Share

Uang transferan

Pembalasan Anak Laki-lakiku

Part 4

Pagi ini kumulai aktifitas seperti biasa, bangun subuh untuk menunaikan kewajiban dua rakaat. Lalu ke dapur untuk memasak dan membersihkan peralatan memasak dan piring kotor semalam. Sebenarnya aku sangat ngantuk dan lelah, beberapa minggu ini tidurku tidak lelap, aku terganggu dengan bayangan Mas Rahman dan wanita itu. Mereka sekarang pasti sedang berbahagia karena sedang menikmati masa pernikahan yang kedua. Maya pasti sedang berc*mbu kasih dengan Mas Rahman suamiku.

Aku menangis tergugu sambil mencuci piring, tanganku sampai tidak sanggup lagi menopang piring yang ada di tangan. Hingga piring itu jatuh dan pecah, belingnya berserakan seperti layaknya hatiku kini. Aku bahkan tidak sanggup lagi bangun untuk membersihkan serpihan kaca beling, kuambil jilbab yang kupakai lalu menggumpalnya kedalam mulut, agar suara tangisku tidak terdengar anak-anakku. Mereka boleh kehilangan Ayahnya, tapi mereka tidak boleh melihatku semenderita ini.

"Ya Allah, Nduk. Kenapa piringnya seperti ini," tanya Uwak yang datang kedapur.

Dia mengambil sapu lalu membersihkan pecahan piring yang pecah. Setelah bersih, lalu dia mengambil alih untuk mencuci piring.

"Sudah, sekarang kamu masuk kamar aja, istirahat. Jangan kamu siksa diri kamu seperti ini," ucap Uwak menguatkan. Aku hanya mengangguk tanda setuju, lalu aku bangun dari dudukku untuk segera kekamar. Samar kulihat bayangan Ali dari balik kulkas, entahlah, mungkin mataku yang salah lihat.

Sampai dikamar aku melihat Anto anakku tidur memeluk guling, kembali air mataku berlinang. Dia bahkan belum mendapatkan kasih sayang penuh seorang Ayah, yang kuat sayang. Melihat Anto yang masih tertidur, aku memilih untuk melihat anak-anakku yang lain. Mereka harus kesekolah, jadi aku harus membangunkan mereka.

"Sudah bangun sayang," tanyaku ketika masuk kedalam kamar Salma dan Mia. Mereka tidur satu kamar berdua.

"Sudah dong, Bu. Kami udah shalat juga," ucap Salma sambil memakai baju sekolahnya. Mia masih tidur di kasur, karena dia memang belum sekolah jadi kubiarkan saja dia tidur lagi.

"Kok Ibu nggak tau kalian ke kamar mandi, padahal tadi Ibu di dapur," tanyaku penasaran. Wajah Salma terlihat sendu, dia juga sempat menghentikan aktivitasnya memakai jilbab.

"Ta-tadi Ibu sibuk, makanya nggaktau kalau aku dan Bang Ali ke kamar mandi," jawabnya lagi sambil merapikan jilbab. Apakah mereka tadi melihatku menangis, ya Allah jangan sampai mereka melihatku begitu.

"Yaudah, yuk Bu. Aku mau sarapan," ucap Salma. Aku pun mengangguk lalu berjalan ke arah dapur untuk mengambil nasi untuk mereka sarapan.

"Udah, kamu duduk aja. Biar Uwak yang bereskan," ucap Uwak saat aku ingin membantunya menghidangkan makanan diatas meja.

"Nggak papa Wak, aku bantuin ya," jawabku sambil mengambil nasi dan ikan goreng.

Disana sudah ada Salma dan Ali, juga Nanda dan Lukman. Mereka akan pergi ke sekolah dengan sepedanya masing-masing. Beruntung aku mempunyai anak yang cerdas dan penurut, jadi aku tidak terlalu repot saat mereka akan ke sekolah atau mengaji.

"Oh iya, Bu. Aku sama Salma nanti kayaknya akan pulang telat. Karena ada pelajaran tambahan untuk ujian Minggu depan," ucap Ali saat kami sedang sarapan. Minggu depan memang mereka akan mengikuti ujian di sekolahnya. Tapi kenapa hanya mereka berdua yang ikut kelas tambahan, kenapa Lukman dan Nanda tidak ikut. Bukankah mereka satu sekolah?

"Nanda sama Lukman, nggak ikut kelas tambahan?" tanyaku penasaran, mereka berdua hanya menggeleng.

