Pembalasan Anak Laki-lakiku
Part 5
Pov Ali
Semakin erat kamu memeluk, maka semakin sakit yang kamu rasa. Mungkin kata-kata itu sekarang tepat untuk kami, terutama Ibu. Setelah mengetahui semuanya tentang Ayah yang meninggalkan kami demi istri barunya, aku bersumpah, demi Ibu. Aku tidak akan pernah memaafkan Ayah seumur hidupku, dia bagaikan layangan yang sudah putus bagi kami. Tidak ada lagi tempat berlindung dan mengadu, kami yang sudah menggantungkan harapan dan hidup kami padanya, tapi Ayah lebih memilih pergi meninggalkan kami dalam tangis. Aku tidak pernah mengungkapkan apa yang aku rasakan sekarang kecuali pada Salma, adikku. Hanya dia tempat berkeluh kesahku, dulu hingga saat ini.
Saat membuka mata aku selalu berharap jika ini hanya mimpi belaka. Seperti pagi ini, aku bangun tidur dan segera ke kamar Ibu dan Ayah untuk mengecek jika semua ini memang mimpi. Tapi belum sampai langkah kaki ini ke kamar Ibu, aku malah mendengar tangisan di dapur. Aku berjalan perlahan, ingin melihat siapa yang menangis pagi-pagi begini. Hatiku bagai terkoyak saat melihat Ibu sedang menahan tangisnya, dia bahkan menyumpal mulutnya dengan kain agar tangisnya tidak terdengar oleh kami. Ingin sekali rasanya aku berlari dan memeluk Ibu, tapi langkah kakiku tertahan di tempat. 'Aku memang tidak memelukmu, Ibu. Tapi aku akan membalaskan sakit hatimu.' batinku bersuara.
"Bang, memangnya nggak papa ya kalau kita pulang telat? Aku takutnya Ibu khawatir dan curiga sama kita," tanya Salma khawatir saat kami sudah sampai di terminal. Hari ini kami akan menjalankan rencana yang sudah kami atur semalam. Maafkan kami Ibu, kami janji akan baik-baik saja.
"Kamu tenang aja, kita kan bawa uang. Sini ATMnya, kita tarik uang dulu," pintaku pada Salma yang masih memakai baju sekolah. Aku dan Salma berencana akan pergi kerumah Ayah dan wanita iblis itu untuk mengajak Ayah pulang. Mungkin aku sudah terlanjur benci padanya, tapi bukan hanya aku anak Ayah. Adik-adikku masih membutuhkan Ayah di kehidupan mereka.
"Nih, PINnya tanggal lahir Anto," ujarnya seraya menyerahkan benda pipih yang berwarna hitam. Hanya Salma yang tahu PIN ATM Ibu, karena dia memang sering belanja bersama Ibu.
"Kamu ganti baju dulu ya, itu tempat gantinya," aku menyuruh Salma untuk mengganti baju sekolahnya dengan baju biasa. Seraya menunjukkan toilet terminal, juga memberinya uang dua ribu untuk penjaga toilet. Sedangkan aku, sudah siap dari tadi.
Aku masuk kedalam ruang ATM, lalu memasukkan kartu pipih ini kedalam mesin. Menekan tombol sandi, dan mengecek saldo terlebih dahulu. Bibirku mengulas senyum puas, ternyata Ayah menepati janjinya dengan mengirimkan uang yang kami minta. 'Ayah, karma mu akan segera datang' gumamku dalam hati.
"Kak, udah," seru Salma dari luar sambil menggedor pintu kaca. Lalu aku pun keluar karena memang sudah siap melakukan penarikan uang.
"Yaudah, yuk kita langsung naik mobilnya. Soalnya kata Kernetnya mau berangkat," ajakku memegang tangannya dan menariknya menuju ke mobil yang akan kami tumpangi. Ini pertama kalinya Salma berpergian jauh, dia sangat senang sekaligus takut. Karena tidak ada Ibu yang mendampingi kami, kalau aku memang sudah pernah ke kota sekitar dua kali.
Waktu itu aku diajak oleh Ayah untuk menemaninya ke kota.
