Home / Romansa / Pelukis Buta Milik Sang CEO / 2. Kesedihan yang berlipat ganda

Share

2. Kesedihan yang berlipat ganda

Author: Piemar
last update Last Updated: 2022-12-06 19:19:25

“Sabar ya Mbak Zaara, nanti Mbak Zaara sembuh kok asalkan menjalani pengobatan rutin. Saat ini Mbak Zaara butuh beradaptasi, menajamkan indera yang lain untuk membantu beraktifitas,” nasehat seorang perawat berusaha menenangkan Zaara yang terlihat putus asa.

Seandainya dioperasi sekalipun beresiko. Kecuali jika pengobatan di luar negeri yang lebih canggih mungkin itu bisa jadi pilihan lain. Namun biaya operasi tidaklah murah. Hal yang musykil terjadi pada Zaara mengingat kondisi finansial pamannya yang buruk sebab perusahaannya gulung tikar akibat dampak pandemi. 

Hiks … hiks … hiks … 

Zaara menangis perih mengetahui keadaaan matanya yang tak bisa melihat. 

“Zaara, kamu harus tetap semangat untuk sembuh. Nanti kamu bisa menjalani pengobatan. Jika kamu semangat, maka kamu bisa pulih meskipun saya tidak bisa memastikan berapa lama,” papar dokter Yoga, dokter mata yang menangani Zaara berusaha menenangkannya. 

“Dokter bohong!” pekik Zaara yang memang benar adanya. Dokter hanya ingin memotivasinya tetapi tak bisa menjamin kesembuhannya. Mendengar hal tersebut dokter Yoga mencelos dan ikut merasa bersedih. 

Setelah kepergian dokter Yoga dari ruangan, Zaara bertindak impulsif dan agresif dengan mengamuk histeris dan berusaha menyerang para perawat. Dia menarik selang infus dan melemparnya ke sembarang arah hingga tiangnya terguling nyaris menimpa kepala perawat yang menjaganya. Perawat yang menjaganya sampai mencak-mencak kesal karena perbuatannya. Tidak hanya itu, Zaara berteriak-teriak seperti orang kerasukan. 

Hal tersebut tentu membuat kehebohan di ruangan itu. Dengan terpaksa Zaara disuntik obat penenang untuk mengendalikan emosinya yang meledak-ledak. 

Sejam kemudian Zaara berangsur tenang karena Alfian juga memberanikan diri datang menghampirinya, memberikan support padanya. 

Selain mengamuk Zaara juga beberapa kali tak sadarkan diri. Alfian hanya berpangku tangan menyaksikan penderitaan keponakannya. 

“Sabar Sayang! Om tidak bisa merasakan apa yang kamu rasakan tapi Om yakin kamu bisa melewatinya,” Alfian menarik Zaara dalam pelukannya, membiarkan dirinya menumpahkan segala kesedihannya. Zaara terus menerus menangis dan memukul-mukul dada pamannya seperti orang tidak waras. 

Sepulang dari rumah sakit, kondisi Zaara semakin buruk. Dia terlihat semakin putus asa. Dia tidak mau makan dan minum seharian. Dia sudah seperti mayat hidup saja, wajah pucat bagai kunarpa. 

Di sudut kamarnya yang didominasi warna tosca dia hanya diam memeluk ke dua lututnya dengan kepala yang tenggelam menangis sehingga menyebabkan matanya yang sipit tampak segaris. Melihat hal tersebut membuat Alfian merasa sangat terpukul. Dia merasa gagal menjadi walinya. Padahal dia sudah berjanji pada kakaknya, Khansa yang tak lain ibu kandung Zaara untuk menjaganya. Dia menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi padanya. 

Beberapa panggilan telepon yang bersumber dari tunangannya dan panitia pameran berbunyi tetapi Zaara mengabaikannya. Dia membatalkan pameran lukisan secara sepihak. Dia sudah merasa seperti berada di ujung tanduk, seolah harapan hidupnya sirna bersama angannya untuk menjadi seorang seniman terkenal. Ambisi menjadi seorang pelukis sudah khatam. 

Cinta? Persetan dengan cinta. Mengetahui kondisi Zaara yang sakit, tunangannya pasti meninggalkannya. Isi kepala Zaara dipenuhi prasangka buruk.

Melihat kondisi Zaara yang memprihatinkan, tangis Alfian pun pecah apalagi saat dia memandang foto almarhum kakaknya. Dia menjadi begitu melankolis. 

