Perlahan secercah cahaya tampak berpendar melalui retina matanya. Entah mengapa hanya sekedar membuka mata dia seolah mengeluarkan energi besar. Alasannya karena pengaruh obat bius seusai operasi.
Lampu LED dengan intensitas rendah masih saja tampak menyilaukan sehingga membuat matanya kembali ingin tenggelam sebelum suara dengungan dari wanita yang duduk di sampingnya terdengar. Lelaki itu berpura-pura tidur kembali, tak sudi mendengar ceramah ibunya saat itu. Apalagi dalam kondisi tubuhnya yang remuk redam dan perut terasa dililit ular piton.
“Bangun! Pura-pura tidur!” cibir sang ibu bahkan tanpa menatap lawan bicaranya. Dia seolah memiliki indera keenam untuk mengetahui gelagat anaknya yang menyebalkan. Dia tengah melakukan video call dengan teman sosialitanya.
“Di mana gadis itu Mom?”
Lelaki itu berusaha bangun dan duduk dengan kasar.“Haikal, diam dulu! Jangan banyak gerak, kamu baru habis dioperasi.”
Ibunya berkomentar dan langsung membantunya kembali tidur.“Mom, mana gadis itu?” tanya lelaki bernama Haikal Harun itu dengan meringis.Sang ibu yang menungguinya terkesiap. Dia duduk di samping ranjang sang anak.
“Gadis siapa? Mom gak ngerti,” jawab Elia mengedikkan bahunya lalu dia menatap sang anak dengan tatapan penuh telisik, “Apa kamu bermain dengan wanita jalang di belakang Safira?”
“Oh my Gosh! No way Mom! Perempuan yang menolongku Mom. Dia tadi membawaku ke sini,” ucap Haikal dengan sedikit meringis.
“Mommy ke sini gak lihat tuh ada perempuan itu. Kamu ngigau ya? Mabok? Kebiasaan … balapan pasti mabok,”
Elia mendengus kesal.“Aku gak ngigau, gak mabok,”
Haikal memutar ke dua bola matanya kesal. Bisa-bisanya sang ibu terus berprasangka buruk padanya. Tidak adakah setitik kebaikan Haikal yang terlihat olehnya?“Sus, di mana perempuan yang mengantarku ke sini?”
Lelaki itu mendelik pada perawat perempuan yang berjaga. Mungkin perawat itu akan bersedia memberikan penjelasan.“Oh, gadis buta itu ya Mas,” sahut perawat itu sembari mengecek labu infusan.
“Buta?” tanya sang ibu tak percaya.
“Iya, Mom, dia buta tapi baik menolongku, membawaku ke rumah sakit,” sahut Haikal dengan serius. “Kalau gak ada dia aku mati di jalan,”
“Dia sudah pergi Mas. Soalnya sudah malam juga. Dia nunggu di ruang IGD sampai Mas ditangani,” sahut perawat dengan tersenyum sangat manis pada pasiennya yang terlihat rupawan.
‘Padahal aku belum tahu namanya,’ batin Haikal.
“Haikal, kamu harus berterima kasih pada gadis itu. Kamu bisa kasih dia uang,” ucap sang ibu yang bersikap pragmatis. Membalas budi seseorang dengan nominal.
‘Aku akan mencarinya,’ batin Haikal.
“Sure, Mom! Dia sudah menolongku,”
“Dengar Haikal, jika Daddy-mu tahu kamu masih ikutan balap liar, siap-siap kamu akan dikirim lagi ke Amrik,”
Elia berpindah tempat. Kali ini dia duduk di sofa setelah mematikan teleponnya. “Untunglah, Mom bertindak sudah membersihkan namamu. Seolah kamu korban luka tusuk geng motor bukan joki atau whatever ...”Haikal hanya diam. Dia tidak peduli dengan apa yang ibunya katakan. Dia sudah cukup letih hidup tertekan oleh ke dua orang tua yang otoriter.
“Terserah!”
