Share

Masa lalu

Pembalasan Anak Laki-lakiku

Part 2

Setelah berbulan-bulan pergi, Mas Rahman masih mengirimkan uang untuk kami juga untuk membayar tunggakan rumah yang digadaikan. Tapi di bulan kelima, Mas Rahman sudah tidak ada lagi kabar. Aku pun sangat cemas, karena nomornya sudah tidak bisa lagi dihubungi. Aku mencoba menelpon ke temannya Adi, tersambung tapi tidak diangkat.

Setelah sebulan berlalu tanpa kabar Mas Rahman, aku mulai kalut. Karena tunggakan rumah belum di bayar, dan uang simpananku sudah menipis. Berkali-kali aku menghubungi tapi tetap tidak bisa. Akhirnya aku memutuskan untuk ke rumahnya Adi, mungkin istrinya Adi tau kenapa mereka tidak bisa dihubungi.

Aku menitipkan anak-anakku pada tetangga sebelah yang sudah aku anggap saudara, tapi si kecil Anto tetap aku bawa karena masih ASI.

Aku pergi menggunakan ojek untuk sampai ke rumahnya Adi, ketika sampai disana kulihat rumahnya sepi, tapi pintu sampingnya terbuka, berarti ada orang, begitu pikirku.

Akupun mengetuk pintu luar, dan beberapa kali mengetuk pintu pun dibuka dari dalam. Dan yang membukanya adalah Adi temannya Mas Rahman. Dia terkejut melihatku datang tiba-tiba, seperti orang yang menyembunyikan sesuatu. 

"Eh, Mbak Aini. Masuk Mbak." Aku pun masuk dan duduk di sofa miliknya.

"Kok Mas Adi disini, nggak dikota?" tanyaku langsung padanya. Karena biasanya jika Mas Adi pulang, maka Mas Rahman juga akan ikut pulang.

"Siapa, Mas?" tanya istri Adi yang keluar dari kamar.

"Ini lho Dek, Aini istrinya Rahman." Aku melihat raut wajah istrinya langsung berubah ketika Adi bilang jika aku istrinya Mas Rahman. Kenapa ini ya Allah.

"Salam kenal Mbak, aku ambilkan air dulu ya."

"Nggak usah repot-repot Mbak, aku nggak haus kok."

"Ah, nggak repot kok. Bentar ya." Dia langsung menuju ke dapur untuk membuatkan aku minuman. Syukur Anto hari ini tidak rewel, tapi dia selalu menanyakan Ayahnya. Lalu Adi pun ikut duduk di sofa.

"Aku kesini mau menanyakan tentang Mas Rahman, Di." Aku langsung menanyakan ketitik permasalahan, aku tidak bisa lama-lama pergi. Anak-anakku tidak bisa kutinggalkan kelamaan di tempat tetangga.

"Memangnya Rahman nggak ngasih kabar, Ni?" tanya Adi lagi, dia terlihat gundah dan gugup, apakah terjadi sesuatu dengan Mas Rahman suamiku

"Tidak, makanya aku kemari untuk menanyakan kejelasannya," ucapku sendu.

"Ini Mbak, tehnya diminum dulu," ujar istrinya Adi yang ternyata sudah berada disini.

"Eh, iya. Terimakasih," ucapku lembut. Istrinya juga ikut duduk bersama kami di ruang tamu miliknya.

"Jadi sebenarnya aku sudah tidak bekerja lagi di kota, Aini. Kami selisih paham, jadi karena semua itu modalnya Rahman, aku yang mundur," Jelas Adi lebih tenang dari sebelumnya, tapi rasa gundahnya belum sepenuhnya hilang. Karena aku melihat beberapa kali dia mengusap dengkulnya.

"Kok bisa, tapi kenapa Mas Rahman tidak pulang atau setidaknya memberi kabar dan mengirimkan uang." 

"Aini, sebenarnya …." Adi menggantungkan bicaranya, ini membuatku semakin penasaran dan khawatir.

"Sebenarnya apa?" tanyaku panik.

