Dengan berjalan sedikit tersaruk-saruk Zaara mencari sumber suara seorang lelaki yang tengah meringis kesakitan.
“Aa … tolong!” serunya lagi. Dia merintih kesakitan. Saking kesakitan dan mengeluarkan banyak darah dia mengalami pusing luar biasa sehingga membuat netranya kabur, tak bisa melihat jelas penampakkan Zaara yang berjalan ke arahnya.
Dengan nafas yang tersengal-sengal dia memilih menunduk untuk menghindari banyak pergerakan. Sepertinya ujung pisau itu masih menancap di bagian entah mana perutnya. Atau mungkin pisau itu kotor saat melukai perutnya hingga menyebabkannya infeksi dan pendarahan.
Zaara menurunkan bobot tubuhnya, setengah berjongkok sebab merasa ada orang yang terluka dan membutuhkan pertolongannya di bawah, di jalan yang dia lewati. Tepat ujung kakinya yang tertutup pump shoes menyentuh kakinya yang setengah ditekuk.
“Apa kamu terluka?” tanya Zaara dengan suara yang terpantul merdu. Merdu yang tak dibuat-buat sebab suaranya terlahir begitu.
Lelaki itu tersenyum miring dan meringis di waktu yang sama. Enggan mendengar basa-basi seorang perempuan yang dianggap melembutkan suaranya, menggodanya.
“Oh, Come on! Jangan banyak bacot, aku terluka parah, kamu masih bertanya,”
Lelaki yang sedikit temperamental itu membuang nafas kasar. “Perutku kena tusuk pisau. Tolong panggilkan taksi atau apalah! Aku harus segera ke dokter,” ucapnya lagi sambil menunduk dan menggigit bibir bawahnya menahan sakit yang luar biasa. Dia bicara tanpa melihat Zaara. Dia meremas bagian perutnya yang kesakitan.
Tanpa pikir panjang, Zaara pun melepas sweater rajut berwarna coklat yang dipakainya dan menyodorkannya pada lelaki itu.
“Kamu bisa menggunakan ini untuk menyumpal lukamu,” ucap Zaara lalu meninggalkannya. Dia melangkahkan kaki jenjangnya dengan bantuan tongkatnya, menuju jalan utama yang berjarak sekitar lima puluh meter dari jembatan merah. Lalu dia memanggil taksi atau kendaraan apapun untuk berhenti. Namun tak ada satupun kendaraan yang bersedia berhenti mungkin karena penuh penumpang.
Lelaki itu pasti kesakitan, dia harus segera mendapat pertolongan. Batin Zaara iba.
Terpaksa Zaara pun kembali menemui lelaki itu, dia harus memapahnya, membawanya segera sembari mencari kendaraan.
Pelan-pelan Zaara mendekati lelaki itu dan meraba untuk meraih lengan lelaki itu. Namun karena sedikit gugup, instingnya yang kuat seketika lesap. Dia malah meraba bagian wajah lelaki itu hingga membuat lelaki itu berjengit dan menepisnya kasar. Lelaki itu mengira Zaara akan berbuat senonoh padanya.
“Hei! How brave you …” umpat lelaki itu dengan mata yang menyala. Dia sudah sering berjumpa dengan para gadis cantik yang selalu menggodanya karena uang dan ketampanannya.
Zaara merasa tersentak mendengar teriakannya. Dia tak bermaksud melakukan hal tersebut.
“Jangan ambil kesempatan dalam kesempitan! Pake hijab tapi mesum,” gerutu lelaki itu berusaha bangkit tetapi karena lemah dia pun duduk kembali. Samar-samar dia melihat sosok Zaara.
Zaara merasa bersalah meskipun itu bukan kesalahannya sepenuhnya. Dia hanya berniat baik, menolong pemuda itu.
Zaara tersenyum tipis. “Oh, maaf, aku hanya mendengar suaramu, karena aku tak bisa melihat. Aku buta,” ucapnya dengan tenang.
Sontak mendengar hal itu pemuda itu kaget. Seketika dia memandang Zaara tanpa berkedip. Kini dia bisa melihat dengan jelas wajah gadis itu.
Namun pemuda itu bukan pemuda biasa. Dia adalah orang yang tidak mudah percaya dengan kata-kata orang lain. Krisis kredibilitas telah diidapnya sejak lama. Sejak banyak orang yang di sekelilingnya berdusta.