Haikal menjawab dengan memalingkan wajahnya.“Hem, Haikal, bukankah kamu sudah dewasa? Sudah saatnya kamu serius mengelola perusahaan Daddy-mu! Hentikan kebiasaan burukmu balap liar! Lalu kamu menikah secepatnya dengan Safira,”
Haikal memilih bungkam mendengar nasihat ibunya yang mirip kaset, terus mengulang perkataan yang sama. Haikal tidak suka diatur dan hidup terkekang.
“Mom, aku …” protes Haikal.
“Sudahlah Haikal Harun! Jangan mempersulit hidup! Kamu tidak akan menemukan ayah sambung seperti dirinya! Dia menyayangimu seperti anak kandungnya. Tidak seperti ayah kandungmu!”
Mendengar perkataan sang ibu, Haikal terdiam dan membenarkan dalam hati. Setelah ibunya berpisah dengan ayahnya nyatanya ibunya lebih bahagia sekarang.
***
Di tempat yang lain, di sebuah kamar berpetak berukuran tiga kali tiga meter, Zaara tak bisa tidur. Pikirannya diserbu rasa gelisah sebab dia ingin sekali menjenguk lelaki yang dia tolong. Dia begitu mencemaskan kondisinya. Entah apa alasannya.
Bukankah dia orang asing? Kenapa dia harus peduli pada orang itu? Lelaki itu juga kasar dan arogan saat ditolong.
Namun Zaara terus memikirkannya. Dia takut terjadi apa-apa dengannya. Apakah keluarganya sudah datang membesuknya atau belum? Tentu saja, Zaara tidak tahu jika pemuda itu anak sultan di mana ke dua orang tuanya terkenal di kalangan pebisnis.
Keesokan harinya tak biasanya Zaara mengikuti Fatimah yang akan berjualan bunga di sekitar TPU. Ada bunga yang tersisa. Dia akan menjenguk lelaki itu dengan membawa bunga karena dia tak punya uang atau apapun itu untuk membesuk orang sakit. Tak mungkin dia meminta uang pada Hamid ataupun Fatimah. Sudah ditampung di rumahnya saja sudah bersyukur.
“Ibu, aku ijin membesuk teman,” ucap Zaara pada Fatimah yang tengah merapikan bebungaan yang tersisa.
“Siapa yang sakit Nak?”
“Ada, teman,” jawab Zaara singkat.
“Baiklah, jangan berlama-lama! Ibu mau cepat pulang ke rumah takut Bapak keburu pulang, kamu tahu sendiri Bapak tidak senang melihat Ibu berjualan.”
“Iya, Bu. Padahal tidak apa-apa ya Bu, jualan bunga toh lumayan,” sahut Zaara yang memang benar adanya.
“Iya, Ra. Hanya saja Bapak lebih senang istri tinggal di rumah,”
Fatimah tertawa hambar.“Kalau begitu, aku yang berjualan bunga sedangkan Ibu cukup berkebun saja. Biar adil dong, aku sudah ditampung oleh Bapak dan Ibu. Sekarang giliranku untuk membalas kebaikan kalian meskipun lewat cara yang kecil,”
“Kamu bisa aja, Zaara. Tapi … makasih sebelumnya. Kamu tidak usah melakukan apa-apa, cukup temani Ibu saja di rumah,”
Fatimah mengusap pucuk kepala Zaara dengan lembut.“Bu, jika aku hanya berdiam diri, aku benar-benar merasa menjadi orang cacat yang tidak berguna,” ucap Zaara berwajah kecewa.
Fatimah tercekat mendengar perkataan Zaara. Untuk pertama kalinya dia mendengar gadis itu mengungkapkan isi hatinya.
Apa yang dikatakan Zaara benar, Fatimah akan memberikan kesempatan padanya untuk mandiri.
