Share

Rencana Ali dan Salma

Pembalasan Anak Laki-lakiku

Part 3

"Astaghfirullah…."

"Astaghfirullah…."

Aku beristighfar berkali-kali dan melempar silet yang kupegang tadi di lantai. Apa yang sudah aku perbuat, tidak, aku tidak boleh lemah. Anak-anak membutuhkanku sekarang, mereka mungkin akan kehilangan kasih sayang ayahnya, tapi mereka tidak boleh kehilangan kasih sayang Ibunya. Aku terduduk dilantai menangisi semua hal yang terjadi padaku, merutuki kebodohanku yang mempercayai Mas Rahman untuk menggadaikan rumah ini. Aku mengusap wajahku dengan kasar, sekarang apa yang harus aku lakukan. Aku pasti tidak sanggup membayar tunggakan rumah ini, dan rumah ini akan disita oleh Bank. Kemana aku harus membawa anak-anakku, mereka masih sangat kecil untuk menderita.

Tok Tok Tok

"Bu, sudah siap belum. Kami udah lapar ni," teriak Mia-- anak perempuanku yang bungsu. Aku menghapus air mataku dan menetralkan pernafasan, agar dia tidak menyadari jika aku sedang menangis.

"Hampir siap sayang, tunggu ya. Ibu pakai baju dulu," jawabku kemudian. Aku lupa jika anak-anak sudah menungguku dari tadi. Aku bergegas bangun dan mandi, setelah itu aku memakai baju daster rumahan yang bahannya sangat nyaman. Tidak lupa memakai bedak agar wajahku tidak kelihatan sembab. Lalu aku pun keluar menuju keruang makan, mereka semua sudah duduk dimeja makan dan menungguku.

"Maaf sayang, Ibu tadi mandinya lama," ucapku pada mereka sambil mengambil alih Anto yang dari tadi menangis karena merindukanku. Aku pun duduk sambil menggendong Anto, kami semua makan dalam diam. Biasanya jika kami makan, selalu ribut, entah kenapa malam ini mereka sangat pendiam. Aku juga ikut makan dengan mereka, dan sesekali melihat kearah mereka, terbesit perasaan bersalah pada mereka anak-anakku.

Uwak yang sedari tadi duduk disampingku, sengaja mencolek lenganku dan menunjukkan Nanda yang murung, dia sama sekali tidak menyentuh makanannya. Nasi yang kutaruh tadi masih utuh, dia hanya memandangi nasinya dengan tatapan kosong.

Aku yang melihatnya seperti itu kembali rapuh, keadaan begitu menyiksanya. Aku bangun dari tempat duduk dan berjalan ketempat Nanda, aku akan membujuknya agar dia makan.

"Kenapa nggak makan sayang?" tanyaku sambil membelai rambutnya yang basah, sepertinya dia baru saja selesai mandi.

Dia tidak menjawab pertanyaanku, Nanda hanya menggeleng lemah.

"Kenapa sayang?" tanyaku lagi, aku yakin dia pasti menjawab ingin bertemu dengan ayahnya, sungguh tidak ada seorang Ibu yang mau melihat anaknya menderita.

"Ibu katanya pergi ingin menjemput Ayah, tapi mana Ayah," tanyanya pelan, aku tau dia sedang menahan air matanya agar tidak luruh di pipi. Ya Allah, sesak rasanya mendengar penuturan anakku.

"Makan dulu ya, setelah makan, kita akan menelpon ayah, oke," bujukku lagi agar dia tidak merasa sedih berkelanjutan.

"Tapi janji ya," tanyanya kemudian, aku menganggukkan kepala tanda setuju. Walaupun aku tidak yakin kalau Mas Rahman mau mengangkat telepon dariku.

Nanda tersenyum kearahku, dan segera mengambil sendok menyuapkan makanan ke mulutnya.

Aku kembali duduk di tempatku, tapi selera makanku hilang. Hanya Anto yang kusuapi makan dan setelah ini aku tidurkan di tempat tidurku.

"Buk, ayo telepon Ayah," seru Nanda dari luar kamarku, sepertinya mereka sudah siap makan malamnya. Aku segera bangun dan menutupi sebagian tubuh Anto dengan selimut, kucium pipinya yang gembul dan kubisikkan kata sayang ditelinganya.

'sayang, jaga hatimu ya. Kamu harus menjadi laki-laki yang tangguh untuk Ibu, kamu harapan Ibu di masa depan juga di akhirat'. Kemudian aku mengecup lembut keningnya dan segera keluar untuk menemui anak-anak yang sudah menungguku.

"Yeeiiii… akhirnya Ibu datang," sorak Salma dan diikuti riuh yang lainnya. Aku menaruh jari telunjuk di depan mulut tanda agar mereka jangan berisik, karena adiknya Anto sedang tidur.

