Share

Pelukis Buta Milik Sang CEO
Pelukis Buta Milik Sang CEO
Author: Piemar

1. Vonis Dokter

"Bisakah saya bicara dengan ke dua orang tua Zaara Nadira?” tanya sang dokter mata seraya menatap lelaki berjambang tipis mirip aktor Turki Emre Kivilcim di hadapannya. Lelaki itu diperkirakan seumurannya, hanya saja dia bertubuh atletis di usianya yang tak lagi muda. Dia pandai merawat tubuhnya dengan gym. 

“Maaf, Dokter, ke dua orang tua Zaara telah meninggal setahun lalu karena Covid. Saya sekarang walinya, pamannya, Alfian,” ucap pria paruh baya itu sembari mengulurkan tangannya pada dokter itu. Dengan senang hati dokter itu menyambut uluran tangannya. 

“Baiklah, kita bicara di ruangan saya sebentar Pak Alfian!” 

Dokter mata itu merangkul pundak Alfian untuk ikut masuk ke dalam ruangannya yang bercat putih pasi. 

Alfian terlihat begitu cemas mendengar ucapan dokter yang terdengar serius. Dokter itu pasti akan menceritakan kondisi kesehatan mata keponakannya. 

Pintu ruangan terkuak lebar dan terlihat ruangan dokter itu yang begitu rapi dan bersih. Tercium pula pengharum ruangan beraroma lavender. Mereka berdua berjalan masuk ke dalamnya dengan langkah gontai. 

Dokter itu pun mengenyahkan bokongnya di atas kursi ergonomis kebesarannya sedangkan Alfian duduk di kursi plastik berseberangan dengannya terhalang meja persegi panjang dengan perasaan tak karuan. Dia merasa seperti disidang oleh dosen penguji yang meminta pertanggungjawaban soal hasil skripsi yang disusunnya. Tak terasa peluh mengucur di pelipisnya, menetes melewati alisnya yang tebal hitam mirip ulat bulu. 

Bukan tanpa alasan Alfian begitu tegang, secara tak sengaja dia menangkap perbincangan yang terjadi di antara para perawat yang hilir mudik keluar masuk ruangan di mana Zaara dirawat. Dia sudah mengetahui kondisi terburuk yang menimpa keponakannya, hanya tinggal menunggu validasi dari sang dokter. 

“Pak Alfian, ini bukan berita yang baik tapi sebagai seorang dokter saya harus mengabari apapun kondisi baik ataupun buruk mengenai kesehatan pasien. Keponakan Anda, Zaara mengalami kebutaan akibat terkena benturan yang cukup keras yang menyebabkan saraf matanya rusak,” papar dokter mata dengan serius dan berhasil membuat Alfian seperti tersambar petir. 

“Ap-pa Dokter?” 

Tenggorokan Alfian terasa tercekat sehingga membuatnya menelan saliva susah payah. Tak percaya dengan apa yang dokter itu sampaikan. Dia sangat terkejut mendengar kabar itu.

Bagaimana bisa Zaara mengalami kebutaan hanya karena terbentur sedangkan dia tak mengalami luka serius di tubuhnya?

Alfian menggelengkan kepalanya. “Mana mungkin, Dok!” 

Tubuh Alfian seketika menunduk lesu bagai bunga yang layu dengan mata yang berkaca-kaca. Seketika bayangan melintas bak kereta monorel, persis beberapa hari yang lalu dia membantu mengemas lukisan mahakarya Zaara untuk dipamerkan esok hari. Lukisannya akan bersanding dengan lukisan para seniman muda ternama seperti Robby Dwi Antono, Naufal Absar, Sinta Tantra dan masih banyak pelukis muda berbakat lainnya. 

Andai malam tadi dia tidak mengijinkan Zaara pergi ke Pub menghadiri acara ulang tahun temannya. Mungkin kecelakaan tragis tersebut tidak akan terjadi. Sebuah motor gede melintas dan menabrak Zaara. Kepala Zaara terbentur pada bahu jalan beberapa kali. Sayang, pelaku melarikan diri dan tidak bertanggungjawab. Zaara ditemukan tergolek di aspal sendirian oleh seorang buruh pabrik yang baru pulang kerja. 

“Ini faktanya Pak Alfian, sepertinya beberapa kali Zaara mengalami benturan pada matanya. Saraf mata Zaara mengalami kerusakan dan …” ucapnya mengambil jeda. 

Dokter juga manusia seringkali mengalami dilema ketika harus dipaksa untuk menceritakan kondisi kesehatan pasiennya yang buruk. Dia mencoba memahami perasaan Alfian. 

