Aku memandang sebuah spanduk besar yang terpasang tepat di depan pintu masuk toko grosir Mas Wijaya. Tertera nama toko grosir ini—Grosir Wijaya. Dari luar toko aku bisa melihat betapa banyaknya isi di dalam toko tersebut. Kardus-kardus yang berisi kebutuhan pokok memenuhi dalam toko hingga sampai batas pintu masuk.
Aku berjalan dengan santai memasuki area toko grosir itu. Setelah masuk, aku sedikit terpukau sebab dalam toko ini ternyata jauh lebih luas dibandingkan dilihat dari luar. Mungkin, banyaknya barang yang memadati isi toko ini membuat toko ini nampak sempit.Aku melihat Mas Wijaya sedang sibuk di meja kasir membantu karyawannya yang seorang wanita untuk melayani pembeli yang sepertinya sedang membayar barang belanjaan. Saking sibuknya, Mas Wijaya sepertinya tak menyadari kehadiranku di sini."Cari apa, Mbak?" tanya seorang karyawan pria dengan ramah padaku."Oh, saya mau belanja barang-barang sembako untuk isi toko, Mas," jawabku."Apa Mbak punya catatan barang-barang apa saja yang mau dibeli?""Oh, iya ada," jawabku, lalu mengambil secarik kertas di dalam tas tangan yang aku bawa. Aku sudah mencacat barang-barang apa saja yang akan aku beli di sebuah selembar kertas. Aku memberikan kertas yang berisi catatan barang belanjaan pada karyawan itu."Baik, Mbak, saya siapkan dulu barangnya. Nanti, Mbak tinggal membayar saja di kasir.""Iya, Mas, terima kasih," ucapku.Aku suka dengan pelayanan toko milik Mas Wijaya ini. Karyawan-karyawannya terlihat sangat ramah dan juga gesit. Di dalam toko ini ternyata ada sekitar tujuh orang karyawan setelah aku hitung. Mereka mempunyai tugas masing-masing. Ada bagian yang bertugas melayani pembeli yang baru datang, dan ada juga yang bertugas mencari dan menyiapkan barang-barang belanjaan.Setelah barang-barang yang aku beli sudah siap, karyawan pria tadi menyuruhku untuk mengecek barang-barang yang sudah ia siapkan terlebih dahulu sebelum membayar di kasir. Agar tak terjadi kekurangan ataupun kesalahan. Setelah itu, barulah aku menuju ke kasir untuk melakukan pembayaran.Terlihat ada sekitar empat orang yang sedang berdiri mengantri untuk melakukan pembayaran. Aku segera berdiri di belakang mereka untuk mengantri. Mas Wijaya masih sibuk melayani pembeli dan belum menyadari keberadaanku."Alma, kamu ngapain di sini?" Mas Wijaya bertanya dengan nada terkejut setelah menyadari keberadaanku."Aku lagi belanja, Mas. Apa ini toko milik kamu, Mas?" Aku bertanya berpura-pura tak tahu. Aku tersenyum manis pada Mas Wijaya."Iya, Al. Ini toko milik aku. Kamu mau beli apa saja? Apa udah disiapkan sama karyawan aku?""Sudah kok, Mas.""Al, kita pindah tempat ke meja kerja aku saja ya? Biar kita bisa ngobrol sebentar," ajak Mas Wijaya."Iya, Mas," jawabku dengan senyum yang dipaksakan.Aku rasa, Mas Wijaya memang benar-benar menyukaiku. Terlihat dari tatapan matanya yang tak lepas memandang wajahku. Ini sebuah kesempatan yang sangat bagus untukku."Duduklah, Al. Apa kamu mau minum sesuatu?" Mas Wijaya menyuruhku untuk duduk di kursi yang berada di depan meja kerjanya. Ia sendiri sudah duduk di kursi kerjanya. Gelagat Mas Wijaya terlihat salah tingkah ketika aku selalu memandangnya dengan senyuman semanis mungkin. Terlihat dari bibir Mas Wijaya yang