"Kami nggak sanggup ikut kelas tambahan lagi, Bu. Kak Ali kan mau ikut kelas tambahan karena akan mengikuti ujian akhir, kami masih ujian sekolah biasa," jawab Nanda menjelaskan. Mereka memang satu sekolah, karena di tempat mereka sekolah sudah ada sekolah Dasar sampai SMA.

"Ya sudah, kalau begitu kalian hati-hati ya. Ingat, jangan ngebut-ngebut bawa sepedanya. Ali, kamu jagain Salma," peringatku pada Ali yang memang lebih tua dari mereka semua.

"Siap, Bu," jawab Ali seraya mengangkat tangannya di samping kepala, seperti bentuk hormat para tentara. Aku tersenyum melihat mereka yang sangat kompak, walaupun umur mereka tidak beda jauh tapi tidak pernah sekalipun mereka bertengkar. Ya Allah, betapa besar cinta dan kasih Mu pada kami. Maafkan hamba yang sering mengeluh dan berburuk sangka. Padahal hamba tau, apapun yang terjadi itu adalah takdir yang terbaik untuk kami semua. Seperti kata petuah, "bulu mata yang jatuh itu adalah takdir Allah, bukan rindu yang tertahan".

"Yaudah, Buk. Kami berangkat ya," ucap Ali. Kemudian mereka bangun satu persatu menyalamiku, dan kemudian pergi dengan sepedanya masing-masing.

Aku membersihkan peralatan makan kami, lalu membawanya ke dapur. Biar saja disini dulu, nanti akan aku cuci ketika sudah memandikan Anto. Aku segera masuk ke kamar, sepertinya Anto sudah bangun. Benar saja, Anto sedang duduk di atas tempat tidur.

"Sayang, udah bangun ya?" Aku membelai rambutnya yang tebal, sama seperti Ayahnya. Mereka berdua mirip sekali, wajah Mas Rahman seperti tercipta kembali di wajah Anto. Aku menciumnya berkali-kali, sayang sekali dia belum sepenuhnya merasakan kasih sayang ayahnya.

Tiba-tiba ponselku yang ada di meja rias berdering beberapa kali, aku mengurungkan niatku untuk memandikan Anto. Kubaringkan lagi tubuh mungilnya di atas kasur, lalu menuju ke meja rias.

Tertera disana nomor tidak dikenal, langsung saja aku angkat. Siapa tau ada berita penting.

"Halo, Assalamualaikum," ucapku setelah panggilan itu kuterima.

"Eh wanita murahan, berani beraninya ya kamu meminta uang pada suamiku?" teriak wanita yang menelponku, aku hanya bingung. Apa mungkin ini nomor salah sambung ya?

"Maaf, Mbak siapa ya? Mungkin salah sambung," jawabku masih dengan nada penasaran.

"Jangan pura-pura nggak tau kamu Aini. Aku Maya, istri Mas Rahman. Dasar janda gatal," makinya lagi. Ternyata yang menelponku Maya, istri kedua Mas Rahman. Astaghfirullah, aku beristighfar berkali-kali dalam hati. Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembusnya perlahan. Aku selalu bisa mengendalikan emosiku, karena aku selalu menerapkan konsep yang diajarkan oleh ustadz tempat pengajianku. 'jika sedang marah dan bertengkar, hitung sampai sepuluh baru kemudian kamu menjawabnya'. Dan itu berhasil.

"Maaf, Maya. Mungkin kamu salah, terakhir aku bicara dengan Mas Rahman itu saat kita bertemu. Setelah itu, aku memang menelponya karena anak-anak yang minta. Tapi tidak pernah diangkat, apalagi sampai meminta uang," jelasku lagi, aku harap Maya mengerti dan tidak mengganggu aku lagi. Biarlah jika dia mengambil Mas Rahman dariku, aku akan belajar untuk mengikhlaskan. Tapi aku tidak mau hidup dalam bayangan mereka lagi, biarlah aku akan menjalani hidup dengan anak-anakku. Akan kubahagiakan mereka dengan caraku sendiri, aku juga akan menjadi Ibu sekaligus Ayah bagi mereka, malaikatku.

"Jangan sok lugu kamu, Aini. Buktinya Mas Rahman mengirimkan uang pada kamu. Kalau seandainya kamu nggak minta, mana mungkin suamiku akan mengirimkan uang pada kalian," teriak Maya berapi-api.

"Maya, cukup ya. Memang seharusnya Mas Rahman harus menafkahi anak-anaknya. Karna mereka masih tanggungan Ayahnya, bukan malah menafkahi anak orang," ujarku geram. 

"Berani kamu ya mengatai anakku? Kamu akan menyesal, Aini!" ancamnya marah.

