Sepanjang menyusuri jalanan aspal, Naya tampak melamun dengan sorot mata penuh kekosongan. Raut wajahnya tampak cemas bercampur takut. Setelah keluar dari mansion itu ia diliputi kecemasan. Meskipun begitu ia harus memberikan apa yang pria itu inginkan sebagai imbalan atas uang yang diberikan.
"Woy! Jalan itu pakai mata! Hampir saja tertabrak!" Teriakan seorang pengendara sepeda motor yang merem mendadak kala Naya berjalan terlalu ke tengah.
"Fokus-fokus Naya" Ia menepuk-nepuk kedua pipinya pelan. Terlalu memikirkan masalah ini membuat ia tidak fokus dan hampir tertabrak. Bahkan kepalanya terasa pusing dan ingin meledak.
Wanita muda itu mengusap wajahnya kasar lalu kembali melanjutkan langkahnya untuk kembali ke rumah sakit. Yaa, beberapa malam ini ia menginap di rumah sakit. Sesekali ia pulang ke rumah untuk sekadar mencuci pakaian.
"Dokter Renal! Kapan ibu saya di operasi?" tanya Naya ketika tak sengaja berpapasan dengan dokter Renal di lorong rumah sakit.
"Secepatnya, Naya. Tapi apa kamu sudah ada uangnya?" Dokter itu balik bertanya.
"Iya. Aku sudah menyiapkan uangnya."
"Baguslah. Karna untuk operasi transplantasi paru-paru membutuhkan uang sekitar 70 juta."
"70 juta? Aku hanya memiliki uang 50 juta. Apa tidak bisa kurang, Dok?" balasnya tampak begitu terkejut dengan nominal yang disebutkan dokter Renal.
"Tidak bisa, Naya. Biaya operasi untuk transplantasi paru-paru biayanya memang sangat mahal. Jadi tidak bisa di tawar. Saya harap kamu segera mencari tambahan uang agar ibumu segera menjalani operasi."
Kedua kaki wanita muda itu terasa lemas. Tatapan matanya tampak bergulir. Ke mana lagi ia mencari uang untuk menambah kekurangan biaya operasi ibunya. Naya tampak kebingungan mencari sisa uang yang harus ia tambah. Sementara dokter Renal sudah beranjak dari hadapan Naya.
"Ke mana aku harus mencari uang untuk menambah uang operasi, Ibu," lirihnya. Namun, sekelibat terlintas dalam pikirannya untuk kembali meminjam uang pada pria itu lagi."Apa aku meminjam lagi uang pada laki-laki itu? Hanya dia harapanku."
•
•Sementara di sepanjang perjalanan dalam mobil Argio tampak tertawa ringan membuat Hendrik mengernyitkan keningnya heran. "Apa yang kamu tertawakan?"
Mendengar pertanyaan Hendrik membuat Argio menghentikan tawanya."Ekm ... tidak apa-apa. Hanya menertawakan perempuan yang tadi pagi datang ke mansion."
Hendrik yang tengah menyetir mobil menyipitkan matanya dengan tatapan mengintimidasi dari kaca spion dalam mobil.
"Awas saja kamu berbuat macam-macam dengan perempuan itu, Argio. Aku selalu tahu apa yang kamu pikirkan. Aku bisa melihat perempuan itu terpaksa melakukan hal itu. Lebih baik kamu anggap pinjaman saja," ucap Hendrik. Argio tampak mengidikkan bahunya tak memperdulikan ancaman Hendrik.
Pria muda itu merogoh saku celananya mengeluarkan ponsel miliknya yang berlogo iPhone. Suasana dalam mobil itu kembali hening hanya suara deru halus mesin mobil. Hendrik menghela napas kala melirik Argio melalui kaca spion dalam mobil. Andai bukan permintaan Arga, ia tidak akan mau menjadi asisten Argio. Apalagi sikap Argio yang bebal.
Tak butuh lama mobil yang Argio tumpangi sudah memasuki area perusahaan. Mobil sedan hitam itu berhenti di depan lobby perusahaan. Seorang satpam dengan cepat membuka pintu mobil dan tak lama Argio keluar dari mobil sambil membenarkan jas yang ia kenakan.
"Argio!"
Suara pekikan seorang wanita membuat Argio memutar bola matanya malas. Wanita yang mengenakan rok kentat itu langsung bergelayut di lengan kekar Argio.
"Lepas, Bella! Menjauh dariku!" Argio menyentak tangan wanita itu begitu kasar hingga terlepas.
"Kamu ini kenapa? Bukannya kamu selalu senang bila aku datang untuk menemuimu?" ucap Bella berusaha sabar dengan sikap Argio. Beberapa hari ini pria itu selalu menghindarinya.
