Share

6. Membesuk

Perlahan secercah cahaya tampak berpendar melalui retina matanya. Entah mengapa hanya sekedar membuka mata dia seolah mengeluarkan energi besar. Alasannya karena pengaruh obat bius seusai operasi.

Lampu LED dengan intensitas rendah masih saja tampak menyilaukan sehingga membuat matanya kembali ingin tenggelam sebelum suara dengungan dari wanita yang duduk di sampingnya terdengar. Lelaki itu berpura-pura tidur kembali, tak sudi mendengar ceramah ibunya saat itu. Apalagi dalam kondisi tubuhnya yang remuk redam dan perut terasa dililit ular piton.

“Bangun! Pura-pura tidur!” cibir sang ibu bahkan tanpa menatap lawan bicaranya. Dia seolah memiliki indera keenam untuk mengetahui gelagat anaknya yang menyebalkan. Dia tengah melakukan video call dengan teman sosialitanya.

“Di mana gadis itu Mom?”

Lelaki itu berusaha bangun dan duduk dengan kasar.

“Haikal, diam dulu! Jangan banyak gerak, kamu baru habis dioperasi.”

Ibunya berkomentar dan langsung membantunya kembali tidur.

“Mom, mana gadis itu?” tanya lelaki bernama Haikal Harun itu dengan meringis.

Sang ibu yang menungguinya terkesiap. Dia duduk di samping ranjang sang anak.

“Gadis siapa? Mom gak ngerti,” jawab Elia mengedikkan  bahunya lalu dia menatap sang anak dengan tatapan penuh telisik, “Apa kamu bermain dengan wanita jalang di belakang Safira?”

“Oh my Gosh! No way Mom! Perempuan yang menolongku Mom. Dia tadi membawaku ke sini,” ucap Haikal dengan sedikit meringis.

“Mommy ke sini gak lihat tuh ada perempuan itu. Kamu ngigau ya? Mabok? Kebiasaan … balapan pasti mabok,”

Elia mendengus kesal.

“Aku gak ngigau, gak mabok,”

Haikal memutar ke dua bola matanya kesal. Bisa-bisanya sang ibu terus berprasangka buruk padanya. Tidak adakah setitik kebaikan Haikal yang terlihat olehnya?

“Sus, di mana perempuan yang mengantarku ke sini?”

Lelaki itu mendelik pada perawat perempuan yang berjaga. Mungkin perawat itu akan bersedia memberikan penjelasan.

“Oh, gadis buta itu ya Mas,” sahut perawat itu sembari mengecek labu infusan.

“Buta?” tanya sang ibu tak percaya.

“Iya, Mom, dia buta tapi baik menolongku, membawaku ke rumah sakit,” sahut Haikal dengan serius. “Kalau gak ada dia aku mati di jalan,”

“Dia sudah pergi Mas. Soalnya sudah malam juga. Dia nunggu di ruang IGD sampai Mas ditangani,” sahut perawat dengan tersenyum sangat manis pada pasiennya yang terlihat rupawan.

‘Padahal aku belum tahu namanya,’ batin Haikal.

“Haikal, kamu harus berterima kasih pada gadis itu. Kamu bisa kasih dia uang,” ucap sang ibu yang bersikap pragmatis. Membalas budi seseorang dengan nominal.

‘Aku akan mencarinya,’ batin Haikal.

“Sure, Mom! Dia sudah menolongku,”

“Dengar Haikal, jika Daddy-mu tahu kamu masih ikutan balap liar, siap-siap kamu akan dikirim lagi ke Amrik,”

Elia berpindah tempat. Kali ini dia duduk di sofa setelah mematikan teleponnya. “Untunglah, Mom bertindak sudah membersihkan namamu. Seolah kamu korban luka tusuk geng motor bukan joki atau whatever ...”

Haikal hanya diam. Dia tidak peduli dengan apa yang ibunya katakan. Dia sudah cukup letih hidup tertekan oleh ke dua orang tua yang otoriter.

“Terserah!”

Haikal menjawab dengan memalingkan wajahnya.

“Hem, Haikal, bukankah kamu sudah dewasa? Sudah saatnya kamu serius mengelola perusahaan Daddy-mu! Hentikan kebiasaan burukmu balap liar! Lalu kamu menikah secepatnya dengan Safira,”

Haikal memilih bungkam mendengar nasihat ibunya yang mirip kaset, terus mengulang perkataan yang sama. Haikal tidak suka diatur dan hidup terkekang.

“Mom, aku …” protes Haikal.

“Sudahlah Haikal Harun! Jangan mempersulit hidup! Kamu tidak akan menemukan ayah sambung seperti dirinya! Dia menyayangimu seperti anak kandungnya. Tidak seperti ayah kandungmu!”

Mendengar perkataan sang ibu, Haikal terdiam dan membenarkan dalam hati. Setelah ibunya berpisah dengan ayahnya nyatanya ibunya lebih bahagia sekarang.

***

Di tempat yang lain, di sebuah kamar berpetak berukuran tiga kali tiga meter, Zaara tak bisa tidur. Pikirannya diserbu rasa gelisah sebab dia ingin sekali menjenguk lelaki yang dia tolong. Dia begitu mencemaskan kondisinya. Entah apa alasannya.

