Share

2. Kesedihan yang berlipat ganda

“Sabar ya Mbak Zaara, nanti Mbak Zaara sembuh kok asalkan menjalani pengobatan rutin. Saat ini Mbak Zaara butuh beradaptasi, menajamkan indera yang lain untuk membantu beraktifitas,” nasehat seorang perawat berusaha menenangkan Zaara yang terlihat putus asa.

Seandainya dioperasi sekalipun beresiko. Kecuali jika pengobatan di luar negeri yang lebih canggih mungkin itu bisa jadi pilihan lain. Namun biaya operasi tidaklah murah. Hal yang musykil terjadi pada Zaara mengingat kondisi finansial pamannya yang buruk sebab perusahaannya gulung tikar akibat dampak pandemi. 

Hiks … hiks … hiks … 

Zaara menangis perih mengetahui keadaaan matanya yang tak bisa melihat. 

“Zaara, kamu harus tetap semangat untuk sembuh. Nanti kamu bisa menjalani pengobatan. Jika kamu semangat, maka kamu bisa pulih meskipun saya tidak bisa memastikan berapa lama,” papar dokter Yoga, dokter mata yang menangani Zaara berusaha menenangkannya. 

“Dokter bohong!” pekik Zaara yang memang benar adanya. Dokter hanya ingin memotivasinya tetapi tak bisa menjamin kesembuhannya. Mendengar hal tersebut dokter Yoga mencelos dan ikut merasa bersedih. 

Setelah kepergian dokter Yoga dari ruangan, Zaara bertindak impulsif dan agresif dengan mengamuk histeris dan berusaha menyerang para perawat. Dia menarik selang infus dan melemparnya ke sembarang arah hingga tiangnya terguling nyaris menimpa kepala perawat yang menjaganya. Perawat yang menjaganya sampai mencak-mencak kesal karena perbuatannya. Tidak hanya itu, Zaara berteriak-teriak seperti orang kerasukan. 

Hal tersebut tentu membuat kehebohan di ruangan itu. Dengan terpaksa Zaara disuntik obat penenang untuk mengendalikan emosinya yang meledak-ledak. 

Sejam kemudian Zaara berangsur tenang karena Alfian juga memberanikan diri datang menghampirinya, memberikan support padanya. 

Selain mengamuk Zaara juga beberapa kali tak sadarkan diri. Alfian hanya berpangku tangan menyaksikan penderitaan keponakannya. 

“Sabar Sayang! Om tidak bisa merasakan apa yang kamu rasakan tapi Om yakin kamu bisa melewatinya,” Alfian menarik Zaara dalam pelukannya, membiarkan dirinya menumpahkan segala kesedihannya. Zaara terus menerus menangis dan memukul-mukul dada pamannya seperti orang tidak waras. 

Sepulang dari rumah sakit, kondisi Zaara semakin buruk. Dia terlihat semakin putus asa. Dia tidak mau makan dan minum seharian. Dia sudah seperti mayat hidup saja, wajah pucat bagai kunarpa. 

Di sudut kamarnya yang didominasi warna tosca dia hanya diam memeluk ke dua lututnya dengan kepala yang tenggelam menangis sehingga menyebabkan matanya yang sipit tampak segaris. Melihat hal tersebut membuat Alfian merasa sangat terpukul. Dia merasa gagal menjadi walinya. Padahal dia sudah berjanji pada kakaknya, Khansa yang tak lain ibu kandung Zaara untuk menjaganya. Dia menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi padanya. 

Beberapa panggilan telepon yang bersumber dari tunangannya dan panitia pameran berbunyi tetapi Zaara mengabaikannya. Dia membatalkan pameran lukisan secara sepihak. Dia sudah merasa seperti berada di ujung tanduk, seolah harapan hidupnya sirna bersama angannya untuk menjadi seorang seniman terkenal. Ambisi menjadi seorang pelukis sudah khatam. 

Cinta? Persetan dengan cinta. Mengetahui kondisi Zaara yang sakit, tunangannya pasti meninggalkannya. Isi kepala Zaara dipenuhi prasangka buruk.

Melihat kondisi Zaara yang memprihatinkan, tangis Alfian pun pecah apalagi saat dia memandang foto almarhum kakaknya. Dia menjadi begitu melankolis. 

‘Maafkan adikmu yang tak berguna ini Mbak Khansa,’ batinnya menangis. 

Dari sisa tabungannya, Alfian mendatangkan psikolog untuk Zaara. Setidaknya Zaara bisa berkonsultasi soal depresi yang dia derita akibat kebutaan yang dia alami. Namun Alfian tak mampu membayarnya lagi di minggu ke dua sebab Evelyn, putri semata wayangnya tengah butuh biaya besar untuk kuliah dan Eva benar-benar mengancamnya akan meninggalkan rumah jika terus menghabiskan uang untuk Zaara. 

