Share

Terang-Terangan

Wajah Melinda memucat. Keringat dingin mulai berguguran dari pelipisnya. Bagaimana bisa Danita datang tanpa memberi tahunya lebih dulu? Sedangkan Cakra baru saja menginap dengannya di unit ini malam tadi.

Walaupun tak ada yang terjadi, tapi Melinda tak akan membiarkan kakaknya salah paham dan berpikir macam-macam, meskipun pada kenyataannya memang ada yang tidak beres dengan kakak iparnya itu.

Blam!

"Mel ...."

Pintu terbanting tepat di hadapan Danita. Perempuan anggun dengan rambut legam dan gaun tiga perempat itu hanya bisa menatap kebingungan.

Sementara Melinda lari tunggang langgang mencari keberadaan Cakra. Beberapa kali kakinya tersandung karpet, kursi, bahkan pergelangan kakinya sendiri.

Tok! Tok! Tok!

"Mas ... Mas Cakra. Buka, Mas! Mbak Dani ada di luar." Setengah berbisik Melinda mengetuk pintu kamar mandi saat mendengar suara keran air dari dalam. Wajah cantiknya terlihat begitu panik.

Ceklek!

"Ada apa, sih, Mel?"

Cakra keluar hanya dengan kaus putih dan celana boxer cokelatnya. Kebetulan lelaki itu datang hanya membawa diri, tas, laptop, dompet, dan pakaian kerja yang masih lengkap. Ekspresinya begitu tenang, berbanding terbalik dengan Melinda yang begitu kelimpungan.

"M-m-bak Da-dani ada di lu-luar." Mendadak dia tergagap.

"Danita? Di man--"

"Mel! Melisa ... kami di mana?"

Melinda terbelalak seketika. Refleks dia mendorong tubuh Cakra kembali ke kamar mandi, dan masuk bersamanya.

Brak!

"Sebentar, Mbak. Aku lagi toilet!"

Pintu dibanting keras. Napas Melinda terdengar berat. Kepanikan membuatnya seketika hilang konsentrasi hingga tak sadar dengan posisi. Posisi tubuhnya dan Cakra saat ini.

"Ekhmm." Cakra berdeham.

Melinda terkejut saat sadar, dan lekas menarik diri.

"Maaf," gumamnya begitu pelan.

"Kenapa kamu harus takut, Mel? Kita belum melakukan apa-apa. Nggak usah panik. Sambut kakakmu seperti biasa," ujar Cakra, "Nanti saya nyusul!"

"Nggak!" sentak Melinda seketika.

Dia benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran Cakra.

Dia seolah ingin menunjukkan dengan terang-terangan pada Danita bahwa mereka memang ada apa-apa.

"Kenapa, Mel? Kamu nggak apa-apa, kan?"

Suara Danita kembali terdengar. Derap langkahnya mendekati pintu.

Perasaan Melinda semakin tak menentu. Bahkan seluruh tubuhnya seperti mati rasa.

"Ng ... nggak apa-apa, Mbak. Ta-tadi a-aku cuma kaget karena tiba-tiba ada kecoa," sangkal Melinda gelagapan.

"Oh. Ya udah Mbak tunggu di depan aja, ya!"

"I-iya."

Derap langkah Danita terdengar menjauh. Setidaknya Melinda bisa menghela napas lega sementara.

"Biar saya yang jelaskan sama Dani," celetuk Cakra tiba-tiba.

"Nggak. Dengan keadaan kayak gini? Kamu udah gila?" Melinda melotot.

"Ya, saya memang udah gila, Mel," jawab Cakra santai.

"Please, Mas ...." Melinda memelas. "Jangan keluar dari kamar sebelum aku ajak Mbak Dani pergi. Tolong! Cuma dia yang aku punya. Aku nggak mau hubunganku dengan Mbak Dani rusak karena ini." Mata Melinda mulai berkaca-kaca yang membuat Cakra tak tega.

"Oke," pungkasnya.

Melinda tersenyum kecil, kemudian beranjak dari kamar mandi.

Dengan pikiran yang kalut dia menghampiri Danita yang tengah duduk di sofa sembari mengelus perut buncitnya.

"Mbak."

Danita menoleh, senyumnya tersungging begitu tulus saat menatap sang adik. Ditariknya tangan Melinda agar segera duduk di sampingnya.

Sejenak, mereka hanya saling menatap. Sampai beberapa saat kemudian Danita tiba-tiba menunjukkan sorot mata yang tak biasa.

"Mel ...."

"Ada apa, Mbak?" tanya Melinda khawatir sembari menggenggam tangan Danita yang terkepal di atas paha.

"Mas Cakra."

Deg!

"Udah sebulan dia nggak pulang."

.

.

.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status