Bukankah dia orang asing? Kenapa dia harus peduli pada orang itu? Lelaki itu juga kasar dan arogan saat ditolong.

Namun Zaara terus memikirkannya. Dia takut terjadi apa-apa dengannya. Apakah keluarganya sudah datang membesuknya atau belum? Tentu saja, Zaara tidak tahu jika pemuda itu anak sultan di mana ke dua orang tuanya terkenal di kalangan pebisnis.

Keesokan harinya tak biasanya Zaara mengikuti Fatimah yang akan berjualan bunga di sekitar TPU. Ada bunga yang tersisa. Dia akan menjenguk lelaki itu dengan membawa bunga karena dia tak punya uang atau apapun itu untuk membesuk orang sakit. Tak mungkin dia meminta uang pada Hamid ataupun Fatimah. Sudah ditampung di rumahnya saja sudah bersyukur.

“Ibu, aku ijin membesuk teman,” ucap Zaara pada Fatimah yang tengah merapikan bebungaan yang tersisa.

“Siapa yang sakit Nak?”

“Ada, teman,” jawab Zaara singkat.

“Baiklah, jangan berlama-lama! Ibu mau cepat pulang ke rumah takut Bapak keburu pulang, kamu tahu sendiri Bapak tidak senang melihat Ibu berjualan.”

“Iya, Bu. Padahal tidak apa-apa ya Bu, jualan bunga toh lumayan,” sahut Zaara yang memang benar adanya.

“Iya, Ra. Hanya saja Bapak lebih senang istri tinggal di rumah,”

Fatimah tertawa hambar.

“Kalau begitu, aku yang berjualan bunga sedangkan Ibu cukup berkebun saja. Biar adil dong, aku sudah ditampung oleh Bapak dan Ibu. Sekarang giliranku untuk membalas kebaikan kalian meskipun lewat cara yang kecil,”

“Kamu bisa aja, Zaara. Tapi … makasih sebelumnya. Kamu tidak usah melakukan apa-apa, cukup temani Ibu saja di rumah,”

Fatimah mengusap pucuk kepala Zaara dengan lembut.

“Bu, jika aku hanya berdiam diri, aku benar-benar merasa menjadi orang cacat yang tidak berguna,” ucap Zaara berwajah kecewa.

Fatimah tercekat mendengar perkataan Zaara. Untuk pertama kalinya dia mendengar gadis itu mengungkapkan isi hatinya.

Apa yang dikatakan Zaara benar, Fatimah akan memberikan kesempatan padanya untuk mandiri.

“Baiklah, tapi Ibu hanya mengijinkanmu berjualan bunga di sekitar sini, jangan terlalu jauh sebab khawatir ada orang iseng yang menggodamu,”

“Iya, Bu,”

Zaara mengangguk paham dan seutas senyum terbit di wajahnya. Saat Fatimah pulang dia lekas pergi ke rumah sakit untuk membesuk lelaki yang ditolongnya.

“Mbak, aku mau membesuk lelaki semalam yang aku antar, dia lelaki berambut gondrong yang terkena luka tusuk di bagian perutnya. Di mana ruangannya sekarang? Apakah sudah dipindahkan ke ruang inap? Sudah baikkan belum? Apa keluarganya sudah datang?” cerocos Zaara yang begitu penasaran dengan kondisi lelaki itu.

“Mbak, kalau nanya satu-satu dong! Otakku buffering!” sahut resepsionis lelaki itu sembari memandang Zaara dengan tatapan kesal. Tak peduli, toh Zaara tak bisa melihatnya. Dia mendecak sebal sebab dipanggil Mbak padahal dia lelaki meskipun sedikit feminim.

“Ah, maaf, Mas aku kira Mbak yang semalam. Aku khawatir soalnya, dia ‘kan korban penusukan geng motor. Semalam keluarganya belum datang,”

“Oh yang luka tusuk itu ya? Haikal Harun sudah menjalani operasi besar. Semalam juga sudah langsung dipindahkan ke ruang recovery room. Dia cukup kuat dan cepat pulih. Pagi ini sudah dipindahkan ke ruang rawat inap VVIP. Tapi Mbak gak bisa masuk ke sana,” kata resepsionis lain, seorang perempuan muda yang baru tiba dan langsung mendengar percakapan mereka.

“Kenapa emang?”

“Mbak bukan keluarganya,”

Dia menatap Zaara dari pucuk kepala hingga kaki dengan tatapan jijik. Di matanya Zaara tak ubahnya seorang gelandangan yang menjual kemiskinan untuk membeli simpati atau porn poverty.

“Ah, iya betul,”

Zaara pun berbalik badan dan pulang kembali tetapi menoleh lagi. “Keluarganya sudah ada?”

“Sudah,” jawab resepsionis perempuan dengan singkat.

“Baiklah, terima kasih, maaf menganggu waktunya,” ucap Zaara tersenyum tipis pada laptop sebab ke dua resepsionis itu tidak berada di depannya lurus tetapi di depan sebelah kanannya. Mereka terkekeh melihat Zaara yang malang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status