Beranda / Romansa / Pelukis Buta Milik Sang CEO / 4. Bangkit dari keterpurukan

Share

4. Bangkit dari keterpurukan

Penulis: Piemar
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-06 21:03:58

Tanpa ragu Zaara meloncat dari jembatan itu tetapi seseorang menahannya, berusaha menyelamatkannya. 

Hap! 

Sepasang tangan kekar menahannya. 

“Jangan! Aku ingin mati saja,” pekik Zaara dalam isak yang begitu keras. Namun kerasnya suara isak tangis tentu tak terdengar karena hujan begitu lebat. Air matanya meruah, mengaliri pipinya menyatu dengan tetesan hujan. 

Lelaki itu tidak berbicara satu patah kata pun. Dia menarik Zaara ke atas. Karena kedinginan Zaara Nadira pingsan. Lelaki tua itu membawanya ke rumah. Di sana lah awal mula kehidupan Zaara pasca mengalami kebutaan. 

****Setahun kemudian *****

“Di mana Ibu?” tanya Zaara dengan menyunggingkan senyum hangatnya yang sempat terkubur lama. 

“Ibu sedang memasak bubur,” jawab lelaki tua bersurai keperak-perakan. Dia meraih gagang cangkir untuk meneguk teh tawar yang baru dibuat sang istri. 

“Bapak, aku sudah tahu, aku bisa menghirup aroma bubur dari sini. Aku bisa menajamkan indera penciuman dan pendengaranku sekarang,” sahut Zaara penuh semangat. Matanya yang kecil dengan warna irish coklat muda dihiasi bulu mata yang panjang dan lentik kini berbinar tak seperti sebelumnya tampak meredup. 

“Alhamdulillah, bagus Nak! Bapak salut padamu. Ayo kita sarapan bubur bikinan Ibu,” ajaknya pada Zaara, berusaha memapahnya ke ruang makan yang menyatu dengan dapur tetapi Zaara menolak dengan halus.

“Ke dapur, aku hanya butuh lima belas langkah, sebelumnya lurus tujuh langkah dan belok ke kanan delapan langkah. Ada bufet jadi aku harus berhati-hati saat di langkah ke lima belas,” jelas Zaara dengan detail. 

Mendengar hal itu, Hamid, lelaki tua yang setahun lalu menolong Zaara terharu. Gadis itu hanya butuh sosok yang merangkulnya saat dia terpuruk. Terbukti dia bisa move on, melanjutkan hidupnya dengan penuh syukur. 

“Bapak menangis?” tanya Zaara. Semenjak kehilangan indera penglihatannya, indera pendengarannya menjadi begitu sensitif. Dia bisa mendengar suara sekecil apapun. 

Hamid menyeka air matanya dan berjalan lebih dulu mengajak Zaara sarapan. Dia menangis karena terharu melihat perubahan sikap Zaara saat ini. Zaara terlihat ikhlas menerima kondisinya sekarang. 

“Ayo sarapan!” ajaknya dengan suara yang sedikit bergetar. 

Mereka pun tampak seperti sebuah keluarga kecil yang lengkap, menikmati sarapan sederhana dan ala kadarnya.

“Enak sekali, Bu!” puji Zaara mengelap ujung bibirnya dengan sehelai tisu. 

“Alhamdulillah,” ucap Fatimah, wanita yang dipanggil ibu tersenyum. Seorang ibu akan merasa sangat bahagia jika hasil jerih payah masakannya dihargai dengan cara dimakan hingga habis. 

“Bapak, mau berangkat dulu Bu. Ajak Zaara ke pasar Bu biar tahu,” kata Hamid beringsut dari duduknya. 

“Pak, mau kemana? Bukankah seharusnya Bapak libur sekarang?” sergah Fatimah. 

“Betul sekali, memang jadwal libur tapi tidak ada yang merawat tanaman mawar, jadi untuk sementara Bapak yang handle sebelum menemukan pekerja yang baru,” Hamid menengok arlojinya dan berangkat setelah mengecup kening sang istri dan menepuk pundak Zaara. 

