiap tapak meninggalkan bekas luka baru di hati.Di belakangku, aku masih bisa merasakan pandangan Bobi yang membakar.Tatapan itu penuh amarah, kecewa, dan mungkin… kebencian yang akan sulit padam.Di dalam diriku, aku tahu satu hal, hari ini, sesuatu baru saja berubah. Dan sejak pertemuan itu, aku bisa merasakan semuanya akan menjadi jauh lebih rumit daripada sebelumnya."Sayang. kamu kenapa tiba-tiba naga keluar?" tanyaku."Aku tidak suka, karna ada dia!" jawabnya. "Kak Dion tahu? Tad itu pria yang mau dijodohkan sama aku."Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikiranku yang semakin kusut. Dalam hati aku tahu, semuanya sudah mulai tak terkendali. Aku dan Bunga kini berada

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 156. Masalah Tak Terduga

    Aku menarik napas panjang, lalu memaksa tersenyum. "Iya, sudah. Mereka setuju, kok."Bunga menatapku dengan mata berbinar, lalu tanpa pikir panjang memelukku erat. "Sumpah aku seneng banget, Kak! Aku takut kalau keluarga kamu gak mau. Tapi ternyata…"Pelukannya hangat, tapi aku justru merasa dingin. Dingin sampai ke tulang.Aku menatap kosong ke dinding, tangan memeluknya balik tapi hatiku menangis.Kalimat yang barusan keluar dari mulutku adalah kebohongan terburuk yang pernah kulakukan pada Bunga.Dia melepas pelukannya perlahan, menatapku dengan senyum manis. "Kamu beneran ya, Kak, serius sama aku?"Aku menelan ludah, lalu mengangguk. "Iya, Bunga… Aku serius banget."Bunga menatapku lama, seolah ingin memastikan. Lalu dia tersenyum lagi, memegang tanganku. "Makasih ya, Kak. Kamu gak tahu seberapa bahagianya aku sekarang."Aku terkekeh pelan, tapi di dalam hati aku hancur. "Kalau kamu tahu kebenarannya, Bunga… kamu pasti gak akan pernah lihat aku dengan senyum seperti itu lagi."Beb

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status