“Kok diam? Serius, aku gak sengaja. Aku saja jalan pakai tongkat,” ulang Zaara dengan sedikit mendecak sebal.
Namun mendengar cara bicara Zaara yang meyakinkan, dia memang terlihat jujur. Apalagi binar matanya yang entahlah seperti menusuk batinnya.
Pemuda itu melambaikan tangannya ke arah mata Zaara yang berjongkok di depannya, sekedar memastikan apa yang diucapkan gadis itu benar. Jelas, Zaara tidak berkedip karena memang dia buta.
‘Astaga, gadis cantik ini buta beneran,’ batin lelaki itu. Rupanya sisa-sisa kesadarannya terkumpul saat melihat gadis cantik.
“Kalau kamu menunggu di sini, kamu tidak akan menemukan kendaraan. Aku hanya membantumu sampai menemukan taksi atau angkot ya. Aku akan membantumu berjalan, memapahmu,”
Zaara berdiri dengan memegang tongkatnya di sebelah kanan sementara itu tangan sebelah kiri membantu memapah lelaki itu. Lelaki itu mencelos melihat gadis itu. Dia buta tapi dia berhati malaikat, bersedia menolongnya. Dia juga cukup tegar menjalani hidupnya. Itulah yang dilihat lelaki tersebut saat ini.
Lelaki itu pun tak kuasa menolak karena memang dia butuh pertolongan. Sepanjang jalan lelaki itu memandang manik mata berwarna irish coklat muda itu dengan takjub. Rasanya, rasa sakit itu seperti menghilang begitu saja. Apalagi harum aroma mawar yang menguar dari tubuh Zaara, membuatnya merasa tenang dan sedikit bergairah. Bisa-bisanya berpikir kotor saat seperti itu. Jadi kesimpulannya, siapa di sini yang mengambil kesempatan dalam kesempitan?
Mereka pun akhirnya tiba di jalan utama dan menemukan taksi.
“Pak, bawa ke rumah sakit! Mas ini terluka,” ucap Zaara pada supir taksi yang menurunkan sedikit jendela mobilnya. Dia memindai sosok Zaara dan lelaki itu bergantian dengan memicingkan matanya yang nyaris tak terlihat karena sipit.
“Enggak, maaf,”
Supir itu menolak tepat saat melihat kondisi lelaki itu lalu melirik pada gadis buta yang malang.
“La, kenapa?” tanya Zaara dengan polos.
“Siapa yang bertanggungjawab kalau terjadi apa-apa?” ucap supir itu lugas setelah melihat perut yang bersimbah darah dan penampilan lelaki itu yang lebih mirip bertampang berandalan. Rambut gondrong menutupi wajahnya dan jaket berbahan denim kucel serta celana jeans yang robek-robek, yang mengingatkannya pada celana miliknya yang dibakar istrinya saat dia ketahuan ngapel ke rumah selingkuhannya.
“Ya udah aku ikut, aku yang bertanggung jawab,” ucap Zaara dengan tegas. Lelaki itu nyaris tak bersuara sebab menahan sakit yang memilin perutnya.
Zaara pun membantu lelaki itu masuk mobil. Sepertinya dia sudah kehilangan banyak darah sehingga dia makin terlihat lemas. Mereka duduk di kursi belakang.
Kepala lelaki itu bergoyang-goyang mirip boneka dashboard mobil. Dan, akhirnya tubuhnya jatuh tersungkur mencium ujung kaki Zaara hingga membuat Zaara berjengit kaget. Spontan, tangan Zara meraba-raba dan berhasil mencengkeram kasar bahu lelaki itu untuk menariknya lagi agar duduk dengan posisi senyaman mungkin.
“Hei, kamu jangan tidur!” seru Zaara pada lelaki itu yang duduk dengan menunduk. Lelaki itu diam dan hal tersebut membuatnya cemas. Beberapa detik kemudian kepalanya terkulai pada bahu Zaara, mencari posisi ternyaman untuk tidur seperti seorang bayi yang tengah mencari ibunya. Hal tersebut membuat Zaara kembali terlonjak kaget lalu mendorongnya hingga kepalanya mencium jendela kali ini.
“Ough! Sakit fucki* shi*! Aku ngantuk,” umpatnya mengumpulkan kesadarannya.
