Share

5. Pertemuan pertama

Penulis: Piemar
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-06 21:40:49

Dengan berjalan sedikit tersaruk-saruk Zaara mencari sumber suara seorang lelaki yang tengah meringis kesakitan. 

“Aa … tolong!” serunya lagi. Dia merintih kesakitan. Saking kesakitan dan mengeluarkan banyak darah dia mengalami pusing luar biasa sehingga membuat netranya kabur, tak bisa melihat jelas penampakkan Zaara yang berjalan ke arahnya. 

Dengan nafas yang tersengal-sengal dia memilih menunduk untuk menghindari banyak pergerakan. Sepertinya ujung pisau itu masih menancap di bagian entah mana perutnya. Atau mungkin pisau itu kotor saat melukai perutnya hingga menyebabkannya infeksi dan pendarahan. 

Zaara menurunkan bobot tubuhnya, setengah berjongkok sebab merasa ada orang yang terluka dan membutuhkan pertolongannya di bawah, di jalan yang dia lewati. Tepat ujung kakinya yang tertutup pump shoes menyentuh kakinya yang setengah ditekuk. 

“Apa kamu terluka?” tanya Zaara dengan suara yang terpantul merdu. Merdu yang tak dibuat-buat sebab suaranya terlahir begitu. 

Lelaki itu tersenyum miring dan meringis di waktu yang sama. Enggan mendengar basa-basi seorang perempuan yang dianggap melembutkan suaranya, menggodanya. 

“Oh, Come on! Jangan banyak bacot, aku terluka parah, kamu masih bertanya,” 

Lelaki yang sedikit temperamental itu membuang nafas kasar. “Perutku kena tusuk pisau. Tolong panggilkan taksi atau apalah! Aku harus segera ke dokter,” ucapnya lagi sambil menunduk dan menggigit bibir bawahnya menahan sakit yang luar biasa. Dia bicara tanpa melihat Zaara. Dia meremas bagian perutnya yang kesakitan. 

Tanpa pikir panjang, Zaara pun melepas sweater rajut berwarna coklat yang dipakainya dan menyodorkannya pada lelaki itu. 

“Kamu bisa menggunakan ini untuk menyumpal lukamu,” ucap Zaara lalu meninggalkannya. Dia melangkahkan kaki jenjangnya dengan bantuan tongkatnya, menuju jalan utama yang berjarak sekitar lima puluh meter dari jembatan merah. Lalu dia memanggil taksi atau kendaraan apapun untuk berhenti. Namun tak ada satupun kendaraan yang bersedia berhenti mungkin karena penuh penumpang. 

Lelaki itu pasti kesakitan, dia harus segera mendapat pertolongan. Batin Zaara iba. 

Terpaksa Zaara pun kembali menemui lelaki itu, dia harus memapahnya, membawanya segera sembari mencari kendaraan. 

Pelan-pelan Zaara mendekati lelaki itu dan meraba untuk meraih lengan lelaki itu. Namun karena sedikit gugup, instingnya yang kuat seketika lesap. Dia malah meraba bagian wajah lelaki itu hingga membuat lelaki itu berjengit dan menepisnya kasar. Lelaki itu mengira Zaara akan berbuat senonoh padanya. 

“Hei! How brave you …” umpat lelaki itu dengan mata yang menyala. Dia sudah sering berjumpa dengan para gadis cantik yang selalu menggodanya karena uang dan ketampanannya. 

Zaara merasa tersentak mendengar teriakannya. Dia tak bermaksud melakukan hal tersebut. 

“Jangan ambil kesempatan dalam kesempitan! Pake hijab tapi mesum,” gerutu lelaki itu berusaha bangkit tetapi karena lemah dia pun duduk kembali. Samar-samar dia melihat sosok Zaara. 

Zaara merasa bersalah meskipun itu bukan kesalahannya sepenuhnya. Dia hanya berniat baik, menolong pemuda itu. 