Pria itu tersenyum miring."Itu dulu tapi sekarang tidak. Apa kamu lupa hubungan kita hanya sekadar untuk bersenang-senang. So, jangan menganggap serius hubungan kita berdua. Satu lagi aku sudah bosan denganmu!"
Kedua tangan Bella terkepal mendengar ucapan Argio. Namun, wajahnya berusaha tetap terlihat tenang. Bella menjadi salah satu dari sekian banyak wanita yang menjadi tempat Argio mencari kenikmatan dan bersenang-senang. Pria itu tidak ingin menjalin hubungan serius dengan wanita mana pun.
"Tapi aku mencintaimu, Gio. Apa tidak bisa kamu menjalin hubungan serius denganku? Jangan sama'kan aku dengan perempuan yang pernah bermain denganmu!"
Argio mengusap-usap kupingnya mendengar suara cempreng Bella yang menyakiti indra pendengarannya. Ia melirik satpam dan memberikan isyarat melalu mata untuk mengusir wanita di hadapannya sekarang.
"Heh! Lepaskan aku!" Bella memberontak kala satpam menarik lengannya untuk menjauh dari Argio.
"Argio! Lihat saja kamu akan bertekuk lutut di hadapanku, Gio!"
"Lepaskan bodoh!" Bella berusaha mendorong satpam itu, namun tenaga satpam itu lebih kuat membuat ia tidak bisa melepaskan diri.
Sementara Argio melenggang pergi dengan santai diikuti oleh Hendrik. Ia menghiraukan teriakan cempreng Bella yang terus memanggil-manggil namanya. Tentu, suara teriakan wanita itu mengundang pusat perhatian orang-orang yang ada di sana.
••Waktu begitu cepat berlalu. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 07:00 malam. Mobil yang Argio tumpangi sudah sampai di mansion. Pria itu segera melangkahkan kakinya memasuki mansion. Baru masuk ke dalam mansion ia sudah di sambut oleh sosok wanita muda yang tadi pagi datang ke mansionnya.Naya datang lebih cepat ke mansion ini sebelum Argio pulang. Wanita itu langsung bangkit dari tempat duduknya kala menyadari kehadiran Argio. Hal pertama yang Naya lakukan adalah memberikan senyuman yang dibalas decihan oleh pria itu.
Argio melangkah mendekati Naya yang mendadak gugup. Bukan hanya tak percaya diri namun sorot tajam yang pria itu berikan begitu menusuk."Cepat sekali kamu datang ke sini!"
"Sa-saya ingin menepati janji."
"Janji apa?"
Naya tertunduk dengan kedua tangan saling bertautan. Ia kembali menatap Argio yang tampak menunggu ucapan yang keluar dari mulutnya.
"Menyerahkan keperawan saya ..." balasnya dengan nada suara sedikit bergetar. Ia berusaha menepis rasa malu yang ia rasakan.
"Jadi? Kamu mengira saya akan menikmati tubuhmu yang jelek itu? Saya tidak sembarangan bercinta dengan seorang perempuan. Apalagi kamu perempuan asing yang tiba-tiba datang menyerahkan diri seperti pel*cur! Atau bisa saja kamu sudah tidak perawan lagi."
Ucapan Argio bagai belati tajam yang menusuk ke ulu hati Naya. Ia mati-matian berusaha menahan raut wajahnya agar terlihat tenang . Tapi mau sekuat apapun di tahan, itu tetap menyakitkan. Padahal pria itu tahu alasan ia melakukan itu demi ibunya.
"Merry! Cepat kemari!" Teriakan Argio menggelar mengisi ruangan megah itu.
Merry yang merupakan pelayan di mansion itu segera menghampiri tuan muda yang terus memanggil namanya.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanyanya kala sudah berdiri di samping Argio dengan kepala tertunduk sopan.
"Cepat bawakan pakaian pelayan!"
"Ba-baik, Tuan." Merry segera mengambil barang yang Argio minta dan tak lama ia kembali lagi.
Argio mengambil pakaian yang Merry serahkan. Dengan gerakkan tak terduga ia melempar pakaian seragam pelayan tepat di wajah Naya. Merry yang melihat itu tampak terkejut.
"Ambil itu! Uang yang saya berikan harus diganti dengan tenaga mu tanpa digaji! Selama satu tahun kamu harus menjadi pelayan di mansion ini!" jelas Argio ketus.
Setelah mengatakan itu Argio beranjak dari hadapan Naya lalu melangkah menaiki anak tangga menuju kamarnya. Air mata yang mati-matian Naya tahan akhirnya meluruh dengan rasa sesak yang meremas rongga dadanya. Dengan tangan gemetar ia mengambil pakaian pelayan yang tergeletak di lantai. Tidak apa-apa menjadi pelayan setidaknya ia tidak harus menyerahkan mahkotanya.
