"Sebaiknya kamu pulang dulu, pekerjaannya di lanjut besok pagi saja," tutur Merry lembut. Wanita berusia 45 tahunan itu begitu hangat pada Naya.
"Ta-tapi bagaimana bila dia marah?" balas Naya menatap ke arah tangga.
Merry mengusap lembut pundak Naya."Nanti Bibi yang akan mengatakan pada tuan Argio. Jangan dimasukkan ke dalam hati ucapan tuan Argio tadi, dia memang seperti itu cara bicaranya. Tapi dia sangat baik."
Naya hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan wanita tersebut. Bagi Naya yang baru mengenal Argio, ucapan pria itu sangat menyakitkan dan panas di telinga. Walaupun orang mengatakan pria itu sangat baik tapi ucapannya begitu menyakitkan.
"Kalau begitu saya izin pulang," pamit Naya yang dibalas anggukan oleh Merry.
Merry menghela Napas berat setelah sosok wanita muda itu mulai menghilang dari pandangan matanya. Rasa kasihan merambat dalam benaknya. Ia sudah mengetahui semuanya termasuk niat wanita itu yang ingin menjual keperawanannya untuk pengobatan ibunya.
"Semoga saja masalah dan kesusahannya cepat selesai," gumam Merry, sesaat kemudian ia menutup pintu mansion.
•
•Wanita paruh baya yang terbaring di brankar menoleh ketika pintu terbuka dan menampilkan sosok putrinya. Seulas senyum tipis terbingkai di bibir pucatnya.
"Kamu ke mana saja, Nak?" Pertanyaan muncul kala Naya melangkah mendekati brankar sang ibu. Ia meletakkan barang yang ia bawa ke atas meja." Apa yang kamu bawa?"
Bu Ani kembali bertanya, menatap gumpalan kain di atas meja. Naya menarik napas dalam-dalam berusaha menetralkan perasaan yang menghimpit rongga dadanya. Naya menarik kursi lalu duduk di sana.
"Aku mencari pekerjaan, Bu. Barang yang aku bawa itu seragam kerjaku."
"Ooh ya. Jadi kamu bekerja, Nak?" Raut wajah bu Ani tampak sumringah.
Naya mengangguk pelan."Baru saja di terima, Bu. Doakan semoga Naya lancar kerjanya."
"Lalu, bagaimana dengan kuliahmu?"
Naya terdiam sejenak mendengar pertanyaan yang kembali tercetus dari mulut ibunya."Ibu tenang saja. Aku akan kuliah seperti biasa. Yang terpenting sekarang ibu cepat sembuh dan bisa pulang ke rumah."
"Ibu ingin secepatnya pulang dari sini, Nay. Ibu tidak ingin membuat kamu terbebani dengan biaya rumah sakit," lirih bu Ani.
Bahkan saat menjalani perawatan di rumah sakit ini saja pikiran bu Ani selalu tertuju pada biaya yang harus di tanggung putrinya. Apalagi ini rumah sakit yang cukup mahal di kota ini.
"Ibu tenang saja. Aku sudah dapat pinjaman dari seseorang. Jadi aku mohon ibu jangan memikirkan soal biaya, ya."
"Tapi Ibu benar-benar tidak enak_"
"Ibu ... jangan memikirkan hal itu. Percuma Ibu dapat perawatan terbaik di sini kalau pikiran ibu terbebani, yang ada kondisi ibu semakin memburuk," ucap Naya membuat bu Ani mengantupkan bibirnya rapat.
Namun, tak lama pintu ruang rawat terbuka dan dokter Renal masuk ke dalam ruangan tersebut diikuti oleh salah satu suster. Naya bangkit dari tempat duduknya kala dokter Renal menghampiri mereka.
"Bagaimana kondisi Ibu Ani? Apa sudah merasa membaik?" tanya dokter Renal dengan raut wajah yang tampak ramah.
"Saya merasa kondisi saya membaik, Dok. Tapi, kapan saya pulang dari rumah sakit?"
Mendengar pertanyaan itu dokter Renal melirik Naya. Wanita muda itu menggeleng lirih, meminta dokter Renal tidak mengatakan soal operasi yang akan ibunya akan jalani. Ia belum siap mengatakan hal tersebut, bila ia mengatakan lebih awal yang ada ibunya ingin pulang dan menolak menjalani operasi karna memikirkan biaya.
Dokter Renal yang melirik Naya sejenak, kini kembali memfokuskan tatapan matanya pada bu Ani.
"Setelah kondisi Ibu Ani membaik, Ibu akan segera pulang. Untuk sementara harus di rawat inap beberapa hari sampai kondisi Ibu semakin pulih," tutur dokter Renal rinci.
