بيت / Urban / Pelatih Renang Idaman Para Sosialita / Bab 168. Ancaman Bobi Begitu Nyata

مشاركة

Bab 168. Ancaman Bobi Begitu Nyata

مؤلف: WAZA PENA
last update آخر تحديث: 2025-11-07 23:14:24

Begitu keluar dari rumah Bu Dewi, aku tak ingin memikirkan apa pun lagi. Pikiranku sudah cukup kusut. Jadi tanpa banyak pertimbangan, aku langsung menuju kelab. Kupikir latihan pagi bisa sedikit menenangkan kepala. Tapi belum sempat aku menurunkan tas dari motor, ponselku berdering. Nama 'Bunga' muncul di layar.

Aku sempat tersenyum kecil, tapi senyum itu langsung lenyap ketika kudengar nada suaranya.

"Kak Dion… bisa datang ke kafe sekarang? Aku perlu bicara," suaranya pelan, tapi ada getar yang membuat dadaku ikut menegang.

Aku sempat terdiam beberapa detik sebelum menjawab, "Ada apa, Bunga? Kamu kenapa?"

"Datang aja dulu, Kak. Penting..."

Nada itu cukup untuk membuatku langsung sadar, ada sesuatu yang tidak beres.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung menyalakan motor lagi. "Baik, aku ke sana sekarang."

Sepanjang jalan menuju kafe, pikiranku terus berputar. Aku berharap ini bukan hal buruk. Tapi entah kenapa, hatiku merasa tidak enak. Rasa khawatir itu makin kuat, apalagi kalau men
استمر في قراءة هذا الكتاب مجانا
امسح الكود لتنزيل التطبيق
الفصل مغلق

أحدث فصل

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 178. Siapa Pelakunya

    Pagi harinya aku terbangun lebih cepat dari biasanya. Matahari bahkan belum naik sepenuhnya, tetapi kepalaku sudah penuh dengan satu pikiran yang mengganggu sejak semalam: seseorang mencoba mencelakakanku. Aku masih bisa merasakan dinginnya keringat di tengkuk saat mengingat bagaimana mobil itu tiba-tiba muncul dari arah belakang, melaju kencang, seakan memang berniat menabrakku.Aku mengusap wajah, mencoba menenangkan napas. "Aku nggak bisa diam aja. Raka harus tahu." Dia sahabatku sejak lama, orang yang paling mungkin bisa bantu berpikir jernih.Setelah mandi seadanya dan minum sedikit air, aku langsung mengambil kunci motor. Jam di dinding menunjukkan pukul enam lewat sepuluh. Terlalu pagi memang, tapi perasaan gelisah itu membuatku tidak bisa menunggu lebih lama.**Sekitar pukul tujuh kurang, aku sudah berdiri di depan pagar rumah Raka. Rumahnya yang tak sederhana, dan selalu terasa hangat. Aku mengetuk pagar pelan.Tak lama kemudian, pintu depan terbuka dan Raka muncul sambil me

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 177. Siapa Pelakunya

    Tubuhku terhentak ke depan, sabuk pengaman menarikku kembali. Bodi belakang mobilku tergoncang keras.Dia menabrak..Orang itu sengaja menabrakku.“Gila!” aku mencengkeram setir kuat-kuat. “Dia gila?!”Aku langsung membelokkan mobil ke jalur kiri, berharap mobil itu tidak mengikuti. Tapi mobil hitam itu malah menambah kecepatan, dan beberapa detik kemudian...DUAK!Tabrakan kedua.Mobilku oleng. Aku hampir kehilangan kendali.“Brengsek! Apa dia mau bunuh aku?!”Napas mulai memburu. Keringat dingin mengalir di dahi. Pikiran kacau. Tubuh tegang seperti tali yang siap putus.Tapi aku tidak bisa berhenti. Tidak sekarang.Aku memaksa mobil untuk menambah kecepatan lagi, meskipun getaran dari bodi belakang membuat setir terasa tidak stabil.Aku melihat belokan tajam di depan.Jika aku bisa masuk ke sana lebih cepat. Jika dia terlambat sepersekian detik…Aku memutar setir dalam-dalam. Ban berdecit. Mobil meluncur masuk ke jalan sempit menuju area pertokoan kecil.Mobil hitam itu… sedikit terl

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 176. Nyawa Dalam Bahaya

    Aku menginjak gas lebih dalam. Mobil meraung dan melaju lebih cepat. Jarak mobil kami dengan mobil hitam itu sedikit menjauh, tapi masih terlihat. Tidak terlalu jauh untuk disebut kebetulan.“Kak, ini bahaya…” Bunga menutup mulutnya, tubuhnya mulai gemetar.“Tenang. Kita hampir sampai daerah rumah kamu. Aku bakal bawa kamu pulang dulu.”“Kalau itu orang berniat jahat? Kak Dion kenapa sih dia ngikutin kita?” Bunga sudah hampir menangis.Aku tidak bisa menjawab. Aku tidak bisa mengatakan bahwa mungkin Bobi sedang mengawasiku. Atau seseorang yang dikirim oleh orang yang selama ini diam-diam memerhatikanku. Atau bahkan… orang yang ingin Bu Dewi hancurkan.Tidak. Semua itu tidak boleh keluar dari mulutku.Jalan semakin sepi. Tidak ada mobil lain. Tidak ada orang.Hanya kami… dan mobil hitam itu.Aku menurunkan gigi, kembali menekan pedal gas.Mobil kami melaju cepat melewati jalan menurun kecil, dan aku sengaja mengambil belokan tajam ke arah yang bukan jalur menuju rumah Bunga. Aku ingin

