“Sabar ya Mbak Zaara, nanti Mbak Zaara sembuh kok asalkan menjalani pengobatan rutin. Saat ini Mbak Zaara butuh beradaptasi, menajamkan indera yang lain untuk membantu beraktifitas,” nasehat seorang perawat berusaha menenangkan Zaara yang terlihat putus asa.
Seandainya dioperasi sekalipun beresiko. Kecuali jika pengobatan di luar negeri yang lebih canggih mungkin itu bisa jadi pilihan lain. Namun biaya operasi tidaklah murah. Hal yang musykil terjadi pada Zaara mengingat kondisi finansial pamannya yang buruk sebab perusahaannya gulung tikar akibat dampak pandemi.
Hiks … hiks … hiks …
Zaara menangis perih mengetahui keadaaan matanya yang tak bisa melihat.
“Zaara, kamu harus tetap semangat untuk sembuh. Nanti kamu bisa menjalani pengobatan. Jika kamu semangat, maka kamu bisa pulih meskipun saya tidak bisa memastikan berapa lama,” papar dokter Yoga, dokter mata yang menangani Zaara berusaha menenangkannya.
“Dokter bohong!” pekik Zaara yang memang benar adanya. Dokter hanya ingin memotivasinya tetapi tak bisa menjamin kesembuhannya. Mendengar hal tersebut dokter Yoga mencelos dan ikut merasa bersedih.
Setelah kepergian dokter Yoga dari ruangan, Zaara bertindak impulsif dan agresif dengan mengamuk histeris dan berusaha menyerang para perawat. Dia menarik selang infus dan melemparnya ke sembarang arah hingga tiangnya terguling nyaris menimpa kepala perawat yang menjaganya. Perawat yang menjaganya sampai mencak-mencak kesal karena perbuatannya. Tidak hanya itu, Zaara berteriak-teriak seperti orang kerasukan.
Hal tersebut tentu membuat kehebohan di ruangan itu. Dengan terpaksa Zaara disuntik obat penenang untuk mengendalikan emosinya yang meledak-ledak.
Sejam kemudian Zaara berangsur tenang karena Alfian juga memberanikan diri datang menghampirinya, memberikan support padanya.
Selain mengamuk Zaara juga beberapa kali tak sadarkan diri. Alfian hanya berpangku tangan menyaksikan penderitaan keponakannya.
“Sabar Sayang! Om tidak bisa merasakan apa yang kamu rasakan tapi Om yakin kamu bisa melewatinya,” Alfian menarik Zaara dalam pelukannya, membiarkan dirinya menumpahkan segala kesedihannya. Zaara terus menerus menangis dan memukul-mukul dada pamannya seperti orang tidak waras.
Sepulang dari rumah sakit, kondisi Zaara semakin buruk. Dia terlihat semakin putus asa. Dia tidak mau makan dan minum seharian. Dia sudah seperti mayat hidup saja, wajah pucat bagai kunarpa.
Di sudut kamarnya yang didominasi warna tosca dia hanya diam memeluk ke dua lututnya dengan kepala yang tenggelam menangis sehingga menyebabkan matanya yang sipit tampak segaris. Melihat hal tersebut membuat Alfian merasa sangat terpukul. Dia merasa gagal menjadi walinya. Padahal dia sudah berjanji pada kakaknya, Khansa yang tak lain ibu kandung Zaara untuk menjaganya. Dia menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi padanya.
Beberapa panggilan telepon yang bersumber dari tunangannya dan panitia pameran berbunyi tetapi Zaara mengabaikannya. Dia membatalkan pameran lukisan secara sepihak. Dia sudah merasa seperti berada di ujung tanduk, seolah harapan hidupnya sirna bersama angannya untuk menjadi seorang seniman terkenal. Ambisi menjadi seorang pelukis sudah khatam.
Cinta? Persetan dengan cinta. Mengetahui kondisi Zaara yang sakit, tunangannya pasti meninggalkannya. Isi kepala Zaara dipenuhi prasangka buruk.