"Naya, saya ingin bicara denganmu," ucap dokter Renal menatap Naya dengan tatapan serius.
"Baik, Dok. Ibu aku ikut dokter Renal dulu," pamitnya pada sang ibu.
Kini, Naya keluar dari ruang rawat mengikuti dokter Renal yang lebih dulu keluar."Dokter ingin bicara apa?"
"Begini, Naya. Lusa nanti ibumu harus segera dioperasi, jadi ... apa kamu sudah mencari tambahan biaya operasi ibumu?"
Mata Naya mengerjap mendengar ucapan dokter Renal. Tanpa sadar kedua tangannya meremas ujung bajunya. Ia belum sempat meminjam uang pada pria itu.
"Naya? Apa kamu mendengar saya?" ucap dokter Renal kala Naya tampak tak merespon ucapannya.
"Me-mendengar, Dok. Secepatnya saya akan mencari tambahannya. Tapi ... saya mohon jangan katakan tentang operasi ini pada ibu saya. Nanti, saya yang akan memberitahunya."
"Baiklah. Tapi secepatnya beritahu ibumu, kami tidak bisa melakukan tindakan operasi bila tidak ada persetujuan dari pasien."
"Baik, Dok."
•
•"Akhirnya kamu datang juga. Cepat antarkan kopi ini pada tuan Argio."
Naya yang baru saja memasuki area dapur mansion tampak terkejut ketika Merry menyerahkan secangkir kopi panas dan memintanya mengantarkan kepada tuan muda. Naya yang dilanda kebingungan dengan perintah refleks menerima cangkir yang diberikan.
"Cepat antarkan sebelum tuan Argio pergi," titahnya.
Naya mengangguk lalu melangkah lebar menuju ke meja makan di mana Argio berada sekarang. Namun, saat langkah kakinya semakin dekat dengan pria tersebut, kedua kakinya mendadak lemas serta dilanda kegugupan yang semakin menjadi-jadi.
Dengan kedua tangan yang tiba-tiba gemetar ia menghampiri Argio lalu meletakkan secangkir kopi di atas meja. Namun, sebelum cangkir itu mendarat sempurna di meja ia malah menumpahkannya hingga mengenai Argio yang tengah menikmati sarapan paginya.
Pria itu refleks bangkit dari tempat duduknya lalu mengusap-usap bagian pahanya yang terkena kopi panas . Argio menggeram kepanasan dan menatap tajam Naya yang tampak sangat terkejut dengan apa yang ia lakukan barusan. Sungguh ia tak sengaja.
"Kamu ..." Raut wajah Argio tampak memerah seolah menahan amarah. Naya yang melihat wajah Argio sangat ketakutan hingga membuat wajahnya memucat.
Wanita itu melangkah mundur namun dengan cepat Argio mencekal pergelangan tangan Naya. Dan menariknya kasar hingga tubuh ringkih Naya hampir menubruk tubuh besar pria tersebut.
"Baru bekerja sudah membuat ulah!" bentaknya dengan mata melotot tajam.
"Sa-saya tidak sengaja." ucapnya penuh ketakutan. Ini pertama kalinya melihat kemarahan seorang pria yang membuat ia ketakutan bahkan untuk meneguk saliva saja sulit.
"Tidak becus!" Argio mendorong Naya hingga membuat tubuh wanita itu terhuyung dan hampir jatuh ke lantai, bila tidak berpegangan pada meja bulat tempat meletakkan bunga hias.
"Apa yang terjadi, Tuan?" Merry yang mendengar suara keributan segera datang ke ruang makan. Sementara pelayan yang lain mengintip melalui tembok yang menjadi sekat antara ruang makan dan dapur.
"Ajari perempuan ini untuk melayani majikan dengan benar. Lihat, pakaian ku kotor karna dia!" Argio melirik tajam Naya yang hanya bisa tertunduk. Nyali wanita muda itu benar-benar menciut di hadapan Argio. Badan Naya juga terasa lemas seolah terserap oleh ketakutannya sendiri.
Merry menoleh ke arah Naya sejenak."Baik, Tuan. Ayo ikut denganku."
Merry meraih pergelangan tangan Naya lalu menggiringnya ke belakang. Sementara Argio menggerutu kesal memperhatikan pakaiannya. Pria itu meninggalkan meja makan untuk berganti pakaian. Meski air kopi yang panas itu tidak sampai membuat lecet kulitnya tapi tetap saja ini membuat emosinya meledak.
