Afie terus berlari menuruni tangga rumah sakit dengan napas memburu dan mata yang basah.
Suara derap langkahnya menyatu dengan gemuruh di dalam dadanya. Dunia seperti runtuh semalam, dan pagi ini hanya memperjelas reruntuhan itu. Ponselnya bergetar berkali-kali, namun ia tak peduli. Nama Gian berulang kali muncul di layar, dan setiap kemunculannya hanya membuat luka itu terasa terbuka kembali. Ia keluar dari pintu darurat ke area parkir belakang rumah sakit, lalu berhenti, memegangi lututnya yang gemetar. Tangisnya pecah lagi, seperti sungai yang tak sanggup lagi menahan air bah. Gian mengejarnya sampai halaman rumah sakit. Wajahnya panik, napasnya tak beraturan. begitu melihat Afie berdiri di sana, dengan wajah sembab dan tubuh terguncang, ia berhenti. Seolah tak punya hak untuk lebih dekat. "Sayang....." suaranya berat, pelan.Setelah pertengkarannya di ruang rapat, siang itu di kantor Venus Enterprise terasa makin panas meski AC menyala. Cahaya matahari menyembul di sela-sela korden, membuat debu terlihat menari di udara. Suara ketukan keyboard, dan bunyi printer mengeluarkan bunyi kecil seakan menghancurkan ketenangan hati Afie, tapi ia tetap duduk di kursinya, menunduk, menahan semua yang ingin keluar. Di balik ketegangan dan kemarahan yang ada selama ini, sesungguh hatinya sangat merindukan Gian. Bukan hanya sebagai bos, tapi sebagai pria yang dulu membuatnya merasa aman. Dia rindu ketika Gian tersenyum, menatap nya dengan penuh cinta, mencium tangannya ketika mereka pulang lembur bersama. semua itu seakan hancur oleh sikap Gian yang makin hari makin kasar.Sikap cemburunya makin diluar nalar, . padahal kalau di fikir fikir dia sendiri yang telah memulai segalanya. Sikap egois yang merasa dirinya tidak bersalah dengan manta
Di dalam ruang kaca Venus Enterprise , hati dua insan di saput mendung, bahkan siap meledak. Afie sedang duduk di mejanya, menggenggam mug kopi yang mulai dingin. Laporan klien dari Bali terbengkalai karena revisinya sudah tiga kali ditolak. "Apa maunya dia, atau dia sengaja menyiksaku. Revisi beulang ulang, aku dibuatnya seperi orang bodoh" Tangan kiri Afie mengetik, sementara pikirannya terus melayang ke beberapa hari terakhir. kata-kata yang dilontarkan Gian, tatapannya yang menusuk, kata “tidak becus” yang menggema hingga ke dalam tulang sakitnya. Karena kesal, Afie lalu menutup laptopnya. Ia berusaha meredam amarahnya dengan meneguk kopi, mencoba mengumpulkan ketenangan. Tak lama, ia melihat Gian berjalan cepat melewati lorong. Langkahnya berat, dan sepertinya ia sedang menahan emosi. "Apalagi yang membuatnya kesal. Apa sebentar lagi akan terjadi ledakan" Setelah m
Sore tiba dengan langit berawan. Lampu-lampu di kantor mulai menyala satu per satu. Udara lembap, suara AC berdengung halus, mewarnai berbagai aktivitas padat di meja kerja karyawan. Afie masih duduk sembari menyelonjorkan kaki yang mulai terasa lelah. tak sengaja indra penglihatannya tertuju pada layar laptop. pesan masuk, presentasi untuk klien luar negeri sudah harus dikirim besok pagi. "Untungnya materi presentasi telah rampung ku buat. terkadang Klienpun membuat orang jadi jungkir balik, sesuka sukanya mereka. ." Afie hampir selesai merampungkan laporan bulanan, tinggal merapikan grafik dan memastikan data final. Kantor sudah sepi kecuali beberapa staff yang lembur. Di ruang rapat , Gian berdiri lalu mengatur dokumen-dokumen proyek, memikirkan ulang rencana kerja selanjutnya. Afie hari ini absen tidak mengikuti rapat internal. Setelah karyawannya keluar, Gian menyand
Venus Enterprise pagi ini nampak sangat ramai, tapi tidak untuk Gian dan Afie, ada beban tak terlihat yang memenuhi fikiran masing masing. Afie masuk dengan berjuta pikiran yang berkecamuk, rapat eksternal, revisi proposal, timeline yang terus melebar. semua menunggu, dan harus di selesaikan dengan sempurna dan maksimal.. Gian sudah menunggu di ruang rapat, dokumen sudah di tangan, ekspresinya nampak sangat serius. Gian mengangkat kepala ketika Afie masuk. “Afie, duduk di sini,” katanya sambil menunjuk kursi di samping mejanya. Afie ragu, namun tak urung sebagai sekretaris, ia tahu harus menjalankan tugas. Dengan langkah pasti, ia duduk di kursinya dalam diam. Gian membuka laptopnya dan menunjuk ke slide presentasi yang belum selesai. “Kita punya proyek baru untuk klien Borneo, mendesak, nanti aku mau kamu masuk ke tim inti,” katanya na
Pagi itu udara di Venus Enterprise terasa makin berat bagi Afie. Cahaya lampu ruang kerja dan tumpukan kertas yang menggunung tak cukup mengusir rasa sesak di dadanya. Seolah setiap bunyi keyboard adalah ketukan yang mengingatkan pada bayangan Gian. Afie berjalan menuju mejanya dengan setelan rapi, kopi di tangan kiri, tas kerja di sisi kanan. Wajahnya diam tapi hati berdengung. Di ruangannya Gian duduk menatap layar monitor, rapat sudah menunggu, tapi semua data yang tampak di layar hanya bayangan karena pikirannya tertuju hanya pada Afie. Afie keluar dari ruang sekretariat dengan map terbaru di tangannya. Laporan revisi sudah selesai. Ia hendak menuju ruang rapat untuk menyerahkannya. Tiba‑tiba dari sisi koridor, Kaisan muncul, membawa secarik catatan kecil dari tim klien. “Kau sepertinya betul betul sibuk hari ini Fie” sapanya menyodorkan catatan itu.
Pagi di kantor Venus Enterprise terasa berat. Suara ketukan keyboard, gelas kopi beradu, tawa ringan di sudut ruangan, semua terdengar biasa. Tapi tidak bagi Gian, setiap suara adalah pengingat bahwa Afie ada di sana, bekerja, bergerak, tapi tak pernah memberi ruang yang dulu pernah ia miliki. Gian melirik jam di dinding. Lima menit menuju jam istirahat. Ia sudah menyiapkan strategi. hari ini, ia akan mencoba lagi beinteraksi. bukan dengan sapa manis, melainkan dengan sedikit tekanan. Afie sedang mengimput data dalam file Excel, dahinya berkerut karena laporan klien memperlihatkan selisih kecil antara proyeksi dan realisasi. Suara pintu diketuk. Gian berdiri di depan mejanya, membawa tumpukan map. “Afie, ini data tambahan dari klien kita. Aku butuh kamu validasi semua angka dan kirim kembali ke mereka hari ini juga plus revisi grafik pendukung.” Nada Gian terdengar biasa, tapi matanya penuh arti. Ia tahu Afie tidak akan menolak dan akan menyelesaikan tugas darinya.