‘Maafkan adikmu yang tak berguna ini Mbak Khansa,’ batinnya menangis. 

Dari sisa tabungannya, Alfian mendatangkan psikolog untuk Zaara. Setidaknya Zaara bisa berkonsultasi soal depresi yang dia derita akibat kebutaan yang dia alami. Namun Alfian tak mampu membayarnya lagi di minggu ke dua sebab Evelyn, putri semata wayangnya tengah butuh biaya besar untuk kuliah dan Eva benar-benar mengancamnya akan meninggalkan rumah jika terus menghabiskan uang untuk Zaara. 

Dua minggu kemudian 

“Pa, kenapa tidak menghubungi Ray agar cepat menikahi Zaara?” cetus Eva yang lebih mirip suara klakson kapal tua. “Biar suaminya nanti yang merawatnya,” 

Alfian bergeming mendengar perkataan istrinya yang tak pantas. Sepertinya dia sudah lupa jika ke dua orang tua Zaara sangat berjasa bagi kehidupan mereka. Bahkan rumah yang mereka tinggali saja adalah hibah dari Aksara, ayahnya Zaara. Pun, modal usaha Alfian yang bergerak di bidang laundry disokong oleh Aksara.

“Mama, tolong bicara pelan nanti terdengar Zaara. Ray belum tahu kondisi Zaara. Dia juga sedang berada di luar negeri, ” ucap Alfian dengan menuding jarinya ke bibirnya. 

“Aku tak peduli, Pa! Sengaja biar Zaara dengar! Kalau dia cepat menikah dengan Ray, pasti kehidupannya terjamin. Ray pasti mengobati Zaara hingga ke luar negeri. Bukankah teknologi medis di luar negeri sudah semakin maju?” beo Eva. “Zaara sembuh dan masalah selesai,” 

Zaara yang tak sengaja mendengar mereka merasa sedih. Dia tengah mematung di antara pintu penghubung kamar dan ruang tamu. Dia keluar ingin menghancurkan seluruh lukisan yang dia buat dengan susah payah. Dia benar-benar frustrasi. Dia sekarang menjadi beban keluarga bukan lagi harapan bagi mereka. 

Namun saat dia mendengar paman dan bibinya bercengkrama membuatnya teringat kekasihnya itu. Dia akan meminta tolong pada kekasihnya untuk membantunya mengobati matanya mengingat kekasihnya itu anak seorang pengusaha kaya raya, yang juga berprofesi sebagai arsitek. Semoga saja kekasihnya mau menerima kondisinya yang buta. 

“Aku akan segera hubungi Ray,” gumamnya.

Zaara langsung meraih ponselnya, meminta tolong pada ART untuk mencarikan nomor kekasihnya. Tidak membuang waktu, Zaara menekan nomornya dan langsung terhubung dengannya. Ini pertama kalinya semenjak dia divonis buta, dia menggunakan ponselnya. Sebelumnya dia tidak berani mengangkat telepon dari siapapun termasuk kekasihnya itu karena merasa sangat malu atas kondisinya. 

[Apa Baby?] sahut Ray di seberang telepon. [Kamu jahat banget! Tiba-tiba ghosting. Aku kangen berat sama kamu, Honey.] 

[Maaf, selama ini aku sakit, jadi aku tak bisa menghubungimu. Apa kamu sudah pulang dari Hongkong?] 

[Sudah, kenapa Baby?] 

[Aku akan ke rumah sekarang ya, aku ingin bicara hal penting,] ucap Zaara dengan suara yang bergetar. 

[Kamu nangis Zaara?] 

[Ray,] 

Zaara berharap bertemu dengan Ray akan menenangkan hatinya. Bukankah selama ini Ray senantiasa membersamainya dalam suka dan duka, apalagi setelah sepeninggal ke dua orang tuanya.

[Aku akan jemput kamu kalau begitu,] 

[Baiklah,] 

Zaara mengangguk. 

Sudah lebih dari tiga puluh Menit Zaara menanti kedatangan Ray di rumahnya. Namun batang hidungnya masih belum terlihat. 

“Ray, aku akan pergi ke rumahmu kalau begitu,” gumamnya. Diantar supir Alfian, Zaara pergi ke rumah Ray. 