Di dalam Bus, kami hanya diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Perjalanan yang panjang, membuat Salma tertidur di mobil. Mungkin juga pengaruh obat anti mual yang di minumnya tadi, karena dia mabuk perjalanan. Aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata, entah mengapa bayangan bahagia bersama Ayah membuatku sedih dan semakin terluka.
Benarkah Ayah tidak menginginkan kami lagi sekarang?
***************************
"Bangun...bangun...bangun…." Suara teriakan kernet yang membangunkan penumpang membuatku terkejut dari tidurku.
"Hoam…." Aku menguap beberapa kali, ternyata aku tertidur dari tadi. Aku lihat sekeliling, kami sudah berada di terminal kota. Salma juga masih tertidur pulas, baguslah. Setidaknya dia harus banyak menyiapkan tenaganya untuk menghadapi kenyataan pahit.
"Salma, bangun. Kita udah sampe nih," aku membangunkan Salma. Beberapa kali kupanggil barulah Salma membuka matanya, dan tampak kusut sekali. Mungkin, dia kelelahan karena jarak yang kami tempuh lumayan jauh bagi kami yang tidak pernah berpergian.
"Kita udah sampe bang?" tanya Salma sambil mengucek matanya berkali-kali.
"Udah, yuk. Nanti kita telat pulangnya," anakku pada Salma yang masih termenung, mungkin dia belum sepenuhnya sadar.
Aku langsung menarik tangannya Salma, kami menuruni Bus yang kami tumpangi. Sekarang kami harus menaiki ojek atau tukang becak orang agar sampai kerumah wanita itu. Aku memilih, menaiki becak yang berada di situ. Dengan begini, aku dan Salma tidak akan terpisah. Aku memberikan alamatnya pada tukang becak, lalu kami pun berangkat.
Saat malam itu aku dan Salma meminjam ponselnya Ibu, aku sempat menghubungi paman Adi. Aku mengirim pesan pada beliau untuk meminta alamat Ayah sekarang, tentu saja aku berpura-pura seolah Ibu yang meminta alamat Ayah. Juga dengan uang transferan sebesar lima juta itu, aku dan Salma menelpon Ayah. Aku bilang jika Ayah tidak mengirimkan uang pada kami, maka aku akan mengadukan masalah ini pada kepala Yayasan tempat istri kedua Ayah bekerja. Aku juga mengancam jika tak segan-segan kami akan menyebarkannya di media sosial.
"Yang ini Bang rumahnya?" tanyaku pada Abang becak yang mengantar kami.
"Iya, kalau di alamatnya sih betul ini rumahnya," jawab Abang becak memastikan.
"Yaudah, kalau gitu makasih ya bang," aku memberikan ongkos pada Abang becak lalu turun dan berdiri menghadap kerumah yang alamatnya diberikan oleh Paman Adi.
Rumah megah dan mewah, berbanding terbalik dengan rumah yang kami tempati sekarang. Ya walaupun rumah Ibu sangat nyaman dan layak untuk dihuni, tetap saja kalah dengan rumah ini. Pantas saja Ayah lebih memilih meninggalkan kami dan Ibu demi wanita itu.
"Bang, apa kita masuk aja ya," tanya Salma yang membuatku tersentak dari lamunan tantang Ayah.
"Eh, iya. Ayok, kebetulan pagarnya gak di kunci," jawabku ragu. Sebenarnya aku takut untuk masuk, takut ditolak oleh Ayah. Yang aku takutkan bukan perasaanku, tapi Salma. Dia sangat ingin berjumpa dengan Ayah, jika Ayah mengusir kami, maka pupuslah harapan Salma.
Tapi tujuan kami kemari bukan hanya itu, kami akan memberi sedikit pelajaran yang tidak bisa dilupakan oleh wanita itu, seumur hidupnya.
Kami masuk kedalam pagar besi yang menjulang tinggi, berjalan kearah pintu utama.
"Kamu udah siap?" Tanyaku pada Salma. Dia hanya mengangguk, aku tau saat ini dia belum siap. Berkali-kali dia menghirup udara dengan kuat dan melepaskannya dengan kasar.
Cekrek!
