Lamunan Zaara terinterupsi karena kedatangan Fatimah.“Assalamualaikum!” ucap Fatimah yang membuka sedikit pintu kamar Zaara. “Waalaikumsalam, Ibu ada apa?”Zaara buru-buru mengusap wajahnya yang basah dari air mata dan beristigfar.“Kamu sudah makan malam Nak?”“Sudah, Bu. Bagaimana keadaan Ibu sekarang?”Zaara beranjak dari kursi dekat jendela dan menghampiri Fatimah. Dia terlihat khawatir pasalnya Fatimah sedari kemarin meringkuk di kamar. Namun dia tidak berani menganggunya. Fatimah hanya keluar untuk memasak saja.“Sudah baikkan Nak,” jawab Fatimah padahal sedang tidak baik-baik saja. Keringat dingin mengucur di tubuhnya dan tekanan darahnya rendah. Dia kelelahan karena bekerja terlalu keras, memanen bunga.“Alhamdulillah baik, Bu,”Zaara mengukir senyum tatkala mendengar sang ibu dalam kondisi membaik. “Bagaimana jualanmu?” tanya Fatimah membuat Zaara membatu. Zaara tak berniat menceritakan padanya bahwa jualannya tidak laku sebab ada saingan sesama penjual bunga. Tidak hany
“Gila Bos! Gak kenal sumpah, mirip siapa ya … mirip aktor Turki,” puji Antonie dengan tertawa puas. “Jambangnya ilang juga,” katanya mengusap dagunya. Dalam hati, dia sangat iri pada Haikal yang memiliki rambut yang subur berbeda dengan dirinya yang defisit rambut padahal sudah sering memakai obat-obatan penyubur rambut. “Baiklah, misiku sudah selesai. Sekarang kita kemana?” tanya Antonie seraya kembali memanaskan mobil majikannya. “Pulang,” Antonie berbalik arah untuk mengantarkan pulang majikannya yang tak lain sahabatnya sendiri. “Ngapain belok, aku bilang pulang!” “Kan apartemen Bos ada di sana,” “Gak ke apartemen, pulang ke rumah nyokap,” “Cie … yang udah akur,” “Emang siapa yang berantem?” “Gak ada sih. Tapi kalau diem-dieman itu termasuk berantem gak ya?” “Terserah,” Haikal membuang nafas kasar. Selama perjalanan Haikal senantiasa menyapu jalan sebab dia ingin melihat sesuatu yang belakangan ini seringkali mengusik pikirannya selain Safira. “Stop!” titah Haik
Tak hanya Antonie yang terkejut dengan penampilan Haikal, Elia pun tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Haikal mengubah seluruh penampilan fisiknya. Dia berpenampilan sebagaimana penampilan seorang CEO pada umumnya dengan potongan rambut quiff haircut, sebuah model rambut pendek tetapi masih mempertahankan messy look alias sedikit berantakan bagian depan, menyesuaikan karakter Haikal.“It’s me Mom, please jangan lebay deh,” tukas Haikal mengomentari ibunya."Tante sampe cengo gitu lihat anak kesayangan jadi ganteng dan rapi klimis gitu ya. Model Cekmek yang lagi ngehits Tan. Siapa dulu dong asistennya. Asistennya juga gak kalah ganteng,” ucap Antonie membusungkan dada, berhasil membuat sepasang netra ibu dan anak mengarah padanya.“Eh, canda Bos and Tan,” ucap Antonie nyengir kuda. Dia menyugar rambut caesar hair miliknya, sebuah model rambut dipotong pendek dengan poni yang yang ditata ke arah depan dan samping mirip Jungkook.Haikal menatap Antonie dengan sorot mata yang tajam se
Fatimah bisa merasakan kalau Zaara tengah menyukai seseorang tetapi dia berusaha untuk tidak menanyakannya langsung. Biarlah Zaara sendiri yang mengatakannya. Fatimah ingin dipercaya olehnya sepenuh hati sebagaimana seorang ibu pada umumnya. Dan, seseorang itu ialah pemuda yang memesan bunga.“Menurut Ibu, orang yang memesan bunga seorang pemuda tampan. Benar?”Fatimah menerka-nerka. Tentu saja menerka berdasarkan kemampuan analisanya membaca ekspresi wajah Zaara yang mendadak memerah kentara kulitnya yang kuning langsat. “Lah, Ibu kok tahu sih?”Senyum Zaara semakin melebar. Zaara berusaha membayangkan wajah Haikal Harun dalam ingatannya. Dia sempat meraba wajahnya sehingga membuatnya, melukis wajah Haikal dalam bayangannya. Haikal berwajah timur tengah dan pasti tampan sekali. Karakternya sedikit menyebalkan tetapi hatinya baik. Singkatnya itu yang dirasakan Zaara tentang Haikal.“Ibu hanya menebak saja,”Fatimah terkekeh senang sebab analisanya tepat sekali.“Dia pemuda yang aku t