Melihat kondisi Zaara yang memprihatinkan, tangis Alfian pun pecah apalagi saat dia memandang foto almarhum kakaknya. Dia menjadi begitu melankolis.
‘Maafkan adikmu yang tak berguna ini Mbak Khansa,’ batinnya menangis.
Dari sisa tabungannya, Alfian mendatangkan psikolog untuk Zaara. Setidaknya Zaara bisa berkonsultasi soal depresi yang dia derita akibat kebutaan yang dia alami. Namun Alfian tak mampu membayarnya lagi di minggu ke dua sebab Evelyn, putri semata wayangnya tengah butuh biaya besar untuk kuliah dan Eva benar-benar mengancamnya akan meninggalkan rumah jika terus menghabiskan uang untuk Zaara.
Dua minggu kemudian
“Pa, kenapa tidak menghubungi Ray agar cepat menikahi Zaara?” cetus Eva yang lebih mirip suara klakson kapal tua. “Biar suaminya nanti yang merawatnya,”
Alfian bergeming mendengar perkataan istrinya yang tak pantas. Sepertinya dia sudah lupa jika ke dua orang tua Zaara sangat berjasa bagi kehidupan mereka. Bahkan rumah yang mereka tinggali saja adalah hibah dari Aksara, ayahnya Zaara. Pun, modal usaha Alfian yang bergerak di bidang laundry disokong oleh Aksara.
“Mama, tolong bicara pelan nanti terdengar Zaara. Ray belum tahu kondisi Zaara. Dia juga sedang berada di luar negeri, ” ucap Alfian dengan menuding jarinya ke bibirnya.
“Aku tak peduli, Pa! Sengaja biar Zaara dengar! Kalau dia cepat menikah dengan Ray, pasti kehidupannya terjamin. Ray pasti mengobati Zaara hingga ke luar negeri. Bukankah teknologi medis di luar negeri sudah semakin maju?” beo Eva. “Zaara sembuh dan masalah selesai,”
Zaara yang tak sengaja mendengar mereka merasa sedih. Dia tengah mematung di antara pintu penghubung kamar dan ruang tamu. Dia keluar ingin menghancurkan seluruh lukisan yang dia buat dengan susah payah. Dia benar-benar frustrasi. Dia sekarang menjadi beban keluarga bukan lagi harapan bagi mereka.
Namun saat dia mendengar paman dan bibinya bercengkrama membuatnya teringat kekasihnya itu. Dia akan meminta tolong pada kekasihnya untuk membantunya mengobati matanya mengingat kekasihnya itu anak seorang pengusaha kaya raya, yang juga berprofesi sebagai arsitek. Semoga saja kekasihnya mau menerima kondisinya yang buta.
“Aku akan segera hubungi Ray,” gumamnya.
Zaara langsung meraih ponselnya, meminta tolong pada ART untuk mencarikan nomor kekasihnya. Tidak membuang waktu, Zaara menekan nomornya dan langsung terhubung dengannya. Ini pertama kalinya semenjak dia divonis buta, dia menggunakan ponselnya. Sebelumnya dia tidak berani mengangkat telepon dari siapapun termasuk kekasihnya itu karena merasa sangat malu atas kondisinya.
[Apa Baby?] sahut Ray di seberang telepon. [Kamu jahat banget! Tiba-tiba ghosting. Aku kangen berat sama kamu, Honey.]
[Maaf, selama ini aku sakit, jadi aku tak bisa menghubungimu. Apa kamu sudah pulang dari Hongkong?]
[Sudah, kenapa Baby?]
[Aku akan ke rumah sekarang ya, aku ingin bicara hal penting,] ucap Zaara dengan suara yang bergetar.
[Kamu nangis Zaara?]
[Ray,]
Zaara berharap bertemu dengan Ray akan menenangkan hatinya. Bukankah selama ini Ray senantiasa membersamainya dalam suka dan duka, apalagi setelah sepeninggal ke dua orang tuanya.