Zaara penasaran kenapa Ray tidak menjemputnya lantas dia memberanikan diri mengunjungi rumahnya yang terlihat sepi. Dia memaksa meminta masuk pada security yang berjaga di pintu gerbang raksasa hunian Ray setelah menyogoknya dengan selembar uang bergambar sang proklamator. Pasalnya, tuannya itu tidak mengijinkan tamu datang. Namun sedetik kemudian security itu mengijinkan Zaara masuk karena dia tahu jika gadis cantik berambut panjang sepunggung itu kekasih tuannya. 

Dengan mengayunkan tongkat, Zaara memasuki kamar Ray yang tak jauh dari ruang tamu. Namun apa yang dia temukan? Saat dia hendak mengetuk pintu kamarnya terdengar suara yang aneh dari dalam kamar yang membuatnya tersentak. Ada suara serak, desahan dan lenguhan yang bersahutan. Suaranya mirip suara Ray dan suara seorang gadis. 

Tangannya langsung bergetar hebat dan seketika air matanya tumpah detik itu juga. Amarahnya semakin membuncah dan membuatnya membuka pintu yang memang tak dikunci itu dengan paksa. Pintu terjeblak sempurna. 

“Ray …” suara Zaara terdengar lantang, itu pun sambil berjalan lamban dengan tongkat yang menuntunnya. 

Ray dan seorang gadis yang berada di kamarnya tersentak melihat kedatangan Zaara. Mereka dalam keadaan polos di mana posisi sang gadis berada di atas tubuh Ray. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelukis Buta Milik Sang CEO   122. Pengantin pengganti (tamat)

    Kediamaan Harun malam ini begitu indah, dihiasi bebungaan berwarna warni dan lampu-lampu kristal yang menggantung indah. Halaman rumah yang begitu luas tersebut telah disulap menjadi sebuah venue pernikahan garden party yang hangat dan romantis.Malam ini akan diadakan malam di mana seorang pria dan wanita akan melepas masa lajangnya dengan mengadakan walimah dan dihadiri oleh keluarga inti dan kerabat terdekat.Acara walimah aqad ijab qabul akan diadakan di sebuah pelaminan yang hanya dihadiri oleh calon mempelai pria, wali, saksi dan penghulu. Pengantin wanita menunggu di ruangan terpisah. Zaara kini terlihat cantik dengan penampilan pengantin ala Sunda, mengenakan kebaya berwarna putih tulang dan tetap memakai kerudung yang dipadupadankan dengan hiasan siger di kepalanya. Dia terlihat sangat cantik dan berbeda setelah dirias oleh seorang MUA profesional.Namun Zaara bersedih saat yang sama. Ada banyak kesedihan yang dia rasakan malam ini. Pertama dia sedih karena harus menikah den

  • Pelukis Buta Milik Sang CEO   121. Meminta restu

    Suatu malam yang hening, Zaara tengah duduk di taman depan rumahnya. Dia tengah termenung menikmati hembusan angin malam yang menerpa wajahnya.Harum semerbak anggrek bulan yang tengah mekar menyapa indera penciumannya. Zaara merasa tenang saat menghidunya.Namun ada aroma parfum yang dia kenal familiar tiba-tiba muncul. Hanya satu orang yang dia tahu suka memakai parfum mahal dan mewah berasal dari Paris tersebut, parfum beraroma woody floral musk. Seketika Zaara berdiri dan berusaha mencari sang pemilik aroma tersebut.Mata Zaara berembun tatkala kakinya dengan begitu saja melangkah menghampiri pemuda yang begitu dia rindukan. Namun sosok pemuda yang berdiri di hadapannya memilih melangkah mundur, menghindari Zaara hingga membuat Zaara terlihat sedih dan kecewa.“Mas Haikal, kau kah itu?”Zaara spontan menyebutkan nama sang empunya aroma yang familier tersebut. Pria yang Zaara dekati memilih diam dengan pikiran yang gelisah.“Mas Haikal kenapa diam? Kenapa Mas selalu mempermainkan h

  • Pelukis Buta Milik Sang CEO   120. Lamaran Haidar

    “Di mana Safira?” pekik Haikal ketika kakinya menginjak lantai sebuah apartemen. Kini Safira berada di apartemen miliknya karena lokasinya dekat dengan lokasi shooting di mana dia bekerja. Saat ini Safira Nasution memperoleh tawaran dari salah satu perusahaan advertising untuk menjadi model iklan kosmetik kecantikan.Kean yang merupakan pengawal pribadi Safira langsung menghadang jalan Haikal. Kebetulan Kean saat itu berada di luar pintu apartemen.Kean ditugasi Safira untuk berjaga di depan pintu masuk karena sang nona muda tak ingin diganggu. Dia ingin istirahat sejenak karena letih begadang beberapa hari setelah melakukan shooting.“Nona Safir tak bisa diganggu! Beliau sedang istirahat.”Kean menjawab dengan nada tegas, berharap Haikal akan segera pergi dari sana dan tak mencari gara-gara lagi dengannya. Seingat Kean, Haikal terakhir kali menghajarnya bertubi-tubi.“Aku harus bertemu dengannya sekarang! Minggir kau!” titah Haikal dengan menaikkan suaranya beberapa oktaf. Haikal mem

