Seminggu sudah berlalu Laiba masih sibuk dengan rutinitasnya meskipun tidak mencari kabar, tapi otaknya juga masih bertanya-tanya tentang Ayana dan Dedalu tapi ketika berpapasan dengan laki-laki itu dan ekspresinya masih begitu-begitu saja Laiba yakin jika wanita itu masih belum mengatakan apapun. Laiba sedang bertaruh dengan keputusan yang akan di ambil oleh wanita itu karena dirinya tidak begitu punya banyak bukti akan hubungan Anthony dengan calon istri Dedalu itu. "Jika dia pintar, tidak mungkin mempertaruhkan keluarganya untuk satu laki-laki."Laiba hanya menanamkan keyakinan pada Ayana jika Laiba memiliki banyak hal memalukan yang akan merusak citra kelurganya dan Laiba yakin dengan hal itu taruhan itu hanya akan waktu yang akan membuktikannya. Kini langkahnya sudah mendatangi sebuah alamat yang ditunjukkan oleh ponselnya, Laiba meminta Makky untuk membagi alamatnya karena dirinya akan berkunjung.Jika bukan karena Bram mengeluh tentang banyaknya pekerjaan yang menumpuk Laiba t
Laiba tidak lagi mempertanyakan dari mana asal usul sampo ini berasal lagipula dirinya sudah memprediksi jika cepat atau pun lambat pria ini akan mendapatkannya tapi dirinya sendiri yang lupa jika dirinya pernah menyukai aroma dari sampo ini sedangkan Makky yang sibuk mencarinya."Bisakah setelah kembali dari sini kita bicara sesuatu yang penting?" Laiba mengubah pembicaraan mereka."Apa yang terjadi lagi?""Bukan apa-apa.""Lalu apa yang tidak bisa kamu bicarakan di sini?""Bukan sesuatu yang penting tapi masih harus kita bicarakan jika kamu masih sibuk aku masih bisa menunggu." Makky tidak lagi menyahut tapi kini menatapnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun itu membuat Laiba tidak nyaman setelah beberapa waktu berada di bawah tekanan tuan muda Makky akhirnya mulut wanita itu bicara."Uang, uang. Aku ingin kita membahas tentang uang," ucap Laiba tidak terlalu keras masih takut jika orang lain mendengarkan karena melihat Anthony yang baru saja kembali dari toilet."Aku sedang tidak p
Seperti disambar petir di siang bolong Ayana menatap tidak percaya kepada Laiba mulutnya terbuka dan itu juga bergetar hebat, Ayana menggunakan telapak tangannya untuk menutupi mulutnya sendiri."Kamu pikir dengan berpakaian bagus dan mahal berkumpul dengan kalangan atas akan menghilangkan darah kotor pada tubuhmu?" Laiba tertawa jahat dan semakin lama tawa itu semakin memekikkan telinga Ayana. "Jangan harap Ayana kamu berperilaku seperti seorang tuan putri yang mulia padahal kamu hanya sebuah produk cacat yang tidak diinginkan oleh ibumu sendiri.""Diam!" Kini kedua tangan wanita itu menutupi telinganya sendiri menolak mendengar fakta yang dikatakan oleh Laiba. Tubuhnya merosot dan jongkok di bawah wastafel sambil menangis."Jika kamu memilih opsi kedua maka aku akan berbaik hati memberi tahu siapa ibumu dan di mana wanita itu dimakamkan. Bukankah aku baik padamu?"Ayana tiba-tiba menitihkan air mata ketika mendengar ucapan Laiba meskipun sudah menutup keduanya telinganya dengan tang
Dengan kesal Ayana masuk ke dalam toilet perempuan yang ada di bioskop, hari ini Dedalu mengajaknya menonton film dan siapa yang menyangka jika disaat film akan dimulai laki-laki itu akan menghubunginya tentunya Ayana harus mencari alasan untuk pergi mana mungkin Ayana mengangkat panggilan itu, sedangkan Dedalu ada di sampingnya jika tidak menerima panggilan itu Anthony akan terus menghubunginya tanpa henti takutnya Dedalu akan menyadarinya.Setelah menunggu beberapa saat hingga toilet perempuan itu kosong Ayana mengangkat panggilan itu yang terus berdering kemudian langsung memarahi pihak lain dengan nada marah dan tidak sabar."Apakah kamu gila?" ucapnya ketika panggilan itu terhubung."Ya aku gila," jawab Anthony."Aku sedang keluar bersama Dedalu dan kamu terus menelpon aku tanpa henti.""Aku hanya merindukanmu.""Kita baru bertemu seminggu yang lalu. Lagi pula kita sudah menyelesaikan semuanya sudah tidak ada apapun diantara kita semuanya sudah usai.""Belum.""Anthony. Sebenarny
Melihat jika Laiba berjalan tanpa alas kaki Dedalu melepaskan sepatunya sendiri dan meletakkan di depan Laiba. "Kenakanlah."Laiba melihat bagaimana Dedalu memperlakukannya dengan baik jika dirinya tidak melihat kebenaran tentang Ayana mungkin dengan mulutnya Dedalu sudah mendapatkan makian dan hujatan darinya, bagaimana mungkin seseorang yang sudah akan menikah memperlakukan wanita lain seperti ini atau yang lebih halus memperingatkan laki-laki itu dengan ucapan lembur, "Apakah Ayana tidak akan marah jika mengetahui hal ini?" Tapi itu tidak keluar dari mulutnya dan hanya mengikuti tawaran Dedalu.Nampaknya Dedalu juga cukup puas dengan tanggapan Laiba yang cukup baik karena jika itu hari lain Laiba hanya akan menatapnya dengan dingin mencemoohnya dan berlalu begitu saja benar-benar menganggapnya sebagai angin lalu alih-alih sebagai kenalan lama apalagi sebagai mantan."Apa yang kamu lakukan disini?" Dedalu cukup terkejut mendengar wanita disampingnya mengajukan pertanyaan untuk pert
Napas Lifamatola terengah-engah tangannya juga sudah sangat panas hampir mati rasa karena digunakan untuk menampar, memukul adiknya sendiri yang masih terikat kaki dan tangannya jangan tanya kondisinya saat ini kesadarannya mungkin hanya tinggal 20% seluruh tubuhnya sudah babak belur penuh dengan memar dan juga ada darah di bibirnya yang pecah karena pukulan dari Lifamatola.Lifamatola seperti sudah tidak sanggup lagi memberikan pelajaran untuk adik laki-lakinya yang tidak berguna ini tapi mengingat bagaimana setiap lembar uang seratus ribu akan jatuh di atas meja ketika dirinya memukul Aris dan uang itu tidak akan jatuh lagi dari tangan Laiba ketika pukulannya tidak begitu kuat dan berhenti turun jika Lifamatola tidak lagi memukul laki-laki itu. Tapi detik ini dirinya sudah hampir tidak kuat lagi tenaganya habis dan melihat uang sudah memenuhi meja dirinya cukup puas."Aku sudah tidak kuat lagi, aku lelah," ujar Lifamatola merebahkan tubuhnya di sofa keringatnya sudah membasahi bajun