Aku membuka pintu, dan ternyata juga tidak dikunci. Ini akan menjadi hari yang panjang untuk aku dan Salma.
Di dalam banyak sekali foto Ayah dan wanita itu, tapi tidak ada satupun foto anak wanita tersebut. Katanya dia memiliki anak seusiaku, tapi aku tidak melihat satupun fotonya tertempel di dinding ruangan ini.
"Kamu udah pulang, Mas?" Tiba-tiba ada suara yang berteriak dari arah dapur. Sepertinya wanita itu mengira jika kami adalah seseorang yang sedang dia tunggu. Aku segera menarik tangan Salma, rasanya dingin.
"Kamu takut?" tanyaku lagi pada Salma yang wajahnya terlihat pucat.
"Sebenarnya iya, tapi demi Ibu. Tidak," jawabnya mantap. Inilah yang aku sukai dari Salma, dia selalu memegang teguh janji hatinya. Dia tidak pernah melawan apa yang otaknya perintahkan, dia Salma, wanita yang lembut dan cantik, tapi juga sangat tegas. Aku tersenyum mendengar jawabannya, semangatmu kembali ketika melihat senyum Salma, persis senyum Ibu.
"Siapa kalian!" Tiba-tiba wanita itu sudah berdiri di depan kami sambil berteriak, wajah cantiknya terlihat sangat kejam.
"Kalian mau nyuri ya," tuduhnya dengan mengambil rotan yang tergantung di dinding ruangan, lalu menunjuk-nunjuk kearahku dan Salma.
"Kami kesini malah mau mengambil apa yang Anda curi," jawabanku tak kalah lantang dari suaranya. Matanya terbelalak mendengar penuturanku, sedetik kemudian dia langsung tertawa sendiri.
"Heh, gembel. Kalian nuduh aku nyuri punya kalian? Aku gak mungkin nyuri punya orang miskin," sungutnya pongah.
"Kamu itu memang kaya harta, tapi sayang. Miskin moral," ejek dari tadi dia hanya bersembunyi dibelakangku karena takut.
"Heh, jaga ucapan kalian ya. Diam disitu, aku akan laporkan kalian ke polisi," ancam wanita itu lagi. Mendengar kata polisi, membuat nyali Salma menjadi ciut. Dia kembali beringsut mundur kebelakang.
"Silahkan, kamu juga jangan lupa kembalikan Ayah kami," ucapku.
Terlihat wanita itu tercengang beberapa saat, lalu memperhatikan kami lagi.
"Kalian anak-anaknya Mas Rahman?" tanyanya memastikan.
Aku mengangguk mantap, Salma juga menganggukan kepalanya.
"Ah, iya. Kenapa aku tidak perhatian dari tadi. Kamu, sangat mirip dengan Aini. Wanita yang telah merebut kebahagiaanku," ujarnya dengan nada suara yang terlihat marah sambil menunjuk kearah Salma. Memang, Salma sangat mirip dengan Ibu. Hanya saja sifatnya menurun dari Ayah.
"Apa maksud, Anda?" tanyaku lagi penasaran dengan kata-katanya tadi.
"Pulang dan tanyakan pada Ibumu yang murahan itu," hinanya dengan suara lantang.
Mendengar itu membuat darahku mendidih, Salma yang juga marah mendengar Ibu dihina langsung berlari dan melompat kearah wanita tadi.
Salma yang sedang belajar bela diri di sekolah, seperti sedang mempraktekkan ilmu yang diajarkan oleh Suhu. Aku hanya memperhatikan, tidak berniat membela ataupun melerai mereka. Biarlah, memang itu rencana kami.
"Beraninya kamu menghina Ibuku," teriak Salma marah. Salma menonjok wanita itu berkali di bagian mulutnya. Namun tenaga Salma kalah dengan wanita itu, dia menarik telinga Salma dan menyetaknya kebelakang.
"Kamu, jangan berani-berani menyentuhku," hardik wanita itu marah. Dia kembali mengambil rotan yang tadi terlepas dari tangannya, dan mengayunkannya ke udara, berniat memukul Salma.
Aku yang melihat itu segera berlari dan menabrak tubuh ramping wanita itu, hingga kami sama-sama terjatuh dilantai.