Adi tidak menjawab pertanyaanku, dia malah melihat ke arah istrinya. Aku melihat istrinya mengangguk tanda jika dia setuju jika Adi memberitahuku sesuatu.

"Sebenarnya, Rahman sudah menikah lagi disana." Mendengar penuturan Adi seketika membuatku tercengang,lututku terasa lemas, lidahku terasa kaku, bahkan untuk menutup mulutku saja tidak mampu. Anto seakan tau apa yang dibicarakan oleh Adi, dia pun menangis, tapi aku tidak sanggup lagi untuk menggendongnya. Untuk berdiri saja kini aku tidak mampu, kemudian dengan cepat istri Adi menggendong Anto dan membawanya keluar.

"Kamu nggak bercanda kan?" tanyaku memastikan, aku menepuk pipiku kuat. Berharap semua ini hanyalah mimpi, tapi pipiku rasanya sakit, berarti ini bukan mimpi.

Jangan tanyakan bagaimana hatiku sekarang, duniaku seakan runtuh. Bagaimana bisa Mas Rahman tega melakukan ini semua padaku. Apa kurangku, kenapa sampai ada perempuan lain dalam pernikahan ini. Aku menangis tak bersuara, hanya bisa memukul-mukul dada yang sesak. Seakan oksigen di ruangan ini hilang. Kuhirup dalam udara agar sesak di dada bisa hilang.

"Sabar, Aini. Aku sudah memperingatkan Rahman, tapi dia tidak mau mendengarkan. Bahkan dia mengusirku pulang karena aku terlalu ikut campur keranah pribadinya." 

"Siapa wanita itu," tanyaku kemudian. Aku akan menemui mereka, aku ingin melihat wajah wanita yang telah merebut hati suamiku.

"Namanya Maya, dia asli orang disitu. Dia janda anak satu," jawab Adi. Maya, namanya tidak asing, tapi apakah ini adalah kejutan yang dibuat Mas Rahman untukku, aku tidak percaya Mas Rahman tega mengkhianati kami.

"Kamu yang sabar, Aini."

"Aku minta alamatnya ya," ucapku kemudian. Tidak, aku tidak boleh lemah begini. Aku harus tetap waras demi anak-anakku, untuk saat ini akulah satu-satunya harapan mereka. Akan kulakukan apapun, demi mereka anakku.

"Ini alamatnya, beserta alamat wanita itu." Adi menyerahkan kertas berisi alamat Mas Rahman dan wanita itu, dengan tangan bergetar kuterima kertas putih itu. Air mataku terus saja menetes tanpa henti, ya Allah kemana Anto. Suara tangisnya tidak terdengar lagi, aku mencarinya diluar pun sudah tidak ada.

"Mungkin Rina mengajak dia jajan di kios depan," ucap Adi yang melihatku mencari-cari keberadaan Anto.

"Yasudah, kalau gitu aku permisi dulu ya. Aku akan ke depan mengambil Anto, terimakasih sebelumnya." Pamitku pada Adi yang menatap iba kepadaku. Sungguh malang nasibmu Aini, batinku menangis.

Setelah mengambil Anto dari istrinya Adi dan mengucapkan terimakasih, aku langsung pulang menggunakan ojek lagi. Sepanjang perjalanan aku menangis tanpa suara, Anto sudah lelap dalam pelukan. Kulihat wajah mungilnya, kasihan sekali nasibmu nak, bahkan kini ayahmu sudah tidak menginginkan kita lagi.

"Mbak, udah sampai di terminal." Ucapan supir dari depan, aku sangat kaget ternyata dari tadi sepanjang perjalanan pulang dari kota untuk menemui Mas Rahman aku melamun dan menangis sendiri. Bahkan aku tidak sadar jika sudah sampai lagi ke kotaku. Aku turun dari bus, ini sudah malam, sebaiknya aku langsung pulang. Pasti anak-anak mencari dan menungguku, aku meremas ujung jilbab yang aku kenakan. 

'Ya Allah, apa yang harus aku jelaskan pada anak-anakku jika mereka menanyakan ayahnya.' Sungguh pilu hatiku kini.