Zaara tersenyum tipis. “Oh, maaf, aku hanya mendengar suaramu, karena aku tak bisa melihat. Aku buta,” ucapnya dengan tenang. 

Sontak mendengar hal itu pemuda itu kaget. Seketika dia memandang Zaara tanpa berkedip. Kini dia bisa melihat dengan jelas wajah gadis itu. 

Namun pemuda itu bukan pemuda biasa. Dia adalah orang yang tidak mudah percaya dengan kata-kata orang lain. Krisis kredibilitas telah diidapnya sejak lama. Sejak banyak orang yang di sekelilingnya berdusta. 

“Kok diam? Serius, aku gak sengaja. Aku saja jalan pakai tongkat,” ulang Zaara dengan sedikit mendecak sebal. 

Namun mendengar cara bicara Zaara yang meyakinkan, dia memang terlihat jujur. Apalagi binar matanya yang entahlah seperti menusuk batinnya. 

Pemuda itu melambaikan tangannya ke arah mata Zaara yang berjongkok di depannya, sekedar memastikan apa yang diucapkan gadis itu benar. Jelas, Zaara tidak berkedip karena memang dia buta. 

‘Astaga, gadis cantik ini buta beneran,’ batin lelaki itu. Rupanya sisa-sisa kesadarannya terkumpul saat melihat gadis cantik. 

“Kalau kamu menunggu di sini, kamu tidak akan menemukan kendaraan. Aku hanya membantumu sampai menemukan taksi atau angkot ya. Aku akan membantumu berjalan, memapahmu,” 

Zaara berdiri dengan memegang tongkatnya di sebelah kanan sementara itu tangan sebelah kiri membantu memapah lelaki itu. Lelaki itu mencelos melihat gadis itu. Dia buta tapi dia berhati malaikat, bersedia menolongnya. Dia juga cukup tegar menjalani hidupnya. Itulah yang dilihat lelaki tersebut saat ini.

Lelaki itu pun tak kuasa menolak karena memang dia butuh pertolongan. Sepanjang jalan lelaki itu memandang manik mata berwarna irish coklat muda itu dengan takjub. Rasanya, rasa sakit itu seperti menghilang begitu saja. Apalagi harum aroma mawar yang menguar dari tubuh Zaara, membuatnya merasa tenang dan sedikit bergairah. Bisa-bisanya berpikir kotor saat seperti itu. Jadi kesimpulannya, siapa di sini yang mengambil kesempatan dalam kesempitan? 

Mereka pun akhirnya tiba di jalan utama dan menemukan taksi. 

“Pak, bawa ke rumah sakit! Mas ini terluka,” ucap Zaara pada supir taksi yang menurunkan sedikit jendela mobilnya. Dia memindai sosok Zaara dan lelaki itu bergantian dengan memicingkan matanya yang nyaris tak terlihat karena sipit. 

“Enggak, maaf,” 

Supir itu menolak tepat saat melihat kondisi lelaki itu lalu melirik pada gadis buta yang malang. 

“La, kenapa?” tanya Zaara dengan polos.

“Siapa yang bertanggungjawab kalau terjadi apa-apa?” ucap supir itu lugas setelah melihat perut yang bersimbah darah dan penampilan lelaki itu yang lebih mirip bertampang berandalan. Rambut gondrong menutupi wajahnya dan jaket berbahan denim kucel serta celana jeans yang robek-robek, yang mengingatkannya pada celana miliknya yang dibakar istrinya saat dia ketahuan ngapel ke rumah selingkuhannya.

“Ya udah aku ikut, aku yang bertanggung jawab,” ucap Zaara dengan tegas. Lelaki itu nyaris tak bersuara sebab menahan sakit yang memilin perutnya. 

Zaara pun membantu lelaki itu masuk mobil. Sepertinya dia sudah kehilangan banyak darah sehingga dia makin terlihat lemas. Mereka duduk di kursi belakang. 