“Pak, aku bisa merawat tanaman termasuk bunga. Dulu saat Mama masih ada kami seringkali berkebun di halaman sebelum melukis,” ucap Zaara mengenang sang ibu. “Aku ingin bekerja dan menghasilkan uang agar bisa mandiri,” 

“Gak usah Zaara. Memberi makan satu orang saja tidak akan membuat Bapak miskin. Papamu pernah memberi lebih Nak!”

Hamid mengingat kebaikan Aksara. Dia memang tidak terlalu kenal dekat dengannya, hanya saja dia lelaki baik hati yang suka menolong orang yang kesulitan. Saat masih lajang Hamid bertemu dengannya sebab dia salah satu OB di perusahaan ayahnya Aksara, Salim Hantoro. Saat terdesak hutang, hanya Aksara yang menolongnya saat itu. 

‘Ah, Bapak. Aku mulai bosan di rumah. Aku ingin kembali melukis dan ingin beli alat lukis,’ kata Zaara dalam hati. Kini dia sudah terbiasa dengan kegelapan. Namun intuisi hatinya tetap memintanya untuk tetap melukis. Melukis adalah jiwa baginya, separuh kehidupannya. Dia tak bisa hidup tanpa kanvas dan kuas. 

Siang itu untuk pertama kalinya Zaara bersedia pergi keluar rumah yang lokasinya cukup jauh yaitu ke pasar. Biasanya dia hanya bepergian jarak dekat ke kebun bunga dekat TPU, bermain bersama anak yatim piatu yang tinggal di pesantren dan masjid tempat dia menenangkan diri. 

“Capek tidak?” tanya Fatimah menggandeng lengan Zaara dan memayunginya agar tidak kepanasan. 

“Enggak kok Bu, tenang saja,” 

Zaara terkekeh dan semakin menarik lengan Fatimah. Dia tak pernah pergi ke pasar tradisional sebelumnya.

Maklumlah dia anak mama dan papa yang begitu dimanjakan. Seketika dia merasa kehadiran Khansa, sang ibu membersamainya dengan tersenyum hangat sehangat sinar mentari saat musim semi. 

Mereka pun belanja berbagai bahan keperluan dapur seperti daging dan sayuran. Beberapa pedagang mencuri pandang pada Zaara dan penasaran dengan sosok gadis buta yang cantik. 

“Bu, siapa Neng geulis ini?” goda penjual sayuran. 

“Putriku, namanya Zaara Nadira,” jawab Fatimah, sengaja menyebutnya anak sebab tak ingin seorang pun merendahkan dirinya apalagi sampai mengganggunya. 

Zaara memegang tangan Fatimah erat, merasa tak nyaman dan ingin segera beranjak dari sana. Terbiasa di rumah membuatnya merasa tidak nyaman saat berpergian ke tempat yang ramai. Dia sedikit gelisah. 

“Kita pulang sekarang, Nak,” bisiknya pada Zaara yang diikuti anggukan. 

Sore menjelang. 

Setelah membantu membereskan bahan makanan, Zaara akan bersiap-siap ikut kajian di masjid Al-Anshor yang berlokasi satu kilo meter dari rumah itu. Dia berangkat bersama teman-teman seumurannya. Hamid mengajak Zaara mengikuti kajian di sana agar hatinya tenang sebab bisa mendengar nasehat-nasehat yang menyejukan batinnya. Perlahan dia mulai sembuh dari depresi yang dialaminya. 

Usai mengaji bersama teman sebayanya yang merupakan yatim piatu, Zaara menyempatkan dirinya pergi ke jembatan merah sekedar ingin mengingat moment di mana dia ingin mengakhiri hidupnya. 

Kini, dia sudah mulai melanjutkan hidupnya dan ingin kembali melukis. Setelah mendengar kabar tentang Esref Armagan, pelukis buta dari Turki dia pun kembali bersemangat untuk melukis. 

Tak seperti Zaara, kondisi Esref Armagan buta sejak lahir tetapi dia mampu melukis. Hal tersebut membuat Zaara terpacu kembali. Zaara pernah melihat warna dan dia akan berusaha menajamkan perasaannya untuk membayangkan melukis dengan cara yang berbeda. Dia akan mencoba melukis dengan aliran abstraksionisme. 