Salma kembali bangun, dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Kemudian dia berjalan menuju kearah kami. Salma merampas kaca mata yang dipakai oleh wanita tersebut dan menginjaknya hingga pecah.
"Jangan pernah menghina Ibuku," teriak Salma sambil memasukkan sambal kedalam mulut wanita itu, sambal yang sudah kami siapkan semalam.
"Agrh…." raung wanita itu kepedasan. Aku hanya tersenyum melihat tingkah Salma yang diluar batas.
"Sakit hati Ibu kami tidak sebanding dengan rasa pedas yang kamu rasakan sekarang," hardikku marah.
Wanita itu terus saja menangis dan berlari kedapur untuk mengambil minuman, tapi dengan sigap aku menarik tangannya. Menahannya agar jangan sampai dia meminum setetes air pun.
"Lepas, dasar anak jalanan*am," pekiknya marah sambil menangis.
"Tahan, Bang," perintah Salma padaku. Aku hanya mengangguk dan wanita itu hanya menangis pasrah.
Entah apa yang Salma lakukan, aku tidak begitu memperhatikan karena berusaha memegang wanita itu. Dia terus memberontak, tapi tenaganya kalah dengan tenagaku.
Sekitar lima belas menit kemudian, Salma datang dan menyuruhku untuk melepaskan wanita itu.
"Udah, Bang. Lepas aja, aku udah siap," ujar Salma santai. Biarlah nanti aku tanyakan lagi di jalan.
Wanita itu langsung berlari saat peganganku lepas. Mungkin dia akan langsung meminum air satu galon penuh.
Aku dan Salma segera berlari keluar, dan langsung menutup pintu lagi. Kamu terus berlari hingga sampai ketempat tukang ojek pangkalan. Kemudian kami langsung menyuruh tukang ojek untuk mengantarkan kami ke terminal. Aku melihat jam di pergelangan tangan, masih ada waktu untuk pulang, batinku.
" Bang!" Panggil Salma, kami memang menaiki motor yang berbeda. Karena ojek disini tidak mau bonceng tiga. Aku menyipitkan mata melihat botol yang digoyang-goyangkan Salma.
Dia tampak tersenyum puas dengan aksinya tadi.
"Apa?" tanyaku penasaran dengan botol yang dia tunjukkan.
"Obat gatal," kekeh Salma lagi.
Ya ampun, ternyata Salma memang benar-benar melakukan rencana aksinya. Dia menaburkan serbuk gatal pada tempat tidur, dan semua pakaian wanita itu. Apakah Salma juga menaruhnya di pakaian dalam mereka?
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 6"Gimana, Aini? Udah ada kabar dari Salma atau Ali?" tanya Uwak saat aku sedang duduk di depan teras menunggu kepulangan kedua anakku. Dengan memangku Anto yang masih kecil, aku menunggu dengan cemas Salam dan Ali.Sudah hampir magrib, tapi mereka belum juga kembali. Ada begitu banyak hal yang mau kutanyakan pada mereka berdua."Belum, Wak. Apa sebaiknya aku nyusul aja ya kesekolah?" aku menanyakan pendapat Uwak, karena sebelumnya tidak pernah Ali maupun Salma pulang terlambat, apalagi jika sampai magrib begini."Boleh, sini biar Anto sama Uwak aja. Kamu cepetan nyusul kesekolah," ujar Uwak sambil mengambil alih Anto dari pangkuanku."Assalamualaikum…."Tiba-tiba saja Ali dan Salma sudah kembali menggunakan sepedanya, aku menghentikan aktivitasku yang sedang mengeluarkan motor."Waalaikumsalam," jawabku lirih."Kalian dari mana saja? Ibu khawatir," tanyaku pada mereka yang sedang memasukkan sepedanya kedalam garasi samping rumah."Tadi pagi kan kami u