“Baiklah, tapi Ibu hanya mengijinkanmu berjualan bunga di sekitar sini, jangan terlalu jauh sebab khawatir ada orang iseng yang menggodamu,”
“Iya, Bu,”
Zaara mengangguk paham dan seutas senyum terbit di wajahnya. Saat Fatimah pulang dia lekas pergi ke rumah sakit untuk membesuk lelaki yang ditolongnya.“Mbak, aku mau membesuk lelaki semalam yang aku antar, dia lelaki berambut gondrong yang terkena luka tusuk di bagian perutnya. Di mana ruangannya sekarang? Apakah sudah dipindahkan ke ruang inap? Sudah baikkan belum? Apa keluarganya sudah datang?” cerocos Zaara yang begitu penasaran dengan kondisi lelaki itu.
“Mbak, kalau nanya satu-satu dong! Otakku buffering!” sahut resepsionis lelaki itu sembari memandang Zaara dengan tatapan kesal. Tak peduli, toh Zaara tak bisa melihatnya. Dia mendecak sebal sebab dipanggil Mbak padahal dia lelaki meskipun sedikit feminim.
“Ah, maaf, Mas aku kira Mbak yang semalam. Aku khawatir soalnya, dia ‘kan korban penusukan geng motor. Semalam keluarganya belum datang,”
“Oh yang luka tusuk itu ya? Haikal Harun sudah menjalani operasi besar. Semalam juga sudah langsung dipindahkan ke ruang recovery room. Dia cukup kuat dan cepat pulih. Pagi ini sudah dipindahkan ke ruang rawat inap VVIP. Tapi Mbak gak bisa masuk ke sana,” kata resepsionis lain, seorang perempuan muda yang baru tiba dan langsung mendengar percakapan mereka.
“Kenapa emang?”
“Mbak bukan keluarganya,”
Dia menatap Zaara dari pucuk kepala hingga kaki dengan tatapan jijik. Di matanya Zaara tak ubahnya seorang gelandangan yang menjual kemiskinan untuk membeli simpati atau porn poverty.“Ah, iya betul,”
Zaara pun berbalik badan dan pulang kembali tetapi menoleh lagi. “Keluarganya sudah ada?”“Sudah,” jawab resepsionis perempuan dengan singkat.
“Baiklah, terima kasih, maaf menganggu waktunya,” ucap Zaara tersenyum tipis pada laptop sebab ke dua resepsionis itu tidak berada di depannya lurus tetapi di depan sebelah kanannya. Mereka terkekeh melihat Zaara yang malang.
Zaara pasrah tidak bisa membesuk pemuda yang ditolongnya. Hanya mendengar kabar baik bahwa keluarganya sudah datang setidaknya membuat Zaara merasa lega. Apalagi mendengar pemuda itu sudah ditangani dan operasinya berjalan lancar. Dia sudah tidak memiliki urusan ataupun kepentingan dengan pemuda itu.Namun tatkala kaki jenjangnya mengayun di langkah ke empat, Zaara teringat sesuatu. Dia sudah kadung membawa sebuket bunga untuk pemuda tersebut. Oleh karena itu, Zaara memutuskan kembali menyambangi resepsionis tadi untuk menitipkan bunga tersebut sebagai penyemangat.“Ada apa lagi Mbak?” tanya resepsionis lelaki dengan ketus.“Ah, aku lupa, aku hanya ingin memberinya bunga. Bisakah Mbak eh Mas memberikan ini!”Zaara menyodorkan sebuket bunga mawar putih yang masih segar. Aromanya bisa terhidu langsung, segar dan membuat semangat yang melihatnya.“Baiklah, ada lagi? Um, ada lagi yang mau disampaikan?”“Enggak cukup, Mas. Oh, ya, sampaikan saja, semoga cepat sembuh,”Lagi, Zaara tidak men
