LOGINBunga masih membeku di atasku. Nafasnya pendek-pendek, dadanya naik turun cepat. Aku bisa merasakannya, karena tubuh kami benar-benar menempel. Bahkan bagian paling sensitifku masih terjebak di antara paha dan selangkangan swimsuit-nya.
Dan rasanya makin tenggelam setiap detik. Aku perlahan mengangkat tubuhnya, memiringkannya agar gesekan tidak semakin memperburuk keadaan. Tapi itu hanya membuat lengannya menyentuh dadaku, dan saat bagian bawah tubuh kami bergeser, kejantananku yang tegang itu tanpa sengaja menyapu lembut seluruh permukaan intim di balik swimsuit-nya. Dari bawah ke atas. “Ahhn…” Lenguhnya lolos begitu saja. Aku merasakan tubuhku bereaksi makin keras, denyutnya sakit. Dia masih diam. Tidak berkata-kata. Tapi kulitnya panas. Tubuhnya tidak menolak. Dan itu membuat pikiranku makin kacau. Kami berhasil berdiri. Tapi keheningan di antara kami terdengar lebih bising dari suara cipratan air. Bunga menunduk dalam, kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri. Wajahnya merah. Bahunya naik turun. Dia menggigit bibir. Aku tahu aku harus bicara. Harus ambil alih. Karena kalau aku diam, aku bisa kehilangan kendali lagi. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu bicara dengan suara yang terdengar lebih pelan dari biasanya. “Maaf…” Dia menoleh sedikit, menunggu. “Sepertinya aku nggak bisa lanjut hari ini.” Mata Bunga membesar, tapi aku buru-buru melanjutkan, tidak memberinya kesempatan bicara. “Sesi ini tidak akan dipotong, akan kutanggung atas namaku karena aku yang nggak bisa fokus ngajarin kamu, maaf...” Dia masih diam, bibirnya terbuka, tapi tak jadi bicara. Namun aku yang sedang tak karuan, bergegas menuju ruang ganti. Aku paham, dan aku mengerti, dia pasti bingung. Bahkan bisa aja kecewa denganku. Tapi … kecelakaan tadi membuatku sadar, sangat salah bagiku untuk berpikiran tidak senonoh padanya padahal niatnya adalah untuk belajar. Beberapa saat setelah berada di ruang ganti. Aku duduk, mencoba menenangkan diri. Nafasku masih berat, dan kejadian tadi masih tergambar jelas di pikiranku. Imajinasiku makin liar. Kemolekan tubuhnya, kecantikan, buah dadanya yang besar itu terus mengisi kepalaku. Hasrat birahiku makin membara. Tidak bisa menahan diri, tanpa pikir panjang aku segera masuk ke kamar mandi, melepaskan semua yang melekat di tubuhku. Di bawah guyuran shower, aku melakukannya sendiri, mencoba melepaskan hasrat yang tak kunjung reda. Tanganku bergerilya, dengan imajinasi tubuh Bunga yang montok itu. Hingga beberapa menit kemudian aku merasakan ada dorongan, aliran darahku memuncak. Dan... "Argggh..." Aku mengerang saat tubuhku melepaskan sesuatu yang sejak tadi membelenggu. Aku tersengal-sengal. Ada rasa lega ketika sudah selesai melakukan itu. Akan tetapi, tiba-tiba aku merasa menyesal. "Gua rasa Bunga gak bakalan mau lagi dilatih sama gua," batinku. "Kenapa gua nurutin perkataan Arief? Harusnya ini semua gak gua lakuin." Batinku menceramahi, harusnya aku tidak boleh percaya dengan omongan orang yang baru dekat. Bisa saja dia menyarankan sesuatu yang justru menjerumuskan aku ke dalam kasus yang tidak seharusnya terjadi. Seperti di masa lalu. Aku memukul tembok shower, frustrasi. Aku sudah melewati batas. Kalau Bunga nggak balik lagi besok, aku nggak bisa menyalahkannya. Dan kalau sampai Bu Rani tahu… semuanya tamat. Tepat di saat itu, tiba-tiba aku mendengar suara pintu kamar mandi lain terbuka. Refleks, aku menoleh ke arah pintu dari balik partisi shower, lalu berseru, “Bang Arief?” Kupikir itu dia. Terakhir kulihat, Arief masih di area pinggir kolam, ngobrol dengan staf. Sampai aku masuk ke ruang ganti pun belum kelihatan dia balik. Jadi kupikir... mungkin ada barangnya yang tertinggal? Handuk? Botol minum? Tapi anehnya, tidak ada suara khas langkah kaki Arief yang berat dan cepat. Yang terdengar justru… pelan. Ragu-ragu. Dan