"Sakit hatimu saat ini belum seberapa dengan sakit hatiku, Maya," ucapku kemudian. Aku memang perempuan bodoh, masih saja berharap Mas Rahman akan kembali dan meminta maaf.

"Ha ha ha, asal kamu tau, Aini. Melihat kamu menangis darah setiap hari adalah impianku dari dulu," sungut Maya lagi.

Deg !

Mendengar Maya berbicara lantang seperti itu membuatku tidak sengaja meremas baju yang aku kenakan. Apakah mungkin ini semua adalah rencananya? Dia memang sudah berencana mengambil Mas Rahman dariku.

"Apa maksud kamu, Maya," tanyaku dengan suara yang gemetar.

"Ha ha ha, Aini…Aini. Kamu itu lugu banget, betul kata Mas Rahman. Kamu itu lugu dan bodoh, makanya kamu dengan suka rela memberikan sertifikat rumah warisan orang tuamu pada Mas Rahman," ejeknya lagi dengan suara tertawa yang menggema.

"Sebentar lagi, kalian akan di usir dari rumah itu. Bersiaplah, untuk mengangkut anak mu yang segudang itu," ucapnya lagi.

"Tidak apa-apa anak segudang, yang penting bukan anak haram!" sungutku geram. Biarlah dia merasakan terhina, memang kenyataannya dia hina. Perempuan murahan yang merebut suami orang, dia sama sekali tidak punya martabat.

"Diam kamu, Aini. Beraninya kamu menghina anakku satu-satunya hah!" teriak Maya yang seperti orang kesurupan. Huft, untung saja kami tidak berhadapan, kalau tidak habis aku di terkam sama buaya betina seperti Maya.

"Terus kamu mau apa?" Sungutku lagi, aku yakin saat ini Maya sedang berang dan mencak-mencak seperti orang kesurupan.

"Kamu akan menyesal, Aini. Kamu…." Suaranya terputus karena panggilan telepon segera aku matikan.

Kuremas dada ini kuat, rasanya sakit sekali ya Allah. Aku memang harus terlihat kuat didepan semua orang, termasuk Maya dan Mas Rahman.

"Aku hanya hamba-Mu yang lemah, ya Allah. Tapi hamba mohon, berikan hamba kesabaran yang luas seluas samudra, agar hamba bisa melewati ini semua dengan ikhlas," desisku. Aku berharap Allah mau menerima doaku ini.

Kuusap air mata ini, lalu kembali menggendong Anto untuk segera aku mandikan dan memberikan makan. Setelah semuanya selesai, aku membiarkannya bermain dengan Mia di luar, tetap diawasi oleh Uwak yang sedang duduk menjahit. Keluarga kami memang bisa menjahit, dulu orang tuaku juga seorang penjahit. Dan aku juga menekuni bidang menjahit, namun setelah menikah dengan Mas Rahman aku tidak diperbolehkan untuk menjahit lagi. Karena jarak umur anak-anakku yang dekat, membuatku kewalahan setiap waktu.

Aku kembali teringat dengan ucapan Maya tadi tentang uang yang di transfer oleh Mas Rahman. Aku mengambil ponsel dan mengecek pesan yang masuk, karena jika ada transaksi maka akan ada notifikasi melalui m-banking. Dan benar saja, ada dua pesan yang masuk.

Satu pesan memberitahukan jika adanya transferan sebesar lima juta atas nama Maya Lestari. Dan satu lagi pesan pemberitahuan penarikan uang sebesar dua juta. Aku mengerutkan kening tidak mengerti, setelah membaca berkali kali aku baru sadar jika harus memeriksa ATM ku.

Aku mengambil tas tempat biasanya aku menaruh dompet, dan langsung mengecek ATM. Nihil, tidak ada ATM disini. Aneh, biasanya aku selalu menyimpan semua kartu di dalam dompet. Tapi hanya kartu Atm-nya yang tidak ada.

Kemana ATM ku?

Kenapa tidak ada?

Aku mulai mencarinya kemana-mana, semua baju aku keluarkan dari dalam lemari, mungkin ATM ku terselip. Sesaat kemudian aku baru mengerti, jika uang yang dikirim oleh Mas Rahman sudah ditarik. Kemungkinan besar ATM ku sudah berada pada orang lain. Dan yang tau pin ATM ku hanyalah… Salma.

Apakah mereka yang merencanakan ini semua?

Aku kembali mengecek ulang pesan m-banking di ponsel, tertera disana waktu penarikan uangnya pukul 8.15.

Tidak mungkin Salma, karena pada jam segini dia masih sekolah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status