Share

Tamu Tak Diundang

Danita dan Melinda adalah anak yatim-piatu. Mereka ditinggalkan orangtuanya sejak beranjak remaja. Keduanya sudah terbiasa mandiri hingga tak berani menyusahkan sang nenek yang sudah merawat mereka sampai dewasa.

Danita dipersunting Cakra empat tahun lalu, mereka sudah dikaruniai seorang putra yang begitu tampan bernama Arkana. Dan sekarang kakak dari Melinda itu sedang mengandung anak kedua mereka yang sudah berumur tujuh bulan.

Cakra adalah anak dari pemilik sebuah Toserba terkemuka. Di kantor pusat dia menjabat sebagai Marketing Manager.

Bagi Melinda, selama tiga tahun ini hubungan kakak dan iparnya itu terbilang baik-baik saja.

Namun, kenapa Cakra tiba-tiba melontarkan sebuah pernyataan mengejutkan? Bagaimana bisa dia berniat menceraikan Danita, sementara selama ini Melinda melihat kakaknya itu bak istri yang begitu sempurna?

"Jadi, itu alasan Mas datang ke mari?" Melinda kembali membuka suara setelah keheningan panjang menyelimuti mereka.

Cakra mengalihkan pandangan dari sepasang sepatu pantofel yang mengkilat di bawahnya. Dia menatap wajah cantik Melinda dengan gincu merahnya. Untuk sesaat fokus lelaki itu terpecah. Ada sesuatu yang terbangkitkan di dalam sana, tapi dia berusaha menahannya.

"Bukan cuma itu, sebenarnya saya datang untuk memastikan sesuatu."

Melinda terdiam sejenak.

"Tentang?"

Melinda mulai menyadari ada yang lain dengan tatapan Cakra. Membuat posisinya kian terasa dilema.

"Perasaan saya padamu."

***

Tak ada yang terjadi malam tadi. Cakra dan Melinda memang menghabiskan malam bersama, tapi di ruangan yang berbeda.

Melinda mulai menyadari bahwa ada yang salah di sini. Pergolakan batin yang hebat membuat hatinya menang melawan logika yang entah terhempas di mana. Dia membiarkan Cakra tinggal. Seperti kesepakatan yang sudah mereka buat di awal.

Di atas pembaringan berukuran queen itu Melinda berada. Dia tak berani keluar dari kamar sejak memberikan selimut dan bantal untuk Cakra gunakan beristirahat di sofa.

Pikirannya masih terus mencerna tentang maksud ucapan Cakra semalam. Apa yang dia maksud dengan memastikan perasaan?

Bau nasi goreng yang menguar dari celah ventilasi menginterupsi Melinda. Cacing-cacing di perutnya mulai meronta-ronta mengingat sejak semalam belum ada sebutir pun nasi yang dimakannya.

Dengan sangat terpaksa Melinda bangkit dari ranjangnya, lalu berjalan menuju wastafel untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Kemudian menggantikan gaun tidur mininya dengan kaus kebesaran dan celana training panjang.

Dia sisir rambut panjang yang dicat golden brown itu, lalu mengikatnya asal, hingga meninggalkan kesan berantakan, tapi terlihat begitu manis.

Pintu dibuka perlahan. Dia melihat Cakra sedang memindahkan nasi goreng dari wajan pada dua piring yang sudah disiapkan di atas meja kecil dengan dua kursi kayu yang berhadapan.

Unit apartemen Melinda memang terbilang minimalis, tapi tempatnya begitu nyaman dan selalu tertata rapi. Itu semua dia lakukan agar para 'tamunya' bisa betah di sini.

"Maaf kalau saya lancang. Ini hanya inisiatif karena penghuni rumah mungkin lupa menjamu 'tamu' dengan baik." Sindiran halus Cakra membuat pipi Melinda bersemu. Perempuan itu menggaruk rambut yang sebenarnya tak gatal.

"Maaf," gumamnya.

Cakra hanya tersenyum tipis.

"Makan aja! Saya sengaja bikin dua porsi buat kamu."

Melinda mengangguk kikuk, dia menarik kursi tepat di hadapan Cakra. Lalu mulai makan perlahan.

Tak ada percakapan, keduanya sama-sama menikmati sarapan dalam keheningan dan pikiran masing-masing.

Sesekali Melinda kedapatan memerhatikan Cakra. Sebenarnya dia sangat iri pada Danita. Dia bisa mendapatkan sosok suami yang nyaris sempurna.

Lihatlah apa yang tidak bisa Cakra lakukan? Selain tampan dan cerdas, lelaki itu juga memiliki berbagai keahlian di bidang lain. Contohnya dalam memasak. Hasilnya tak pernah mengecewakan lidah Melinda.

"Berhenti menerima jasa room service khusus. Kalau butuh uang tinggal bilang sama saya." Cakra membuka percakapan yang membuat Melinda menghentikan satu suapan terakhir nasi gorengnya.

"Nama samaran Melinda juga sama sekali nggak cocok buat kamu," tambahnya.

Denting sendok yang beradu dengan piring terdengar. Melinda kembali menatap Cakra dengan tajam.

"Ini bukan tentang uang dan materi. Makasih sebelumnya. Tapi maaf, aku bukan tipe manusia yang suka mengemis belas kasihan dan memanfaatkan kekayaan seseorang."

"Saya juga nggak pernah mengasihani orang, atau mengatakan kamu mata duitan."

Melinda mengedikkan bahu. "Terserah."

"Saya cuma mengatakan padamu untuk berhenti merusak diri demi rupiah yang tak seberapa."

"Aku, kan udah bilang kalau ini bukan tentang uang! Udah beberapa kali kukatakan kalau room service khusus yang kutawarkan bukan cuma tentang memuaskan hasrat lelaki." Melinda mulai hilang kesabaran dan bangkit dari kursi.

"Lalu apa? Demi kepuasan diri? Mendengar caci-maki orang? Dan menjadi wadah bagi para pecundang?" balas Cakra tak kalah sengit.

"Mas!" bentak Melinda.

"Kalau terus begini, saya makin yakin kalau kamu lagi nggak baik-baik aja, Mel. Kamu itu kesepian!"

"Nggak!" sangkal Melinda dengan gelengan kepala.

"Bohong. Kamu cuma menyangkalnya. Dari pada begini, lebih baik saat itu kamu terima aja tawaran saya."

Melinda terlihat mengacak rambut frustrasi.

"Udah berapa kali kutegaskan, aku nggak mau jadi istri kedua, Mas!"

"Kalau begitu saya benar-benar akan menceraikan Danita."

"Mas Cakra!"

Ting, tong!

Bersamaan dengan teriakan Melinda suara bel terdengar. Perempuan itu menghentakkan kakinya dan berlalu dari hadapan Cakra.

Bergegas dia membuka pintu tanpa melihat di layar lebih dulu.

Sontak tubuh Melinda pun membeku, saat tahu siapa orang yang baru saja datang.

"Mbak Danita!"

.

.

.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status