“Jangan tidur pokoknya!” celoteh Zaara membuat supir terkikik melihat ke duanya lewat kaca spion tengah.
“Pak, ngebut ya! Kasihan Mas ini udah kehilangan banyak darah,” ucap Zaara pada supir itu.
Mereka pun tiba di rumah sakit hanya dalam waktu lima belas menit. Namun Zaara lupa tidak membawa uang sepeserpun.
“Mas, aku gak bawa uang buat ongkos. Mas yang bayarin ya,” ucap Zaara nyengir.
Lelaki itu pun tak banyak bicara, meskipun lemah dia masih memiliki sisa kesadarannya. Dia merogoh uang dari saku celananya dan menyerahkannya pada Zaara.
“Pak, makasih,” seru Zaara pada supir taksi yang berbinar saat memperoleh uang seratus ribu rupiah.
Para perawat IGD langsung menyambut lelaki itu dan membawanya dengan brankar ke ruang IGD untuk segera ditangani. Zaara menunggu di sebuah kursi besi tepat di depan ruangan itu.
Lalu Zaara mendatangi bagian administrasi dan menceritakan kejadian yang menimpa lelaki itu. Rupanya salah satu staf rumah sakit ada yang mengenali keluarga lelaki itu sehingga tak butuh waktu lama, lelaki itu ditangani dan dioperasi sebab telah mengantongi ijin dari keluarganya via sambungan telepon. Zaara pun merasa tenang akan meninggalkan pemuda itu. Menurut salah satu perawat yang menanganinya keluarganya sedang berada dalam perjalanan.
“Sus, bagaimana kondisi Mas tadi?” tanya Zaara saat mendapati seorang perawat keluar dari ruang operasi.
“Sudah dioperasi Mbak, tinggal nunggu siuman,” jawab perawat itu.
“Alhamdulillah, makasih ya Sus,” ucap Zaara berbicara sendiri sebab perawat tadi sudah keburu pergi begitu saja. Dia bersyukur mendengar kabar mengenai lelaki tadi yang selamat.
Terdengar pula riuh kabar tentang lelaki itu. Menurut kabar yang beranak pinak lelaki itu korban penusukan oleh geng motor. Dia terluka sebab memenangkan lomba balap liar malam itu.
Rivalnya yang kalah menyuruh rekan-rekannya, geng motor untuk memberinya pelajaran yang berujung pada aksi kriminal penusukan. Lelaki itu memiliki hobi balap motor gede.
Berita peristiwa itupun langsung menyebar dan disiarkan langsung di TV nasional dan portal berita online. Masalahnya lelaki itu anak seorang pengusaha terkenal sehingga menjadi viral.
Karena malam sudah larut Zaara memutuskan untuk pulang dengan menaiki angkutan umum. Beruntunglah dia menemukan uang pecahan dua ribuan di saku bajunya sehingga bisa pulang.
Sementara itu di dalam ruang operasi lelaki itu bangun dan kata-kata yang meluncur pertama kali dari bibirnya ialah ‘Di mana perempuan itu?’
Perlahan secercah cahaya tampak berpendar melalui retina matanya. Entah mengapa hanya sekedar membuka mata dia seolah mengeluarkan energi besar. Alasannya karena pengaruh obat bius seusai operasi. Lampu LED dengan intensitas rendah masih saja tampak menyilaukan sehingga membuat matanya kembali ingin tenggelam sebelum suara dengungan dari wanita yang duduk di sampingnya terdengar. Lelaki itu berpura-pura tidur kembali, tak sudi mendengar ceramah ibunya saat itu. Apalagi dalam kondisi tubuhnya yang remuk redam dan perut terasa dililit ular piton. “Bangun! Pura-pura tidur!” cibir sang ibu bahkan tanpa menatap lawan bicaranya. Dia seolah memiliki indera keenam untuk mengetahui gelagat anaknya yang menyebalkan. Dia tengah melakukan video call dengan teman sosialitanya. “Di mana gadis itu Mom?”Lelaki itu berusaha bangun dan duduk dengan kasar. “Haikal, diam dulu! Jangan banyak gerak, kamu baru habis dioperasi.”Ibunya berkomentar dan langsung membantunya kembali tidur.“Mom, mana gadis