Naya hanya bisa tertunduk dengan kedua tangan yang saling bertautan setelah Merry membawanya pergi dari ruang makan. Raut ketakutan tampak jelas di wajah wanita itu."Maafkan Bibi, seharusnya Bibi tidak memintamu untuk mengantarkan kopi_""Tidak!" Naya mendongak menatap Merry."Bibi tidak salah, aku yang kurang hati-hati. Aku benar-benar gugup saat mengantarkan kopi pada tuan muda dan itu yang membuat aku tidak sengaja menumpahkan minuman kopi panas itu," lirihnya, tersirat rasa bersalah apalagi sampai mengenai bagian celana Argio.Naya merasa, ia memang pantas mendapatkan kemarahan itu. Tapi kemarahan yang ditunjukkan tuan muda sangat menakutkan untuknya.Merry menghela napas berat."Lain kali lebih hati-hati lagi. Dan kalau butuh bantuan atau tidak paham dengan pekerjaanmu bisa tanya Bibi."Naya mengangguk cepat. Sungguh, ia sangat beruntung bertemu dengan bibi Merry. Semoga kedepannya ia bisa lebih baik lagi bekerja di tempat ini.•
Gedoran pintu yang cukup keras membuat Bella bergegas membuka pintu apartemen miliknya. Wanita itu tampak terkejut ketika mendapati Argio sudah berdiri di depan pintu dengan raut wajah yang begitu menyeramkan.Tanpa diberi tahu pun ia tahu maksud kedatangan pria itu ke sini apalagi ekpresi wajah Argio sudah menjelaskan semuanya."G-gio ... ada apa kamu ke sini?" Bella menampilkan wajah bingungnya membuat Argio yang melihat itu berdecih."Tidak perlu basa basi!" ketusnya.Argio melangkah maju mendekati Bella yang melangkah mundur menjauhi. Wanita itu tampak gugup dengan raut wajah yang begitu tegang."Apa maksudmu membuat berita bohong itu?""A-aku tidak paham maksudmu, Gio. Memangnya aku melakukan apa?""Akh!" Bella terpekik kala Argio mencengkram lengannya. Ia merintih kesakitan dengan cengkraman yang semakin kuat dan tak berperasaan menekan kuku-kukunya di kulit mulus Bella."Aku tidak suka orang yang berbohong. Dan kamu sudah berani melakukan itu!""Oke, aku akui, memang aku yang m
"Siapa diantara kalian yang membersihkan kamarku?" Suara lantang dan nyaring Argio seperti suara petir menyambar, membuat pelayan yang dikumpulkan di ruang tengah tampak ketakutan di tambah aura tak bersahabat yang menguar dari wajah pria itu."Kenapa diam? Cepat jawab!" Salah satu pelayan melangkah maju dengan kepala tertunduk. Tubuhnya gemetar ketakutan. Takut menghadapi kemarahan sang tuan muda. "Sa-saya yang membersihkan kamar, Tuan muda," ucapnya dengan suara yang bergetar.Argio semakin menajamkan sorot matanya seolah tatapan pria itu mampu menembus sampai ke ulu hati. Pelayan yang lain saling pandangan satu sama lain, antara bingung dan takut karna tiba-tiba mereka di kumpulkan di tempat ini tanpa tahu alasannya. Ruangan itu hening beberapa saat sampai suara tegas Argio kembali terdengar."Apa kamu yang membuang semua sampah yang ada di kamarku termasuk foto para perempuan di tempat sampah itu?" Sontak hal itu langsung dibalas gelengan oleh pelayan yang bertugas membersihk
Seorang pria tinggi tegap melangkah lebar memasuki bangunan yang begitu ramai di kunjungi para kaum pria. Aroma alkohol dan asap rokok menusuk ke indra penciuman Argio. Dengan langkah lebar ia memasuki tempat yang terdengar suara gemuruh musik yang cukup keras. Hendrik mengikuti Argio dari belakang. Pria berusia 50 tahunan itu selalu mengikuti Argio ke mana pun. Anggap saja ia malaikat pengawas untuk mencegah Argio melakukan hal-hal yang buruk.Sorot tajam Argio menatap sekitar bar yang sangat ramai malam ini. Terlalu fokus menelisik sekitar bar yang ia kunjungi, pria itu tiba-tiba saja menabrak seorang pelayan wanita yang hampir menjatuhkan sebotol wine yang wanita itu bawa."Kamu ..."Ucapan Argio terjeda kala manik hitamnya bertubrukan dengan mata coklat milik wanita yang ia kenali. Sementara wanita yang mengenakan blouse hitam ketat yang menampilkan lekuk tubuhnya dan rok di atas lutut, menegang sempurna ketika bersitatap dengan Argio."Ma-maafkan saya, Tuan," ucapnya terbata-bata
Dengan kasar Argio mendorong Naya hingga jatuh ke atas kasur. Wanita itu menggeliat dengan pandangan yang tampak sayu. Minuman yang diberikan oleh tiga pria itu membuat Naya tak berdaya seperti ini bahkan penampilannya sudah tak karuan dan berantakan. Argio melangkah mundur, ia mengusap wajahnya kasar. Ia tak ingin lebih jauh lagi membantu wanita yang terbaring tak berdaya di atas kasur hotel itu. Yaa, ia membawa Naya ke hotel dan setelah itu ia akan pergi. Terlalu lama bersama Naya akan sangat bahaya apalagi wanita itu terlihat sangat menggoda di matanya. Dan entah mengapa, hasratnya langsung naik hanya melihat Naya seperti ini berbeda saat bersama wanita lain. Argio berbalik badan dan hendak keluar dari kamar tersebut namun suara barang jatuh membuat Argio berbalik badan. Mata pria itu sedikit melebar melihat Naya jatuh ke lantai beserta lampu hias yang terletak di dekat kasur. "Tuan." Suara panggilan Naya yang begitu lembut dan sendu menciptakan desiran aneh dalam benak Argio.