terlihat senyum-senyum sendiri."Terima kasih, Mas. Kamu gak perlu repot-repot. Aku gak bisa lama-lama di sini. Soalnya, aku mau menyusun barang-barang di toko.""Jadi benar kata Ibu dan Mbak Rosi kalau kamu mau buka toko di depan rumahmu itu?""Benar sekali, Mas.""Ah, aku gak nyangka kamu sekarang jadi wanita sukses, Al. Udah cantik, pinter nyari duit lagi. Gak kayak si Lastri," gerutu Mas Wijaya."Kamu terlalu berlebihan, Mas. Aku cuma buka toko sembako biasa kok.""Kamu terlalu merendah, Al. Toko yang mau kamu buka itukan, toko sembako paling besar di kampung kita. Selain cantik, sifat rendah hati kamu juga masih sama seperti dulu. Andai saja, kita bisa kembali bersama seperti dulu.""Itu tak mungkin terjadi, Mas. Kamu kan sudah menikah dengan Lastri.""Aku sudah bosan dengan Lastri, Al. Tiap hari kerjaannya marah-marah gak jelas. Apalagi kalau gak dikasih uang banyak, mulutnya bakal merepet panjang lebar," curhat Mas Wijaya.Aku tersenyum masam mendengar curhatan Mas Wijaya. Dengan gampangnya ia bicara padaku bahwa ia telah bosan dengan Lastri. Seolah Lastri sudah tak ada artinya untuk Mas Wijaya. Aku tak bisa bayangkan, bagaimana reaksi Lastri jika tahu Mas Wijaya berbicara seperti ini padaku."Bukankah, itu pilihan kamu sendiri, Mas?""Iya sih, Al. Tapi aku beneran menyesal sudah menikah dengan Lastri. Dia itu beda sama kamu, Al. Kamu kan lemah lembut dan juga penurut. Beda sama Lastri yang suka membangkang perintah aku. Dia terlalu arogan. Kalau marah menggebu-gebu kayak singa mau makan orang." Mas Wijaya terlihat bersemangat menceritakan tentang sifat buruk Lastri padaku."Maaf ya, Al, aku jadi curhat sama kamu," ucap Mas Wijaya dengan wajah terlihat memelas."Gak papa, Mas, aku ngerti kok. Oh ya, Mas, maaf aku gak bisa lama-lama. Kamu bisa gak, buatkan nota belanjaan aku sekarang?""Oh iya, Al. Aku sampai lupa. Ya udah, aku total dulu belajaan kamu ya?""Iya, Mas."Mas Wijaya dengan cepat menulis list belanjaan milikku dan menjumlahkannya menggunakan kalkulator. Setelah selesai, Mas Wijaya memperlihatkan total belanjaan yang aku beli."Al, total semua belanjaan kamu empat juta rupiah," kata Mas Wijaya setelah selesai menghitung. Aku segera mengambil dompet milikku yang berada dalam tas tangan yang aku bawa. Lalu mengambil sejumlah uang dari dalam dompet."Aduh, Mas, aku hanya ada uang cash satu juta rupiah. Aku lupa belum ngambil uang cash di ATM tadi. Bagaimana kalau sisanya aku tranfer saja? Kamu tulis saja nomor rekening kamu di nota itu, Mas," kataku dengan mimik wajah bingung."Ya sudah, Al. Sisanya gak perlu kamu bayarlah. Anggap saja, aku lagi ngasih diskon besar buat kamu," kata Mas Wijaya dengan bibir tersenyum mengembang. Aku terpelongo mendengar perkataan Mas Wijaya. Tak sangka, begitu mudah mendapatkan uang darinya."Jangan gitulah, Mas. Aku gak enak loh sama kamu. Kamu catat aja deh nomor rekeningnya. Aku gak mau punya hutang," kataku berpura memaksa."Enggak, Al. Kamu gak perlu ngerasa gak enak gitu. Meskipun kamu gak bayarpun, aku gak papa kok. Beneran.""Tapi sisanya tiga juta loh, Mas. Ini terlalu besar buat aku.""Yaelah, Al. Uang segitu mah, gak ada artinya buat aku," ucap Mas Wijaya dengan nada sombong.Aku bersorak gembira dalam hati. Jebakanku akhirnya masuk