[Aku akan jemput kamu kalau begitu,]
[Baiklah,]
Zaara mengangguk.
Sudah lebih dari tiga puluh Menit Zaara menanti kedatangan Ray di rumahnya. Namun batang hidungnya masih belum terlihat.
“Ray, aku akan pergi ke rumahmu kalau begitu,” gumamnya. Diantar supir Alfian, Zaara pergi ke rumah Ray.
Zaara penasaran kenapa Ray tidak menjemputnya lantas dia memberanikan diri mengunjungi rumahnya yang terlihat sepi. Dia memaksa meminta masuk pada security yang berjaga di pintu gerbang raksasa hunian Ray setelah menyogoknya dengan selembar uang bergambar sang proklamator. Pasalnya, tuannya itu tidak mengijinkan tamu datang. Namun sedetik kemudian security itu mengijinkan Zaara masuk karena dia tahu jika gadis cantik berambut panjang sepunggung itu kekasih tuannya.
Dengan mengayunkan tongkat, Zaara memasuki kamar Ray yang tak jauh dari ruang tamu. Namun apa yang dia temukan? Saat dia hendak mengetuk pintu kamarnya terdengar suara yang aneh dari dalam kamar yang membuatnya tersentak. Ada suara serak, desahan dan lenguhan yang bersahutan. Suaranya mirip suara Ray dan suara seorang gadis.
Tangannya langsung bergetar hebat dan seketika air matanya tumpah detik itu juga. Amarahnya semakin membuncah dan membuatnya membuka pintu yang memang tak dikunci itu dengan paksa. Pintu terjeblak sempurna.
“Ray …” suara Zaara terdengar lantang, itu pun sambil berjalan lamban dengan tongkat yang menuntunnya.
Ray dan seorang gadis yang berada di kamarnya tersentak melihat kedatangan Zaara. Mereka dalam keadaan polos di mana posisi sang gadis berada di atas tubuh Ray.
“Zaara … ini tak seperti apa yang kamu lihat,” seru Ray panik. Dia langsung mendorong gadis itu hingga terjatuh karena reflek dan langsung menyambar celana boxer untuk segera dipakai olehnya. Rupanya Zaara memergoki Ray yang tengah bercinta dengan sekretaris pribadinya. Ray merasa heran kenapa pandangan Zaara tak fokus padanya. Lalu mengapa Zaara membawa tongkat?“Ray, kamu jahat banget. Brengsek kamu Ray! Siapa gadis yang sekarang bersamamu?” cecar Zaara pada Ray yang masih kaget atas kedatangannya.“Ray, aku ke sini hanya ingin mengadu padamu kalau aku sekarang buta Ray. Aku kecelakaan. Tapi apa yang aku temukan saat ini Ray. Kamu jahat sekali …” Zaara melepas tongkatnya lalu berjalan ke arah Ray dan memukul-mukul dada bidang Ray. “Zaara … apa kamu bisa melihatku?” Ray mencoba mengetes Zaara dengan melambaikan tangannya ke depan wajahnya. Lalu seringai tipis mencuat di wajahnya. “Kamu hanya mendengar film dewasa barusan Zaara. Kamu bahkan tidak melihat apa yang aku kerjakan sa
Tanpa ragu Zaara meloncat dari jembatan itu tetapi seseorang menahannya, berusaha menyelamatkannya. Hap! Sepasang tangan kekar menahannya. “Jangan! Aku ingin mati saja,” pekik Zaara dalam isak yang begitu keras. Namun kerasnya suara isak tangis tentu tak terdengar karena hujan begitu lebat. Air matanya meruah, mengaliri pipinya menyatu dengan tetesan hujan. Lelaki itu tidak berbicara satu patah kata pun. Dia menarik Zaara ke atas. Karena kedinginan Zaara Nadira pingsan. Lelaki tua itu membawanya ke rumah. Di sana lah awal mula kehidupan Zaara pasca mengalami kebutaan. ****Setahun kemudian ***** “Di mana Ibu?” tanya Zaara dengan menyunggingkan senyum hangatnya yang sempat terkubur lama. “Ibu sedang memasak bubur,” jawab lelaki tua bersurai keperak-perakan. Dia meraih gagang cangkir untuk meneguk teh tawar yang baru dibuat sang istri. “Bapak, aku sudah tahu, aku bisa menghirup aroma bubur dari sini. Aku bisa menajamkan indera penciuman dan pendengaranku sekarang,” sahut Z