  • Pelukis Buta Milik Sang CEO   119. Gamang

    “Kau habis dari mana?” tanya Elia berkacak pinggang saat menyambut kedatangan Haikal malam itu. Sepulang mengantar Zaara ke klinik Haikal memutuskan pulang ke kediaman sang ibu karena ada hal yang harus dibicarakan dengannya. Haikal akan mengabari tentang batalnya pernikahan di antara dirinya dan Safira sehingga ibunya tidak akan mempermasalahkannya lagi. Namun tentu Haikal tidak akan langsung mengabari malam itu karena dirinya sudah cukup letih. Dia baru akan mengabari sang ibu keesokan harinya.Siapa sangka, Elia terbangun saat mendengar suara deru mesin mobil Haikal. Melihat kedatangan putranya tersebut, Elia keluar dari kamarnya dengan mengenakan piyama tidur berbentuk kimono, menghampiri Haikal yang baru saja masuk dengan wajah letih dan pakaian yang berantakan.“Belum tidur Mom?”Haikal hanya menimpali sang ibu dengan begitu santai. Dia berjalan melewatinya menuju kamarnya. “Aku mau istirahat Mom! Besok kita bicara. Aku letih.” Haikal memijit pelipisnya.“Tunggu, kita bicara sek

  • Pelukis Buta Milik Sang CEO   118. Selamat

    Tenggorokan Zaara terasa terbakar setelah dipaksa minum minuman cairan berwarna merah oleh pria tua bangka berperut buncit. Entah minuman apa yang diberikan olehnya. Tubuhnya terasa panas dan dia ingin sekali melepas pakaiannya saking merasa kepanasan. Namun dia berusaha menahan diri untuk tetap menjaga kewarasannya. Zaara sama sekali tak memahami reaksi tubuhnya. Dia sampai mengepalkan jemari tangannya pada lantai agar efek tersebut hilang.Pria itu hanya tersenyum miring melihat Zaara terlihat gelisah dan kepanasan. Saat Zaara akan melompat dari balkon, pria itu segera menyeret Zaara masuk ke dalam kamar tersebut setelah memaksanya minum.“Argh, apa ini? Kenapa dengan tubuhku. Panas sekali. Aku tak tahan. Aku harus mengguyur tubuhku dengan air dingin.”Zaara bergumam tak karuan. Namun karena pria tua masih berdiri di hadapannya, Zaara menahan diri untuk tidak melewatinya. Pria itu berdiri tepat di depan Zaara yang duduk bersimpuh dengan kondisi memprihatinkan.Pria tua mengambil pon

  • Pelukis Buta Milik Sang CEO   117. Aksi heroik

    Karena menghindari pengendara yang ugal-ugalan Haikal justru membanting stir dan dia nyaris menabrak seorang pria tua dengan rambut yang sudah memutih tengah berjalan kaki di sisi jalan. Saat itu dia sedang dalam perjalanan menuju istal kuda milik keluarganya. Untuk menghilangkan rasa penat karena begitu banyak beban yang menghimpit pikirannya dia berencana akan berkuda.Pria tua itu baru saja keluar dari pintu parkiran area rumah sakit. Akhirnya dia jatuh bersimpuh karena kaget. Lututnya terbentur jalan beraspal. Pasti terasa sakit sekali apalagi usianya sudah tak lagi muda.Haikal pun segera menepikan kendaraan beroda empatnya ke tepi jalan dan segera turun untuk menghampiri pria itu. Dia harus memastikan jika pria tua itu baik-baik saja. Jika terjadi apa-apa dengannya maka dia akan bertanggung jawab untuk mengobatinya. Seperti itulah yang seharusnya Haikal lakukan.“Pak, maafkan saya. Bapak tidak apa-apa?” tanya Haikal dengan ke dua tangan berusaha merengkuhnya, membantu bapak tadi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status