Zaara berjalan pelan-pelan menuju jembatan itu. Entahlah, dia ingin sekali mengunjungi tempat itu saat itu juga. Padahal sudah menjelang isya. Namun karena terbiasa dengan kegelapan dia menjadi tidak takut apapun saat malam menjelang. Malam dan siang sama saja baginya.

“Aaa … sakit!” pekik seorang pemuda yang tersungkur dan hampir jatuh tercebur ke dalam sungai yang meluap-luap di bawah jembatan merah. Sebelah tangannya meraih gagang besi jembatan dan sebelah tangan yang lainnya memegangi perutnya yang bersimbah darah segar. 

Zaara berusaha menajamkan indera pendengarannya. Dia mendengar suara seorang lelaki yang tengah meringis kesakitan. Dia seperti membutuhkan pertolongan. 

“Siapa disitu?” tanya Zaara sembari meraba-raba lalu memancangkan tongkat yang selalu setia menemaninya. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pelukis Buta Milik Sang CEO   122. Pengantin pengganti (tamat)

    Kediamaan Harun malam ini begitu indah, dihiasi bebungaan berwarna warni dan lampu-lampu kristal yang menggantung indah. Halaman rumah yang begitu luas tersebut telah disulap menjadi sebuah venue pernikahan garden party yang hangat dan romantis.Malam ini akan diadakan malam di mana seorang pria dan wanita akan melepas masa lajangnya dengan mengadakan walimah dan dihadiri oleh keluarga inti dan kerabat terdekat.Acara walimah aqad ijab qabul akan diadakan di sebuah pelaminan yang hanya dihadiri oleh calon mempelai pria, wali, saksi dan penghulu. Pengantin wanita menunggu di ruangan terpisah. Zaara kini terlihat cantik dengan penampilan pengantin ala Sunda, mengenakan kebaya berwarna putih tulang dan tetap memakai kerudung yang dipadupadankan dengan hiasan siger di kepalanya. Dia terlihat sangat cantik dan berbeda setelah dirias oleh seorang MUA profesional.Namun Zaara bersedih saat yang sama. Ada banyak kesedihan yang dia rasakan malam ini. Pertama dia sedih karena harus menikah den

  • Pelukis Buta Milik Sang CEO   121. Meminta restu

    Suatu malam yang hening, Zaara tengah duduk di taman depan rumahnya. Dia tengah termenung menikmati hembusan angin malam yang menerpa wajahnya.Harum semerbak anggrek bulan yang tengah mekar menyapa indera penciumannya. Zaara merasa tenang saat menghidunya.Namun ada aroma parfum yang dia kenal familiar tiba-tiba muncul. Hanya satu orang yang dia tahu suka memakai parfum mahal dan mewah berasal dari Paris tersebut, parfum beraroma woody floral musk. Seketika Zaara berdiri dan berusaha mencari sang pemilik aroma tersebut.Mata Zaara berembun tatkala kakinya dengan begitu saja melangkah menghampiri pemuda yang begitu dia rindukan. Namun sosok pemuda yang berdiri di hadapannya memilih melangkah mundur, menghindari Zaara hingga membuat Zaara terlihat sedih dan kecewa.“Mas Haikal, kau kah itu?”Zaara spontan menyebutkan nama sang empunya aroma yang familier tersebut. Pria yang Zaara dekati memilih diam dengan pikiran yang gelisah.“Mas Haikal kenapa diam? Kenapa Mas selalu mempermainkan h

  • Pelukis Buta Milik Sang CEO   120. Lamaran Haidar

    “Di mana Safira?” pekik Haikal ketika kakinya menginjak lantai sebuah apartemen. Kini Safira berada di apartemen miliknya karena lokasinya dekat dengan lokasi shooting di mana dia bekerja. Saat ini Safira Nasution memperoleh tawaran dari salah satu perusahaan advertising untuk menjadi model iklan kosmetik kecantikan.Kean yang merupakan pengawal pribadi Safira langsung menghadang jalan Haikal. Kebetulan Kean saat itu berada di luar pintu apartemen.Kean ditugasi Safira untuk berjaga di depan pintu masuk karena sang nona muda tak ingin diganggu. Dia ingin istirahat sejenak karena letih begadang beberapa hari setelah melakukan shooting.“Nona Safir tak bisa diganggu! Beliau sedang istirahat.”Kean menjawab dengan nada tegas, berharap Haikal akan segera pergi dari sana dan tak mencari gara-gara lagi dengannya. Seingat Kean, Haikal terakhir kali menghajarnya bertubi-tubi.“Aku harus bertemu dengannya sekarang! Minggir kau!” titah Haikal dengan menaikkan suaranya beberapa oktaf. Haikal mem