Sementara itu Zaara marah dan merutuki dirinya sendiri saat dia mengingat pemuda yang dia tolong. Dia begitu mengkhawatirkannya tetapi pemuda tersebut malah menghina fisiknya yang difabel. Dia merasa harga dirinya jatuh sejatuhnya sebab diinjak-injak oleh lelaki tersebut.“Lelaki sialan! Pemuda brengsek! Aku kira pemuda jalanan yang berambut gondrong hatinya baik. Um, cuma penampilannya saja yang urakan. Ternyata sama saja!Semua lelaki yang mengaku punya banyak uang mau dia berpenampilan gaul atau rapi metroseksual kayak si Ray sama saja! Lelaki brengsek!”Zaara tak henti-hentinya merutuk. Lalu dia duduk di sebuah bangku kosong dekat gerobak bakso untuk istirahat.“Neng mau makan bakso?” tanya tukang bakso yang memang sudah mengenal Zaara sejak kedatangannya ke rumah Hamid dan Fatimah. Zaara dikenalkan oleh mereka sebagai anak angkatnya pada semua orang.“Iya, Mang! Bakso dengan level terpedas,” jawab Zaara dengan sedikit ketus. Dia memijit pangkal hidungnya berkali-kali. Lalu merang
Di sebuah mansion mewah berkonsep klasik-kontemporer, para pelayan cantik yang mengenakan seragam khusus menyambut kedatangan majikan mereka. Seorang butler langsung menyambut Elia Mariyam dan membawakan barang bawaannya sedangkan pelayan yang lain langsung meraih jaket wol yang dikenakan olehnya dan langsung menaruhnya dengan menggantungnya pada gantungan besi etnik.Pelayan yang lain juga segera menyambut kedatangan tuan majikannya yang tak lain Haikal sang putra semata wayang yang berjalan di belakang sang ibu. Beberapa pelayan muda seringkali berlomba agar bisa bertemu, bercengkerama dan melayani tuan muda mereka yang terlihat sangat tampan berwajah khas timur tengah. Namun Haikal tidak suka diperlakuan semacam itu.Apalagi rambut Haikal yang gondrong sedikit ikal tampak menampakkan sisi maskulin seorang lelaki macho, membuat para gadis menjerit melihatnya. Padahal Haikal tak pernah berniat menggoda para hawa dengan penampilannya yang paripurna, terkesan cowok badboy dengan setela
Haikal terlihat menarik nafas dalam.“Ya …” ucap Haikal singkat.Elia dan Edi saling menoleh kaget melihat respon Haikal. Tak percaya, Elia masih merekam memori beberapa tahun silam saat Haikal ditawari mengurus perusahaan tetapi Haikal memilih meninggalkan rumah dan berbuat sesuka hati.Haikal lantas meninggalkan meja makan tanpa suara. Dia langsung keluar mansion dan menyisir kendaraan miliknya, sebuah motor ninja yang sudah dimodifikasi. Dia pergi mengunjungi kekasihnya yang sedang marah saat ini.Di depan sebuah kantor agency model, Haikal menyesap sebatang rokok seraya menunggu kekasihnya keluar. Dia ingin memberi kejutan padanya. Yang ditunggu tak kunjung tiba. Lalu Haikal memutuskan masuk ke kantor tersebut.Beberapa pasang mata menoleh ke arahnya tanpa berkedip. Apa yang dilakukan seorang badboy rupawan di kantor tersebut?“Siapa dia?” tanya salah satu model.“Dia … bukankah dia Haikal Mahardika? Anak pengusaha tambang itu loh,”“Serius?”“Mau ngapain di sini?”Begitulah perca
Zaara dicegat oleh dua orang pemuda asing.“Apa mau kalian?” pekik Zaara panik saat menyadari kehadiran mereka.“Kamu sudah berbuat tak sopan pada ibu kami. Kamu siapa? Um, dasar gadis buta. Dengar, ibu kami warga sini sedangkan kamu hanya orang asing. Kamu jangan sok-sokan ngatur warga sini? Berani main labrak,”Salah satu pemuda itu menarik tongkat yang dipegang Zaara hingga membuat Zaara kaget.“Hei, jangan kurang ajar!”“Bagaimana Bang, kita lihat apa gadis itu bisa berjalan tanpa tongkat? Kasihan, gadis cantik tapi …”“Buta dan yatim piatu,”“Benar Bang, malang kali nasibnya,”“Diam? Atau ..”“Atau apa?” salah satu pemuda itu menjawil dagu Zaara.“Jangan kurang ajar? Atau aku akan berteriak?””“Teriak saja, memang kami takut,”“Sialan,”Zaara tidak tinggal diam, dia melepas salah satu sepatunya lalu menudingkan ke arah pemuda tadi lalu memukul-mukul asal ke berbagai arah yang akhirnya salah satu wajah pemuda itu tertimpuk cukup keras mengenai pangkal hidungnya.Lalu terdengar Zaa