Zaara pasrah tidak bisa membesuk pemuda yang ditolongnya. Hanya mendengar kabar baik bahwa keluarganya sudah datang setidaknya membuat Zaara merasa lega. Apalagi mendengar pemuda itu sudah ditangani dan operasinya berjalan lancar. Dia sudah tidak memiliki urusan ataupun kepentingan dengan pemuda itu.Namun tatkala kaki jenjangnya mengayun di langkah ke empat, Zaara teringat sesuatu. Dia sudah kadung membawa sebuket bunga untuk pemuda tersebut. Oleh karena itu, Zaara memutuskan kembali menyambangi resepsionis tadi untuk menitipkan bunga tersebut sebagai penyemangat.“Ada apa lagi Mbak?” tanya resepsionis lelaki dengan ketus.“Ah, aku lupa, aku hanya ingin memberinya bunga. Bisakah Mbak eh Mas memberikan ini!”Zaara menyodorkan sebuket bunga mawar putih yang masih segar. Aromanya bisa terhidu langsung, segar dan membuat semangat yang melihatnya.“Baiklah, ada lagi? Um, ada lagi yang mau disampaikan?”“Enggak cukup, Mas. Oh, ya, sampaikan saja, semoga cepat sembuh,”Lagi, Zaara tidak men
Sementara itu Zaara marah dan merutuki dirinya sendiri saat dia mengingat pemuda yang dia tolong. Dia begitu mengkhawatirkannya tetapi pemuda tersebut malah menghina fisiknya yang difabel. Dia merasa harga dirinya jatuh sejatuhnya sebab diinjak-injak oleh lelaki tersebut.“Lelaki sialan! Pemuda brengsek! Aku kira pemuda jalanan yang berambut gondrong hatinya baik. Um, cuma penampilannya saja yang urakan. Ternyata sama saja!Semua lelaki yang mengaku punya banyak uang mau dia berpenampilan gaul atau rapi metroseksual kayak si Ray sama saja! Lelaki brengsek!”Zaara tak henti-hentinya merutuk. Lalu dia duduk di sebuah bangku kosong dekat gerobak bakso untuk istirahat.“Neng mau makan bakso?” tanya tukang bakso yang memang sudah mengenal Zaara sejak kedatangannya ke rumah Hamid dan Fatimah. Zaara dikenalkan oleh mereka sebagai anak angkatnya pada semua orang.“Iya, Mang! Bakso dengan level terpedas,” jawab Zaara dengan sedikit ketus. Dia memijit pangkal hidungnya berkali-kali. Lalu merang
Di sebuah mansion mewah berkonsep klasik-kontemporer, para pelayan cantik yang mengenakan seragam khusus menyambut kedatangan majikan mereka. Seorang butler langsung menyambut Elia Mariyam dan membawakan barang bawaannya sedangkan pelayan yang lain langsung meraih jaket wol yang dikenakan olehnya dan langsung menaruhnya dengan menggantungnya pada gantungan besi etnik.Pelayan yang lain juga segera menyambut kedatangan tuan majikannya yang tak lain Haikal sang putra semata wayang yang berjalan di belakang sang ibu. Beberapa pelayan muda seringkali berlomba agar bisa bertemu, bercengkerama dan melayani tuan muda mereka yang terlihat sangat tampan berwajah khas timur tengah. Namun Haikal tidak suka diperlakuan semacam itu.Apalagi rambut Haikal yang gondrong sedikit ikal tampak menampakkan sisi maskulin seorang lelaki macho, membuat para gadis menjerit melihatnya. Padahal Haikal tak pernah berniat menggoda para hawa dengan penampilannya yang paripurna, terkesan cowok badboy dengan setela