Kepala lelaki itu bergoyang-goyang mirip boneka dashboard mobil. Dan, akhirnya tubuhnya jatuh tersungkur mencium ujung kaki Zaara hingga membuat Zaara berjengit kaget. Spontan, tangan Zara meraba-raba dan berhasil mencengkeram kasar bahu lelaki itu untuk menariknya lagi agar duduk dengan posisi senyaman mungkin. 

“Hei, kamu jangan tidur!” seru Zaara pada lelaki itu yang duduk dengan menunduk. Lelaki itu diam dan hal tersebut membuatnya cemas. Beberapa detik kemudian kepalanya terkulai pada bahu Zaara, mencari posisi ternyaman untuk tidur seperti seorang bayi yang tengah mencari ibunya. Hal tersebut membuat Zaara kembali terlonjak kaget lalu mendorongnya hingga kepalanya mencium jendela kali ini. 

“Ough! Sakit fucki* shi*! Aku ngantuk,” umpatnya mengumpulkan kesadarannya. 

“Jangan tidur pokoknya!” celoteh Zaara membuat supir terkikik melihat ke duanya lewat kaca spion tengah. 

“Pak, ngebut ya! Kasihan Mas ini udah kehilangan banyak darah,” ucap Zaara pada supir itu. 

Mereka pun tiba di rumah sakit hanya dalam waktu lima belas menit. Namun Zaara lupa tidak membawa uang sepeserpun. 

“Mas, aku gak bawa uang buat ongkos. Mas yang bayarin ya,” ucap Zaara nyengir. 

Lelaki itu pun tak banyak bicara, meskipun lemah dia masih memiliki sisa kesadarannya. Dia merogoh uang dari saku celananya dan menyerahkannya pada Zaara. 

“Pak, makasih,” seru Zaara pada supir taksi yang berbinar saat memperoleh uang seratus ribu rupiah. 

Para perawat IGD langsung menyambut lelaki itu dan membawanya dengan brankar ke ruang IGD untuk segera ditangani. Zaara menunggu di sebuah kursi besi tepat di depan ruangan itu.

Lalu Zaara mendatangi bagian administrasi dan menceritakan kejadian yang menimpa lelaki itu. Rupanya salah satu staf rumah sakit ada yang mengenali keluarga lelaki itu sehingga tak butuh waktu lama, lelaki itu ditangani dan dioperasi sebab telah mengantongi ijin dari keluarganya via sambungan telepon. Zaara pun merasa tenang akan meninggalkan pemuda itu. Menurut salah satu perawat yang menanganinya keluarganya sedang berada dalam perjalanan. 

“Sus, bagaimana kondisi Mas tadi?” tanya Zaara saat mendapati seorang perawat keluar dari ruang operasi. 

“Sudah dioperasi Mbak, tinggal nunggu siuman,” jawab perawat itu. 

“Alhamdulillah, makasih ya Sus,” ucap Zaara berbicara sendiri sebab perawat tadi sudah keburu pergi begitu saja. Dia bersyukur mendengar kabar mengenai lelaki tadi yang selamat. 

Terdengar pula riuh kabar tentang lelaki itu. Menurut kabar yang beranak pinak lelaki itu korban penusukan oleh geng motor. Dia terluka sebab memenangkan lomba balap liar malam itu. 

Rivalnya yang kalah menyuruh rekan-rekannya, geng motor untuk memberinya pelajaran yang berujung pada aksi kriminal penusukan. Lelaki itu memiliki hobi balap motor gede. 

Berita peristiwa itupun langsung menyebar dan disiarkan langsung di TV nasional dan portal berita online. Masalahnya lelaki itu anak seorang pengusaha terkenal sehingga menjadi viral. 

Karena malam sudah larut Zaara memutuskan untuk pulang dengan menaiki angkutan umum. Beruntunglah dia menemukan uang pecahan dua ribuan di saku bajunya sehingga bisa pulang.