juga. Saat ini, aku sudah punya jurus ampuh untuk mengeluarkan uang Mas Wijaya untukku. Sering-sering saja begini. Dengan begitu, aku bisa mengumpulkan uang hasil kerjaku sebagai TKW yang pernah ia curi dengan cara licik."Terima kasih banyak ya, Mas. Aku gak nyangka kamu sebaik ini sama aku.""Sama-sama, Al. Sering-seringlah belanja di tokoku. Aku pasti akan melayani kamu dengan sangat baik. Kalau perlu, aku akan selalu kasih kamu diskon setiap berbelanja.""Iya, Mas, pasti," kataku dengan senyuman manis. Tentu saja aku akan kembali ke toko ini. Jika perlu, setiap hari aku akan berbelanja kemari.Mas Wijaya menyuruh karyawannya untuk memasukkan semua barang belanjaanku ke dalam mobilku. Ternyata begitu mudah memanfaatkan Mas Wijaya. Aku merasa cukup beruntung hari ini. Sudah tak perlu capek-capek mengangkut barang, aku juga mendapatkan diskon yang cukup besar dari Mas Wijaya."Mas Wijaya!" Suara keras seorang wanita terdengar memanggil nama Mas Wijaya.Aku dan Mas Wijaya yang sedang berdiri di samping mobil milikku seketika menoleh. Pun dengan Nana yang sedang berdiri di antara kami. Ternyata, wanita yang memanggil Mas Wijaya adalah Lastri. Lastri terlihat berdiri di pinggir jalan sambil menggendong anaknya yang berusia dua tahun.Wajah Lastri tampak merah padam dengan raut wajah penuh kemurkaan. Nafasnya terlihat naik-turun seperti menahan emosi. Matanya melotot tajam menatapku dan menatap Mas Wijaya secara bergantian. Pasti Lastri sangat marah melihatku sedang berdiri bersama Mas Wijaya. Melihatku berdiri bersama Mas Wijaya saja, ia terlihat begitu murka. Apalagi jika Lastri sampai tahu, bahwa Mas Wijaya suaminya telah memberikan diskon belanjaan yang cukup besar untukku.********Dengan wajah merah padam penuh kemurkaan, Lastri berjalan tergopoh-gopoh menggendong anaknya menghampiri kami. Yang membuatku miris, Lastri datang ke toko grosir Mas Wijaya hanya menggunakan baju daster yang terlihat tak enak di pandang mata.Pantas saja Mas Wijaya mudah berpaling pada wanita lain, sebab Lastri tak bisa merawat diri. Melihat penampilan Lastri, aku jadi berkaca pada diriku sendiri saat masih menjadi istri Mas Wijaya dulu. Sebab seperti itulah penampilanku dulu.Wajar saja jika aku dulu tak bisa merawat diri, sebab Mas Wijaya hanya seorang pengangguran. Aku tak memiliki banyak uang untuk membeli kebutuhan pribadi. Jangankan untuk kebutuhan pribadi, untuk makan saja kami susah. Itulah mengapa aku akhirnya memutuskan untuk pergi bekerja ke luar negeri.Sebenarnya, Ibuku melarang keras aku untuk bekerja di luar negeri dan menyuruhku untuk menjual sebagian sawah milik Ibu. Tapi aku menolak, aku tak ingin menjadi beban untuk Ibuku. Apalagi kalau sampai Ibu mertuaku tahu Ibuk
Aku mematut diri di depan cermin. Wajah putih glowing, hidung mancung dan dagu yang sedikit lancip, menambah sempurnanya paras dan bentuk wajah ini. Belum lagi, leher jenjang dan tubuh langsing membuat aku semakin percaya diri. Tapi merawat tubuh hingga seperti ini tidaklah mudah. Aku butuh waktu satu tahun untuk mendapatkan tubuh seideal ini. Aku bahkan sampai harus jatuh sakit karena menjalani diet ketat. Mungkin jika tak ingat ambisiku untuk bisa langsing, aku tak akan melakukan diet itu.Dulu, saat aku masih menjadi istri Mas Wijaya, jangankan merawat diri, ingin makan enak saja aku tak pernah bisa. Jika ingin makan enak, aku harus pulang dulu ke rumah ibuku. Itupun harus menempuh perjalanan jauh dari kampung ini. Aku masih ingat jelas, bagaimana menderitanya diriku saat menjadi istri Mas Wijaya. Setiap hari, aku hanya makan lauk pauk seadanya. Sambal terasi dan ikan asin adalah menu andalanku. Meskipun tak pernah makan enak, anehnya, tubuhku semakin bertambah gemuk. Mungkin kare