"Mas!” seru Zaara sebab lawan bicaranya terdiam tiba-tiba. Padahal lawan bicaranya saat ini tengah menatap Zaara lekat. Zaara terlihat sangat cantik, berwajah oriental dan berkulit kuning langsat. Kecantikannya bertambah dengan pashmina yang dia kenakan, sebuah pashmina berwarna krem dipadupadankan dengan tunik berwarna moka serta celana flare pants putih. Dari penampilannya yang bergaya, Haikal menyimpulkan jika Zaara bukanlah gadis desa sehingga membuatnya penasaran. “Iya, aku masih di sini. Nunggu jawaban kamu,” “Jawaban apa?” “Kamu mau terima tawaranku? Lusa ibuku ulang tahun, aku ingin bunga segar mirip yang kamu kasih ke aku pas di rumah sakit. Bunga mawar putih dengan kelopak yang besar. Aku suka itu …” “Okay,” Setelah menimang-nimang Zaara akhirnya menerima tawaran Haikal. Dia memang butuh uang. Untuk sesaat dia mengenyampingkan rasa gengsinya. “Apa mau dibayar sekarang atau nanti?” tanya Haikal berhati-hati. Khawatir Zaara tersinggung. “Ada uang ada barang,” Zaara ter
Lamunan Zaara terinterupsi karena kedatangan Fatimah.“Assalamualaikum!” ucap Fatimah yang membuka sedikit pintu kamar Zaara. “Waalaikumsalam, Ibu ada apa?”Zaara buru-buru mengusap wajahnya yang basah dari air mata dan beristigfar.“Kamu sudah makan malam Nak?”“Sudah, Bu. Bagaimana keadaan Ibu sekarang?”Zaara beranjak dari kursi dekat jendela dan menghampiri Fatimah. Dia terlihat khawatir pasalnya Fatimah sedari kemarin meringkuk di kamar. Namun dia tidak berani menganggunya. Fatimah hanya keluar untuk memasak saja.“Sudah baikkan Nak,” jawab Fatimah padahal sedang tidak baik-baik saja. Keringat dingin mengucur di tubuhnya dan tekanan darahnya rendah. Dia kelelahan karena bekerja terlalu keras, memanen bunga.“Alhamdulillah baik, Bu,”Zaara mengukir senyum tatkala mendengar sang ibu dalam kondisi membaik. “Bagaimana jualanmu?” tanya Fatimah membuat Zaara membatu. Zaara tak berniat menceritakan padanya bahwa jualannya tidak laku sebab ada saingan sesama penjual bunga. Tidak hany
“Gila Bos! Gak kenal sumpah, mirip siapa ya … mirip aktor Turki,” puji Antonie dengan tertawa puas. “Jambangnya ilang juga,” katanya mengusap dagunya. Dalam hati, dia sangat iri pada Haikal yang memiliki rambut yang subur berbeda dengan dirinya yang defisit rambut padahal sudah sering memakai obat-obatan penyubur rambut. “Baiklah, misiku sudah selesai. Sekarang kita kemana?” tanya Antonie seraya kembali memanaskan mobil majikannya. “Pulang,” Antonie berbalik arah untuk mengantarkan pulang majikannya yang tak lain sahabatnya sendiri. “Ngapain belok, aku bilang pulang!” “Kan apartemen Bos ada di sana,” “Gak ke apartemen, pulang ke rumah nyokap,” “Cie … yang udah akur,” “Emang siapa yang berantem?” “Gak ada sih. Tapi kalau diem-dieman itu termasuk berantem gak ya?” “Terserah,” Haikal membuang nafas kasar. Selama perjalanan Haikal senantiasa menyapu jalan sebab dia ingin melihat sesuatu yang belakangan ini seringkali mengusik pikirannya selain Safira. “Stop!” titah Haik