Sementara itu di dalam ruang operasi lelaki itu bangun dan kata-kata yang meluncur pertama kali dari bibirnya ialah ‘Di mana perempuan itu?’

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pelukis Buta Milik Sang CEO   122. Pengantin pengganti (tamat)

    Kediamaan Harun malam ini begitu indah, dihiasi bebungaan berwarna warni dan lampu-lampu kristal yang menggantung indah. Halaman rumah yang begitu luas tersebut telah disulap menjadi sebuah venue pernikahan garden party yang hangat dan romantis.Malam ini akan diadakan malam di mana seorang pria dan wanita akan melepas masa lajangnya dengan mengadakan walimah dan dihadiri oleh keluarga inti dan kerabat terdekat.Acara walimah aqad ijab qabul akan diadakan di sebuah pelaminan yang hanya dihadiri oleh calon mempelai pria, wali, saksi dan penghulu. Pengantin wanita menunggu di ruangan terpisah. Zaara kini terlihat cantik dengan penampilan pengantin ala Sunda, mengenakan kebaya berwarna putih tulang dan tetap memakai kerudung yang dipadupadankan dengan hiasan siger di kepalanya. Dia terlihat sangat cantik dan berbeda setelah dirias oleh seorang MUA profesional.Namun Zaara bersedih saat yang sama. Ada banyak kesedihan yang dia rasakan malam ini. Pertama dia sedih karena harus menikah den

  • Pelukis Buta Milik Sang CEO   121. Meminta restu

    Suatu malam yang hening, Zaara tengah duduk di taman depan rumahnya. Dia tengah termenung menikmati hembusan angin malam yang menerpa wajahnya.Harum semerbak anggrek bulan yang tengah mekar menyapa indera penciumannya. Zaara merasa tenang saat menghidunya.Namun ada aroma parfum yang dia kenal familiar tiba-tiba muncul. Hanya satu orang yang dia tahu suka memakai parfum mahal dan mewah berasal dari Paris tersebut, parfum beraroma woody floral musk. Seketika Zaara berdiri dan berusaha mencari sang pemilik aroma tersebut.Mata Zaara berembun tatkala kakinya dengan begitu saja melangkah menghampiri pemuda yang begitu dia rindukan. Namun sosok pemuda yang berdiri di hadapannya memilih melangkah mundur, menghindari Zaara hingga membuat Zaara terlihat sedih dan kecewa.“Mas Haikal, kau kah itu?”Zaara spontan menyebutkan nama sang empunya aroma yang familier tersebut. Pria yang Zaara dekati memilih diam dengan pikiran yang gelisah.“Mas Haikal kenapa diam? Kenapa Mas selalu mempermainkan h

  • Pelukis Buta Milik Sang CEO   120. Lamaran Haidar

    “Di mana Safira?” pekik Haikal ketika kakinya menginjak lantai sebuah apartemen. Kini Safira berada di apartemen miliknya karena lokasinya dekat dengan lokasi shooting di mana dia bekerja. Saat ini Safira Nasution memperoleh tawaran dari salah satu perusahaan advertising untuk menjadi model iklan kosmetik kecantikan.Kean yang merupakan pengawal pribadi Safira langsung menghadang jalan Haikal. Kebetulan Kean saat itu berada di luar pintu apartemen.Kean ditugasi Safira untuk berjaga di depan pintu masuk karena sang nona muda tak ingin diganggu. Dia ingin istirahat sejenak karena letih begadang beberapa hari setelah melakukan shooting.“Nona Safir tak bisa diganggu! Beliau sedang istirahat.”Kean menjawab dengan nada tegas, berharap Haikal akan segera pergi dari sana dan tak mencari gara-gara lagi dengannya. Seingat Kean, Haikal terakhir kali menghajarnya bertubi-tubi.“Aku harus bertemu dengannya sekarang! Minggir kau!” titah Haikal dengan menaikkan suaranya beberapa oktaf. Haikal mem