'Ya Allah, kasihanilah hamba dan anak-anak hamba.' Aku kembali menangis tergugu di terminal sendirian.

"Kak Aini, kenapa nangis disini. Yok pulang, biar aku antar." Tiba-tiba ada seseorang yang memeluk pundakku, dan itu adalah Jumi, anak tetangga sebelah rumah. Aku pun mengangguk, dan dengan segera naik ke atas motor untuk pulang. Jumi memang bekerja di warung area terminal, jadi jam segini dia pasti sudah jam pulang.

Sepanjang perjalanan pulang aku terus berpikir bagaimana caranya menjelaskan pada anak-anak tentang ayah mereka, aku menitipkan anak-anak pada Uwak. Karena semenjak tau jika Mas Rahman menikah lagi, Uwak memilih tinggal bersama kami. Uwak adalah adik Ibu yang tinggal tidak jauh dari rumahku, dia sebatang kara, karena dia memutuskan untuk tidak menikah. Entahlah, dulu aku selalu berpikir jika Uwak salah memutuskan untuk tidak menikah. Tapi untuk kali ini, Uwak benar.

"Makasih ya, Jum," ucapku pada Jumi saat kami sudah sampai di depan rumahku. Dia hanya mengangguk dan berlalu pulang kerumahnya. Lama aku terdiam di depan pagar rumah, untuk pertama kalinya dalam hidup, aku tidak berani masuk kedalam rumahku sendiri.

"Ibuuukkk …." seru Nanda, anak laki-lakiku yang nomor dua. Karena teriakannya, adik-adiknya jadi berlarian memelukku, ah sayang, Ibu rindu. Air mataku sudah tidak dapat lagi kubendung, yang kupikirkan sekarang adalah bagaimana caranya aku menghidupi mereka. Sedangkan selama ini aku hanya duduk dirumah mengurus semua keperluan tanpa bekerja. Selama ini aku hanya mengharapkan uang yang diberikan oleh Mas Rahman.

"Ayah kemana, Bu?" tanya Ali -- anak sulungku, mereka melepaskan pelukan dan mengedarkan pandangan kesegala penjuru. Namun nihil, mereka tidak akan pernah bisa menemukan sosok ayahnya lagi.

"Bu, jawab dong. Ayah kemana, apa Ibu tidak mengajak Ayah pulang," tanya Lukman, dia anakku yang ketiga. Dia memang anak yang paling tidak sabar diantara semua, tapi dia adalah anak lelakiku yang paling menyayangiku.

"Kita masuk dulu ya, nanti Ibu ceritakan di dalam, yuk." Ajakku pada mereka, meski ada raut sedih dan kecewa dari wajah-wajah malaikatku, tapi mereka memilih masuk bersamaku.

"Assalamu'alaikum," ucapku ketika masuk kedalam rumah. Rumah yang memberikan sejuta kenangan, kenangan keluarga kami yang kupikir harmonis, tapi ternyata pemikiranku dan Mas Rahman berbeda.

"Nenek mana nak?" tanyaku pada Salma, karena dari tadi aku tidak melihat Uwak.

"Ada di dapur Bu, Nenek lagi masak."

"Eh, Aini. Kamu sudah pulang, ayo anak-anak main dulu. Ibu kalian akan mandi dulu setelah itu baru kita akan makan bersama-sama," ucap Uwak yang mengerti keadaanku.

Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk lari dari pertanyaan anak-anak, aku memilih langsung masuk kedalam kamar. Aku merebahkan diri di atas tempat tidur, dan menangis tergugu. Lama aku menangis, lalu aku mengedarkan pandangan kesegala penjuru kamar, disinilah tempat kami memadu kasih, disinilah aku dan Mas Rahman saling mencintai. Kenapa Mas, kenapa kamu sungguh tega padaku. Batinku menjerit pedih, dia sekarang telah pergi dengan wanita lain. Aku mengigit kuat selimut, agar suara tangisanku tidak terdengar sampai keluar. Aku kalut, kemudian berjalan kearah meja rias. Tanganku gemetar mengambil sil*et, aku menutup mata dan menangis lagi, apa kuakhiri saja hidup ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status