Lastri langsung memukul lengan Mas Wijaya karena aksinya meyapaku. Lalu menarik kasar tangan Mas Wijaya untuk masuk ke dalam rumah. Mereka terlihat adu mulut sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak bisa dengan jelas mendengarnya. Wajar saja, istri mana yang tak marah bila suaminya malah menyapa wanita lain di depan istrinya sendiri. Bahkan, keberadaan Lastri seolah tak dianggap oleh Mas Wijaya.Aku segera menutup rolling door toko dan segera masuk untuk mandi dan membersihkan diri. Aku sedikit bingung dengan hubungan rumah tangga Lastri dan Mas Wijaya. Aku merasa, hubungan mereka memang tak harmonis. Aku pikir, selama ini mereka hidup bahagia. Tapi nyatanya tidak, bisa jadi itu memang sebuah karma yang Tuhan berikan untuk mereka karena pernah mendzolimi aku."Bu Alma, makan malam udah siap," kata Nana yang berpapasan denganku."Iya, Na. Nanti saja kita makan bersama setelah sholat magrib. Aku mau mandi dulu.""Iya, Bu."Aku bergegas masuk ke dal
Aku tersenyum miring melihat layar ponselku yang masih menampilkan nominal uang yang baru saja ditranfer oleh Mas Wijaya. Meskipun nominal uang ini belum sebanding dengan uang yang sudah ia ambil dariku, tapi ini sudah cukup lumayan. Setidaknya, ini awal yang baik. Aku akan pastikan, akan ada uang-uang yang lainnya yang akan aku dapatkan dari Mas Wijaya.Setelah semua uangku yang pernah diambil oleh Mas Wijaya sudah terkumpul semuanya, barulah aku akan pergi meninggalkannya. Aku jadi tak sabar, melihat reaksi Mas Wijaya seandainya ia tahu rencana licikku ini. Agar ia juga merasakan, bagaimana rasa sakit yang pernah aku rasakan dulu.Sebuah notif pesan masuk dalam ponselku. Ternyata pesan itu dari Mas Wijaya.["Al, aku udah kirim uangnya ke nomor rekening kamu.] Isi pesan dari Mas Wijaya. Benar dugaanku, uang masuk itu memang dari Mas Wijaya.["Terima kasih, Mas."] balasku. Aku menutup ponselku kembali dan memasukkannya dalam kecil yang aku bawa.Aku kembali berjalan ke area pasar yang
"Nana, Nana ...!" panggilku berulang kali. Tapi tak ada jawaban dari Nana.Aku berjalan menuju ruang makan, makanan untuk sarapan sudah tersaji di meja makan. Dapur juga sudah terlihat bersih dan rapi. Tak ada tumpukan cucian piring dan bekas perabot untuk memasak. Lantai rumah juga sudah bersih dan juga wangi seperti habis dipel. Lalu, kemana perginya Nana?Aku mendesah kesal, harusnya saat ini aku sudah siap untuk membuka toko. Jika Nana tak ada, siapa yang akan membantuku menurunkan barang belanjaan di mobil yang lumayan banyak? Aku sedikit khawatir dengan kepergian Nana. Entahlah, pikiran-pikiran buruk tiba-tiba membuat hati ini gusar.Aku berjalan menuju kamar Nana, ingin memastikan bahwa Nana tak pergi dari rumah. Sebab itulah yang aku pikirkan saat ini. Aku membuka lemari baju Nana. Semua baju Nana masih tersusun rapi di sana. Aku bernapas lega, ternyata, apa yang aku pikirkan salah. Mungkin saja saat ini Nana hanya keluar rumah sebentar. Sepertinya, pemikiranku terlalu berlebi