Setahun sudah Haikal seringkali bermimpi didatangi seorang gadis berambut panjang. Hanya wajahnya samar-samar, tak jelas. Gadis tersebut mengejarnya hingga Haikal tak bisa berlari lagi sebab di belakangnya hanya ada jurang yang dalam dengan tebing bebatuan vulkanik tajam. Haikal bangun dari tidurnya dengan nafas yang memburu dan keringat dingin mengucur di sekujur tubuhnya. Lantas dia mengambil air putih yang berada di atas nakas di samping tempat tidur. Dia pun meneguk air minum perlahan dan berusaha menormalkan kembali nafasnya; menarik nafas lalu membuangnya. Dia lakukan beberapa kali agar segera sadar dan mengumpulkan ruhnya. Mimpi buruk Haikal erat kaitannya dengan peristiwa setahun silam tatkala dia menabrak seseorang di jalan dalam kondisi tidak sadarkan diri, di bawah pengaruh alkohol. Mungkin bukan seseorang tetapi pernah beberapa kali dia menabrak orang atau pohon yang dilewatinya saat dia melajukan motor balapnya dengan tidak waras. Parahnya dia tidak pernah berniat men
"Aku harus pergi, aku lupa ada janji ketemu seseorang,” sahut Haikal dengan panik.“Seseorang? Siapa? Safei? Eh maksudku Safira? Tunanganmu?”“Bukan, tolong bayarin dulu. Aku harus segera pergi,”Haikal menyambar jaket denim yang selalu dibawanya dan meninggalkan Antonie begitu saja di sana. Antonie tak habis pikir dengan Haikal yang menerebos hujan yang sangat deras. Haikal memang tidak waras.“Gila tuh Anak! Dari dulu gak pernah berubah, tetep stubborn. Mau ngapain coba hujan-hujanan mana ada guntur nyamber, apa gak takut disambar baru tahu rasa,”Antonie bersenandika dan membayangkan hal buruk menimpa Haikal. Haikal terlihat gosong disambar petir dan membatu jatuh ke jalan.Haikal mengendarai mobilnya dengan mengebut demi menemui Zaara. Namun seketika dia menghentikan mobilnya. Dia termenung sejenak. Dia ragu jika Zaara akan menunggunya di sana sebab sudah sekitar satu jam Haikal tidak menemuinya.“Apa dia menungguku? Sudah lebih dari satu jam. Gak mungkin dia menungguku. Tapi … ba
Mendengar pertanyaan Haikal mengingatkan Zaara tentang peristiwa tabrak lari yang dialaminya. Dia seringkali merasa sesak saat mengenangnya. Penyesalan datang terakhir kali. Sebelum petaka itu datang Zaara mengabaikan nasihat almarhum ibunya bahwa dia harus bisa memilah dan memilih teman. Salah satu teman Zaara mengundang Zaara untuk menghadiri acara ulang tahunnya di sebuah Pub. Tentu saja di sana mau tak mau dia menikmati apa yang dinamakan alkohol meskipun sedikit. Sementara itu sang ibu begitu cerewet soal minuman haram itu agar Zaara bisa menjaga dirinya. Perkataan sang ibu akhirnya terbukti. Saat Zaara terpuruk, teman-teman Zaara yang berasal dari kalangan jetset tersebut bahkan tidak ada yang menemaninya. Zaara memejamkan matanya lalu bersuara. “Aku mengalami kecelakaan,” “Sorry,” “Gak apa-apa, sekarang aku sudah terbiasa kok. Kalau orang nanya, aku gak bakalan marah. Soalnya sudah takdir,” “Aku salut sama kamu …” “Euh?” “Iya, jujur aku salut sama kamu. Kamu cukup tega
Beberapa detik kemudian, Zaara baru ingat jika dia memang sudah menduplikasi kunci rumah. Zaara spontan menggetok kepalanya sendiri atas kebodohannya sendiri bisa-bisanya lupa dengan kunci.Dengan meraba-raba, Zaara merogoh kunci yang berada di dalam tasnya lalu dengan cepat memasukan kunci ke dalam ring kunci, memutarnya perlahan hingga menyebabkan bunyi klik. Kunci pintu rumah terbuka. Zaara langsung merangsek masuk ke dalam dengan langkah hati-hati.Zaara langsung mencari keberadaan Fatimah. Tak sengaja kakinya terantuk sesuatu di lantai yang dilapisi karpet. Seperti sebuah tangan yang menjulur.“Astagfirullah, Ibu. Ibu kenapa?”Zaara menurunkan tubuhnya untuk menyentuh Fatimah yang tergolek di lantai. Fatimah tak sadarkan diri dengan posisi telentang.“Bu, bangun!”Zaara terus menepuk-nepuk pipi ibunya dengan keras agar terbangun. Namun nihil Fatimah masih tak sadarkan diri. Zaara langsung memeriksa nafasnya apakah masih ada atau tidak. Fatimah masih bernafas hanya terdengar lemah