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 7"Bu, ini uang yang lebih aku tarik kemarin sama Salma di ATM," ucap Ali sambil menyodorkan beberapa uang berlembaran merah. Aku refleks mengambil uang itu dan menebak jika itu uang yang dimaksud oleh Maya kemarin malam."Jelaskan ini uang apa?" tanyaku, padahal aku sudah tau jika ini adalah uang yang dikirimkan oleh Mas Rahman padaku. Namun aku sengaja menanyakan lagi sama Ali, aku mau ihat seberapa jujur dia."Itu uang yang dikirim sama Ayah ke ATM, Ibu. Sebesar lima juta, tapi waktu aku ke kota kemarin aku mengambilnya dua juta, dan itu uang lebihnya," jelasnya. Alhamdulillah, ternyata anakku jujur."Baiklah, Ali. Jangan ulangi lagi ya, Ibu gak mau kamu dan Salma kenapa-kenapa. Kamu tidak tau sifat asli tante Maya gimana," terangku lagi. Aku hanya khawatir dengan anak-anakku, tidak lebih. Karena aku yakin, Maya akan melakukan semua cara agar bisa membalas semuanya."Bu, dua bulan lagi aku lulus SMA. Jadi aku mau minta ijin, buat ke kota nyari kerja
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 8Pov Maya"Kamu gila atau bodoh sih, Mas? Kamu sadar gak udah ngambil duit aku sebesar lima ratus juta! Lima ratus juta!" teriakku pada Mas Rahman yang sedang menyetir mobil. Saat ini kami sedang dalam perjalanan pulang ke kota, aku pikir hari ini aku akan mendapatkan tontonan gratis. Ternyata aku yang malah jadi tontonan si Aini dan anaknya yang kurang ajar itu."Jadi mau gimana lagi, Sayang. Mereka ngancamnya pakai pisau," elak Mas Rahman dengan wajah lesu. Aku sungguh muak melihat wajahnya seperti ini, dulu sebelum aku bisa merebutnya dari Aini wajahnya yang sangat tampan dan berwibawa. Sekarang entah mengapa, setelah menjadi suamiku seutuhnya wajahnya malah seperti pengemis di jalanan."Kamu kan bisa melawan, setidaknya jangan gegabah. Emangnya kamu bisa ganti uangku lima ratus juta, hah!" makiku kesal. Mas Rahman menggelengkan kepalanya, dasar tidak berguna."Kamu tahu kan? Anakku Yudha lagi butuh uang buat kuliah bulan depan? Gila kamu Mas!" aku
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 9Aku pernah berada dititik terendah dalam hidup, aku menangis dan meraung meratapi nasib. Tapi setelah itu, Allah juga pernah memberikan aku kebahagiaan sehingga aku lupa bagaimana rasanya sedih. Semua orang memiliki masa lalu, tapi tidak semua orang bisa belajar dari itu. Banyak orang yang hilang kendali dalam mencintai, sehingga ketika hati dilukai, hilang sudah hidup yang berarti. Dan pada akhirnya, sakit hati tidak mengajarkan kita untuk berhenti berharap. Namun sakit hati akan mengajarkan kita untuk tidak terlalu menaruh harapan.Karena luka yang paling sakit adalah ketika kamu dilukai oleh seseorang yang kamu kira tidak akan pernah melukaimu.Seperti diriku saat ini yang melihat pantulan diriku di cermin. Wajah kusam ini dulu pernah mulus dan putih, tubuh kurus ini, dulu pernah menjadi dambaan setiap pria. Tidak, aku tidak pernah menyesal menikah dengan Mas Rahman. Bukan karena aku masih mencintainya, melainkan karena aku sudah memiliki mereka y
Aku kembali menatapnya tajam, dan melangkahkan kaki menuju Uwak yang mungkin sudah menungguku dari tadi."Kamu darimana saja, ini Anto rewel," ucap Uwak lalu memberikan Anto padaku. Sedangkan Mia, aku turunkan dan di gandeng oleh Uwak."Nyari Mia, dia mainnya jauh banget tadi," jawabku menjelaskan. Tidak mungkin aku mengatakan jika aku kembali bertemu dengan Handoko, bisa-bisa Uwak akan mencari dan mengajaknya kerumah. Wajar, selain dekat dengan Ibu dan Ayah, Handoko juga sangat dekat dengan Uwak. Karena Uwak dulu ikut tinggal dengan Ibu setelah nenek meninggal. Jadi setiap kali Handoko datang kerumah, dia selalu membawa makanan kesukaan Uwak."Kamu kenapa melamun?" tanya Uwak sambil menepuk bahuku."Eh, nggak. Aku cuma lagu bayangin aja, gimana kalau uang lebihnya kita jadikan moda untuk membuka butik sendiri sekaligus membuka les privat menjahit?" jelasku pada Uwak. Padahal aku berbohong, bukan itu yang ada dalam pikiranku tadi."Wah, ide bagus. Kamu memang ingat, Aini. Pantas saja