  • Pelukis Buta Milik Sang CEO   119. Gamang

    “Kau habis dari mana?” tanya Elia berkacak pinggang saat menyambut kedatangan Haikal malam itu. Sepulang mengantar Zaara ke klinik Haikal memutuskan pulang ke kediaman sang ibu karena ada hal yang harus dibicarakan dengannya. Haikal akan mengabari tentang batalnya pernikahan di antara dirinya dan Safira sehingga ibunya tidak akan mempermasalahkannya lagi. Namun tentu Haikal tidak akan langsung mengabari malam itu karena dirinya sudah cukup letih. Dia baru akan mengabari sang ibu keesokan harinya.Siapa sangka, Elia terbangun saat mendengar suara deru mesin mobil Haikal. Melihat kedatangan putranya tersebut, Elia keluar dari kamarnya dengan mengenakan piyama tidur berbentuk kimono, menghampiri Haikal yang baru saja masuk dengan wajah letih dan pakaian yang berantakan.“Belum tidur Mom?”Haikal hanya menimpali sang ibu dengan begitu santai. Dia berjalan melewatinya menuju kamarnya. “Aku mau istirahat Mom! Besok kita bicara. Aku letih.” Haikal memijit pelipisnya.“Tunggu, kita bicara sek

  • Pelukis Buta Milik Sang CEO   118. Selamat

    Tenggorokan Zaara terasa terbakar setelah dipaksa minum minuman cairan berwarna merah oleh pria tua bangka berperut buncit. Entah minuman apa yang diberikan olehnya. Tubuhnya terasa panas dan dia ingin sekali melepas pakaiannya saking merasa kepanasan. Namun dia berusaha menahan diri untuk tetap menjaga kewarasannya. Zaara sama sekali tak memahami reaksi tubuhnya. Dia sampai mengepalkan jemari tangannya pada lantai agar efek tersebut hilang.Pria itu hanya tersenyum miring melihat Zaara terlihat gelisah dan kepanasan. Saat Zaara akan melompat dari balkon, pria itu segera menyeret Zaara masuk ke dalam kamar tersebut setelah memaksanya minum.“Argh, apa ini? Kenapa dengan tubuhku. Panas sekali. Aku tak tahan. Aku harus mengguyur tubuhku dengan air dingin.”Zaara bergumam tak karuan. Namun karena pria tua masih berdiri di hadapannya, Zaara menahan diri untuk tidak melewatinya. Pria itu berdiri tepat di depan Zaara yang duduk bersimpuh dengan kondisi memprihatinkan.Pria tua mengambil pon

  • Pelukis Buta Milik Sang CEO   117. Aksi heroik

    Karena menghindari pengendara yang ugal-ugalan Haikal justru membanting stir dan dia nyaris menabrak seorang pria tua dengan rambut yang sudah memutih tengah berjalan kaki di sisi jalan. Saat itu dia sedang dalam perjalanan menuju istal kuda milik keluarganya. Untuk menghilangkan rasa penat karena begitu banyak beban yang menghimpit pikirannya dia berencana akan berkuda.Pria tua itu baru saja keluar dari pintu parkiran area rumah sakit. Akhirnya dia jatuh bersimpuh karena kaget. Lututnya terbentur jalan beraspal. Pasti terasa sakit sekali apalagi usianya sudah tak lagi muda.Haikal pun segera menepikan kendaraan beroda empatnya ke tepi jalan dan segera turun untuk menghampiri pria itu. Dia harus memastikan jika pria tua itu baik-baik saja. Jika terjadi apa-apa dengannya maka dia akan bertanggung jawab untuk mengobatinya. Seperti itulah yang seharusnya Haikal lakukan.“Pak, maafkan saya. Bapak tidak apa-apa?” tanya Haikal dengan ke dua tangan berusaha merengkuhnya, membantu bapak tadi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status