“Dan apa Dok? Apakah bisa diobati misal dengan operasi?” tanya Alfian dengan penuh harap. 

“Um, akan sangat beresiko Pak Alfian. Ini bukan kornea mata yang bisa didonor dengan transplantasi kornea mata tetapi ini berkaitan dengan saraf. Pengobatan bisa dengan operasi tetapi kami tidak bisa menjamin akan sembuh seratus persen dan hal itu tentu sangat berisiko buat Zaara. Rumah sakit kami tak mampu dan menjamin kesembuhan Zaara,” papar dokter itu dengan terus terang. Dia tak ingin memberikan harapan palsu hanya demi menyenangkan hati keluarga pasien. 

Setelah mendengar penuturan dokter mata yang menangani Zaara, Alfian terbengong lama di depan ruangan di mana Zaara dirawat. Dia duduk dengan menangkup ke dua tangannya ke wajahnya dengan pundak yang berguncang akibat tangis yang tak mampu dia bendung. 

Dia bingung bagaimana nanti melihat reaksi Zaara setelah sadar karena dia tak bisa melihat. Zaara akan sangat terpukul karena dia seorang pelukis. Bagaimana bisa dia meneruskan karirnya dalam dunia lukis sementara dia buta. Mata adalah cara dia melihat sebuah objek lukis. Dan, besok adalah pameran perdana Zaara sebagai pelukis muda berbakat di Jakarta. 

“Bagaimana kondisi Zaara Pa?” tanya sang istri dengan khawatir. Dia pun turut duduk di samping suaminya, memberinya dukungan moril. 

“Ma, Zaara divonis buta oleh dokter,” ucap Alfian bernada lemah. Seolah harapannya ikut pupus melihat penderitaan keponakan yang sudah dia anggap seperti putri sendiri. 

“Astaga, Pa! Biaya operasi mata pasti mahal. Mama tidak sanggup, Pa. Papa sudah mending tidak usah sok-sokan jadi walinya Zaara. Kita mana mungkin bisa membiayai pengobatannya. Bukankah kakeknya Zaara orang kaya? Kenapa tidak kirim Zaara ke mereka?” tukas sang istri ternyata di luar dugaannya. Alfian tak mengira jika istrinya mempemasalahkan soal biaya pengobatan bukan mengkhawatirkan kondisi kesehatan fisik dan psikis Zaara. 

“Astagfirulloh, Ma. Kok kepikiran kayak gitu sih! Zaara anak kakak Papa, berarti sudah seperti Evelyn putri kita. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain kita,”

“Tidak! Mama akan pergi dari rumah kalau Papa masih mau ngurus Zaara yang buta. Zaara nambah beban hidup kita,” 

“Ma …” 

Eva pergi meninggalkan sang suami karena kesal. Dia mengentakkan kakinya dan menepis cengkraman Alfian yang berusaha membujuknya. 

Alfian semakin tertekan melihat kondisi Zaara dan Eva. Zaara keponakannya dan Eva istrinya. Dia dilanda bingung jika harus membuat sebuah pilihan di antara mereka. Mereka bukanlah benda yang bisa dipilih dan dibuang sesuka hati. Mereka adalah bagian dari dirinya. 

Tak mungkin Zaara dikirim ke keluarga ayahnya yang notabenenya sudah tidak menganggap Zaara sebagai bagian dari keluarga Hantoro. Ibunya Zaara menikah dengan ayahnya Zaara yang berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya Zaara dikeluarkan dari kartu keluarga karena menikahi ibunya Zaara yang seorang gadis biasa, seorang seniman jalanan. 

*** 

Di dalam ruangan, Zaara baru sadar dari siumannya. Dia kaget bukan main karena saat dia berusaha membelalakkan ke dua bola matanya, pandangannya menjadi gelap. Tak ada setapis noktah sekalipun yang memendarkan cahaya. 

Benar-benar gelap. Seolah Zaara memasuki dimensi kematian. Apakah dia mengalami kematian yang teramat buruk sehingga dia kini berada di dalam tempat yang gelap dan kelam? 

“Kenapa gelap Sus?” tanya Zaara dengan suara yang bergetar dan bibir merah delima yang berkerut. Zaara terlihat frustrasi. Dia berusaha memejamkan matanya lalu membelalakannya lagi. Nihil, pandangannya tetap gelap gulita. 

“Mbak Zaara …” ucap perawat ingin menjelaskan. 

“Gelap … aku tak bisa melihat Sus,” pekik Zaara merasa panik. 

Zaara mencoba meraba-raba dengan isak tangis. Perawat yang melihatnya merasa iba. Sebab dia hanya bisa meraba angin. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status