"Ayo cepat, Bu. Kami sudah rindu Ayah," ucap Nanda antusias. Aku mengambil ponsel dan duduk ditengah mereka, kulihat Uwak ikut melihat kearahku, dan aku menatap matanya sendu, dia pasti tau arti tatapan mataku.

Aku mencari nomer ponselnya Mas Rahman dan segera menelponnya, lama menunggu akhirnya terhubung, tapi tidak diangkat. Aku melihat kearah anak-anak, wajah mereka kelihatan kecewa karena Ayahnya tidak mengangkat telepon.

"Coba sekali lagi, Bu." Seru Ali, dia anak tertua. Aku mengangguk setuju, aku menekan sekali lagi nomer Mas Rahman dan mencoba menelpon sekali lagi, berharap Mas Rahman luluh dan rindu akan anak-anaknya, dan akhirnya terhubung.

"Assalamualaikum, Mas." Salamku antusias karena akhirnya teleponku diangkat oleh Mas Rahman. Anak-anak juga terlihat sangat bersemangat, tiba-tiba telepon genggamku ditarik oleh Salma. Dan dia berdiri dari duduknya, diikuti gerakan yang sama dengan adik dan abangnya, mereka berebut berbicara dengan Ayahnya.

"Halo Ayah, Ayah kapan pulang, kami…." Salma sangat antusias berbicara dengan Ayahnya, tapi tiba-tiba kata-katanya terputus serta raut wajahnya berubah sendu. Air matanya menganak sungai, seperti akan terjun bebas dari kelopak matanya.

Aku yang melihat itu sangat penasaran dengan jawaban dari Mas Rahman, apa yg dia katakan sehingga wajah Salma berubah sedih. Nanda yang paling antusias tadi segera merebut ponsel dari tangan Salma dan mencoba berbicara dengan Ayahnya.

"Halo, Ayah." Ucapannya juga terputus dan menyerahkan ponsel padaku, aku berdiri dan mengambil ponselnya dan kulihat panggilannya sudah terputus. Wajah mereka yang tadinya berseri sekarang berubah menjadi mendung, seperti suasana langit di luar.

"Sayang, kenapa," tanyaku pada Salma lembut. Dia tidak menjawab dan menghentakkan kakinya di lantai dan segera berlari ke kamarnya. Melihat itu, Uwak yang dari tadi duduk langsung menghampiri anak-anak untuk menghibur.

"Siapa yang mau es krim," tanya Uwak sambil menenteng satu plastik es krim. Uwak memang kalau kesini selalu membelikan mereka es krim, karena dia tau anak-anak suka sekali makan es krim.

Biasanya mereka antusias jika Uwak menawarkan es krim, tapi tidak malam ini. Mereka sama sekali tidak menjawab.

"Kenapa sih Bu, Ayah menutup telponnya," tanya Nanda sedih.

"Mungkin Ayah lagi sibuk sayang, karena tadi pas Ibu kesana ajak Ayah pulang, nggak bisa katanya. Karena banyak sekali pekerjaan yang harus Ayah selesaikan," jawabku menjelaskan. Ali yang mendengar penjelasan dariku langsung pergi dan kulihat dia memasuki kamarnya Salma.

"Yaudah, sekarang kalian tidur ya." Aku menggiring mereka tidur di kamarnya, lalu setelah mereka tertidur aku menuju ke kamarnya Salma. Kulihat disana sudah ada Uwak, Ali juga masih disini menemani Salma yang dari tadi menangis ditempat tidur.

"Sayang, udah dong nangisnya. Memangnya tadi Ayah jawab apa sih, kok anak Ibu yang paling cantik ini bisa nangis gini," bujukku pada Salma yang masih tidur dengan posisi tengkurap. Dia masih saja menangis, malah bahunya semakin tergoyang.

"Salma," aku kembali memanggil namanya. Akhirnya dia bangun dan berbalik kearah kami. Kulihat wajahnya sembab akibat menangis, matanya juga merah tanda sudah terlalu banyak mengeluarkan air mata. Hatiku hancur melihatnya begini, aku marah dan aku sangat benci pada Mas Rahman. Tidak ada seorang Ibu pun yang menerima anaknya dibentak, walaupun oleh Ayahnya sendiri.

"Buk, aku dan Bang Ali sudah besar. Tolong kasih tau kami apa yang sebenarnya terjadi," tanya Salma dengan menatap mataku tajam. Tatapan matanya yang basah karena air mata mampu menghujam jantungku, rasanya oksigen di dalam ruangan ini habis, dadaku sesak. Apa yang harus aku jawab sekarang, apa aku bilang saja yang sesungguhnya.

"Kenapa tiba-tiba Salma nanyanya gitu," tanyaku lagi.

"Jawab dulu yang Salma tanya tadi, Bu," ucapnya setengah membentak, dia memang begini, yang paling keras diantara anak-anakku.

