Share

4. Bangkit dari keterpurukan

Tanpa ragu Zaara meloncat dari jembatan itu tetapi seseorang menahannya, berusaha menyelamatkannya. 

Hap! 

Sepasang tangan kekar menahannya. 

“Jangan! Aku ingin mati saja,” pekik Zaara dalam isak yang begitu keras. Namun kerasnya suara isak tangis tentu tak terdengar karena hujan begitu lebat. Air matanya meruah, mengaliri pipinya menyatu dengan tetesan hujan. 

Lelaki itu tidak berbicara satu patah kata pun. Dia menarik Zaara ke atas. Karena kedinginan Zaara Nadira pingsan. Lelaki tua itu membawanya ke rumah. Di sana lah awal mula kehidupan Zaara pasca mengalami kebutaan. 

****Setahun kemudian *****

“Di mana Ibu?” tanya Zaara dengan menyunggingkan senyum hangatnya yang sempat terkubur lama. 

“Ibu sedang memasak bubur,” jawab lelaki tua bersurai keperak-perakan. Dia meraih gagang cangkir untuk meneguk teh tawar yang baru dibuat sang istri. 

“Bapak, aku sudah tahu, aku bisa menghirup aroma bubur dari sini. Aku bisa menajamkan indera penciuman dan pendengaranku sekarang,” sahut Zaara penuh semangat. Matanya yang kecil dengan warna irish coklat muda dihiasi bulu mata yang panjang dan lentik kini berbinar tak seperti sebelumnya tampak meredup. 

“Alhamdulillah, bagus Nak! Bapak salut padamu. Ayo kita sarapan bubur bikinan Ibu,” ajaknya pada Zaara, berusaha memapahnya ke ruang makan yang menyatu dengan dapur tetapi Zaara menolak dengan halus.

“Ke dapur, aku hanya butuh lima belas langkah, sebelumnya lurus tujuh langkah dan belok ke kanan delapan langkah. Ada bufet jadi aku harus berhati-hati saat di langkah ke lima belas,” jelas Zaara dengan detail. 

Mendengar hal itu, Hamid, lelaki tua yang setahun lalu menolong Zaara terharu. Gadis itu hanya butuh sosok yang merangkulnya saat dia terpuruk. Terbukti dia bisa move on, melanjutkan hidupnya dengan penuh syukur. 

“Bapak menangis?” tanya Zaara. Semenjak kehilangan indera penglihatannya, indera pendengarannya menjadi begitu sensitif. Dia bisa mendengar suara sekecil apapun. 

Hamid menyeka air matanya dan berjalan lebih dulu mengajak Zaara sarapan. Dia menangis karena terharu melihat perubahan sikap Zaara saat ini. Zaara terlihat ikhlas menerima kondisinya sekarang. 

“Ayo sarapan!” ajaknya dengan suara yang sedikit bergetar. 

Mereka pun tampak seperti sebuah keluarga kecil yang lengkap, menikmati sarapan sederhana dan ala kadarnya.

“Enak sekali, Bu!” puji Zaara mengelap ujung bibirnya dengan sehelai tisu. 

“Alhamdulillah,” ucap Fatimah, wanita yang dipanggil ibu tersenyum. Seorang ibu akan merasa sangat bahagia jika hasil jerih payah masakannya dihargai dengan cara dimakan hingga habis. 

“Bapak, mau berangkat dulu Bu. Ajak Zaara ke pasar Bu biar tahu,” kata Hamid beringsut dari duduknya. 

“Pak, mau kemana? Bukankah seharusnya Bapak libur sekarang?” sergah Fatimah. 

“Betul sekali, memang jadwal libur tapi tidak ada yang merawat tanaman mawar, jadi untuk sementara Bapak yang handle sebelum menemukan pekerja yang baru,” Hamid menengok arlojinya dan berangkat setelah mengecup kening sang istri dan menepuk pundak Zaara. 

“Pak, aku bisa merawat tanaman termasuk bunga. Dulu saat Mama masih ada kami seringkali berkebun di halaman sebelum melukis,” ucap Zaara mengenang sang ibu. “Aku ingin bekerja dan menghasilkan uang agar bisa mandiri,” 

“Gak usah Zaara. Memberi makan satu orang saja tidak akan membuat Bapak miskin. Papamu pernah memberi lebih Nak!”

Hamid mengingat kebaikan Aksara. Dia memang tidak terlalu kenal dekat dengannya, hanya saja dia lelaki baik hati yang suka menolong orang yang kesulitan. Saat masih lajang Hamid bertemu dengannya sebab dia salah satu OB di perusahaan ayahnya Aksara, Salim Hantoro. Saat terdesak hutang, hanya Aksara yang menolongnya saat itu. 

