Share

Bab 5

Aku memandang sebuah spanduk besar yang terpasang tepat di depan pintu masuk toko grosir Mas Wijaya. Tertera nama toko grosir ini—Grosir Wijaya. Dari luar toko aku bisa melihat betapa banyaknya isi di dalam toko tersebut. Kardus-kardus yang berisi kebutuhan pokok memenuhi dalam toko hingga sampai batas pintu masuk.

Aku berjalan dengan santai memasuki area toko grosir itu. Setelah masuk, aku sedikit terpukau sebab dalam toko ini ternyata jauh lebih luas dibandingkan dilihat dari luar. Mungkin, banyaknya barang yang memadati isi toko ini membuat toko ini nampak sempit.

Aku melihat Mas Wijaya sedang sibuk di meja kasir membantu karyawannya yang seorang wanita untuk melayani pembeli yang sepertinya sedang membayar barang belanjaan. Saking sibuknya, Mas Wijaya sepertinya tak menyadari kehadiranku di sini.

"Cari apa, Mbak?" tanya seorang karyawan pria dengan ramah padaku.

"Oh, saya mau belanja barang-barang sembako untuk isi toko, Mas," jawabku.

"Apa Mbak punya catatan barang-barang apa saja yang mau dibeli?"

"Oh, iya ada," jawabku, lalu mengambil secarik kertas di dalam tas tangan yang aku bawa. Aku sudah mencacat barang-barang apa saja yang akan aku beli di sebuah selembar kertas. Aku memberikan kertas yang berisi catatan barang belanjaan pada karyawan itu.

"Baik, Mbak, saya siapkan dulu barangnya. Nanti, Mbak tinggal membayar saja di kasir."

"Iya, Mas, terima kasih," ucapku.

Aku suka dengan pelayanan toko milik Mas Wijaya ini. Karyawan-karyawannya terlihat sangat ramah dan juga gesit. Di dalam toko ini ternyata ada sekitar tujuh orang karyawan setelah aku hitung. Mereka mempunyai tugas masing-masing. Ada bagian yang bertugas melayani pembeli yang baru datang, dan ada juga yang bertugas mencari dan menyiapkan barang-barang belanjaan.

Setelah barang-barang yang aku beli sudah siap, karyawan pria tadi menyuruhku untuk mengecek barang-barang yang sudah ia siapkan terlebih dahulu sebelum membayar di kasir. Agar tak terjadi kekurangan ataupun kesalahan. Setelah itu, barulah aku menuju ke kasir untuk melakukan pembayaran.

Terlihat ada sekitar empat orang yang sedang berdiri mengantri untuk melakukan pembayaran. Aku segera berdiri di belakang mereka untuk mengantri. Mas Wijaya masih sibuk melayani pembeli dan belum menyadari keberadaanku.

"Alma, kamu ngapain di sini?" Mas Wijaya bertanya dengan nada terkejut setelah menyadari keberadaanku.

"Aku lagi belanja, Mas. Apa ini toko milik kamu, Mas?" Aku bertanya berpura-pura tak tahu. Aku tersenyum manis pada Mas Wijaya.

"Iya, Al. Ini toko milik aku. Kamu mau beli apa saja? Apa udah disiapkan sama karyawan aku?"

"Sudah kok, Mas."

"Al, kita pindah tempat ke meja kerja aku saja ya? Biar kita bisa ngobrol sebentar," ajak Mas Wijaya.

"Iya, Mas," jawabku dengan senyum yang dipaksakan.

Aku rasa, Mas Wijaya memang benar-benar menyukaiku. Terlihat dari tatapan matanya yang tak lepas memandang wajahku. Ini sebuah kesempatan yang sangat bagus untukku.

"Duduklah, Al. Apa kamu mau minum sesuatu?" Mas Wijaya menyuruhku untuk duduk di kursi yang berada di depan meja kerjanya. Ia sendiri sudah duduk di kursi kerjanya. Gelagat Mas Wijaya terlihat salah tingkah ketika aku selalu memandangnya dengan senyuman semanis mungkin. Terlihat dari bibir Mas Wijaya yang terlihat senyum-senyum sendiri.

"Terima kasih, Mas. Kamu gak perlu repot-repot. Aku gak bisa lama-lama di sini. Soalnya, aku mau menyusun barang-barang di toko."

"Jadi benar kata Ibu dan Mbak Rosi kalau kamu mau buka toko di depan rumahmu itu?"

"Benar sekali, Mas."

"Ah, aku gak nyangka kamu sekarang jadi wanita sukses, Al. Udah cantik, pinter nyari duit lagi. Gak kayak si Lastri," gerutu Mas Wijaya.

"Kamu terlalu berlebihan, Mas. Aku cuma buka toko sembako biasa kok."

"Kamu terlalu merendah, Al. Toko yang mau kamu buka itukan, toko sembako paling besar di kampung kita. Selain cantik, sifat rendah hati kamu juga masih sama seperti dulu. Andai saja, kita bisa kembali bersama seperti dulu."

"Itu tak mungkin terjadi, Mas. Kamu kan sudah menikah dengan Lastri."

"Aku sudah bosan dengan Lastri, Al. Tiap hari kerjaannya marah-marah gak jelas. Apalagi kalau gak dikasih uang banyak, mulutnya bakal merepet panjang lebar," curhat Mas Wijaya.