terlalu ringan. Alisku mengerut. Cepat kumatikan shower sebelum kuraih handuk dan kulilitkan di pinggangku. Selesai melakukan itu, aku melangkah keluar dari bilik untuk melihat siapa yang baru saja datang dan bersikap begitu mencurigakan. Dan saat itu juga, aku sedikit kaget melihat sosok yang hadir di depan mata. “Bunga?!” Dia berdiri menatapku, dengan tubuh yang hanya memakai handuk. Mataku mulai liar, bagian atas buah dadanya terpampang jelas, begitu juga bagian pahanya yang putih mulus. Aku menelan ludah. “Bunga? Kamu… ngapain di sini?” suaraku serak. “Ini kamar mandi pelatih. Kamu gak salah tempat?” Saat mengucapkan itu, aku tahu, tidak mungkin dia salah tempat. Sudah berapa kali Bunga datang ke tempat ini, bagaimana mungkin dia bisa salah tempat?! Kepala Bunga sedikit menunduk, wajahnya merah. Tapi matanya… menatapku langsung. Tegas. Lurus ke arah tubuhku yang baru saja keluar dari shower. Langkah kakinya perlahan mendekat. Merasa ada yang tidak beres, aku melangkah mundur. Satu langkah. Dua langkah. Sampai punggungku menempel ke dinding keramik yang dingin. Bunga berhenti tepat di depanku. Jarak kami… tinggal satu tarikan napas. Lalu dia berkata lembut, “Kak Dion… apa aku bisa minta sesi tambahan?” Dia bertanya dengan lembut, terdengar malu-malu, tetapi begitu menggoda. Aku menelan ludah dengan ucapannya. "Maksud kamu—?" Tiba-tiba dia meletakkan telunjuknya di bibirku. Wajahnya semakin mendekat, mata indahnya menatap begitu dalam. Bahkan dia seperti sengaja membusungkan dadanya, hingga mataku langsung tertuju pada belahan payudaranya yang besar dan tampak basah. Tidak lama berselang, dia mengucapkan sesuatu. "Aku ingin kak Dion melayani aku," bisiknya lembut. *****Satu minggu terakhir terasa seperti satu bulan penuh penantian yang menyesakkan dada. Setiap pagi aku bangun dengan harapan kecil bahwa hari itu akan ada kabar dari Bunga. Setiap malam sebelum tidur aku menatap layar ponsel, berharap ada pesan atau panggilan darinya, tapi nihil. Nomornya tetap tidak aktif. Aku terus berjuang menenangkan diriku sendiri, tapi setiap detik yang berlalu justru menambah kecemasan.Raka selalu berusaha menghiburku. Di ruang tamu, di dapur, bahkan saat kami makan atau sedang sekadar duduk di teras, dia tidak pernah berhenti mengatakan hal yang sama:“Tenang. Pak Aditya pasti akan cari tahu sendiri. Percaya saja.”Aku mencoba percaya. Tapi rasa rindu dan khawatir bercampur jadi satu, membuat dada ini berat. Entah apa yang dilakukan Bunga, apa dia baik-baik saja, atau apa dia masih memikirkan aku.Malam ini, aku dan Raka sedang duduk di ruang tamu. Televisi menyala, tapi tidak ada satu pun yang benar-benar kami tonton. Pikiranku tidak berada di sini. Jauh mela
Aku terdiam lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Gue bakal coba ngomong sama Andini besok,” kataku lirih. Raka tersenyum puas. “Good. Itu langkah pertama yang paling penting sekarang.” Aku menatap lampu-lampu kota yang lewat di jendela mobil. Di kepalaku hanya ada satu harapan. "Semoga semua ini benar-benar bisa menyelamatkan aku dan Bunga." *** Pagi ini aku bangun dengan perasaan yang benar-benar kacau. Rasanya perutku seperti dipelintir sejak tadi malam, sejak aku dan Raka pulang dari rumah Pak Aditya dan diusir begitu saja meski sudah membawa bukti nyata tentang kelakuan Bobi. Raka bilang aku harus tetap tenang, bahwa cepat atau lambat Pak Aditya pasti akan mencari tahu sendiri siapa Bobi sebenarnya. Tapi hati aku tetap gelisah. Sampai sekarang ponsel Bunga masih tidak aktif, dan itu membuat pikiranku semakin nggak karuan. Aku sudah rapi sejak jam tujuh pagi. Hari ini aku harus menemui seseorang, tak lain Andini. Yang dulu dijuluki “ratu es”. Yang dulu dingin, tegas,