"Kamu tidak apa-apa?" Merry menghampiri Naya. Ia tampak iba dengan wanita muda tersebut.
Naya mengusap cairan bening di pipinya sambil mengangguk.
"Sebaiknya kamu pulang dulu, pekerjaannya di lanjut besok pagi saja," tutur Merry lembut. Wanita berusia 45 tahunan itu begitu hangat pada Naya."Ta-tapi bagaimana bila dia marah?" balas Naya menatap ke arah tangga.Merry mengusap lembut pundak Naya."Nanti Bibi yang akan mengatakan pada tuan Argio. Jangan dimasukkan ke dalam hati ucapan tuan Argio tadi, dia memang seperti itu cara bicaranya. Tapi dia sangat baik."Naya hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan wanita tersebut. Bagi Naya yang baru mengenal Argio, ucapan pria itu sangat menyakitkan dan panas di telinga. Walaupun orang mengatakan pria itu sangat baik tapi ucapannya begitu menyakitkan."Kalau begitu saya izin pulang," pamit Naya yang dibalas anggukan oleh Merry.Merry menghela Napas berat setelah sosok wanita muda itu mulai menghilang dari pandangan matanya. Rasa kasihan merambat dalam benaknya. Ia sudah mengetahui semuanya termasuk niat wanita itu yang ingin menjual ke
Naya hanya bisa tertunduk dengan kedua tangan yang saling bertautan setelah Merry membawanya pergi dari ruang makan. Raut ketakutan tampak jelas di wajah wanita itu."Maafkan Bibi, seharusnya Bibi tidak memintamu untuk mengantarkan kopi_""Tidak!" Naya mendongak menatap Merry."Bibi tidak salah, aku yang kurang hati-hati. Aku benar-benar gugup saat mengantarkan kopi pada tuan muda dan itu yang membuat aku tidak sengaja menumpahkan minuman kopi panas itu," lirihnya, tersirat rasa bersalah apalagi sampai mengenai bagian celana Argio.Naya merasa, ia memang pantas mendapatkan kemarahan itu. Tapi kemarahan yang ditunjukkan tuan muda sangat menakutkan untuknya.Merry menghela napas berat."Lain kali lebih hati-hati lagi. Dan kalau butuh bantuan atau tidak paham dengan pekerjaanmu bisa tanya Bibi."Naya mengangguk cepat. Sungguh, ia sangat beruntung bertemu dengan bibi Merry. Semoga kedepannya ia bisa lebih baik lagi bekerja di tempat ini.•
Gedoran pintu yang cukup keras membuat Bella bergegas membuka pintu apartemen miliknya. Wanita itu tampak terkejut ketika mendapati Argio sudah berdiri di depan pintu dengan raut wajah yang begitu menyeramkan.Tanpa diberi tahu pun ia tahu maksud kedatangan pria itu ke sini apalagi ekpresi wajah Argio sudah menjelaskan semuanya."G-gio ... ada apa kamu ke sini?" Bella menampilkan wajah bingungnya membuat Argio yang melihat itu berdecih."Tidak perlu basa basi!" ketusnya.Argio melangkah maju mendekati Bella yang melangkah mundur menjauhi. Wanita itu tampak gugup dengan raut wajah yang begitu tegang."Apa maksudmu membuat berita bohong itu?""A-aku tidak paham maksudmu, Gio. Memangnya aku melakukan apa?""Akh!" Bella terpekik kala Argio mencengkram lengannya. Ia merintih kesakitan dengan cengkraman yang semakin kuat dan tak berperasaan menekan kuku-kukunya di kulit mulus Bella."Aku tidak suka orang yang berbohong. Dan kamu sudah berani melakukan itu!""Oke, aku akui, memang aku yang m
"Siapa diantara kalian yang membersihkan kamarku?" Suara lantang dan nyaring Argio seperti suara petir menyambar, membuat pelayan yang dikumpulkan di ruang tengah tampak ketakutan di tambah aura tak bersahabat yang menguar dari wajah pria itu."Kenapa diam? Cepat jawab!" Salah satu pelayan melangkah maju dengan kepala tertunduk. Tubuhnya gemetar ketakutan. Takut menghadapi kemarahan sang tuan muda. "Sa-saya yang membersihkan kamar, Tuan muda," ucapnya dengan suara yang bergetar.Argio semakin menajamkan sorot matanya seolah tatapan pria itu mampu menembus sampai ke ulu hati. Pelayan yang lain saling pandangan satu sama lain, antara bingung dan takut karna tiba-tiba mereka di kumpulkan di tempat ini tanpa tahu alasannya. Ruangan itu hening beberapa saat sampai suara tegas Argio kembali terdengar."Apa kamu yang membuang semua sampah yang ada di kamarku termasuk foto para perempuan di tempat sampah itu?" Sontak hal itu langsung dibalas gelengan oleh pelayan yang bertugas membersihk