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 175. Ancaman Mendadak

    Aku refleks menoleh ke arah Bunga dengan wajah yang pasti kelihatan bodoh saat ia bilang 'hotel', dan begitu ia tertawa pelan, aku ikut tertawa malu. Padahal sebenarnya, hatiku masih belum tenang sejak siang tadi. Tapi Bunga… kehadirannya memang selalu bisa sedikit menurunkan beban yang menggumpal di kepala."Kamu serius mau ke hotel?" Aku sedikit kaget.Bunga langsung terkekeh, lalu berkata, "Ya enggak dong, Kak... Aku kan ngajak belanja, berarti ke mall dong."Setelah beberapa saat. Kami melaju perlahan di jalan raya yang mulai ramai dengan lampu kendaraan. Udara malam berembus dari jendela mobil, cukup sejuk, cukup untuk menenangkan pikiranku yang sedari tadi penuh dengan jebakan Bu Dewi, permohonan manja-manjanya, dan ketakutan soal masa depan.“Kak,” Bunga memecah hening kecil di antara kami. “Jujur aku senang banget Raka mau jadi perwakilan keluarga kakak nanti. Orangtuaku juga bilang mereka nggak keberatan. Semoga semuanya lancar ya.”Aku mengangguk, mencoba menampilkan senyum

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 174. Ada Apa Di Hotel

    Waktu terasa berjalan lambat sore ini. Jarum jam di dinding ruang tamu rumah Bu Dewi menunjukkan pukul lima lewat sedikit. Cahaya matahari sudah mulai redup, menembus tirai jendela dan menciptakan bayangan lembut di lantai marmer. Aku menatap jam itu berkali-kali, berharap bisa segera berpamitan tanpa menyinggung perasaannya.“Bu, sudah sore,” ucapku pelan, berusaha menjaga nada bicara agar tetap sopan. “Saya pamit dulu ya. Takutnya malam nanti keburu hujan di jalan.”Bu Dewi, yang sedari tadi duduk tenang di sofa dengan senyum samar di wajahnya, menoleh perlahan. “Kamu nggak mau makan dulu?” tanyanya lembut. “Aku udah siapin makanan.”Aku menelan ludah. Sebenarnya, aku ingin menolak. Bunga pasti sudah menungguku. Tapi di sisi lain, aku tahu bagaimana perasaan Bu Dewi hari ini, dia terlihat bahagia, tapi juga rapuh. Dan kalau aku menolak begitu saja, mungkin saja dia merasa tersinggung atau… kembali melakukan hal yang tidak kuduga.Akhirnya aku mencoba tenang, menarik napas panjang da

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 173. Dia tetap Menjerat

    Aku duduk di ujung sofa, kedua tanganku saling menggenggam di atas lutut. Udara ruang tamu Bu Dewi terasa semakin berat, seperti ada sesuatu yang menekan dadaku. Dari tadi aku berusaha mencari cara yang halus untuk pergi, tapi setiap kali pandanganku bertemu matanya, bibirku kelu.Dia duduk di sebelahku, menatapku dengan senyum lembut yang entah kenapa justru membuatku gugup. “Kamu nggak apa-apa, Dion?” tanyanya pelan. “Kok diam aja?”Aku menghela napas panjang. “Saya cuma takut, Bu.”“Takut apa?”“Takut… kalau saya pergi sekarang, nanti Ibu marah.”Dia menatapku lama, lalu tertawa kecil. “Marah? Aku nggak akan marah, Dion. Aku cuma pengen kamu di sini lebih lama, itu aja. Tapi kalau kamu takut, ya sudah…” ucapnya dengan nada yang justru terdengar seolah menguji.Aku tahu maksud di balik kalimatnya. Bu Dewi memang tidak mengancam secara langsung, tapi aku bisa merasakannya, kalau aku menolak, dia bisa saja melakukan sesuatu yang membuat semuanya berantakan.Aku menelan ludah, lalu ber

فصول أخرى
استكشاف وقراءة روايات جيدة مجانية
الوصول المجاني إلى عدد كبير من الروايات الجيدة على تطبيق GoodNovel. تنزيل الكتب التي تحبها وقراءتها كلما وأينما أردت
اقرأ الكتب مجانا في التطبيق
امسح الكود للقراءة على التطبيق
DMCA.com Protection Status