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 10Tidak terasa dua bulan itu telah berlalu, aku selalu menghitung hari, akhirnya Ali lulus. Sesuai dengan keinginannya, dia akan berangkat ke kota setelah lulus. Sayang, anakku. Seharusnya kamu sedang menikmati masa mudamu yang indah. Seperti teman-temanmu yang lain, merajut mimpi meraih cita-cita. Tapi sekarang kamu malah harus mengambil alih tanggung jawab ayahmu. Sekarang, tongkat estafetnya ada di tanganmu. Kamu yang akan mengendalikan sekarang, Ibu hanya bisa membimbing."Buk, bantuin Ali berkemas ya. Katanya Om Handoko akan menjemput besok," ucap Ali saat aku sedang melamun di depan mesin jahit."Oh, iya sayang. Nanti Ibu akan lihat apa-apa saja yang harus kamu bawa," jawabku sambil menghapus air mata yang masih membasahi pipi."Ibu, menangis?" tanya Ali menghampiriku, segera aku berpaling kearah lain. Agar dia tidak melihat kesedihan yang mendalam di wajahku."Nggak, Ibu cuma lagi pilek aja," jawabku memberi alasan, jujur, aku tidak bisa melepa
"Yuk, Buk. Anterin Ali, Ali juga mau pamitan sama adik-adik," ajak Ali sambil memakai tas ranselnya juga menjinjing satu tas lagi berisi pakaiannya. Aku juga memberikan Ali sedikit uang pegangan selama disana, walaupun dia bersikeras menolaknya tetap aku selipkan uang itu kedalam tasnya.Kami pergi menuju ruang tengah, disana anak-anak sedang menonton TV disaluran kesayangan mereka. Mereka melihatku dan Ali secara bergantian, mungkin mereka bingung Abangnya mau kemana. Padahal kemarin-kemarin sudah aku jelaskan pada mereka jika Ali akan pergi ke kota untuk bekerja."Abang, mau kemana?" tanya Mia pada Ali. Dia bahkan bangun dari duduknya, dan merentangkan kedua tangannya pada Ali untuk meminta digendong. Dengan sigap Ali menggendong adiknya itu, Ali yang penyayang."Abang mau pergi sebentar ya, Mia jangan nakal-nakal ya kalau nggak ada Abang," ucap Ali sambil mencium pipi Mia berkali-kali."Abang mau kemana?" tanya Mia dengan suara bergetar dan matanya yang mulai berembun."Abang mau b
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 11Pov AliAkhirnya setelah perjalanan yang melelahkan aku sampai juga di Ibukota. Saat ini aku sudah berada dirumahnya Om Handoko, teman Ibu. Disini hanya ada aku dan Handoko juga beberapa pembantu, katanya ada anak Om Handoko juga yang tinggal disini. Laki-laki seumuran denganku, tapi saat ini aku belum melihatnya, karena katanya dia lagi sibuk mengurus keperluan untuk melanjutkan kuliah."Huufttt…."Aku meletakkan tas ranselku di lantai, dan merebahkan tubuh diatas kasur yang empuk. Kamar ini sangat bagus dan besar, tapi tetap saja aku merasa asing. Aku menatap langit-langit kamar yang bercat putih dan abu-abu tua. Mengenang semua mimpi juga impian yang pernah aku dambakan. Dulu, aku ingin sekali menjadi seorang mekanik yang handal. Memperbaiki semua mesin yang rusak, dan membantu sesama manusia.Tapi mimpiku kini telah sirna bersama waktu, melebur menjadi kepingan yang harus ku kubur dalam. Aku mengusap wajah dengan kasar, bangun Ali, kamu kesini b