Dengan berjalan sedikit tersaruk-saruk Zaara mencari sumber suara seorang lelaki yang tengah meringis kesakitan. “Aa … tolong!” serunya lagi. Dia merintih kesakitan. Saking kesakitan dan mengeluarkan banyak darah dia mengalami pusing luar biasa sehingga membuat netranya kabur, tak bisa melihat jelas penampakkan Zaara yang berjalan ke arahnya. Dengan nafas yang tersengal-sengal dia memilih menunduk untuk menghindari banyak pergerakan. Sepertinya ujung pisau itu masih menancap di bagian entah mana perutnya. Atau mungkin pisau itu kotor saat melukai perutnya hingga menyebabkannya infeksi dan pendarahan. Zaara menurunkan bobot tubuhnya, setengah berjongkok sebab merasa ada orang yang terluka dan membutuhkan pertolongannya di bawah, di jalan yang dia lewati. Tepat ujung kakinya yang tertutup pump shoes menyentuh kakinya yang setengah ditekuk. “Apa kamu terluka?” tanya Zaara dengan suara yang terpantul merdu. Merdu yang tak dibuat-buat sebab suaranya terlahir begitu. Lelaki itu terseny
Perlahan secercah cahaya tampak berpendar melalui retina matanya. Entah mengapa hanya sekedar membuka mata dia seolah mengeluarkan energi besar. Alasannya karena pengaruh obat bius seusai operasi. Lampu LED dengan intensitas rendah masih saja tampak menyilaukan sehingga membuat matanya kembali ingin tenggelam sebelum suara dengungan dari wanita yang duduk di sampingnya terdengar. Lelaki itu berpura-pura tidur kembali, tak sudi mendengar ceramah ibunya saat itu. Apalagi dalam kondisi tubuhnya yang remuk redam dan perut terasa dililit ular piton. “Bangun! Pura-pura tidur!” cibir sang ibu bahkan tanpa menatap lawan bicaranya. Dia seolah memiliki indera keenam untuk mengetahui gelagat anaknya yang menyebalkan. Dia tengah melakukan video call dengan teman sosialitanya. “Di mana gadis itu Mom?”Lelaki itu berusaha bangun dan duduk dengan kasar. “Haikal, diam dulu! Jangan banyak gerak, kamu baru habis dioperasi.”Ibunya berkomentar dan langsung membantunya kembali tidur.“Mom, mana gadis
Zaara pasrah tidak bisa membesuk pemuda yang ditolongnya. Hanya mendengar kabar baik bahwa keluarganya sudah datang setidaknya membuat Zaara merasa lega. Apalagi mendengar pemuda itu sudah ditangani dan operasinya berjalan lancar. Dia sudah tidak memiliki urusan ataupun kepentingan dengan pemuda itu.Namun tatkala kaki jenjangnya mengayun di langkah ke empat, Zaara teringat sesuatu. Dia sudah kadung membawa sebuket bunga untuk pemuda tersebut. Oleh karena itu, Zaara memutuskan kembali menyambangi resepsionis tadi untuk menitipkan bunga tersebut sebagai penyemangat.“Ada apa lagi Mbak?” tanya resepsionis lelaki dengan ketus.“Ah, aku lupa, aku hanya ingin memberinya bunga. Bisakah Mbak eh Mas memberikan ini!”Zaara menyodorkan sebuket bunga mawar putih yang masih segar. Aromanya bisa terhidu langsung, segar dan membuat semangat yang melihatnya.“Baiklah, ada lagi? Um, ada lagi yang mau disampaikan?”“Enggak cukup, Mas. Oh, ya, sampaikan saja, semoga cepat sembuh,”Lagi, Zaara tidak men