Aku menarik handle jendela yang berada di bagian bawah dengan sangat kuat. Hingga jari jemari tangan pria bermasker dan bertopi itu yang menyembul di bagian dalam terjepit di antara sela-sela kayu kusen dan kayu jendela. Pria itu berteriak kesakitan. Meskipun aku merasa sangat ketakutan, aku mencoba memberanikan diri untuk melawan. Untung saja, lampu kamar menyala terang. Sebab aku memang tak bisa tidur dalam keadaan gelap."Nana! Nana! Tolong!" teriakku memanggil Nana. Tanganku masih memegang kuat handle jendela.Pria itu masih berusaha untuk menarik tangannya sambil mengaduh kesakitan. Rasakan! Siapa suruh ia datang ke rumahku dengan cara seperti ini. Aku yakin, pria itu pasti punya niat jahat padaku.Tok! Tok! Tok!Nana mengetuk pintu kamarku. "Bu Alma! Bu Alma! Apa yang terjadi, Bu!" teriak suara Nana dari balik pintu kamarku.Aku baru ingat, pintu kamarku terkunci dari dalam. Hingga Nana tak bisa masuk untuk menolongku.Brak! Brak!Pria itu menggebrak kaca jendela kamarku dengan
Aku mencoba mengenali pria itu dari motornya. Sayangnya, aku belum lama tinggal di kampung ini. Motornya juga terlihat masih baru dan belum terpasang plat nomor polisi. Motor itu melaju duluan, ternyata ia juga sama-sama ingin menyeberangi jalan raya. Segera aku mengikuti motor itu. Siapa tahu, aku akan mendapatkan petunjuk.Untung saja, jalanan pagi ini cukup sepi. Jadi aku bisa dengan mudah mengikuti motor yang dikemudikan pria misterius itu. Setelah sampai di pertigaan, tiba-tiba saja pria itu berbelok arah ke kanan dan memancu motornya dengan kecepatan tinggi. Aku berusaha menambah kecepatan mobilku. Tapi sayangnya, aku kehilangan jejak. Apa mungkin, pria itu tahu aku mengikutinya?Aku semakin yakin bahwa pria itulah yang pernah datang ke rumahku malam itu dan mencoba masuk ke dalam kamarku. Aku mencoba tetap melajukan mobilku untuk menemukan pria itu. Tetapi tetap saja tak berhasil. Sial! Kemana perginya pria itu? Lain kali, aku pasti akan menemukannya. Sebab aku yakin, pria itu t
"Belanjaan kamu udah siap, Al," kata Mas Wijaya yang kini sudah duduk di depan meja kerjanya."Terima kasih, Mas. Jadi totalnya berapa, Mas?""Totalnya delapan juta. Tapi kamu gak usah bayar deh. Aku kasih gratis buat kamu.""Yang benar, Mas? Kamu baik banget deh, Mas. Sering sekali kasih aku gratisan," kataku dengan senyuman mengembang."Ini sih belum seberapa kali, Al. Coba kalau kamu mau jadi istriku lagi, apapun yang kamu mau, pasti aku turuti. Bahkan kalau kamu minta ambilkan bulan sekalipun, aku akan ambilkan untukmu.""Gombal deh kamu, Mas.""Kok gombal? Aku serius, Al. Kamu perlu apa, kasih tahu aku? Pasti aku akan kasih untuk kamu.""Kamu serius, Mas?""Iya, Alma Sayang ... duh, aku harus gimana lagi sih biar kamu percaya?"Mas Wijaya tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya. Lalu ia duduk di atas meja kerjanya di depanku."Iya deh, Mas, aku percaya kok.""Al, aku sayang banget sama kamu. Kamu mau ya, nikah lagi sama aku?" tanya Mas Wijaya lalu memegang tanganku. Membuat aku se