Aku tersenyum masam mendengar curhatan Mas Wijaya. Dengan gampangnya ia bicara padaku bahwa ia telah bosan dengan Lastri. Seolah Lastri sudah tak ada artinya untuk Mas Wijaya. Aku tak bisa bayangkan, bagaimana reaksi Lastri jika tahu Mas Wijaya berbicara seperti ini padaku.

"Bukankah, itu pilihan kamu sendiri, Mas?"

"Iya sih, Al. Tapi aku beneran menyesal sudah menikah dengan Lastri. Dia itu beda sama kamu, Al. Kamu kan lemah lembut dan juga penurut. Beda sama Lastri yang suka membangkang perintah aku. Dia terlalu arogan. Kalau marah menggebu-gebu kayak singa mau makan orang." Mas Wijaya terlihat bersemangat menceritakan tentang sifat buruk Lastri padaku.

"Maaf ya, Al, aku jadi curhat sama kamu," ucap Mas Wijaya dengan wajah terlihat memelas.

"Gak papa, Mas, aku ngerti kok. Oh ya, Mas, maaf aku gak bisa lama-lama. Kamu bisa gak, buatkan nota belanjaan aku sekarang?"

"Oh iya, Al. Aku sampai lupa. Ya udah, aku total dulu belajaan kamu ya?"

"Iya, Mas."

Mas Wijaya dengan cepat menulis list belanjaan milikku dan menjumlahkannya menggunakan kalkulator. Setelah selesai, Mas Wijaya memperlihatkan total belanjaan yang aku beli.

"Al, total semua belanjaan kamu empat juta rupiah," kata Mas Wijaya setelah selesai menghitung. Aku segera mengambil dompet milikku yang berada dalam tas tangan yang aku bawa. Lalu mengambil sejumlah uang dari dalam dompet.

"Aduh, Mas, aku hanya ada uang cash satu juta rupiah. Aku lupa belum ngambil uang cash di ATM tadi. Bagaimana kalau sisanya aku tranfer saja? Kamu tulis saja nomor rekening kamu di nota itu, Mas," kataku dengan mimik wajah bingung.

"Ya sudah, Al. Sisanya gak perlu kamu bayarlah. Anggap saja, aku lagi ngasih diskon besar buat kamu," kata Mas Wijaya dengan bibir tersenyum mengembang. Aku terpelongo mendengar perkataan Mas Wijaya. Tak sangka, begitu mudah mendapatkan uang darinya.

"Jangan gitulah, Mas. Aku gak enak loh sama kamu. Kamu catat aja deh nomor rekeningnya. Aku gak mau punya hutang," kataku berpura memaksa.

"Enggak, Al. Kamu gak perlu ngerasa gak enak gitu. Meskipun kamu gak bayarpun, aku gak papa kok. Beneran."

"Tapi sisanya tiga juta loh, Mas. Ini terlalu besar buat aku."

"Yaelah, Al. Uang segitu mah, gak ada artinya buat aku," ucap Mas Wijaya dengan nada sombong.

Aku bersorak gembira dalam hati. Jebakanku akhirnya masuk juga. Saat ini, aku sudah punya jurus ampuh untuk mengeluarkan uang Mas Wijaya untukku. Sering-sering saja begini. Dengan begitu, aku bisa mengumpulkan uang hasil kerjaku sebagai TKW yang pernah ia curi dengan cara licik.

"Terima kasih banyak ya, Mas. Aku gak nyangka kamu sebaik ini sama aku."

"Sama-sama, Al. Sering-seringlah belanja di tokoku. Aku pasti akan melayani kamu dengan sangat baik. Kalau perlu, aku akan selalu kasih kamu diskon setiap berbelanja."

"Iya, Mas, pasti," kataku dengan senyuman manis. Tentu saja aku akan kembali ke toko ini. Jika perlu, setiap hari aku akan berbelanja kemari.

Mas Wijaya menyuruh karyawannya untuk memasukkan semua barang belanjaanku ke dalam mobilku. Ternyata begitu mudah memanfaatkan Mas Wijaya. Aku merasa cukup beruntung hari ini. Sudah tak perlu capek-capek mengangkut barang, aku juga mendapatkan diskon yang cukup besar dari Mas Wijaya.

"Mas Wijaya!" Suara keras seorang wanita terdengar memanggil nama Mas Wijaya.

Aku dan Mas Wijaya yang sedang berdiri di samping mobil milikku seketika menoleh. Pun dengan Nana yang sedang berdiri di antara kami. Ternyata, wanita yang memanggil Mas Wijaya adalah Lastri. Lastri terlihat berdiri di pinggir jalan sambil menggendong anaknya yang berusia dua tahun.

Wajah Lastri tampak merah padam dengan raut wajah penuh kemurkaan. Nafasnya terlihat naik-turun seperti menahan emosi. Matanya melotot tajam menatapku dan menatap Mas Wijaya secara bergantian. Pasti Lastri sangat marah melihatku sedang berdiri bersama Mas Wijaya. Melihatku berdiri bersama Mas Wijaya saja, ia terlihat begitu murka. Apalagi jika Lastri sampai tahu, bahwa Mas Wijaya suaminya telah memberikan diskon belanjaan yang cukup besar untukku.

********

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status