  • Pelukis Buta Milik Sang CEO   119. Gamang

    “Kau habis dari mana?” tanya Elia berkacak pinggang saat menyambut kedatangan Haikal malam itu. Sepulang mengantar Zaara ke klinik Haikal memutuskan pulang ke kediaman sang ibu karena ada hal yang harus dibicarakan dengannya. Haikal akan mengabari tentang batalnya pernikahan di antara dirinya dan Safira sehingga ibunya tidak akan mempermasalahkannya lagi. Namun tentu Haikal tidak akan langsung mengabari malam itu karena dirinya sudah cukup letih. Dia baru akan mengabari sang ibu keesokan harinya.Siapa sangka, Elia terbangun saat mendengar suara deru mesin mobil Haikal. Melihat kedatangan putranya tersebut, Elia keluar dari kamarnya dengan mengenakan piyama tidur berbentuk kimono, menghampiri Haikal yang baru saja masuk dengan wajah letih dan pakaian yang berantakan.“Belum tidur Mom?”Haikal hanya menimpali sang ibu dengan begitu santai. Dia berjalan melewatinya menuju kamarnya. “Aku mau istirahat Mom! Besok kita bicara. Aku letih.” Haikal memijit pelipisnya.“Tunggu, kita bicara sek

  • Pelukis Buta Milik Sang CEO   118. Selamat

    Tenggorokan Zaara terasa terbakar setelah dipaksa minum minuman cairan berwarna merah oleh pria tua bangka berperut buncit. Entah minuman apa yang diberikan olehnya. Tubuhnya terasa panas dan dia ingin sekali melepas pakaiannya saking merasa kepanasan. Namun dia berusaha menahan diri untuk tetap menjaga kewarasannya. Zaara sama sekali tak memahami reaksi tubuhnya. Dia sampai mengepalkan jemari tangannya pada lantai agar efek tersebut hilang.Pria itu hanya tersenyum miring melihat Zaara terlihat gelisah dan kepanasan. Saat Zaara akan melompat dari balkon, pria itu segera menyeret Zaara masuk ke dalam kamar tersebut setelah memaksanya minum.“Argh, apa ini? Kenapa dengan tubuhku. Panas sekali. Aku tak tahan. Aku harus mengguyur tubuhku dengan air dingin.”Zaara bergumam tak karuan. Namun karena pria tua masih berdiri di hadapannya, Zaara menahan diri untuk tidak melewatinya. Pria itu berdiri tepat di depan Zaara yang duduk bersimpuh dengan kondisi memprihatinkan.Pria tua mengambil pon

  • Pelukis Buta Milik Sang CEO   117. Aksi heroik

    Karena menghindari pengendara yang ugal-ugalan Haikal justru membanting stir dan dia nyaris menabrak seorang pria tua dengan rambut yang sudah memutih tengah berjalan kaki di sisi jalan. Saat itu dia sedang dalam perjalanan menuju istal kuda milik keluarganya. Untuk menghilangkan rasa penat karena begitu banyak beban yang menghimpit pikirannya dia berencana akan berkuda.Pria tua itu baru saja keluar dari pintu parkiran area rumah sakit. Akhirnya dia jatuh bersimpuh karena kaget. Lututnya terbentur jalan beraspal. Pasti terasa sakit sekali apalagi usianya sudah tak lagi muda.Haikal pun segera menepikan kendaraan beroda empatnya ke tepi jalan dan segera turun untuk menghampiri pria itu. Dia harus memastikan jika pria tua itu baik-baik saja. Jika terjadi apa-apa dengannya maka dia akan bertanggung jawab untuk mengobatinya. Seperti itulah yang seharusnya Haikal lakukan.“Pak, maafkan saya. Bapak tidak apa-apa?” tanya Haikal dengan ke dua tangan berusaha merengkuhnya, membantu bapak tadi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status