MasukBandara sore itu ramai luar biasa. Orang-orang berlalu-lalang dengan langkah tergesa, koper berderak di lantai, dan pengumuman penerbangan bergema dari pengeras suara.
Namun bagi Gian, semua itu terasa jauh, seolah-olah ia hidup di dunia yang berhenti berputar.
Suara tawa, dering ponsel, bahkan aroma kopi dari kedai di sudut terminal tak mampu menembus dinding kehampaan yang menyelubungi hatinya.
Dunia di sekelilingnya penuh warna, tetapi dalam dirinya hanya ada satu nama yang bergema tanpa henti Afie.
Ia duduk di ruang tunggu, di kursi panjang yang menghadap ke landasan pacu. Sinar matahari sore memantul di kaca besar di depannya, menyorot wajah yang lelah dan mata yang sembab.
Tubuhnya sedikit menggigil, bukan karena udara dingin dari pendingin ruangan, melainkan karena guncangan emosi yang menumpuk terlalu lama.
Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Setiap suara pengumuman keberangkatan yang menyebut kota tujuan membuat jantun
Pagi itu, cahaya matahari masuk lembut melalui jendela rumah mereka. Suara tawa anak-anak memenuhi ruang tamu, berbaur dengan aroma bubur hangat dan roti panggang yang sedang disiapkan Gian. Afie duduk di sofa, perutnya yang sudah membesar akibat kehamilan pertama menonjol lembut. Ia menatap pemandangan itu, hatinya terasa hangat seperti musim semi yang lembut. “Mas Gian… kau benar-benar hebat,” bisik Afie, matanya menatap suaminya penuh cinta. Gian sedang sibuk menyiapkan sarapan, mengenakan celemek bergambar karakter kartun favorit anak-anak mereka, tampak serius tapi lucu. “Hebat? Ah, aku lebih dari hebat! Aku adalah kepala keamanan keluarga sekaligus koki profesional rumah tangga!” Gian menjawab dengan nada bangga sambil menuang jus jeruk ke gelas.
Pagi itu, sinar matahari masuk lembut melalui jendela kamar mereka. Afie bangun perlahan, tangan terletak di perutnya yang mulai membulat, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Ah… aku masih tidak percaya,” gumamnya sendiri. “Benar-benar… ada kehidupan kecil di sini.” Gian, yang sudah berada di dapur, menoleh begitu mendengar suara Afie. Matanya berbinar, senyum tak bisa disembunyikan. Segera ia melangkah cepat ke kamar, tangan mengambil piring sarapan yang baru selesai ia buat. “Kau bangun, sayang?” tanya Gian sambil meletakkan piring di meja samping tempat tidur. “Aku buatkan sarapan favoritmu, telur orak-arik, roti gandum, dan jus jeruk.” Afie terkekeh. “Gian… kau benar-benar protektif sejak aku bilang aku hamil, ya?” Gian mengangkat bahu dengan senyum polos, tapi tatapannya penuh arti. “Protektif? Tentu saja! K
Pagi itu, udara di sekitar rumah keluarga Afie terasa hangat dan damai.Matahari memantul lembut di kaca jendela, menembus tirai tipis yang sedikit bergoyang karena angin pagi. Aroma bunga segar memenuhi ruang tamu, berpadu dengan wangi kue dan kopi yang baru diseduh. Semua terasa biasa, tapi bagi Afie, hari itu istimewa.Ia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih sederhana dengan hiasan renda halus di lengan dan leher. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi sedikit bunga lily putih. Setiap kali ia menatap bayangannya sendiri, ada rasa hangat yang mengalir di dada campuran antara gugup, bahagia, dan lega.Badai panjang itu sudah berlalu, batinnya. Semua luka masa lalu, semua kesalahan yang membuatnya rapuh, semua ketidakpastian yang menahan hatinya selama ini, kini terasa jauh.Di ruangan lain, Gian juga bersiap dengan jas hitam rapi. Tangan kanannya menggenggam kaku buket bunga lily putih,
Bandara sore itu ramai luar biasa. Orang-orang berlalu-lalang dengan langkah tergesa, koper berderak di lantai, dan pengumuman penerbangan bergema dari pengeras suara.Namun bagi Gian, semua itu terasa jauh, seolah-olah ia hidup di dunia yang berhenti berputar.Suara tawa, dering ponsel, bahkan aroma kopi dari kedai di sudut terminal tak mampu menembus dinding kehampaan yang menyelubungi hatinya.Dunia di sekelilingnya penuh warna, tetapi dalam dirinya hanya ada satu nama yang bergema tanpa henti Afie.Ia duduk di ruang tunggu, di kursi panjang yang menghadap ke landasan pacu. Sinar matahari sore memantul di kaca besar di depannya, menyorot wajah yang lelah dan mata yang sembab.Tubuhnya sedikit menggigil, bukan karena udara dingin dari pendingin ruangan, melainkan karena guncangan emosi yang menumpuk terlalu lama.Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Setiap suara pengumuman keberangkatan yang menyebut kota tujuan membuat jantun
Beberapa hari terakhir, hati Afie tak pernah benar-benar tenang. Malam-malamnya selalu diisi dengan kecemasan yang tidak bisa dijelaskan.Kabar tentang Gian yang mulai lelah menunggu, bahkan sempat menangis, terus terngiang di telinganya seperti gema yang enggan menghilang.Ia duduk di balkon apartemennya, menatap langit malam yang bertabur bintang.Di tangannya, secangkir teh melati yang sejak setengah jam lalu tak disentuh. Uapnya sudah menipis, namun pikirannya justru semakin pekat.Afie menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia meyakinkan diri bahwa keputusannya untuk menjaga jarak adalah yang terbaik.Ia pikir, dengan menjauh, waktu akan mengajarkan Gian untuk memahami batasan, untuk melepaskan.Tapi ternyata, semakin jauh ia mencoba pergi, semakin kuat bayangan tatapan sendu Gian menghantui setiap langkahnya.Ada hal yang tak bisa ia pungkiri, setiap kali mendengar namanya disebut, dadanya terasa hangat sekaligus nyeri
Hari-hari setelah pertemuan di taman terasa berjalan begitu lambat bagi Gian.Setiap menit yang berlalu seolah menuntut kesabaran yang tak pernah ia miliki.Ia sudah berjanji pada Afie untuk menunggu, tapi ternyata menunggu jauh lebih melelahkan daripada apa pun yang pernah ia alami.Setiap pagi, begitu membuka mata, bayangan Afie langsung hadir dalam benaknya.Wanita itu bukan hanya seseorang yang ia cintai, Afie sudah menjadi bagian dari napas, dari hidup yang tak bisa ia lepaskan begitu saja.Setiap kali Gian mencoba mendekat, jarak itu seperti dinding tak kasat mata, ada, namun tak bisa ditembus.Ketika datang ke kantor atau sekadar mengintip dari jauh, pemandangan yang ia lihat selalu sama.Afie duduk di balik meja kerja dengan ekspresi serius, tenggelam dalam tumpukan dokumen.Kadang ia berdiskusi dengan Ryan, kakaknya, kadang berbicara dengan para paman tentang strategi perusahaan.Afie terlihat begitu fokus, begi