Dua minggu kemudian 

“Pa, kenapa tidak menghubungi Ray agar cepat menikahi Zaara?” cetus Eva yang lebih mirip suara klakson kapal tua. “Biar suaminya nanti yang merawatnya,” 

Alfian bergeming mendengar perkataan istrinya yang tak pantas. Sepertinya dia sudah lupa jika ke dua orang tua Zaara sangat berjasa bagi kehidupan mereka. Bahkan rumah yang mereka tinggali saja adalah hibah dari Aksara, ayahnya Zaara. Pun, modal usaha Alfian yang bergerak di bidang laundry disokong oleh Aksara.

“Mama, tolong bicara pelan nanti terdengar Zaara. Ray belum tahu kondisi Zaara. Dia juga sedang berada di luar negeri, ” ucap Alfian dengan menuding jarinya ke bibirnya. 

“Aku tak peduli, Pa! Sengaja biar Zaara dengar! Kalau dia cepat menikah dengan Ray, pasti kehidupannya terjamin. Ray pasti mengobati Zaara hingga ke luar negeri. Bukankah teknologi medis di luar negeri sudah semakin maju?” beo Eva. “Zaara sembuh dan masalah selesai,” 

Zaara yang tak sengaja mendengar mereka merasa sedih. Dia tengah mematung di antara pintu penghubung kamar dan ruang tamu. Dia keluar ingin menghancurkan seluruh lukisan yang dia buat dengan susah payah. Dia benar-benar frustrasi. Dia sekarang menjadi beban keluarga bukan lagi harapan bagi mereka. 

Namun saat dia mendengar paman dan bibinya bercengkrama membuatnya teringat kekasihnya itu. Dia akan meminta tolong pada kekasihnya untuk membantunya mengobati matanya mengingat kekasihnya itu anak seorang pengusaha kaya raya, yang juga berprofesi sebagai arsitek. Semoga saja kekasihnya mau menerima kondisinya yang buta. 

“Aku akan segera hubungi Ray,” gumamnya.

Zaara langsung meraih ponselnya, meminta tolong pada ART untuk mencarikan nomor kekasihnya. Tidak membuang waktu, Zaara menekan nomornya dan langsung terhubung dengannya. Ini pertama kalinya semenjak dia divonis buta, dia menggunakan ponselnya. Sebelumnya dia tidak berani mengangkat telepon dari siapapun termasuk kekasihnya itu karena merasa sangat malu atas kondisinya. 

[Apa Baby?] sahut Ray di seberang telepon. [Kamu jahat banget! Tiba-tiba ghosting. Aku kangen berat sama kamu, Honey.] 

[Maaf, selama ini aku sakit, jadi aku tak bisa menghubungimu. Apa kamu sudah pulang dari Hongkong?] 

[Sudah, kenapa Baby?] 

[Aku akan ke rumah sekarang ya, aku ingin bicara hal penting,] ucap Zaara dengan suara yang bergetar. 

[Kamu nangis Zaara?] 

[Ray,] 

Zaara berharap bertemu dengan Ray akan menenangkan hatinya. Bukankah selama ini Ray senantiasa membersamainya dalam suka dan duka, apalagi setelah sepeninggal ke dua orang tuanya.

[Aku akan jemput kamu kalau begitu,] 

[Baiklah,] 

Zaara mengangguk. 

Sudah lebih dari tiga puluh Menit Zaara menanti kedatangan Ray di rumahnya. Namun batang hidungnya masih belum terlihat. 

“Ray, aku akan pergi ke rumahmu kalau begitu,” gumamnya. Diantar supir Alfian, Zaara pergi ke rumah Ray. 

Zaara penasaran kenapa Ray tidak menjemputnya lantas dia memberanikan diri mengunjungi rumahnya yang terlihat sepi. Dia memaksa meminta masuk pada security yang berjaga di pintu gerbang raksasa hunian Ray setelah menyogoknya dengan selembar uang bergambar sang proklamator. Pasalnya, tuannya itu tidak mengijinkan tamu datang. Namun sedetik kemudian security itu mengijinkan Zaara masuk karena dia tahu jika gadis cantik berambut panjang sepunggung itu kekasih tuannya. 

Dengan mengayunkan tongkat, Zaara memasuki kamar Ray yang tak jauh dari ruang tamu. Namun apa yang dia temukan? Saat dia hendak mengetuk pintu kamarnya terdengar suara yang aneh dari dalam kamar yang membuatnya tersentak. Ada suara serak, desahan dan lenguhan yang bersahutan. Suaranya mirip suara Ray dan suara seorang gadis. 

Tangannya langsung bergetar hebat dan seketika air matanya tumpah detik itu juga. Amarahnya semakin membuncah dan membuatnya membuka pintu yang memang tak dikunci itu dengan paksa. Pintu terjeblak sempurna. 

“Ray …” suara Zaara terdengar lantang, itu pun sambil berjalan lamban dengan tongkat yang menuntunnya. 

Ray dan seorang gadis yang berada di kamarnya tersentak melihat kedatangan Zaara. Mereka dalam keadaan polos di mana posisi sang gadis berada di atas tubuh Ray. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status