Share

Bab 04

"Sebaiknya kamu pulang dulu, pekerjaannya di lanjut besok pagi saja," tutur Merry lembut. Wanita berusia 45 tahunan itu begitu hangat pada Naya.

"Ta-tapi bagaimana bila dia marah?" balas Naya menatap ke arah tangga. 

Merry mengusap lembut pundak Naya."Nanti Bibi yang akan mengatakan pada tuan Argio. Jangan dimasukkan ke dalam hati ucapan tuan Argio tadi, dia memang seperti itu cara bicaranya. Tapi dia sangat baik." 

Naya hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan wanita tersebut. Bagi Naya yang baru mengenal Argio, ucapan pria itu sangat menyakitkan dan panas di telinga. Walaupun orang mengatakan pria itu sangat baik tapi ucapannya begitu menyakitkan. 

"Kalau begitu saya izin pulang," pamit Naya yang dibalas anggukan oleh Merry.

Merry menghela Napas berat setelah sosok wanita muda itu mulai menghilang dari pandangan matanya. Rasa kasihan merambat dalam benaknya. Ia sudah mengetahui semuanya termasuk niat wanita itu yang ingin menjual keperawanannya untuk pengobatan ibunya. 

"Semoga saja masalah dan kesusahannya cepat selesai," gumam Merry, sesaat kemudian ia menutup pintu mansion. 

Wanita paruh baya yang terbaring di brankar menoleh ketika pintu terbuka dan menampilkan sosok putrinya. Seulas senyum tipis terbingkai di bibir pucatnya. 

"Kamu ke mana saja, Nak?" Pertanyaan muncul kala Naya melangkah mendekati brankar sang ibu. Ia meletakkan barang yang ia bawa ke atas meja." Apa yang kamu bawa?" 

Bu Ani kembali bertanya, menatap gumpalan kain di atas meja. Naya menarik napas dalam-dalam berusaha menetralkan perasaan yang menghimpit rongga dadanya. Naya menarik kursi lalu duduk di sana.

"Aku mencari pekerjaan, Bu. Barang yang aku bawa itu seragam kerjaku."

"Ooh ya. Jadi kamu bekerja, Nak?" Raut wajah bu Ani tampak sumringah. 

Naya mengangguk pelan."Baru saja di terima, Bu. Doakan semoga Naya lancar kerjanya."

"Lalu, bagaimana dengan kuliahmu?" 

Naya terdiam sejenak mendengar pertanyaan yang kembali tercetus dari mulut ibunya."Ibu tenang saja. Aku akan kuliah seperti biasa. Yang terpenting sekarang ibu cepat sembuh dan bisa pulang ke rumah." 

"Ibu ingin secepatnya pulang dari sini, Nay. Ibu tidak ingin membuat kamu terbebani dengan biaya rumah sakit," lirih bu Ani. 

Bahkan saat menjalani perawatan di rumah sakit ini saja pikiran bu Ani selalu tertuju pada biaya yang harus di tanggung putrinya. Apalagi ini rumah sakit yang cukup mahal di kota ini.

"Ibu tenang saja. Aku sudah dapat pinjaman dari seseorang. Jadi aku mohon ibu jangan memikirkan soal biaya, ya."

"Tapi Ibu benar-benar tidak enak_"

"Ibu ... jangan memikirkan hal itu. Percuma Ibu dapat perawatan terbaik di sini kalau pikiran ibu terbebani, yang ada kondisi ibu semakin memburuk," ucap Naya membuat bu Ani mengantupkan bibirnya rapat.

Namun, tak lama pintu ruang rawat terbuka dan dokter Renal masuk ke dalam ruangan tersebut diikuti oleh salah satu suster. Naya bangkit dari tempat duduknya kala dokter Renal menghampiri mereka.

"Bagaimana kondisi Ibu Ani? Apa sudah merasa membaik?" tanya dokter Renal dengan raut wajah yang tampak ramah.

"Saya merasa kondisi saya membaik, Dok. Tapi, kapan saya pulang dari rumah sakit?"

Mendengar pertanyaan itu dokter Renal melirik Naya. Wanita muda itu menggeleng lirih, meminta dokter Renal tidak mengatakan soal operasi yang akan ibunya akan jalani. Ia belum siap mengatakan hal tersebut, bila ia mengatakan lebih awal yang ada ibunya ingin pulang dan menolak menjalani operasi karna memikirkan biaya.

Dokter Renal yang melirik Naya sejenak, kini kembali memfokuskan tatapan matanya pada bu Ani. 