Naya terus melangkahkan kakinya dengan langkah yang tertatih-tatih, wajahnya pucat dan mata yang tampak kosong. Air mata terus merembes dari pelupuk mata yang sembab, sesekali ia mengusapnya. Wanita muda itu terpaksa harus pulang ke rumah dengan berjalan kaki, ia tidak memiliki uang sepeser pun. Naya terlihat sangat menyedihkan setelah mahkotanya direnggut lalu ditinggalkan begitu saja seperti seorang wanita bayaran. Yang membuat Naya semakin hancur mahkotanya direnggut saat ia tidak sadar karna pengaruh minuman memabukkan itu. Dengan tangan gemetar Naya memutar handel pintu rumah kontrakannya setelah satu jam berjalan kaki. Beruntung sang ibu masih di rawat di rumah sakit, setidaknya bu Ani tidak tahu apa yang terjadi pada putrinya. Naya memilih masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Air matanya semakin meluruh ketika melepaskan semua pakaian yang melekat di tubuhnya. Bercak merah kebiruan tercetak jelas di sekujur tubuh. Bagian pangkal pahanya terasa sangat sakit. Naya
Satu bulan berlalu... Tak terasa sudah satu bulan sejak Naya meninggalkan kota kelahirannya. Bukan hanya karena ia takut dengan ancaman Argio, tetapi juga karna ia ingin melupakan semua kejadian buruk yang telah menimpanya. Meskipun sudah satu bulan berlalu, Naya tidak sepenuhnya melupakan kejadian pahit itu. Rasanya seolah-olah kejadian tersebut telah melekat di dalam ingatan hingga sulit untuk dilupakan.Namun, ia sedikit merasa tenang dan tidak merasa tertekan seperti awal-awal kejadian pedih itu. Naya juga memilih untuk mengambil cuti kuliah, tentu hal itu ditentang oleh sang ibu. Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak ingin mempersulit ibunya dan menambah beban mengeluaran yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keduanya dan membayar uang sewa rumah. Ia juga tidak memperbolehkan ibunya untuk bekerja.Bahkan Naya juga tak menggunakan cek yang Argio berikan. Ia hanya menyimpan cek itu. Sekarang Naya bekerja sebagai pelayan self service. Beruntung ia mendapatkan pekerjaan setelah dua
Langkah Naya terhenti ketika sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di hadapannya. Tak lama pintu mobil terbuka dan seseorang keluar dari sana. Mata Naya membulat sempurna ketika melihat wajah orang tersebut. Ia melangkah mundur dengan perasaan diliputi ketakutan dan cemas.Argio menatap lurus ke arah Naya dengan tatapan yang dingin. Ia melangkah lebar ke arah wanita tersebut yang gemetar ketakutan. Naya hendak melarikan diri, namun dengan cepat pria itu mencekal pergelangan tangannya."Lepaskan aku!" Naya berusaha melepaskan cengkraman Argio di pergelangan tangannya."Apa kamu hamil?"Tanpa ingin basa basi Argio langsung melontarkan pertanyaan yang membuat tubuh Naya seketika membeku dengan wajah yang menegang. Kedua matanya bergulir. Dari mana pria itu tahu ia hamil?"A-aku tidak hamil. Lepaskan aku. Aku tidak ingin berurusan denganmu lagi!" racau Naya sedikit lantang.Naya meringis ketika Argio sengaja memperkuat cengkramannya di pergelangan tangan Naya."Benarkah? Kamu kira aku