Haikal terlihat menarik nafas dalam.“Ya …” ucap Haikal singkat.Elia dan Edi saling menoleh kaget melihat respon Haikal. Tak percaya, Elia masih merekam memori beberapa tahun silam saat Haikal ditawari mengurus perusahaan tetapi Haikal memilih meninggalkan rumah dan berbuat sesuka hati.Haikal lantas meninggalkan meja makan tanpa suara. Dia langsung keluar mansion dan menyisir kendaraan miliknya, sebuah motor ninja yang sudah dimodifikasi. Dia pergi mengunjungi kekasihnya yang sedang marah saat ini.Di depan sebuah kantor agency model, Haikal menyesap sebatang rokok seraya menunggu kekasihnya keluar. Dia ingin memberi kejutan padanya. Yang ditunggu tak kunjung tiba. Lalu Haikal memutuskan masuk ke kantor tersebut.Beberapa pasang mata menoleh ke arahnya tanpa berkedip. Apa yang dilakukan seorang badboy rupawan di kantor tersebut?“Siapa dia?” tanya salah satu model.“Dia … bukankah dia Haikal Mahardika? Anak pengusaha tambang itu loh,”“Serius?”“Mau ngapain di sini?”Begitulah perca
Zaara dicegat oleh dua orang pemuda asing.“Apa mau kalian?” pekik Zaara panik saat menyadari kehadiran mereka.“Kamu sudah berbuat tak sopan pada ibu kami. Kamu siapa? Um, dasar gadis buta. Dengar, ibu kami warga sini sedangkan kamu hanya orang asing. Kamu jangan sok-sokan ngatur warga sini? Berani main labrak,”Salah satu pemuda itu menarik tongkat yang dipegang Zaara hingga membuat Zaara kaget.“Hei, jangan kurang ajar!”“Bagaimana Bang, kita lihat apa gadis itu bisa berjalan tanpa tongkat? Kasihan, gadis cantik tapi …”“Buta dan yatim piatu,”“Benar Bang, malang kali nasibnya,”“Diam? Atau ..”“Atau apa?” salah satu pemuda itu menjawil dagu Zaara.“Jangan kurang ajar? Atau aku akan berteriak?””“Teriak saja, memang kami takut,”“Sialan,”Zaara tidak tinggal diam, dia melepas salah satu sepatunya lalu menudingkan ke arah pemuda tadi lalu memukul-mukul asal ke berbagai arah yang akhirnya salah satu wajah pemuda itu tertimpuk cukup keras mengenai pangkal hidungnya.Lalu terdengar Zaa
"Mas!” seru Zaara sebab lawan bicaranya terdiam tiba-tiba. Padahal lawan bicaranya saat ini tengah menatap Zaara lekat. Zaara terlihat sangat cantik, berwajah oriental dan berkulit kuning langsat. Kecantikannya bertambah dengan pashmina yang dia kenakan, sebuah pashmina berwarna krem dipadupadankan dengan tunik berwarna moka serta celana flare pants putih. Dari penampilannya yang bergaya, Haikal menyimpulkan jika Zaara bukanlah gadis desa sehingga membuatnya penasaran. “Iya, aku masih di sini. Nunggu jawaban kamu,” “Jawaban apa?” “Kamu mau terima tawaranku? Lusa ibuku ulang tahun, aku ingin bunga segar mirip yang kamu kasih ke aku pas di rumah sakit. Bunga mawar putih dengan kelopak yang besar. Aku suka itu …” “Okay,” Setelah menimang-nimang Zaara akhirnya menerima tawaran Haikal. Dia memang butuh uang. Untuk sesaat dia mengenyampingkan rasa gengsinya. “Apa mau dibayar sekarang atau nanti?” tanya Haikal berhati-hati. Khawatir Zaara tersinggung. “Ada uang ada barang,” Zaara ter
Lamunan Zaara terinterupsi karena kedatangan Fatimah.“Assalamualaikum!” ucap Fatimah yang membuka sedikit pintu kamar Zaara. “Waalaikumsalam, Ibu ada apa?”Zaara buru-buru mengusap wajahnya yang basah dari air mata dan beristigfar.“Kamu sudah makan malam Nak?”“Sudah, Bu. Bagaimana keadaan Ibu sekarang?”Zaara beranjak dari kursi dekat jendela dan menghampiri Fatimah. Dia terlihat khawatir pasalnya Fatimah sedari kemarin meringkuk di kamar. Namun dia tidak berani menganggunya. Fatimah hanya keluar untuk memasak saja.“Sudah baikkan Nak,” jawab Fatimah padahal sedang tidak baik-baik saja. Keringat dingin mengucur di tubuhnya dan tekanan darahnya rendah. Dia kelelahan karena bekerja terlalu keras, memanen bunga.“Alhamdulillah baik, Bu,”Zaara mengukir senyum tatkala mendengar sang ibu dalam kondisi membaik. “Bagaimana jualanmu?” tanya Fatimah membuat Zaara membatu. Zaara tak berniat menceritakan padanya bahwa jualannya tidak laku sebab ada saingan sesama penjual bunga. Tidak hany