"Setelah kondisi Ibu Ani membaik, Ibu akan segera pulang. Untuk sementara harus di rawat inap beberapa hari sampai kondisi Ibu semakin pulih," tutur dokter Renal rinci.

"Naya, saya ingin bicara denganmu," ucap dokter Renal menatap Naya dengan tatapan serius.

"Baik, Dok. Ibu aku ikut dokter Renal dulu," pamitnya pada sang ibu.

Kini, Naya keluar dari ruang rawat mengikuti dokter Renal yang lebih dulu keluar."Dokter ingin bicara apa?" 

"Begini, Naya. Lusa nanti ibumu harus segera dioperasi, jadi ... apa kamu sudah mencari tambahan biaya operasi ibumu?" 

Mata Naya mengerjap mendengar ucapan dokter Renal. Tanpa sadar kedua tangannya meremas ujung bajunya. Ia belum sempat meminjam uang pada pria itu.

"Naya? Apa kamu mendengar saya?" ucap dokter Renal kala Naya tampak tak merespon ucapannya.

"Me-mendengar, Dok. Secepatnya saya akan mencari tambahannya. Tapi ... saya mohon jangan katakan tentang operasi ini pada ibu saya. Nanti, saya yang akan memberitahunya."

"Baiklah. Tapi secepatnya beritahu ibumu, kami tidak bisa melakukan tindakan operasi bila tidak ada persetujuan dari pasien."

"Baik, Dok."

"Akhirnya kamu datang juga. Cepat antarkan kopi ini pada tuan Argio."

Naya yang baru saja memasuki area dapur mansion tampak terkejut ketika Merry menyerahkan secangkir kopi panas dan memintanya mengantarkan kepada tuan muda. Naya yang dilanda kebingungan dengan perintah refleks menerima cangkir yang diberikan.

"Cepat antarkan sebelum tuan Argio pergi," titahnya.

Naya mengangguk lalu melangkah lebar menuju ke meja makan di mana Argio berada sekarang. Namun, saat langkah kakinya semakin dekat dengan pria tersebut, kedua kakinya mendadak lemas serta dilanda kegugupan yang semakin menjadi-jadi.

Dengan kedua tangan yang tiba-tiba gemetar ia menghampiri Argio lalu meletakkan secangkir kopi di atas meja. Namun, sebelum cangkir itu mendarat sempurna di meja ia malah menumpahkannya hingga mengenai Argio yang tengah menikmati sarapan paginya.

Pria itu refleks bangkit dari tempat duduknya lalu mengusap-usap bagian pahanya yang terkena kopi panas . Argio menggeram kepanasan dan menatap tajam Naya yang tampak sangat terkejut dengan apa yang ia lakukan barusan. Sungguh ia tak sengaja.

"Kamu ..." Raut wajah Argio tampak memerah seolah menahan amarah. Naya yang melihat wajah Argio sangat ketakutan hingga membuat wajahnya memucat.

Wanita itu melangkah mundur namun dengan cepat Argio mencekal pergelangan tangan Naya. Dan menariknya kasar hingga tubuh ringkih Naya hampir menubruk tubuh besar pria tersebut.

"Baru bekerja sudah membuat ulah!" bentaknya dengan mata melotot tajam.

"Sa-saya tidak sengaja." ucapnya penuh ketakutan. Ini pertama kalinya melihat kemarahan seorang pria yang membuat ia ketakutan bahkan untuk meneguk saliva saja sulit. 

"Tidak becus!" Argio mendorong Naya hingga membuat tubuh wanita itu terhuyung dan hampir jatuh ke lantai, bila tidak berpegangan pada meja bulat tempat meletakkan bunga hias.

"Apa yang terjadi, Tuan?" Merry yang mendengar suara keributan segera datang ke ruang makan. Sementara pelayan yang lain mengintip melalui tembok yang menjadi sekat antara ruang makan dan dapur.

"Ajari perempuan ini untuk melayani majikan dengan benar. Lihat, pakaian ku kotor karna dia!" Argio melirik tajam Naya yang hanya bisa tertunduk. Nyali wanita muda itu benar-benar menciut di hadapan Argio. Badan Naya juga terasa lemas seolah terserap oleh ketakutannya sendiri.

Merry menoleh ke arah Naya sejenak."Baik, Tuan. Ayo ikut denganku."

Merry meraih pergelangan tangan Naya lalu menggiringnya ke belakang. Sementara Argio menggerutu kesal memperhatikan pakaiannya. Pria itu meninggalkan meja makan untuk berganti pakaian. Meski air kopi yang panas itu tidak sampai membuat lecet kulitnya tapi tetap saja ini membuat emosinya meledak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status