Seorang pria tinggi tegap melangkah lebar memasuki bangunan yang begitu ramai di kunjungi para kaum pria. Aroma alkohol dan asap rokok menusuk ke indra penciuman Argio. Dengan langkah lebar ia memasuki tempat yang terdengar suara gemuruh musik yang cukup keras. Hendrik mengikuti Argio dari belakang. Pria berusia 50 tahunan itu selalu mengikuti Argio ke mana pun. Anggap saja ia malaikat pengawas untuk mencegah Argio melakukan hal-hal yang buruk.Sorot tajam Argio menatap sekitar bar yang sangat ramai malam ini. Terlalu fokus menelisik sekitar bar yang ia kunjungi, pria itu tiba-tiba saja menabrak seorang pelayan wanita yang hampir menjatuhkan sebotol wine yang wanita itu bawa."Kamu ..."Ucapan Argio terjeda kala manik hitamnya bertubrukan dengan mata coklat milik wanita yang ia kenali. Sementara wanita yang mengenakan blouse hitam ketat yang menampilkan lekuk tubuhnya dan rok di atas lutut, menegang sempurna ketika bersitatap dengan Argio."Ma-maafkan saya, Tuan," ucapnya terbata-bata
Dengan kasar Argio mendorong Naya hingga jatuh ke atas kasur. Wanita itu menggeliat dengan pandangan yang tampak sayu. Minuman yang diberikan oleh tiga pria itu membuat Naya tak berdaya seperti ini bahkan penampilannya sudah tak karuan dan berantakan. Argio melangkah mundur, ia mengusap wajahnya kasar. Ia tak ingin lebih jauh lagi membantu wanita yang terbaring tak berdaya di atas kasur hotel itu. Yaa, ia membawa Naya ke hotel dan setelah itu ia akan pergi. Terlalu lama bersama Naya akan sangat bahaya apalagi wanita itu terlihat sangat menggoda di matanya. Dan entah mengapa, hasratnya langsung naik hanya melihat Naya seperti ini berbeda saat bersama wanita lain. Argio berbalik badan dan hendak keluar dari kamar tersebut namun suara barang jatuh membuat Argio berbalik badan. Mata pria itu sedikit melebar melihat Naya jatuh ke lantai beserta lampu hias yang terletak di dekat kasur. "Tuan." Suara panggilan Naya yang begitu lembut dan sendu menciptakan desiran aneh dalam benak Argio.
Naya terus melangkahkan kakinya dengan langkah yang tertatih-tatih, wajahnya pucat dan mata yang tampak kosong. Air mata terus merembes dari pelupuk mata yang sembab, sesekali ia mengusapnya. Wanita muda itu terpaksa harus pulang ke rumah dengan berjalan kaki, ia tidak memiliki uang sepeser pun. Naya terlihat sangat menyedihkan setelah mahkotanya direnggut lalu ditinggalkan begitu saja seperti seorang wanita bayaran. Yang membuat Naya semakin hancur mahkotanya direnggut saat ia tidak sadar karna pengaruh minuman memabukkan itu. Dengan tangan gemetar Naya memutar handel pintu rumah kontrakannya setelah satu jam berjalan kaki. Beruntung sang ibu masih di rawat di rumah sakit, setidaknya bu Ani tidak tahu apa yang terjadi pada putrinya. Naya memilih masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Air matanya semakin meluruh ketika melepaskan semua pakaian yang melekat di tubuhnya. Bercak merah kebiruan tercetak jelas di sekujur tubuh. Bagian pangkal pahanya terasa sangat sakit. Naya
Satu bulan berlalu... Tak terasa sudah satu bulan sejak Naya meninggalkan kota kelahirannya. Bukan hanya karena ia takut dengan ancaman Argio, tetapi juga karna ia ingin melupakan semua kejadian buruk yang telah menimpanya. Meskipun sudah satu bulan berlalu, Naya tidak sepenuhnya melupakan kejadian pahit itu. Rasanya seolah-olah kejadian tersebut telah melekat di dalam ingatan hingga sulit untuk dilupakan.Namun, ia sedikit merasa tenang dan tidak merasa tertekan seperti awal-awal kejadian pedih itu. Naya juga memilih untuk mengambil cuti kuliah, tentu hal itu ditentang oleh sang ibu. Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak ingin mempersulit ibunya dan menambah beban mengeluaran yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keduanya dan membayar uang sewa rumah. Ia juga tidak memperbolehkan ibunya untuk bekerja.Bahkan Naya juga tak menggunakan cek yang Argio berikan. Ia hanya menyimpan cek itu. Sekarang Naya bekerja sebagai pelayan self service. Beruntung ia mendapatkan pekerjaan setelah dua