"Ayah disana sedang sibuk sayang, Ayah malah menitipkan salam untuk kalian. Ayah akan pulang, tapi setelah pekerjaannya disana sudah selesai," jelasku panjang lebar. Aku berharap Salma dan Ali mengerti.

"Bohong. Ibu bohong, Ayah disana memang sibuk. Tapi sibuk dengan istri barunya, iyakan," teriak Salma dengan menangis histeris. Ya Allah darimana dia tau semua itu, bahkan sekarang dia baru berumur dua belas tahun, bagaimana bisa anak kecil seperti dia bisa berbicara seperti itu.

"Salma!" bentakku karena dia berteriak berbicara padaku, aku selalu mengajarkan mereka untuk berbicara lembut dan tidak berteriak. Karena aku selalu bilang, jika kita sedang marah maka hati kita akan mengecil dan akan semakin kecil, yang akan besar adalah ego kita.

"Maaf, Bu. Tapi aku kecewa karena Ibu membohongi kami. Tidak seharusnya Ibu menanggung semuanya sendirian, ada aku Bu. Ibu bisa berbagi semuanya dengan aku." Salma menangis sesenggukan sambil memukul-mukul dada dengan tangannya, Ya Allah berikan kekuatan kepada kami semua.

"Ada Ali juga, Bu." Ali kemudian menjawab, kami saling berpelukan satu sama lain. Ali, dia anakku yang paling dewasa. Sikapnya yang tenang, dan pendiam membuatnya lebih dewasa dari umurnya. Mereka berdua mirip sekali, seperti anak kembar, tapi Ali sekarang sudah berumur delapan belas tahun.

"Apa yang dikatakan tadi oleh Ayah," tanyaku kemudian pada Salma setelah aku mengurai pelukan hangat mereka.

"Tadi bukan Ayah yang bicara, tapi wanita itu," jawab Salma menundukkan kepalanya, kembali, air matanya kembali luruh membasahi pipinya.

Aku menggeleng tidak percaya, teganya Mas Rahman mengecewakan anak-anak.

"Apa yang dia katakan," tanyaku cepat.

"Dia bilang, kalau sekarang kami nggak boleh lagi menelpon-nelpon Ayah, karena Ayah sekarang bukan Ayah kami lagi, sekarang Ayah sudah punya Istri dan anak lain."! Salma menjelaskan seraya menangis, bahunya terguncang hebat. Kembali Ali memeluk Salma, kulihat tangannya terkepal erat. Aku tahu dia sedang menahan amarahnya.

"Salma sayang, kamu nggak usah dengerin wanita itu. Sampai kapanpun Ayah tetap akan menjadi ayah kalian," jawabku tenang sambil menahan air mata yang sudah menganak sungai.

"Sudah cukup, Bu. Jangan lagi beri kami harapan tentang Ayah, Ali akan menggantikan Ayah untuk kalian, Ibu sekarang jangan sedih lagi ya," ucap Ali tegas, dia sama sekali tidak menangis, bahkan dia terlihat biasa-biasa saja. Berbanding terbalik dengan kondisi Salma. Aku sangat malu dengan diriku sendiri, Ali bahkan lebih tegar dariku.

Tiba-tiba terdengar suara tangisan Anto, Uwak yang mendengar itu segera bangkit dan berlari kekamarku.

"Biar Uwak saja," ucap Uwak sambil berlari menuju tempat Anto tidur.

"Terimakasih, Sayang. Kalian harapan Ibu sekarang, tolong kalian jaga adik-adik kalian, bantu Ibu melalui semuanya," ucapku kembali memeluk mereka.

"Ibu tenang saja, serahkan semuanya pada kami, iyakan Salma," tanya Ali sambil mengedipkan matanya kearah Salma. Melihat itu kemudian Salma menghapus air matanya, dan mengangguk cepat.

"Yaudah, sekarang Ibu kekamar Anto saja. Besok kita bahas lagi ya," ucap Ali. Aku mengangguk, mengecup kening mereka dan segera keluar dari kamar.

"Kami pinjam ponsel Ibu ya," tiba-tiba Ali meminta ponselku.

"Buat apa," tanyaku penasaran, biasanya mereka tidak pernah meminta ponselku.

"Buat main game, Bu. Kami belum bisa tidur," ucap Ali menjelaskan. Aku pun menyerahkan ponselku dan segera ke kamar tempat Anto tidur. Tapi hatiku tidak yakin jika Ali dan Salma bermain game di ponselku, aku baru teringat jika di ponselku tidak memiliki aplikasi game sama sekali. Aku kembali lagi ke kamar Salma, saat sedang membuka pintu, aku mendengar suara mereka berbicara.

"Kamu bisakan diajak kerjasama, kita harus membalaskan sakit hati Ibu." Terdengar suara Ali yang tegas, apa yang mereka rencanakan sebenarnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status