‘Ah, Bapak. Aku mulai bosan di rumah. Aku ingin kembali melukis dan ingin beli alat lukis,’ kata Zaara dalam hati. Kini dia sudah terbiasa dengan kegelapan. Namun intuisi hatinya tetap memintanya untuk tetap melukis. Melukis adalah jiwa baginya, separuh kehidupannya. Dia tak bisa hidup tanpa kanvas dan kuas. 

Siang itu untuk pertama kalinya Zaara bersedia pergi keluar rumah yang lokasinya cukup jauh yaitu ke pasar. Biasanya dia hanya bepergian jarak dekat ke kebun bunga dekat TPU, bermain bersama anak yatim piatu yang tinggal di pesantren dan masjid tempat dia menenangkan diri. 

“Capek tidak?” tanya Fatimah menggandeng lengan Zaara dan memayunginya agar tidak kepanasan. 

“Enggak kok Bu, tenang saja,” 

Zaara terkekeh dan semakin menarik lengan Fatimah. Dia tak pernah pergi ke pasar tradisional sebelumnya.

Maklumlah dia anak mama dan papa yang begitu dimanjakan. Seketika dia merasa kehadiran Khansa, sang ibu membersamainya dengan tersenyum hangat sehangat sinar mentari saat musim semi. 

Mereka pun belanja berbagai bahan keperluan dapur seperti daging dan sayuran. Beberapa pedagang mencuri pandang pada Zaara dan penasaran dengan sosok gadis buta yang cantik. 

“Bu, siapa Neng geulis ini?” goda penjual sayuran. 

“Putriku, namanya Zaara Nadira,” jawab Fatimah, sengaja menyebutnya anak sebab tak ingin seorang pun merendahkan dirinya apalagi sampai mengganggunya. 

Zaara memegang tangan Fatimah erat, merasa tak nyaman dan ingin segera beranjak dari sana. Terbiasa di rumah membuatnya merasa tidak nyaman saat berpergian ke tempat yang ramai. Dia sedikit gelisah. 

“Kita pulang sekarang, Nak,” bisiknya pada Zaara yang diikuti anggukan. 

Sore menjelang. 

Setelah membantu membereskan bahan makanan, Zaara akan bersiap-siap ikut kajian di masjid Al-Anshor yang berlokasi satu kilo meter dari rumah itu. Dia berangkat bersama teman-teman seumurannya. Hamid mengajak Zaara mengikuti kajian di sana agar hatinya tenang sebab bisa mendengar nasehat-nasehat yang menyejukan batinnya. Perlahan dia mulai sembuh dari depresi yang dialaminya. 

Usai mengaji bersama teman sebayanya yang merupakan yatim piatu, Zaara menyempatkan dirinya pergi ke jembatan merah sekedar ingin mengingat moment di mana dia ingin mengakhiri hidupnya. 

Kini, dia sudah mulai melanjutkan hidupnya dan ingin kembali melukis. Setelah mendengar kabar tentang Esref Armagan, pelukis buta dari Turki dia pun kembali bersemangat untuk melukis. 

Tak seperti Zaara, kondisi Esref Armagan buta sejak lahir tetapi dia mampu melukis. Hal tersebut membuat Zaara terpacu kembali. Zaara pernah melihat warna dan dia akan berusaha menajamkan perasaannya untuk membayangkan melukis dengan cara yang berbeda. Dia akan mencoba melukis dengan aliran abstraksionisme. 

Zaara berjalan pelan-pelan menuju jembatan itu. Entahlah, dia ingin sekali mengunjungi tempat itu saat itu juga. Padahal sudah menjelang isya. Namun karena terbiasa dengan kegelapan dia menjadi tidak takut apapun saat malam menjelang. Malam dan siang sama saja baginya.

“Aaa … sakit!” pekik seorang pemuda yang tersungkur dan hampir jatuh tercebur ke dalam sungai yang meluap-luap di bawah jembatan merah. Sebelah tangannya meraih gagang besi jembatan dan sebelah tangan yang lainnya memegangi perutnya yang bersimbah darah segar. 

Zaara berusaha menajamkan indera pendengarannya. Dia mendengar suara seorang lelaki yang tengah meringis kesakitan. Dia seperti membutuhkan pertolongan. 

“Siapa disitu?” tanya Zaara sembari meraba-raba lalu memancangkan tongkat yang selalu setia menemaninya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status