Sementara itu Zaara marah dan merutuki dirinya sendiri saat dia mengingat pemuda yang dia tolong. Dia begitu mengkhawatirkannya tetapi pemuda tersebut malah menghina fisiknya yang difabel. Dia merasa harga dirinya jatuh sejatuhnya sebab diinjak-injak oleh lelaki tersebut.“Lelaki sialan! Pemuda brengsek! Aku kira pemuda jalanan yang berambut gondrong hatinya baik. Um, cuma penampilannya saja yang urakan. Ternyata sama saja!Semua lelaki yang mengaku punya banyak uang mau dia berpenampilan gaul atau rapi metroseksual kayak si Ray sama saja! Lelaki brengsek!”Zaara tak henti-hentinya merutuk. Lalu dia duduk di sebuah bangku kosong dekat gerobak bakso untuk istirahat.“Neng mau makan bakso?” tanya tukang bakso yang memang sudah mengenal Zaara sejak kedatangannya ke rumah Hamid dan Fatimah. Zaara dikenalkan oleh mereka sebagai anak angkatnya pada semua orang.“Iya, Mang! Bakso dengan level terpedas,” jawab Zaara dengan sedikit ketus. Dia memijit pangkal hidungnya berkali-kali. Lalu merang
Di sebuah mansion mewah berkonsep klasik-kontemporer, para pelayan cantik yang mengenakan seragam khusus menyambut kedatangan majikan mereka. Seorang butler langsung menyambut Elia Mariyam dan membawakan barang bawaannya sedangkan pelayan yang lain langsung meraih jaket wol yang dikenakan olehnya dan langsung menaruhnya dengan menggantungnya pada gantungan besi etnik.Pelayan yang lain juga segera menyambut kedatangan tuan majikannya yang tak lain Haikal sang putra semata wayang yang berjalan di belakang sang ibu. Beberapa pelayan muda seringkali berlomba agar bisa bertemu, bercengkerama dan melayani tuan muda mereka yang terlihat sangat tampan berwajah khas timur tengah. Namun Haikal tidak suka diperlakuan semacam itu.Apalagi rambut Haikal yang gondrong sedikit ikal tampak menampakkan sisi maskulin seorang lelaki macho, membuat para gadis menjerit melihatnya. Padahal Haikal tak pernah berniat menggoda para hawa dengan penampilannya yang paripurna, terkesan cowok badboy dengan setela
Haikal terlihat menarik nafas dalam.“Ya …” ucap Haikal singkat.Elia dan Edi saling menoleh kaget melihat respon Haikal. Tak percaya, Elia masih merekam memori beberapa tahun silam saat Haikal ditawari mengurus perusahaan tetapi Haikal memilih meninggalkan rumah dan berbuat sesuka hati.Haikal lantas meninggalkan meja makan tanpa suara. Dia langsung keluar mansion dan menyisir kendaraan miliknya, sebuah motor ninja yang sudah dimodifikasi. Dia pergi mengunjungi kekasihnya yang sedang marah saat ini.Di depan sebuah kantor agency model, Haikal menyesap sebatang rokok seraya menunggu kekasihnya keluar. Dia ingin memberi kejutan padanya. Yang ditunggu tak kunjung tiba. Lalu Haikal memutuskan masuk ke kantor tersebut.Beberapa pasang mata menoleh ke arahnya tanpa berkedip. Apa yang dilakukan seorang badboy rupawan di kantor tersebut?“Siapa dia?” tanya salah satu model.“Dia … bukankah dia Haikal Mahardika? Anak pengusaha tambang itu loh,”“Serius?”“Mau ngapain di sini?”Begitulah perca