"Heh! Kalian pikir saya buta? Zaman sekarang orang bisa membuat foto apa saja, dan saya yakin ini cuma editan!" bentak pak Aditya.Aku hanya diam. Raka kembali meyakinkan. "Pak. Sumpah demi apa pun, ini foto asli, pelayan hotel yang memfoto langsung, jika semalam Bobi bersama perempuan lain.""Cukup! Saya tidak mau mendengar omong kosong kalian! Bobi itu lelaki yang pantas untuk Bunga, tidak seperti dia!"Aku langsung menunduk saat pak Aditya menunjuk ke arahku.Raka mencoba mengeluarkan bukti berupa rekaman, dan aku berharap itu bisa meyakinkan pak Aditya. Akan tetapi, lagi-lagi pak Aditya mengelak. "Saya tidak percaya sama kalian! Sekarang pergi! Jangan injakan kaki lagi di sini!"Deg!Hatiku terasa hancur mendengar perkataannya. Raka melihat ke arahku, lalu menarik tanganku. "Ayo, Yon. Kita pergi."Aku hanya bisa diam berjalan menuju mobil dengan langkah gontai. Udara pagi yang seharusnya menenangkan justru terasa seperti menghimpit dadaku. Suara bentakan Pak Aditya masih menggema
Malam semakin larut. Lampu ruang tamu rumah Raka hanya tinggal satu yang menyala, redup, tapi cukup membuat ruangan tidak terasa kosong. Raka berdiri sambil meregangkan tubuhnya.“Yon, udah. Lo istirahat dulu. Jangan mikir macam-macam lagi. Besok semua kita selesain bareng-bareng,” katanya sambil menepuk bahuku.Aku hanya mengangguk pelan. “Iya, Ka. Makasih.”“Kasur tambahan gue taruh di kamar sebelah. Lo tidur duluan. Gue mau mandi sebentar,” ujarnya sebelum akhirnya melangkah menuju kamarnya.Tinggal aku sendiri di ruang tamu.Aku bersandar di sofa, memeluk bantal kecil, mencoba menenangkan napas yang terasa naik turun tak beraturan. Gelisahku tidak berkurang sedikit pun… bahkan setelah mendengar semua keyakinan Raka. Ada ruang kosong dalam dadaku yang tidak bisa diisi selain oleh satu hal, atau lebih tepatnya, satu orang. "Bunga."Nama itu terus menari dalam pikiranku. Setiap kali aku berpikir tentangnya, dadaku selalu terasa panas sekaligus perih. Rasa takut terus mencengkeramku.
Setengah perjalanan pulang, Raka melambatkan mobil karena lampu merah. Di momen itu, dia kembali bicara.“Lo ingat, Yon? Waktu Bunga cerita kalau Bobi pernah bikin dia nggak nyaman? Itu aja udah cukup jadi alasan buat Pak Aditya hati-hati sama dia. Tapi kenyataannya malah kebalik.”Aku mengangguk, meskipun angin dingin malam membuat tengkukku menegang. “Yah, gue ingat. Bunga pernah bilang Bobi terlalu memaksa. Dan gue yakin, kalau ada apa-apa tadi… Bunga pasti takut.”Raka mendengus kesal. “Makanya besok gue yang bicara. Lo kan tipe kalem, kalau ditekan pasti diam. Biarin gue yang ngomong. Biar dia dengar versi kita.”Aku tersenyum tipis, meski hatiku masih terasa gelisah. “Makasih, Ka. Kalau bukan lo, gue mungkin sudah menyerah sejak tadi.”Raka tertawa kecil. “Santai saja. Gue ini kan sahabat yang baik.”Mobil kembali melaju ketika lampu berubah hijau. Suara angin kembali mendominasi.Sesampainya di rumah Raka, suasana malam terasa lebih tenang. Rumahnya diterangi lampu kuning hang
Begitu kami parkir, Raka langsung menarik napas panjang dan menatapku serius.“Dion, lo ikut gue. Kita tanya dulu ke petugas hotel. Tapi inget, jangan emosi,” ucapnya.Aku mengangguk walau dada masih terasa sesak. Kami turun dari mobil dan berjalan cepat menuju lobi hotel. Ruangan itu wangi, dingin, mewah, kontras sekali dengan kepanikan yang kurasakan di dalam diri.Begitu tiba di meja resepsionis, Raka memberi isyarat agar aku bicara.Aku menelan ludah, memaksa suaraku stabil. “Permisi… saya mau nanya. Ada tamu atas nama Bobi Pranata?”Petugas hotel mengecek daftar. Lalu mengangguk sopan. “Betul, Pak. Ada.”Dadaku langsung berdegup makin keras. “Dia… dia datang sama seorang perempuan?”Petugas itu kembali membuka buku daftar. “Iya, Pak. Tamu tersebut check-in dengan satu orang pendamping perempuan.”Aku tercekat. Aku mencondongkan tubuh, bertanya dengan napas tak beraturan, “Siapa… siapa nama perempuan itu?”Petugas itu melihat lagi daftar registrasi, lalu menjawab tanpa ragu, “Atas







